PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN LANDASAN FILO

PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
IPS (ILMU PENGETAHUAN SOSIAL)
DI INDONESIA
Posted on Juni 12, 2012 by dianascyber
Standar
1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan sosial
masyarakat yang diseleksi menggunakan konsep-konsep ilmu sosial yang digunakan untuk
kepentingan pembelajaran. Keadaan sosial masyarakat selalu mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, dinamisasi kemajuan diberbagai bidang kehidupan harus dapat ditangkap dan
diperhatikan oleh lembaga pendidikan yang kemudian menjadi bahan materi pembelajaran,
sehingga bahan pelajaran secara formal dapat dituangkan dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas, landasan
filosofis yang digunakan haruslah melihat kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Kondisi
masyarakat yang terjadi saat ini adalah masyarakat yang senantiasa mengalami perubahanperubahan yang disebabkan adanya interaksi sosial baik antar individu nmaupum kelompok.
Dalam mencermati perubahan tersebut, maka kurikulum harus memiliki landasan filosofis
humanistik, dimana Ilmu Pengetahuan Sosial menjunjung tinggi sifat-sifat dasar kemanusiaan.
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi kedalam
kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold direktur sekolah

tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Latar belakang dimasukannya social

studies ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris yang pada waktu
itu tengah mengalami kekacauan akibat Revolusi Industri yang melanda Negara itu.
(http://massofa.wordpress.com/2010/12/09/latar-belakang-lahirnya-ips-di-indonesia/(27
September 2011) diakses jam 20.28 wita.)
Berbeda dengan fenomena di Amerika Serikat pasca perang saudara antara utara dan selatan
atau dikenal perang budak (1861 – 1865) dimana dihapuskannya sistem perbudakan dan dan
tidak ada lagi rasialisme atau perbedaan warna kulit, orang kulit putih dengan orang negro dan

Indian bersatu sebagai penduduk baru di Amerika Serikat, serta menjadikan pluralistik – multi
etnik, sehingga semakin sulit pada awalnya membangun kebangsaan di Amerika Serikat dalam
kondisi multi etnik untuk menjadi suatu bangsa.
Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan mencari pola baru untuk menjadikan sistem
pendidikan yang menghormati keberadaan multi – etnis di Amerika Serikat, salah satu cara yang
ditempuh adalah memasukan social studies kedalam kurikulum sekolah di Negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke
dalam kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat, adapun komponen

formula awal social studies ketika awal kelahirannya di Amerika Serikat terdiri dari mata
pelajaran sejarah, geografi dan civics (kewarganegaraan).
Social studies dalam istilah Indonesia disebut Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dalam
proses eksistensinya terdapat dalam “The National Herbart Society papers of 1896 – 1897”
menegaskan, bahwa social studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use
(upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik / mendidik). Dengan hadirnya
social studies masuk pada kurikulum di sekolah, ada juga di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat dan di Inggris untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen “Statement of the Chairman
of Commite on Social Studies” yang dikeluarkan oleh Comittee on Social Studies (CSS) tahun
1913.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific field to utilization of
social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam
pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat
manusia). Upaya untuk melestarikan program social studies dalam kurikulum sekolah, maka
beberapa pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat
sekolah mengembangkan social studies bisa diaplikasikan di tingkat sekolah dengan membentuk
organisasi profesi social studies, akhirnya pada tahun 1921 berdirilah “National Council for the
Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ), sebuah organisasi professional yang secara khusus
membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah,

serta kaitannya dengan disiplin ilmu – ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai
program pendidikan syntectic. (http ://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalahpendidikan-ips.html (27 Sept 2011) diakses jam 20.44.wita.)
1. Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Dengan latar belakang perkembangan kehadiran Social Studies diatas dan memandang perlunya
pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) bagi warga negara sebagai apresiasi dari Social
studies terus bertambah ke berbagai negara, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan berbagai
Negara Eropa, dan kemudian berkembang ke negara Australia dan Asia termasuk Indonesia,
maka muncul pertanyaan mendasar dalam tulisan ini diantaranya : (1) Bagaimana
perkembangan Social Studies atau Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia? dan (2) Landasan filosofis apa saja yang dipakai di Indonesia sebagai
konsep dasar pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dapat dijadikan konsep kurikulum di

