PENGARANG PENERBIT DAN PEMBACA CERPEN IN (1)

Prosiding

423

Dimuat dalam buku PROSIDING Forum Peneliti di Lingkungan
Kemendiknas, Balitbang, 2011, hlm. 424--446

SISTEM PENGARANG, PENERBIT, DAN PEMBACA
CERPEN INDONESIA DI YOGYAKARTA
PADA MASA AWAL ORDE BARU
Tirto Suwondo
Balai Bahasa Yogyakarta

Abstrak
Penelitian ini mengkaji sistem sosial cerpen Indonesia di Yogyakarta
pada masa awal Orde Baru (1966—1980). Tujuannya untuk memperoleh gambaran yang signifikan tentang keberadaan sistem sastra
(cerpen) pada masa itu dalam rangka penyusunan (buku) sejarah
sastra Indonesia di Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah teori
makro-sastra seperti yang dikembangkan oleh Tanaka. Dari
pembahasan terhadap sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca)
dapat diketahui bahwa ketiga sistem itu berjalan berdampingan

membangun keberadaan cerpen Indonesia di Yogyakarta. Hanya saja,
dari ketiganya, kekuatan masing-masing sistem itu tidak berimbang
dan kekuatan dominan terletak pada sistem pengarang. Hal itu terjadi
karena keberadaan penerbit/pengayom amat bergantung pada situasi
sosial-ekonomi, sedangkan masyarakat pembaca sebagai mata rantai
kehidupan sastra masih terbatas sehingga sastra cenderung terpinggirkan. Karena itu, jika dikehendaki perkembangan sastra dapat
berjalan dengan baik, masing-masing sistem dan subsistem itu harus
dibangun secara seimbang, dalam arti baik pengarang, penerbit,
maupun pembaca tidak boleh saling mendominasi atau mengobjektivikasi.
Kata kunci: cerpen, sistem makro, sejarah sastra.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Artikel ini secara khusus memaparkan hasil penelitian tentang sistem
sosial cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru. Yang
dimaksud ”sistem sosial” dalam artikel ini adalah hal-hal di luar sastra yang
Prosiding

424


berperan penting membangun kehadiran karya sastra, yaitu pengarang,
penerbit, dan pembaca; sedangkan yang dimaksud ”cerpen Indonesia di
Yogyakarta” adalah karya-karya sastra berbentuk cerita pendek (cerpen) yang
dipublikasikan di media cetak yang terbit di Yogyakarta. Sementara itu, yang
dimaksud ”pada masa awal Orde Baru” adalah masa paroh pertama zaman
Orde Baru, yakni 1966--1980, karena zaman Orde Baru tidak hanya sampai
1980, tetapi sampai 1997 (menjelang masa Reformasi).
Penelitian tentang sistem sosial cerpen Indonesia di Yogyakarta pada
masa awal Orde Baru perlu dilakukan karena melalui penelusuran sistem
sosial itu fakta-fakta sejarah yang membangun keberadaan cerpen Indonesia
di Yogyakarta dapat digambarkan dalam rangka penyusunan (buku) sejarah
sastra Indonesia. Dalam penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di
Yogyakarta, idealnya sistem sosial yang diteliti tidak hanya sistem yang
membangun keberadaan cerpen, tetapi juga puisi, novel, dan drama yang
hadir dari masa ke masa. Akan tetapi, karena penelitian ini serba terbatas,
baik ruang, waktu, tenaga, biaya, dan sejenisnya, penelitian ini akhirnya
hanya memfokuskan pada sistem yang membangun cerpen yang terbit pada
1966--1980. Terlebih lagi, dalam rangka penyusunan sejarah sastra tersebut,
penelitian terhadap genre sastra lain telah dilakukan beberapa ahli, di
antaranya puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004, 2005), cerpen periode 1945—

1965 oleh Mardianto dkk (2003), novel oleh Mardianto dkk. (2004, 2006),
drama oleh Mardianto dkk. (2005) dan Prabowo dkk. (2005).
Di samping hal di atas, dalam rangka penyusunan sejarah sastra
Indonesia di Yogyakarta, idealnya penelitian juga tidak hanya terbatas pada
sistem sosial, tetapi juga sistem formal atau sistem yang berada di dalam
karya sastra itu sendiri seperti tokoh, alur, latar, dan sarana-sarana sastra
seperti sudut pandang, bahasa, gaya cerita, dan sejenisnya. Akan tetapi,
karena sistem formal itu secara dominan telah dibahas pada beberapa
penelitian di atas, sehingga penelitian ini hanya membahas sistem sosial.
Sesungguhnya, di dalam sistem sosial sastra itu juga masih ada sistem lain,
yaitu subsistem kritik, tetapi karena kritik secara khusus telah diteliti oleh
Suwondo (2004, 2005, 2006), subsistem kritik akhirnya tidak menjadi subjek
kajian dalam penelitian ini. Jadi, penelitian ini secara khusus membahas
sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca) cerpen Indonesia di Yogyakarta
pada masa awal Orde Baru.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1)
pengarang cerpen pada masa itu dan bagaimana mereka membangun sistem
kepengarangannya, (2) penerbit yang menerbitkan cerpen pada masa itu dan
bagaimana mereka membangun sistem penerbitannya, dan (3) seperti apa

Prosiding

425

masyarakat yang menjadi pembaca cerpen-cerpen pada masa itu. Namun,
sebelum berbagai sistem itu dibahas, terlebih dahulu dibahas perihal mobilitas sosial-budaya karena bagaimana pun seluruh subsistem itu berada dalam
dinamika sosial-budaya masyarakat yang terus berubah.
1.3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan
Penelitian ini secara khusus bertujuan mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan tiga persoalan yang telah disebutkan dalam permasalahan,
yakni sistem pengarang, penerbit, dan pembaca cerpen-cerpen Indonesia di
Yogyakarta pada masa awal Orde Baru (1966—1980). Selain itu, penelitian
ini secara umum ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya
penyusunan (buku) sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang. Oleh karena itu, hasil yang diharapkan dari
penelitian ini ialah berupa rumusan sebuah bangunan sistem sosial (makro)
cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde Baru.
II. KAJIAN LITERATUR
Karya sastra, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun drama,
tidaklah datang dengan tiba-tiba, tetapi merupakan hasil karya manusia
(pengarang). Sebagai hasil karya manusia, karya sastra ditulis tidak tanpa

maksud, tetapi selalu dimaksudkan agar dinikmati masyarakat (pembaca).
Karena masyarakat yang diharapkan membaca karya itu begitu luas dan
beragam, diperlukanlah peran penerbit sebagai lembaga penghubung karya
sastra dengan pembacanya. Demikian realitas hubungan karya sastra dengan
pengarang, penerbit, dan pembaca yang secara bersama-sama membangun
sistem tertentu, yaitu sistem sastra, baik sistem sosial maupun sistem formal
(Tanaka, 1976).
Bertolak dari realitas itulah, dalam studi sastra kemudian dikenal ada
dua pendekatan, yaitu intrinsik dan ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1989).
Pendekatan intrinsik menekankan perhatian pada karya sastra. Pendekatan ini
berkeyakinan bahwa karya sastra dapat dipahami melalui dirinya sendiri,
lepas dari faktor di luarnya. Oleh beberapa ahli, pendekatan ini sering disebut
pendekatan struktural dan teori yang dipergunakan adalah mikro sastra
(Tanaka, 1976). Tugas utama pendekatan intrinsik adalah mengungkapkan
berbagai aspek (sistem) formal seperti yang dilakukan kaum Formalis Rusia.
Sementara itu, pendekatan ekstrinsik menekankan perhatian pada hubungan
sastra dengan lingkungannya (pengarang, penerbit, dan pembaca). Pendekatan ini berkeyakinan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lebih
lengkap jika dilepaskan dari lingkungannya. Oleh beberapa ahli, pendekatan
ini disebut pendekatan sosiologis atau sosio-kultural dan teori yang
dipergunakan adalah sosiologi sastra (Damono, 1999) atau makro sastra