tingkat jenjang persekolahan di Indonesia ?. Kedua permasalahan tersebut menjadi dasar
permasalahan dalam tulisan ini.
Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan IPS MIPS
505 Progam Studi Magister Pendidikan IPS Program Pascasarjana Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin yang dibina oleh Bapak Dr. Herry Porda Nugroho Putro, M.pd. Selain
itu tujuan penulisan ini adalah untuk mengenal, memahami dan mendalami hakekat konsep,
pengertian, dasar filosofis dan proses belajar – mengajar IPS, sehingga akan bermanfaat ketika
diaplikasikan bertugas di lembaga pendidikan masing-masing.

1. Pembatasan Masalah Pembahasan
Tulisan ini lebih berorientasi pada pembahasan masalah perkembangan Social Studies di negara
asalnya hingga diadopsi ke Indonesia dan memaparkan landasan Filosofis Pendidikan IPS,
dimana kurikulum yang dikembangkan pemerintah Indonesia akan diaplikasikan pada semua
jenjang dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan lanjutan di tingkat atas. Di
luar peermasalahan tersebut diatas tidaklah menjadi bahasan utama, tetapi demi perbaikan
penulisan tidak menutup kontribusi, saran – saran dan pendapat, serta kritik konstruktif, agar
terdapat persepsi yang sama dalam memahami konsep perkembangan dan landasan filosofis
Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) khususnya di Indonesia.
1. PERKEMBANGAN KURIKULUM DAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA
1. Perkembangan Social Studies Hingga Pendidikan IPS di Indonesia
Setelah berdirinya National Council for the Social Studies (NCSS) pada tahun 1921 hanya
bertugas sebagai organisasi yang idealnya memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan
kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS (Comitte on Social Studies ) tahun 1913
sebelumnya. Barulah pada tahun 1935 lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS yang
menegaskan “ Social Sciences as the core of the curriculum “ atau kurikulum IPS bersumber dari
ilmu-ilmu sosial.
Perkembangan selanjutnya pengertian social studies yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah
mengenai definisi social studies yang dikemukakan oleh Edgar Wesley (1937) yang menyatakan
“the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi tersebut

menjadi popular saat itu yang kemudian dijadikan definisi resmi mengenai social studies oleh
“the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” dengan
demikian NCSS perlu membuat pekerjaan rumah tentang definisi resmi pula yang
menghantarkan Social Studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup disiplin ilmu yang
semakin luas, khususnya dalam bidang pendidikan dikemudian hari.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, misalnya pada tahun 1947 kurikulum pada saat
itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum yang ada saat itu masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan

kolonial Belanda. Keadaan kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendidikan di awal
kemerdekaan haruslah membangun semangat kebangsaan dan semangat patriotisme.
Konsep pendidikan yang essensial saat itu untuk SR (Sekolah Rakyat) adalah membaca, menulis
dan berhitung. Mata pelajaran ilmu bumi diajarkan pada kelas 3, sejarah mulai diajarkan pada
kelas 4, ilmu alam baru diajarkan pada kelas 5 dan kelas 6. Mata pelajaran di SMP seperti
bahasa, ilmu pasti,pengetahuan alam, pengetahuan sosial, dan ekonomi. Siswa yang naik kelas
III dikelompokan, kelas III A (kelompok sosial dan ekonomi) dan kelas III B (Kelompok Ilmu
Pasti dan Pengetahuan Alam).

Tahun 1952 kurikulum di Indonesia diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini
penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dan sudah mulai mengarah pada suatu sistem
pendidikan nasional. Kurikulum 1952 diarahkan pada setiap rencana pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Tahun 1964 pemerintah Orde Lama kembali menyempurnakan kurikulum pendidikan di
Indonesia. Kurikulum tersebut dinamakan Rentjana Pendidikan 1964, pokok – pokok pikiran
dalam kurikulum tersebut bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapatkan
pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar, sehingga pembelajaran
dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional,
artistik dan jasmani.
Kurikulum tahun 1968, merupakan kurikulum pembaharuan dari kurikulum tahun 1964, yakni
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kurikulum
1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati,
kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti,
dan keyakinan beragama.
Seiring dengan perkembangan masuknya istilah Social Studies ke dalam acuan kurikulum
pendidikan di Indonesia di awal tahun 1970 –an telah ditawarkan konsep istilah tersebut. Pada
pertemuan ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun

1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga)
istilah untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah
Pengetahuan sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga, Ilmu Pengetahuan Sosial.
A.1. Aplikasi Pendidikan IPS dalam Kurikulum 1975 di Indonesia
Kurikulum 1975 adalah kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan proses
dan prosedur yang didasarkan pada teori pengembangan kurikulum. Meskipun demikian
kurikulum 1975 masih dikembangkan berdasarkan pemikiran orientasi filosofis pendidikan
keilmuan yang dominan dan tidak berorientasi kepada pembangunan, walaupun demikian
tidaklah berarti kurikulum 1975 telah melepaskan diri dari npengaruh politik . (S. Hamid Hasan :
2006) dimana situasi pemerintahan saat itu awal pemerintahan Orde Baru.

Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu sosial serumpun atau sejenis digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di

Indonesia disajikan mata pelajaran dan bidang studi atau jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum tahun 1975 merupakan perwujudan dari
perubahan sosial pada pelaksanaan UUD 1945 secara mnurni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan
beragama.
Konsep Pendidikan IPS yang menginspirasi kurikulum 1975 yang menampilkan 4 (empat) profil,
pertama; Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan Kewarganegaraan sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus; Kedua, Pendidikan IPS terpadu untuk SD; Ketiga, Pendidikan IPS
terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep Payung sejarah, geografi dan
ekonomi koperasi; dan keempat , Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran
sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS
(ekonomi dan sejarah) untuk SMEA / SMK.
A.2. Aplikasi Pendidikan IPS kurulum 1984 di Indonesia
Konsep pendidikan IPS dalam pelaksanaan kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975, khususnya dalam aktualisasi materi, masuknya konsep P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai materi pokok PMP (Pendidikan
Moral Pancasila). Pada kurikulum 1984, PPkn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan
dalam (1) Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I s.d. VI; (2) Pendidikan IPS terkonfederasi di
SLTP yang mencakup geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; (3) Pendidikan IPS terpisah di

SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan
Geografi di kelas I dan II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
A.3. Definisi Social Studies dari NCSS tahun 1993
Sejalan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia dan perkembangan zaman di negara maju
khususnya di Amerika Serikat dan negara – Negara Eropa, serta berkembangnya program
pendidikan dan pengajaran Social Studies (pendidikan IPS) yang masuk dalam kurikulum
pendidikan nasional di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia yang sedang
menjalankan kurikulum 1984, maka pada tahun 1993 National Council for the Social Studies
(NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies sebagai kajian yang
terintegrasi dan mencakup ilmu yang semakin luas.

NCSS (National Council for the Social Studies) pada tahun 1993 merumuskan definisi Social
Studies sebagai berikut :
“Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civis
competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study
drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law,
philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content
from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is
to help young people make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a
culturally diverse, democratic society in an interdependent world.”

(http://www.socialstudies.org/standards/execsummary.(30 September 2011) diakses jam 10.27
wita.). atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia definisi tersebut diatas adalah sebagai berikut
:
“Studi sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk
mempromosikan kompetensi sipil. Dalam program sekolah, studi sosial menyediakan
terkoordinasi, studi sistematis menggambarkan atas disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta
konten yang sesuai dari humaniora, matematika , dan ilmu alam. Tujuan utama dari ilmu sosial
adalah untuk membantu kaum muda membuat informasi dan keputusan beralasan untuk
kepentingan publik sebagai warga masyarakat, budaya beragam demokrasi di dunia yang saling
bergantung.”
NCSS menekankan pentingnya pendidikan bagi siswa yang berkomitmen untuk ide-ide dan
nilai-nilai demokrasi, siswa akan terlibat dalam proses intelektual yang aktif pada kehidupan di
masyarakat. Siswa sebagai warga masyarakat untuk menggunakan kemampuan pengetahuan
mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. NCSS memaparkan kurikulum
standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja yang dimusyawarahkan secara
professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum nasional pada tahun 1994. Sejak
saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara sebagai kerangka kerja bagi guru
dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan pembangunan dalam bidang
pendidikan.