Prosiding

426

(Tanaka, 1976). Tugas utama pendekatan ini adalah mengungkapkan
berbagai aspek (sistem) sosial yang menyangkut hubungan karya sastra
dengan faktor di luarnya seperti yang dilakukan oleh kaum Marxis atau
Strukturalis-Genetis.
Karena masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah hal-hal yang
berkaitan dengan sistem sosial (pengarang, penerbit, pembaca), jelas bahwa
pendekatan yang digunakan adalah sosiologis (sosio-kultural) berdasarkan
konsep teori sosiologi atau makro sastra. Jadi, konsep teori sosiologi (makro
sastra) digunakan sebagai landasan analisis terhadap bagaimana pengarang,
penerbit, dan pembaca cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa awal Orde
Baru itu membangun sistem kepengarangan, kepenerbitan, dan kepembacaannya. Namun, seperti telah dikatakan di depan, sebelum masuk ke
pembahasan tiga sistem itu, terlebih dahulu dibahas perihal mobilitas sosialbudaya karena secara tak terelakkan sistem-sistem tersebut berada dalam
konteks sosial-budaya yang terus berubah.
III. METODE DAN TEKNIK
Dalam penelitian ini dipergunakan metode kualitatif yang memperhatikan keurgensian data. Data dianggap sangat signifikan dalam rangka
menjelaskan tujuan penelitian. Analisis data dilaksanakan dengan mempergunakan metode sosial dalam rangka memahami makro sastra dan juga untuk

menjelaskan mobilitas sosial budaya Yogyakarta pada masa itu. Keadaan
pengarang, penerbit, dan pembaca sudah sewajarnya jika dipahami dengan
bantuan analisis sosial karena persoalan-persoalan tersebut berada dan lekat
dengan bingkaian sosial. Sementara itu, hasil penelitian ini disajikan dengan
teknik deskriptif agar mudah dipahami pembaca mengenai permasalahan
yang berkaitan dengan sistem pengarang, penerbit, dan pembaca cerpen
Indonesia di Yogyakarta pada masa itu. Pengumpulan data dilakukan melalui
studi kepustakaan dengan teknik baca dan catat. Artinya, berbagai aspek
sosial yang melingkupi keberadaan cerpen–cerpen pada masa itu dibaca,
dicatat, kemudian dianalisis. Pada akhirnya, generalisasi atau pengambilan
simpulan dilakukan dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Mobilitas Sosial-Budaya
Sejarah mencatat tahun 1966 merupakan penanda waktu terjadinya
peralihan kekuasaan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru. Berkuasanya
Orde Baru melalui diktum Supersemar itu tidak sekadar bersifat politis, tetapi
juga dilatarbelakangi persoalan sosial, ekonomi, dan budaya. Mengapa Orde
Baru harus berkuasa dan Orde Lama harus tumbang? Jawabnya, menurut
kacamata Orde Baru, karena pemerintahan Orde Lama dikuasai oleh
Prosiding


427

merebaknya korupsi, cepatnya laju pertumbuhan penduduk (dari 77,2 juta
jiwa pada 1950 menjadi 97,02 juta jiwa pada 1961), membengkaknya
pengangguran, merajalelanya kejahatan, dan tidak tercukupinya pangan bagi
rakyat. Hal itu terjadi karena pemerintah masa itu menentukan kebijakan
yang otoriter, mengembangkan wacana anti-Barat, memihak pada negara
sosialis, dan menjadikan “politik” sebagai “panglima.” Sebenarnya saat itu
pemerintah telah mencoba menjalankan berbagai program perbaikan
ekonomi, misalnya melalui Program Benteng, tetapi hasilnya belum sesuai
dengan harapan. Sebab, program tersebut justru semakin memperkuat
pengusaha Cina dan India, bukan pengusaha Indonesia. Hal itu terjadi karena
para pengusaha Indonesia ternyata lebih suka menjual lisensinya kepada
berbagai perusahaan asing dengan “kedok” melakukan kerja sama dengan
mereka (Budiman, 1996:31).
Bertolak dari kenyataan itulah, setelah terjadi pergantian kekuasaan,
Orde Baru dengan slogan politis yang bernama “pembangunan” ingin melakukan perubahan mendasar berkaitan dengan persoalan ekonomi sehingga
diciptakan berbagai program, salah satunya program pengentasan kemiskinan. Pada saat itu kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi yang
berorientasi ke luar. Strategi ini memberi peluang bagi swasta untuk ikut aktif

dalam sistem pasar bebas. Langkah itu diharapkan segera memberikan hasil
tanpa perlu perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Mas’oed, 1990).
Hal ini tampak pada diberlakukannya peraturan 3 Oktober 1966 yang
memuat pokok-pokok usaha, yaitu (1) penyeimbangan anggaran belanja, (2)
pengekangan ekspansi kredit untuk usaha produktif, (3) penundaan pembayaran utang luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4)
penanaman modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk
membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, dan membantu usaha
peningkatan pendapatan nasional.
Strategi tersebut dipilih dengan dua alasan mendasar. Pertama,
memberikan kepuasaan bagi masyarakat dalam bentuk penyediaan kebutuhan
sandang pangan. Strategi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati
rakyat dalam upaya melumpuhkan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan
kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan karena
sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing dan bantuanbantuan negara Barat serta ketidakmampuan pemerintah membayar utang
luar negeri telah mempersulit pemerintah Orde Baru. Kondisi inilah yang
menyebabkan Orde Baru menerima usulan IMF (International Monetary
Fund) mengenai perlunya modal asing dan perlu diintegrasikan kembali
perekonomian Indonesia ke dalam sistem kapitalis internasional (Mas’oed,
1990:118). Rehabilitasi ekonomi tersebut berkaitan dengan upaya Indonesia
untuk memisahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali

Prosiding

428

hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan terhadap hubungan
dengan Amerika dan Jepang, misalnya, terbukti merupakan suatu langkah
strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi tersebut.
Ricklefs (1994:433) lebih lanjut menjelaskan sejak semula Orde Baru
memang berupaya keras menjalankan kebijakan stabilisasi ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan
sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang dilakukan ialah
pemerintah mencanangkan strategi Pelita sejak 1969 (Harnoko, 2003:76—
77). Strategi ini yang kemudian melahirkan konsep pembangunan pedesaan
sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya, swakarya, swasembada).
Konsep tersebut dinilai tepat karena saat itu sebagian besar (73,8%)
masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan
berbagai tipologi desa itu pemerintah berusaha keras meningkatkan taraf
hidup rakyat dengan menerapkan program Bimas, Inmas, Padat Karya,
Bantuan Kabupaten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, Kredit Investasi
Kecil, dan sejenisnya. Melalui program itu akhirnya terbukti kondisi
masyarakat pada 1970--1980-an lebih baik jika dibandingkan pada masa

Orde Lama, lebih-lebih pada zaman kolonial Belanda.
Kenyataan di atas menunjukkan Orde Baru telah berhasil mendudukkan birokrasi sebagai agent of change, yaitu birokrasi sebagai kekuatan
efektif bagi pelaksanaan program pembangunan/modernisasi. Walaupun,
kalau dicermati lebih jauh, sesungguhnya yang terjadi tidaklah demikian.
Sebab, secara tidak disadari, konsep “persatuan dan kesatuan” dengan proyek
“pembangunanisme” yang dicanangkan pemerintah sejak awal Orde Baru
telah menimbulkan ekses tertentu karena keutuhan/kesatuan wilayah
Indonesia dicapai/dipertahankan dengan cara represif dan dominasi ideologis
(hegemoni) oleh sebuah rezim yang birokratik, militeristik, dan teknokratik
yang mengombinasikan ideologi nasionalisme dan kapitalisme.
Kondisi tersebut selanjutnya memunculkan kenyataan bahwa pemerintah yang dalam tataran wacana selalu ingin menegakkan demokrasi justru
sangat tidak demokratis. Di bidang politik, misalnya, hal itu tampak jelas,
yaitu dari 10 partai yang eksis pada Pemilu 1971 akhirnya hanya tinggal dua
partai dan satu golongan (PDI, PPP, dan Golkar) sejak Pemilu 1977. Karena
pada waktu itu seluruh sepak terjang PDI dan PPP dapat “dikuasai” oleh
Golkar, akhirnya terjadi dominasi kemenangan Golkar terus-menerus. Karena
komponen Golkar terdiri atas birokrat-birokrat pemerintah mulai dari pucuk
pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun akhirnya
identik sebagai “Partai Pemerintah”.
Hal serupa terjadi juga dalam dunia pers dan penerbitan. Pers pada
dekade 1970-an adalah pers Pancasila yang kehadirannya tidak bebas karena
segalanya harus sejalan dengan konsep stabilisasi, “persatuan dan kesatuan”,
Prosiding

429

dan ideologi pembangunanisme. Itulah sebabnya, pers dan penerbitan (koran,
majalah, dan buku) yang tidak sehaluan dengan konsep dan ideologi dominan
(negara) tidak diberi hak hidup. Oleh sebab itu, berbagai jenis media cetak
yang banyak muncul pada awal 1950-an harus mati pada masa Orde Baru.
Hal itu terbukti pada 1970-an banyak koran, majalah, dan buku yang dilarang
peredarannya; bahkan ada beberapa personalnya ditangkap/dipenjarakan.
Khususnya di Yogyakarta, media massa yang bertahan hidup (hingga
kini) tinggal beberapa, di antaranya Minggu Pagi (Kedaulatan Rakyat),
Basis, Suara Muhammadiyah, Masa Kini (sebelum akhirnya mati juga), dan
Bernas. Realitas ini tidaklah hanya menciptakan suasana yang “tenang karena
ketakutan”, tetapi juga memampatkan kreativitas dan ide-ide cemerlang dari
masyarakat, termasuk seniman-sastrawan, sehingga hal itu berpengaruh pada
perkembangan seni, sastra, dan budaya. Meski demikian, karena sejak tahun
1950-an Yogyakarta telah tercipta menjadi kota budaya dan pendidikan,
sehingga banyak intelektual dan calon intelektual dari luar datang ke Yogyakarta, dan mereka itulah yang kemudian membangun berbagai kelompok atau
komunitas penulis sehingga memberi warna tersendiri bagi perkembangan
sastra, termasuk perkembangan cerpen di Yogyakarta. Mengenai hal ini dapat
dicermati pada pembahasan terhadap berbagai sistem (pengarang, penerbit,
dan pembaca) berikut.
4.2 Sistem Pengarang
Fakta menunjukkan pada masa awal Orde Baru cerpen Indonesia di
Yogyakarta sebagian besar ditulis pengarang laki-laki. Dari 114 pengarang
yang didata, hanya 17 di antaranya wanita. Namun, jumlah pengarang wanita
periode ini mengalami kenaikan dari sebelumnya. Pengarang cerpen wanita
periode ini, yaitu Enny Sumargo, Siti Nurjanah Sastrosubagio, Titien
Handyani, Naning Indratni, Titik Hadi, Hana Eli, Jun Harningsih, Sri Ajati,
Tuti Nonka, S. Barliantinah, Suwastinah Md., Cucu Siti Nurjanah, Rachmiyati, Niken A.R., Inin Muntaco, dan Yanti Sosropuro. Beberapa di antaranya
yang produktif ialah Cucu Siti Nurjanah, Suwastinah Md, Siti Nurjanah
Subagio, Titik Hadi, dan Titien Handayani. Mereka yang tidak produktif di
antaranya Enny Sumargo, Naning Indratni, Rachmiyati, dan Niken A.R.
Pada 1960-an jumlah pengarang wanita terus meningkat (Sumardjo,
1999:92). Di antara mereka adalah Titie Said, Tjahjaningsih, Sugiarti
Siswadi, Ernisiswati Hutomo, Titis Basino, Enny Sumargo, Susy Aminah
Aziz, Dwiarti Mardjono, dan Isma Sawitri. Pada 1970-an membanjirlah
jumlah penulis wanita Indonesia, yakni Marga T, Mira W., La Rose, Yati
Maryati Wiharja, Titiek WS, Marianne Katoppo, Iskasiah Sumarto, Sri
Subekti Subakir, Totilawati Tjitrawasita, dan Ike Supomo. Dari data
sampingan tersebut tampak bahwa jumlah pengarang wanita Indonesia
Prosiding

430

semakin meningkat dalam setiap dasawarsa, demikian halnya dengan
pengarang cerpen wanita di Yogyakarta.
Seperti diketahui Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya dan
kehidupan sastranya telah tumbuh sejak lama. Sejak saat itu bermunculan
kelompok-kelompok pengarang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
kehadiran puisi, cerpen, novel, dan drama. Di samping itu, posisi Yogyakarta
sebagai kota pendidikan mendorong masyarakat dari berbagai daerah untuk
datang dan menetap di Yogyakarta atau menempuh studi di Yogyakarta,
termasuk di antaranya para pengarang cerpen. Di Universitas Gajah Mada,
misalnya, terdapat nama-nama besar seperti Umar Kayam, Budi Darma,
Rendra, Sapardi Djoko Damono, Bakdi Sumanto, Iskasiah Soemarto,
Nugroho Notosusanto, Karno Hadian, kemudian disusul Kuntowijoyo dan
Rachmat Djoko Pradopo. Selain itu, di fakultas ini juga ada Mohammad
Diponegoro, Motinggo Bosje, Kirdjomuljo, Umbu Landu Paranggi, Jussac
M.R., Darmadji Sosropuro, Jajak MD, Darmanto Jatman, Jaso Winarto, dan
sejumlah nama lain yang sebagian besar bukan asli Yogyakarta. Mereka
menjadi motor perkembangan sastra di fakultas sekaligus turut meramaikan
Yogyakarta dengan berbagai jenis karya. Teeuw (1989) mengemukakan
bahwa pada pertengahan 1950-an telah muncul beberapa sastrawan besar
(Rendra, Ajib Rosidi, Subagio Sastrowardojo) dan mereka tetap eksis
menulis karya sampai tahun 1970-an.
Pada 1970-an Umbu Landu Paranggi mencuat di dunia komunitas
sastra Yogyakarta. Lebih dari 15 tahun menetap di Yogyakarta (1959—
1975). Bersama Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, dan Teguh
Ranu Sastraasmara, Umbu mendirikan kelompok Persada Studi Klub (PSK)
pada 5 Maret 1969 dan bermarkas di Jalan Malioboro 175. Kelompok PSK
merupakan ajang kreativitas para pengarang dan penyair pemula yang
kehadirannya bernaung di Mingguan Pelopor. Dengan adanya kelompok
PSK iklim berkesenian di Malioboro pada 1970-an menjadi kian semarak.
Mereka adalah Emha Ainun Nadjib, Ahmad Munif, Faisal Ismail, Linus
Suryadi, F. Rahardi, Korrie Layun Rampan, Agnes Yani Sarjono, Atas
Danusubroto, Bambang Indra Basuki, Darwis Khudori, Fauzi Absal, dan
Joko S. Passandaran. Umbu lewat PSK telah berhasil memproses para
penyair besar seperti di atas. Setelah Umbu hengkang ke Denpasar (1975),
Ragil Suwarna Pragolapati mendapat surat kuasa penuh untuk mengelola
PSK. Namun, hal itu tidak pernah direalisasi karena ia lebih memilih
mengelola Sanggar Sastra Pragolapati dan berkiprah di dunia sastra Yoga.
PSK selanjutnya dikelola Linus Suryadi (1975—1976) dan Teguh Ranu
Sastraasmara (1976—1977).
Selain PSK, pada 1970--1980-an juga hadir pusat pergaulan sastra
yang diikat melalui rubrik sastra media massa, misalnya Remaja Nasional
Prosiding