A.4. Perkembangan kurikulum sejak 1994, 2004 dan 2006 di Indonesia
Para pakar pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial di Indonesia mulai serius terhadap pendidikan
IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, sehingga upaya memasukan ilmu-ilmu
sosial ke dalam kurikulum sekolah agar lebih jelas lagi. Mengingat tidak semua disiplin ilmuilmu sosial bisa masuk ke dalam kurikulum sekolah dan bisa diajarkan di tingkat sekolah, maka
penyajian ilmu sosial disatukan atau secara terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum
Pendidikan IPS (social studies).
Program pendidikan dasar dan menengah (SD – SMP) penyajiannya terpadu penuh, untuk
pembelajaran IPS ditingkat SMA/ MA dan SMEA penyajiannya secara terpisah antar cabang
ilmu-ilmu sosial, tetapi selalu memperhatikan keterhubungannya antara ilmu sosial yang satu

dengan yang lainnya, terutama jurusan IPS di SMA atau SMEA. Sementara pada tingkat
perguruan tinggi pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultas, seperti
Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fisip. Namun untuk Pendidikan IPS di FKIP / IKIP/STIKIP
yang mempersiapkan calon guru, maka akan diberikan secara interdisipliner dan juga disipliner.
Interdisipliner dimaksudkan adalah karena ilmu yang diperoleh calon guru tersebut nantinya
untuk program pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipiliner adalah ditujukan
kepada calon guru tersebut sebagai guru nantinya yang menguasai ilmu yang diajarkan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Demikian juga kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi,
dan evaluasi pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan
nampak saat diadakan serangkaian Rapat Kerja Nasional Depdikbud tahun 1986 sampai dengan
1989.
Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya antara lain a) perlunya
diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan; (b)
perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan
tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembaharuan kurikulum Pendidikan IPS Tahun 2004 berbasis kompetensi atau dikenal
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS
yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan IPS menurut konsep Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) hakekatnya
Pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan ilmu-ilmu sosial , pendidikan
inquiri reflektif, pembelajaran terpadu, dan pendidikan partisipasi sosial. Dalam
pelaksanaannya, pembelajarannya, pengembangan sumber dan materinya, serta penilainnya
haruslah berbasis pada pendekatan konstruktivisme yang memusatkan siswa sebagai subjek yang
membangun dan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya secara mandiri.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI)

merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa hal yang patut dicermati yaitu :
1.