431

atau Renas di Berita Nasional dan Linus Suryadi sebagai redakturnya.
Kemudian ada juga Insani yang hadir bersama rubrik sastra di Masa Kini
asuhan Emha Ainun Nadjib. Lalu ada pusat pergaulan sastra yang bermarkas
di majalah Semangat. Selain itu, di kampung-kampung, muncul pula pusat
pergaulan sastra. Misalnya di Kotagede, yang generasi awalnya muncul
bersama departemen seni budaya dari Pelajar Islam Kotagede. Generasi
kedua, muncul bersama dengan bagian seni budaya Pemuda Muhammadiyah.
Generasi ketiga, lebih independen, pusat pergaulan sastranya bernama
Sanggar Sastra Kotagede (Sasako). Di Bantul dan Godean pun muncul hal
serupa. Pusat pergaulan sastra lain muncul di tengah dinamika kampus, atau
muncul bersama suburnya radio swasta ketika menggelar acara lembar sastra
dan baca puisi (Hasjim, 1997). Munculnya kelompok-kelompok sastra itu
semakin menambah semarak kehidupan sastra di Yogyakarta. Banyak
pemuda ikut bergabung sehingga banyak bermunculan pengarang pemula
termasuk pengarang cerpen seperti yang dimuat di Suara Muhammadiyah
(SM), Basis, Budaya, Seriosa, Gadjah Mada (GM), Pelopor, Minggu Pagi
(MP), Masa Kini (MK), dan lain sebagainya.
Keberadaan pengarang cerpen di Yogyakarta pada masa awal Orde
Baru tidak terlepas dari pengarang pada masa sebelumnya. Hal itu terbukti
dengan munculnya pengarang yang tetap produktif mempublikasikan
karyanya (cerpen) sampai periode berikutnya, misalnya Mohammad
Diponegoro. Pengarang ini tetap aktif menulis sampai 1980. Ia dikenal
sebagai penulis cerpen, puitisasi Alquran, penulis drama Iblis, pendiri Teater
Muslim, dan penulis novel Siklus. Sampai akhir hayatnya (9 Mei 1982) ia
menjabat Wakil Pemred SM, jabatan yang dipegang sejak 1965. Sebelum
meninggal, ratusan cerpen telah ia tulis. Kumpulan cerpen religiusnya Odah
dan Cerita Lainnya (1986) diterbitkan Shalahuddin Press, demikian juga
bukunya Yuk Nulis Cerpen (1985). Selain itu, Pekabaran (1977) merupakan
kumpulan cerpennya yang diterbitkan Budaya Jaya. Beberapa cerpen lainnya
terbit di Horison dan SM.
Emha Ainun Nadjib juga termasuk pengarang yang tak dapat
dipisahkan dari kehidupan sastra Yogyakarta. Ia aktif menulis sampai 1980an bahkan hingga sekarang. Pengarang kelahiran Jombang 27 Mei 1953 ini
telah menulis sejak SMA berupa puisi, cerpen, drama, kolom, dan esai.
Bersama Linus Suryadi pernah menjadi anak asuh Umbu Landu Paranggi di
Pelopor pada 1970-an serta pernah menjadi wartawan Masa Kini. Selain itu,
ia juga mengasuh ruang Insani: sebuah rubrik bagi muda-mudi yang menaruh
perhatian pada sastra di koran. Dia pun sering membacakan puisinya dengan
iringan gamelan bersama kelompok teater Dinasti. Emha memang kurang
produktif menulis cerpen, tetapi cerpen-cerpen yang ditulis memiliki kualitas
yang setara dengan karya para cerpenis terkemuka Indonesia. Yang TerhorProsiding

432

mat Nama Saya (1992) adalah kumpulan cerpen yang ia tulis pada 1977-1981 yang semula terbit di Kompas, Zaman, dan Horison.
Budi Darma, cerpenis kelahiran Rembang, 25 April 1937, pernah pula
mewarnai kehidupan cerpen di Yogyakarta. Budi Darma mulai menulis tahun
1968 di majalah Indonesia, Basis, dan Cerita. Kedudukannya yang kuat
sebagai cerpenis menyebabkan karyanya banyak dijadikan bahan seminar dan
kajian di perguruan tinggi. Cerpennya “Sang Anak” yang dimuat Horison
oleh Satyagraha Hoerip dimasukkan ke dalam antologi Cerita Pendek
Indonesia jilid ke-3 (1980). Kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington
telah diterbitkan Sinar Harapan (1980). Selain itu, novel Budi Darma Olenka
pernah menjadi Pemenang Utama Sayembara Roman DKJ 1980. Dalam
cerpen dan novelnya ia banyak mengungkap nilai kehidupan yang
dihayatinya selama tinggal dengan penduduk setempat di Amerika.
Selain itu, karya Kuntowijoyo (lahir 18 September 1943 di
Yogyakarta) juga banyak mewarnai kehidupan sastra di Yogyakarta tahun
1960-an. Pengarang yang juga dosen sejarah UGM ini banyak menulis puisi,
cerpen, lakon, novel, dan esai. Bukunya yang terbit adalah Suluk AwangAwang (puisi, 1975), Isyarat (puisi, 1976), Pasar (novel, 1972), Khotbah Di
Atas Bukit (novel, 1976), dan “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari”
dimuat di harian Jihad (1966). Sejumlah puisinya masuk dalam buku Laut
Biru Langit Biru (1977) dan Tugu. Selain itu, naskah lakonnya antara lain
Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, Cartas, dan Topeng Kayu
(1972--1973). Karya-karya cerpennya kemudian dibukukan dalam Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga dan Hampir Sebuah Subversi.
Pengarang lain yang cukup produktif adalah Adjib Hamzah.
Sebagian besar cerpennya terbit di SM dan MP. Di antaranya “Penunjuk Jalan
(1974), “Ayah dan Anak” (1975), “Air Mata di Hari Nahar” (1975), “Hari Ke
Delapan” (1976), “Pakaian” (1977), “Perintah” (1979). Hadjid Hamzah
(saudara kandung Adjid Hamzah) juga termasuk pengarang yang cukup
produktif. Beberapa karyanya juga terbit di SM dan MP, di antaranya
“Matahari” (1966), “Dia Bergaun Hitam” (1969), “Kaliurang” (1971),
“Hujan” (1971), “Kosong” (1971), “Angin Kopeng” (1972). Selain itu juga
ada nama Kirjomulyo. Kirjomulyo menulis sejak 1950-an. Hanya saja, meski
menulis beberapa cerpen, ia lebih dikenal sebagai penyair dan penulis drama.
Demikianlah gambaran beberapa pengarang cerpen di Yogyakarta dan
pengarang lain yang banyak berkiprah pada masa Orde Lama (sebelum 1966)
tetapi masih aktif pada masa Orde Baru (1970-an).
Gambaran berikut merupakan klasifikasi dari sejumlah pengarang
yang tergolong produktif dan kurang produktif. Pengarang yang tergolong
produktif di antaranya Siti Nurjanah Sastrosubajo, Imam Ahmadi, Achmad
Munif, M.S. Abbas, Cucu Siti Nurjanah, Moh. Thoha Anwar, M. Hadirin,
Prosiding