Keragaman Pelaksanaan

Pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah terdapat keragaman, khususnya keragaman dalam
pelaksanaan di setiap jenjang. Ada sekolah yang melaksanakan sekaligus semua jenjang yaitu di
SD langsung dilaksanakan dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 ; di SMP dari kelas VII sampai
dengan kelas IX; dan di SMA dari kelas X sampai dengan kelas XII. Selain itu ada pula sekolahsekolah yang melaksanakan secara berjenjang perkelas, misalnya di SMP pada tahun 2006
dilaksanakan hanya di kelas VII dan di kelas VIII pada tahun 2007 sedangkan di kelas IX baru
akan dilaksanakan pada tahun 2008.
Begitu pula halnya di SMA, pelaksanaan di kelas X pada tahun 2006, kelas XI tahun 2007, dan
kelas XII baru tahun 2008. Keragaman pelaksanaan tersebut memiliki berbagai alasan. Sekolah
yang melaksanakan KTSP secara keseluruhan pada semua jenjang beralasan agar kurikulum
yang dilaksanakan di sekolah tersebut seragam dan merasa siap untuk melaksanakannya.
Sedangkan sekolah yang melaksanakan secara berjenjang dengan alasan mengkuti peraturan
sebagaimana diatur dalam Permendiknas no. 23 yang mengatakan pelaksanaan KTSP dilakukan
secara berjenjang dan membolehkan bagi sekolah yang siap untuk melaksanakan di seluruh
jenjang. Alasan lainnya adalah ketidaksiapan sekolah-sekolah tersebut untuk melaksanakan
KTSP secara menyeluruh pada semua jenjang.
b. Tugas guru mengajar
Guru yang mengajar IPS baik di SD, SMP dan SMA mengikuti pada pengorganisasian materi
kurikulum IPS. Pengorganisasian kurikulum IPS di SD lebih bersifat terpadu atau integrasi, jadi
pelaksanaan pengajaran IPS di SD dipegang oleh satu orang guru. Perubahan pengorganisasian
materi IPS pada KTSP ini adalah di SMP. IPS di SMP diorganisasikan menjadi IPS Terpadu,
sehingga berimplikasi pada tugas guru yang mengajar. Dalam hal ini bagaimana guru IPS di
SMP mengajar terjadi keragaman. Ada sekolah yang mengajarkan IPS di SMP dipegang oleh
satu orang.
Konsekuensinya, guru tersebut harus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
Pelaksanaan seperti itu beralasan bahwa mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang satu,
bukan mata pelajaran yang dipisah-pisahkan walaupun materinya bersumber dari sejarah,
ekonomi, geografi dan sosiologi. Selain itu ada pula SMP yang mengajarkan IPS, dipegang oleh
beberapa orang guru sesuai dengan disiplinnya, yaitu sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
Jadi pelaksanaan pengajaran IPS dibagi ke dalam empat bidang studi.
Alasan pelaksanaan yang demikian pertama ; untuk pemerataan guru mata pelajaran (sejarah,
ekonomi, geografi dan sosiologi), kedua; pentingnya profesionalisme penguasaan materi oleh
guru. Mata pelajaran apabila diajarkan oleh guru yang bukan disiplinnya akan menjadi kurang

berkualitas, misalnya sejarah diajarkan oleh guru yang berlatar belakang pendidikan geografi
atau sebaliknya. Sedangkan pengajaran IPS di SMA dalam implementasi penugasan guru tidak
terjadi perubahan sebagaimana halnya di SMP, karena pengorganisasian materi IPS di SMA
Kajian Kebijakan Kurikulum MP IPS – 2007 sudah terpisah-pisah secara disiplin. Jadi ada guru
yang secara khusus`mengajar sejarah, ekonomi, geografi dan sosiologi.
1. LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN IPS DALAM KURIKULUM
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bangsa Indonesia dilihat dari latar belakang etnik atau kesukuan merupakan sebaran suku-suku
bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dengan disatukan sebagai bangsa yang mempunyai
latar belakang keaneka ragaman bahasa daerah, budaya dan kearifan lokal yang dimiliki masingmasing etnik. Secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang
majemuk atau heterogenitas multi etnik yang merupakan bagaian dari masyarakat yang
pluralistik.
Dengan kemajemukan masyarakat tersebut pendidikan dan pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) memiliki peran yang strategis baik ditinjau dari segi akademik maupun kepentingan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dilihat dari sisi akademik pendidikan dan pengajaran IPS
dapat membekali anak didik atau siswa pada pemahaman konsep-konsep dasar ilmu –ilmu sosial
sebagai basis dari pendidikan dan pengajaran IPS di jenjang lembaga pendidikan atau
persekolahan.
Melalui pendidikan dan pengajaran IPS siswa diharapkan memiliki bakat dan minat terhadap
ilmu-ilmu sosial dan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang riil ketika mereka tamat pada
jenjang persekolahan tertentu dan dapat hidup berinteraksi dalam lingkungan masyarakat sebagai
insan pembangunan bangsa yang memiliki moral, pekerti yang baik dan mandiri. Keberehasilan
pendidikan dan pengajaran IPS akan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap
pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan dan pengajaran IPS di Indonesia sudah mendapatkan landasan hukum yang kuat
sebagaimana tertuang pada Bab III Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang menegaskan bahwa : ” Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Dengan dasar tersebut diatas pada kurikulum pendidikan dan pengajaran dibawah naungan
Pendidikan Nasional terdapat kebijakan kurikulum mata pelajaran IPS , misalnya Permendiknas
Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi satuan Pendidikan dasar dan Menengah, sedangkan
untuk lembaga pendidikan tinggi melalui surat Dirjen Dikti Nomor 30/DIKTI/KEP/2003, telah
ditetapkan rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah berkehidupan bermasyarakat di
Pergurtuan Tinggi.