433

Abdulhafiz Rafie, Santosa, Suwastinah Md., Enny Sumargo, Anto Hastoro,
Koesworo, Titien Handayani, dan Asmoro. Selanjutnya, pengarang yang
kurang produktif di antaranya, Joko Sulistyo Kahhar, Nasril Zainun, Abbas,
Ahmad Basuni, Sadewa, Hasmana, Hawari Siddik, Dandung, Mohtar
Pabottinggi, Mohammad Sjoekoer, Ikranegara, Hartono, Prayoga, Moh. Joko
Santosa, Mira Sato, Siswandani, Achmad Roosni Noor, Idrus Ismail,
Machmud Taimur, Abdul Hadi, Tukimin, Iman Soetrisno, Eddy Santosa,
Krisna Anam, Berliantinah, Kencana Mina, Slamet Haditomo, Yoyok Aryo
Tedjo, Jun Harningsih, Sri Ajati, Achmad Abdullah, Acum Syubanhur
Ahmad, Santi Santosa, Nushrat Abdul Rahman, Ali Hasan Sy’raji, Sururi,
Masykur Wiratmo, Ketut Aryana, Arno SW, Tuti Nonka, Abdul Karim
Husain, Munawar Sjamsudin, Abdulhafiz Rafie, Leo Amelia, Bambang Indra
Basuki, Zabdi Mustafa, Nismah Arief, Soejanto Js., Moh. Sidik Sadali,
Darwis Khudori, Ahmad Rivai Nasution, M. Arifin Siregar, Amri Sanur,
Masyotoh Noor, Hana Eli, Abud, Amru Hm., Zainal Abdi, Al Fauzi Sofi
Salam, Ketut Aryana, Muchlas Am., Hendro Wijatno, Putu Arya Tirtawirya,
dan Surjanto Sastroatmodjo.
Banyaknya pengarang yang kurang produktif tersebut disebabkan
oleh beberapa hal. Pertama, mereka masih tergolong penulis pemula sehingga
karyanya yang terbit merupakan satu-satunya karya pilihan berdasarkan
seleksi redaktur penerbit. Kedua, para pengarang itu secara formal bukan
sebagai penulis cerpen sehingga ia lebih produktif menulis karya lain (puisi,
novel, atau drama). Ikranegara tergolong kurang produktif menulis cerpen.
Pada masa itu hanya ditemukan satu cerpennya, yaitu “Setelah Pintu-Pintu
Kurungan Dibuka” (SM, Juni 1967). Ia memang bukan cerpenis. Karena itu,
ia lebih dikenal sebagai dramawan dan penyair. Karyanya berupa drama,
misalnya “Topeng” (1972), “Saat-saat Drum Band Mengerang-ngerang”
(1973), “Para Narator”, “Gusti”, “Rang Gni”, “Ssst”, “Prit”, “Ahim Pongpong”, dan “Tok Tok Tok”. Sedangkan kumpulan puisinya “Angkat Puisi”
(1979).
Selain Ikranegara, Abdul Hadi pun kurang produktif sebab ia memang
lebih dikenal sebagai penyair. Pengarang kelahiran Madura 1946 ini pernah
menjadi redaktur Gema (majalah mahasiswa UGM) dan Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta (1967—1970). Tahun
1971 pindah ke Bandung menjadi redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia
edisi Jawa Barat sampai 1973. Pada periode ini karya cerpennya hanya
ditemukan di SM berjudul “Raja yang Bijaksana” (Feb 1968). Hal serupa
terjadi juga pada pengarang seperti Linus Suryadi dan Rendra. Keduanya,
walaupun kadang menulis cerpen, tetapi lebih produktif menulis puisi. Oleh
sebab itu, mereka lebih dikenal sebagai penyair.
Tampak bahwa cerpen Indonesia di Yogyakarta pada masa itu pun
Prosiding

434

ditulis untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu, misalnya, sahabat,
kekasih, adik, kakak, bapak dan ibu, dan sebagainya. Pencantuman keterangan kepada siapa cerpen itu ditujukan dimaksudkan untuk menarik
perhatian pembaca agar mau membaca dan memahami perasaan (pengarang)
melalui cerpen itu. Hal itu biasanya diletakkan di bawah judul cerpen atau di
akhir baris (bagian bawah). Cerpen yang mencantumkan model penulisan
jenis ini, di antaranya, “Setelah Pintu-pintu Kurungan Dibuka” (Titip salam
untuk N.L.’Etta) karya Ikranegara (SM, Juni 1967), “Ramalan” (Buat Rekanrekan di SMA II M) karya Rusly S. Purma (MK, 4 Okt 1972), “Beta” (Buat
Papa, Mama, dan Beta) karya Hendro Wiyanto (MP, 31 Agt 1980),
”Menentang Matahari” (Buat Ibunda, di Kota M) karya Susilomurti (MP, 10
April 1966), “Aku Akan Kembali” (Dik Enny, cerita ini untukmu) karya Siti
Nurjanah Sastrosubagjo (MP, 27 Agt 1967), “Akhir Dari Segalanya” (Tersangkut salam buat orang tercinta) karya Tut Sugyarti Sayoga (MP, 3 April
1966), “Sebuah Cerita Buat Chambaly” (Titip salam manis pada suamiku
tercinta) karya Koen Brotosasmito (MP, 14 Mei 1967), “Awan Tidak Selalu
Hitam” (Dede, Kau boleh baca) karya Budi Santosa (MP, 25 Mei 1969),
“Awan Menyibaklah” (Untuk Si Kombor) karya Krisna Anam (MP, 31 Agt
1969), “Di Ujung Kegelapan” (Buat Bunda tercinta) karya Abimanyu (MP,
22 Maret 1970), “Suara” (Untuk Roberto) karya Yoyok Aryo Tedjo (MP, 17
Okt 1971), dan “Di Suatu Saat Nanti” (Buat Kamu) karya Titien Handayani
(MP, 10 Feb 1980).
Beberapa pengarang cerpen Indonesia yang pernah memperoleh
hadiah sastra pada masa itu, di antaranya, Kuntowijoyo, memperoleh hadiah
dari majalah Sastra lewat cerpennya “Di Larang Mencintai Bunga-Bunga”
(1968), Wildan Yatim, meraih hadiah dari Horison untuk cerpen “Surau
Baru” (1969), Djajanto Supra, meraih hadiah Sayembara Penulisan Cerpen
majalah Sastra lewat cerpen “Binatang-Binatang” (1969), dan A.A. Navis,
memperoleh hadiah sastra dari Femina untuk cerpen “Kawin” (1979).
Pemerolehan hadiah sastra oleh beberapa pengarang tersebut membuktikan
bahwa cerpen yang ditulis para pengarang yang berkiprah di Yogyakarta
telah dapat diperhitungkan kualitasnya serta diakui keberadaannya dalam
kancah sastra Indonesia pada umumnya.
4.3 Sistem Penerbit
Pada masa awal Orde Baru cerpen Indonesia di Yogyakarta sebagian
besar masih diterbitkan di media massa. Sistem demikian memang agak
murah biayanya karena hanya memberikan honorarium penulisan seperti
halnya penulisan artikel di surat kabar atau majalah. Tentu saja setiap media
mempunyai standar sendiri dalam memberikan honorarium kepada penulis.
Di samping itu pembacanya cepat terjangkau dan jumlahnya cukup banyak
Prosiding

435

sesuai dengan oplah media yang memuatnya. Memang tidak semua pembaca
media itu akan membaca cerpen yang dimuat di dalamnya. Akan tetapi, dapat
diperkirakan bahwa pembacanya cukup banyak meskipun mereka bukan
pembaca yang aktif.
Beberapa media (surat kabar) di Yogyakarta memuat cerpen pada
hari-hari tertentu. Hari-hari yang dimaksud biasanya jatuh pada hari Minggu.
Media massa mingguan secara tetap juga memuat cerpen sebagai salah satu
rubriknya. Surat kabar Masa Kini, misalnya, yang merupakan kelanjutan
Mercu Suar memuat cerpen seminggu sekali setiap Rabu. Harian terbitan
Yayasan Mercu Suar itu terbit pertama tahun 1966 dengan motto
“Melaksanakan Pancasila dan Dakwah”. Pada Rabu, 5 Januari 1972, Mercu
Suar berganti nama menjadi Masa Kini. Dalam Masa Kini ditambahkan
rubrik “Pos Konsultasi” untuk menjawab dan membimbing penulisan
cerpen/sajak. Format dan teknik penulisan dibahas secara luas dalam rubrik
tersebut. Dengan cara demikian surat kabar itu telah bertindak sebagai
pengayom para penulis yang mengirimkan naskahnya. Tepat pada saat
peralihan nama menjadi Masa Kini tampil cerpen “Lagu Malam” karya Moh.
Harijadi. Media ini menempatkan cerpen bersama dengan puisi di bawah
rubrik ”INSANI: Lembar Kreasi dan Aspirasi” yang sekaligus menampung
dan mengekspresikan aspirasi anggota INSANI CLUB.
Harian Masa Kini memang bermoto sebagai harian independen.
Pimpinan redaksi (Ahmad Basuni) dan stafnya adalah para aktivis Muhammadiyah. Oleh karena itu, sedikit banyak Muhammadiyah memiliki andil
sebagai pengayom. Kepengayoman Muhammadiyah di situ tidak harus
terlibat langsung dalam pendanaan, pengayoman moral pun sangat diperlukan
untuk keberadaan media massa. Keindependenannya itu merupakan langkah
mengantisipasi situasi setelah 1965 yang cenderung terjadi depolitisasi.
Berbagai media yang sebelumnya merupakan corong politik partai tertentu
mulai melepaskan diri menjadi media massa yang bebas. Dengan demikian,
mereka bebas berekspresi tanpa harus memikirkan induknya.
Media lainnya, Pelopor Jogja, terbit 4 halaman dengan motto “Koran
Nonpartai Tanpa Tedeng Aling-Aling” yang diterbitkan Yayasan Pelopor
Pancasila. Pimpinan redaksi koran yang dicetak oleh PD Percetakan “Radya
Indria” itu ialah Brigjen H.R. Soegandhi, seseorang yang ada hubungan
dengan TNI AD. Pernyataan tersebut didasari fakta bahwa pada waktu
Brigjen H.R. Soegandhi menempati posisi Kepala Dinas Penerangan
Angkatan Darat yang sedang gencar-gencarnya menghantam kekuatan
komunis dan kelompok kiri. Oleh karena itu, sangat logis jika TNI AD
sebagai pengayom (dana maupun perlindungan) meskipun tidak disebutkan
secara eksklusif. Demikian pula aktivitas staf redaksi Jussac M.R.
Wirosoebroto juga dekat dengan TNI AD. Buktinya, dalam sebuah kegiatan
Prosiding

436

operasi inteligen dia dilibatkan untuk kepentingan TNI AD.
Pelopor Jogja yang terbit 7 kali seminggu itu menempatkan rubrik
SABANA sebagai rubrik “sastra dan seni” dan muncul setiap Rabu. Rubrik
ini diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Isinya berkisar pada filsafat, seni,
kronik, budaya, cerpen, dan puisi. Sejak 2 Februari 1969 rubrik SABANA
yang muncul setiap Rabu berpindah ke hari Minggu. Kecuali rubrik
SABANA, Pelopor Jogja edisi Minggu juga menyediakan rubrik “PERSADA STUDI CLUB asuhan Kak Par” yang memuat puisi, berita diskusi, dan
kontak surat antara redaksi dengan para penulis. Telah diuraikan di depan
bahwa Umbu Landu Paranggi bersama Ragil Suwarno Pragolapati telah
mendirikan sanggar “Persada Studi Klub”. Kelompok PSK tersebut aktif
mengadakan pelatihan dan pembahasan puisi dan karya-karya mereka dimuat
dalam rubrik “PERSADA STUDI KLUB”. Sanggar PSK betul-betul
merupakan tempat berlatih kreatif dan rubrik “PERSADA STUDI KLUB”
merupakan wadah penerbitan hasil kreasi mereka.
Persoalan pengayom yang dilakukan oleh Pelopor Jogja bersifat
politis dan kultural. Artinya, sesuai tujuan dan motto koran tersebut dapat
ditangkap sikap kepengayoman politik yang berhubungan dengan Pancasila
dan Ampera. Sistem pemberitaan redaksi sudah terarah untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan Pancasila yang sempat digoyahkan
oleh pemberontakan G 30 S PKI pada 1965. Di samping itu, juga ingin
meluruskan dan memurnikan implementasi Pancasila sesuai dengan interpretasi kelompok otoritas dalam Angkatan Darat. Sesuatu yang tak kalah penting
adalah memberikan pengayoman kepada masyarakat untuk dapat menikmati
kehidupan yang sejahtera sesuai amanat penderitaan rakyat. Pemerintah
diharapkan dapat bertindak sesuai cita-cita kemerdekaan untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pergolakan politik harus segera diakhiri karena
rakyat sudah cukup lama menderita. Pembangunan dan pengembangan
ekonomi harus mendapatkan perhatian prima agar masyarakat adil makmur
dan sejahtera dapat segera dinikmati oleh bangsa Indonesia.
Pengayoman yang bersifat kultural itu terlihat dengan jelas pada
kepedulian Pelopor Jogja menyediakan rubrik khusus sastra, budaya, dan
seni. Di samping itu, kesungguhan redaksinya membina kader-kader
sastrawan muda lewat PSK merupakan langkah nyata dalam mengayomi
pengarang. Anggota PSK diberi kebebasan berlatih, berdiskusi, dan berekspresi untuk dapat membangun komunitas sastrawan (budayawan). Karyakarya mereka dapat dimuat dalam Pelopor Jogja sehingga pemikiran mereka
dapat sampai ke masyarakat luas. Namun, perjalanan Pelopor Jogja tidak
mulus. Akibat situasi pendanaan, persaingan bisnis, iklan yang tidak lancar
menyebabkan Pelopor Jogja mengubah jadwal penerbitannya dari 7 kali
seminggu menjadi sekali seminggu dengan judul Mingguan Pelopor Jogja.
Prosiding

437

Namun, upaya itu tidak dapat menolongnya sehingga pada 1980-an media itu
berhenti terbit.
Minggu Pagi dengan moto “Enteng Berisi” mengarah pada penyajian
bacaan untuk masyarakat luas sebagai bacaan ringan. Minggu Pagi diayomi
oleh Kedaulatan Rakyat. Pada awalnya Minggu Pagi terbit dalam bentuk
majalah. Namun, perkembangannya sebagai usaha bisnis dirasakan kurang
memberikan keuntungan yang signifikan. Oleh karena itu, sejak tahun 70-an
Minggu Pagi terbit dalam bentuk tabloit. Memang ada kecenderungan mulai
1970-an muncul berbagai tabloit terbitan Jakarta dan kota-kota lainnya.
Pengubahan Minggu Pagi dalam bentuk tabloit itu menyebabkan ia dapat
bertahan sampai kini. Manajemen baru dan tampilnya orang-orang muda
dalam jajaran redaksi dapat meningkatkan oplah Minggu Pagi. Sampai saat
ini Minggu Pagi merupakan bacaan “enteng dan berisi” yang dipoles oleh
redaksinya dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Sementara rubrik
budaya terus dipertahankan sebagai wadah tulisan para sastrawan dan
budayawan. Seni sastra yang selalu tampil adalah cerpen dan puisi. Penulispenulis ternama seperti Motinggo Boesye, Idrus, Nasjah Jamin, Eny
Sumargo, Adjid Hamzah, dan Mayon Sutrisno sering muncul bersama
karyanya. Yang menarik juga ialah Minggu Pagi menampilkan ruang khusus
untuk remaja MP. Dalam ruang tersebut terjadilah komunikasi dan
pembimbingan atas penulisan cerpen maupn sajak-sajak remaja. Di situlah
kelihatan niat MP sebagai pengayom kepada calon-calon penulis yang kelak
menjadi penulis yang dapat diandalkan dalam percaturan sastra Indonesia.
Kalau Muhammadiyah secara tidak langsung memberikam pengayoman pada Mercu Suar/Masa Kini, ternyata secara langsung memberikan
pengayoman pada majalah Suara Muhammadiyah. Mottonya adalah “Pembawa Cita Persyarikatan dan Dakwah Islamiyah”. Majalah Suara Muhammadiyah secara rutin memuat cerpen dalam setiap penerbitannya. Masa
penerbitan yang sudah lama memungkinkan majalah tersebut telah mengayomi sejumlah pengarang cerpen Indonesia. Pengayoman tersebut berupa
penerbitan karya dan sekaligus memberikan honorarium bagi penulis. Baik
majalah maupun surat kabar di Yogyakarta memang mempunyai andil besar
bagi kehidupan cerpen di Yogyakarta. Penyediaan lahan pemuatan dan
pemberian honorarium jelas merupakan langkah menarik dalam rangka
bentuk pengayoman. Untuk kehidupan media tersebut lebih banyak bergantung pada kemampuan pendanaan dari penerbit (pengayom) dan juga dari
pelanggan. Sebab, iklan tidak terlalu besar porsinya sehingga dana yang
masuk dari iklan yang mestinya dapat menopang kehidupannya ternyata
belum dapat diandalkan.
Majalah Pusara yang muncul sejak 1933 merupakan media yang
diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa sebagai pengayomnya.
Prosiding

438

Mottonya berbunyi ”Majalah Persatuan Taman Siswa” yang berisi berita,
artikel kebudayaan, dan tulisan ilmiah populer. Rubriknya terbagi atas
pendidikan, kebudayaan, dan budi pekerti. Rubrik khusus cerpen tidak
tersedia, tetapi di sana tersedia rubrik puisi. Kadang-kadang muncul pula
tulisan yang berkaitan dengan kritik sastra dan drama. Majalah ini tersebar di
kota-kota yang ada cabang Taman Siswanya. Memang penyebaran Pusara
mengandalkan mekanisme organisasi Taman Siswa. Majalah bulanan itu
dapat berjalan rutin karena pendanaan yang tetap dari Majelis Luhur Taman
Siswa. Di samping itu, pendanaan masih ditambah dengan masuknya uang
langganan dari pelanggan. Penerbitan sekitar 2500 eks merupakan oplah yang
cukup kuat untuk sebuah penerbitan pada waktu itu. Pusara pernah berhenti
terbit tahun 1966-1968 karena peristiwa G 30 S/PKI. Tahun 1969 terbit lagi
dengan orientasi dan sasaran yang sesuai dengan misi Taman Siswa.
Bernas juga mempunyai akses pada perkembangan cerpen di
Yogyakarta. Bernas merupakan perubahan nama dari Suluh Indonesia dan
Suluh Marhaen. Koran itu menyediakan ruang (hari Minggu) untuk sastra
dan budaya di bawah asuhan Suryanto Sastroatmojo, Rudatan, dan Linus
Suryadi. Pada awalnya Suluh Indonesia berubah nama menjadi Suluh
Marhaen, sebuah koran yang diayomi oleh kekuatan politik PNI. Oleh karena
itu, banyak penulis yang dulu tergabung dalam Lembaga Kebudayaan
Nasional dibesarkan oleh koran tersebut. Dalam perkembangannya, ketika
koran berubah nama menjadi Bernas, bentuk pengayoman berpindah dari
pengayoman politik menjadi pengayoman bisnis. Orang tertentu (Kusfandi)
merupakan seorang nasionalis yang bermodal yang kemudian mengelola
Bernas. Orientasinya berubah menjadi orientasi bisnis dan rubrik sastra
dimunculkan sebagai sesuatu yang diperhitungkan dan dibutuhkan oleh
masyarakat.
4.4 Sistem Pembaca
Sebagaimana terjadi pada sistem makro sastra Indonesia umumnya,
ketidakseimbangan sistem makro sastra Indonesia di Yogyakarta pada masa
awal Orde Baru antara lain juga disebabkan oleh sulitnya membangun
masyarakat yang cinta (senang membaca) karya sastra. Kesulitan membangun masyarakat yang senang membaca sastra tersebut barangkali
dipengaruhi oleh masih berurat-berakarnya budaya oral (lisan) di dalam
masyarakat kita (Indonesia). Di tengah masa “represif” pada masa awal Orde
Baru itu sebagian besar masyarakat masih dilanda oleh persoalan mendasar
yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, orang cenderung
tidak tertarik pada bacaan, apalagi bacaan sastra yang masih dianggap
sebagai pemborosan waktu belaka.
Kenyataan itulah yang menyebabkan karya sastra tersingkir dari
Prosiding

439

masyarakat (pembaca) sehingga yang terjadi karya sastra hanya dibaca oleh
kemunitas kecil, yang biasanya para pengarang, kritikus, atau sekelompok
kecil mahasiswa dan guru sastra. Itu sebabnya, sastra tidak laku di pasaran,
ruang-ruang sastra dan budaya pun jarang muncul dalam surat kabar/majalah.
Konsekuensinya, penerbit enggan menerbitkan buku-buku karya sastra.
Kalau ada penerbit bersedia menerbitkan buku sastra, biasanya, pengarang
yang seharusnya menerima fee seusai kontrak justru harus rela tidak
menerima apa-apa. Kota Yogyakarta memang merupakan kota budaya dan
pendidikan, tetapi realitas menunjukkan bahwa predikat tersebut tidak
menjamin masyarakat yang berpendidikan membaca dan menyukai karya
sastra.
Berbagai upaya untuk meraih sebanyak-banyaknya pembaca sesungguhnya telah dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya oleh penerbit melalui
pemasangan iklan atau oleh beberapa media cetak melalui penawaran
berlangganan dan penyediaan rubrik sastra-seni-budaya. Akan tetapi, upaya
tersebut tampak tidak mengubah kondisi lemahnya minat baca sastra. Kalau
dirasakan, ini memang bagai lingkaran setan, dalam arti sisi mana yang lebih
dulu harus ditangani sulit ditentukan. Akan tetapi, satu hal yang dirasa
menjadi penghambat kemungkinan “hubungan cinta” antara pembaca dan
karya sastra --baik di Yogyakarta khususnya maupun di Indonesia pada
umumnya-- adalah lemahnya sistem kritik.
Seperti diketahui bahwa tradisi kritik sastra belum berkembang
dengan baik. Kalau dilihat di sekitar produksi sastra, misalnya, baik dalam
bentuk buku maupun yang dimuat di media massa, kehadiran karya sastra
(puisi, cerpen) jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan karya kritik.
Contoh nyata misalnya dapat diamati pada Mercu Suar (Masa Kini), Minggu
Pagi, Gadjah Mada dan Gama (sebelum mati), Pelopor, atau Basis. Di dalam
berbagai media itu hampir dapat dipastikan selalu memuat karya puisi,
bahkan sampai tiga atau empat buah, tetapi kritik tentang puisi hanya sesekali
saja muncul. Kenyataan ini menjadi bukti kuat bahwa kritik sastra memang
kurang berkembang. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa tradisi
membaca sastra belum berkembang.
Sebagaimana diketahui setiap penerbitan (koran, majalah) selalu
mengimplikasikan adanya sekelompok (pembaca sasaran) tertentu. Demikian
juga dengan beberapa penerbitan yang hidup di Yogyakarta pada kurun
waktu tahun 1966 hingga 1980 seperti Gadjah Mada, Gama, Suara
Muhammadiyah, Basis, Pelopor, Masa Kini, dan sebagainya. Oleh karena
Gadjah Mada dan Gama diterbitkan Dewan Mahasiswa UGM, jelas bahwa
sasaran pembaca dua majalah tersebut adalah sekelompok masyarakat
intelektual atau calon-calon intelektual di dalam dan di sekitar kampus.
Memang dua majalah kampus itu dipasarkan bebas kepada masyarakat,
Prosiding

440

bahkan memiliki banyak agen di berbagai kota di Indonesia, tetapi jika dilihat
dari sajian-sajiannya tampak bahwa pembaca majalah itu bukan masyarakat
kelas bawah atau orang kebanyakan. Apalagi para pengelola, redaktur, dan
penulis di majalah tersebut adalah sekelompok kaum muda yang berpikiran
maju; dan beberapa orang dapat disebutkan, misalnya, Budi Darma, Subagio
Sastrowardoyo, Rendra, Wiratmo Sukito, Muhardi, Amir Prawiro, dan
sebagainya. Bahkan, sasaran pembaca kaum intelektual juga dapat dilihat dari
suatu kenyataan bahwa majalah ini memiliki beberapa perwakilan (semacam
reporter) di luar negeri.
Sementara itu, Suara Muhammadiyah berisi tulisan-tulisan yang
bernapas Islam karena majalah itu diterbitkan oleh Muhammadiyah. Hal ini
menunjukkan bahwa majalah itu sengaja ditujukan kepada pembaca (masyarakat pemeluk) Islam. Seperti halnya Gadjah Mada dan Gama, majalah
Suara Muhammadiyah juga dipasarkan bebas kepada masyarakat sehingga
diasumsikan majalah dwimingguan itu akan dibaca oleh masyarakat umum,
tetapi jika ditilik sajian-sajiannya majalah tersebut barangkali hanya menarik
minat dan perhatian para pembaca Islam. Hal serupa tampak pada Masa Kini
karena penerbitan harian ini juga didukung oleh Muhammadiyah. Meskipun
penampilan harian ini tampak bersifat umum, secara implisit jelas para
pembacanya sebagian besar adalah muslim. Kenyataan itu terlihat pada
sajiannya yang memberi porsi lebih luas bagi tulisan-tulisan yang bernuansa
Islam.
Agak berbeda dengan beberapa penerbitan di atas, Basis memiliki
pembaca tersendiri yang umumnya terdiri kaum ilmuwan-rohaniawan. Hal ini
terlihat pada pemuatan tulisan yang lebih memberi peluang pada berbagai
bidang ilmu (sosial-budaya-agama) dan filsafat. Majalah ini berlabel
“majalah kebudayaan umum” dan dipasarkan bebas pula kepada masyarakat.
Akan tetapi, dilihat sajiannya terasa majalah kebudayaan itu bukan konsumsi
remaja atau anak-anak. Kenyataan tersebut berbeda lagi dengan mingguan
Pelopor. Majalah ini diterbitkan dengan maksud untuk “menyatukan”
berbagai-bagai kelompok yang pada masa itu terjadi ketidaksepahaman. Oleh
karena itu, majalah yang berlabel “mingguan politik populer” ini memiliki
jangkauan pembaca yang lebih beragam, dalam arti tidak dibatasi oleh isme,
paham, atau ideologi tertentu. Jangkauan pembaca yang sama agaknya juga
tampak pada harian Bernas.
Setelah diketahui siapa sasaran pembaca terbitan-terbitan tersebut,
akhirnya dapat diketahui pula siapa sasaran pembaca karya sastra yang
dimuat di dalamnya. Karya sastra (puisi, cerpen) yang dimuat di Gadjah
Mada dan Gama, misalnya, lebih bersifat umum dan berciri intelek karena
dua majalah itu lahir dan dikelola oleh kaum muda intelektual (para aktivis
kampus UGM). Oleh sebab itu, dalam rubrik atau lembaran kebudayaan
Prosiding

441

“Pelangi” majalah Gadjah Mada dan lembaran seni-sastra “Bunga dan
Bintang” majalah Gama jarang ditemukan karya-karya yang tendensius atau
“memihak” pada isme tertentu. Kalaupun ditemukan karya semacam itu,
porsinya pun sangat sedikit. Kecenderungan itu lebih diperkuat oleh banyak
munculnya karya-karya terjemahan dari sastra Barat.
Hal tersebut berbeda dengan karya-karya sastra yang dimuat di
Suara Muhammadiyah. Terasa kental ruang seni-sastra dalam Suara Muhammadiyah sering menampilkan karya yang tendensius, khususnya yang
bernuansa religius-Islami. Hal ini wajar karena majalah itu memang diayomi
oleh sebuah organisasi sosial-keagamaan (Muhammadiyah) yang berasaskan
Islam; apalagi majalah ini sejak semula dimaksudkan sebagai wahana
membangun kesadaran umat (manusia) atau mengembangkan iman, ilmu,
dan amal. Hal yang sama terlihat pada Masa Kini. Karya-karya yang muncul
dalam rubrik “Kulminasi” dan “Insani” harian ini didominasi oleh karyakarya yang bernapaskan Islam. Jadi, jelas bahwa pembaca karya-karya sastra
yang dimuat di dalamnya adalah mereka yang sepaham dengan itu (beragama
Islam).
Majalah Basis agaknya memiliki sedikit kekecualian. Meski dikelola
oleh sekelompok ilmuwan di bawah