Untuk Pendidikan dan Pengajaran IPS pada satuan Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/Mts)
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, termasuk didalamnya kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pengajaran pada satuan pendidikan IPS diberikan
secara terpadu. Pada tingkat SMA/MA pelajaran IPS bermuatan akademis dan masuk pada
kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
1. Kajian Teoritis Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan IPS
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar
memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsif – prinsif
pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan
dipengaruhi oleh dua hal pokok (1) Cita-cita masyarakat dan (2) kebutuhan peserta didik yang
hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai filsafat Pendidikan harus dilaksanakan dalam prilaku
kehidupan sehari-hari. Dari sekian banyak alternatif landasan utama dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan salah satunya adalah Landasan Filosofis.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis
sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPS” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum 2007, Depdiknas RI
dirincikan sebagai berikut :
(1) Esensialisme
Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan bahwa kurikulum harus menekankan pada
penguasaan ilmu. Aliran ini berpandangan bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan
keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin
ilmu. Tujuan dari aliran esensialisme adalah menciptakan intelektualisme. Proses belajarmengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan penguasaan disiplin
ilmu. Penerapan pembelajaran ini lebih banyak berperan pada guru jika dibandingkan dari siswa.
Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme adalah sekolah yang mampu
mengembangkan intelektualisme siswa. Implementasi mata pelajaran IPS menurut aliran
esensialisme akan lebih menekankan IPS pada aspek kognitif (pengetahuan) jika dibandingkan
dengan aspek afektif (sikap). Siswa belajar IPS akan lebih berorientasi pada pemahaman konsepkonsep IPS daripada penerapan materi yang ada pada IPS bagi kehidupan sehari-hari.
(2) Perenialsme
Perenialsme; adalah aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan
adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta
tidak terkait oleh ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan

menjadi sangat ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta
didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan
oleh Negara. Pandangan perenialisme lebih menekankan pada Transfer Budaya (transfer of
culture), seperti dalam Implementasinya pada kurikulum IPS yang bertujuan pada
pengembangan dan pembangunan jati diri bangsa peserta didik dalam rangka menuju tercapainya
integrasi bangsa. Aliran ini juga dikenal menekankan pada kebenaran yang absolut, kebenaran
universal yang tidak terikat pada ruang dan waktu, aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
(3) Progresivisme
Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni kecerdasan
yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah yang
disajikan oleh guru atau pendidik. Masalah tersebut biasanya ditemukan berdasarkan
pengalaman siswa. Pembelajaran yang harus dikembangkan oleh aliran Progresivisme adalah
memperhatikan kebutuhan individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan
mendorong untuk berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan
keputusan, dan memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari.
Implementasi IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata
pelajaran IPS mampu membekali kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan,
pengangguran, kebodohan, ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
(4) Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan kepada
pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar setiap
individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan
pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
Dalam implementasi pembelajaran IPS , misalnya siswa mempelajari fakta-fakta disekelilingnya,
berdasarkan fakta tersebut siswa menemukan definisi mengenai sesuatu, tanpa harus
didefinisikan terlebih dahulu oleh guru. Misalnya dalam pelajaran ekonomi diperkenalkan
adanya fakta orang-orang yang mekakukan kegiatan jual – beli. Setelah melihat aktivitas orangorang tersebut akhirnya siswa menemukan definisi mengenai penjualan, pembelian, penawaran,
pasar, uang dan lainnya dalam aktivitas jual-beli. Dengan demikian guru tidak menjelaskan atau
membuat definisi, tetapi dari fakta-fakta tersebut siswalah yang aktif melihat fakta dan dapat
mendifinisikannya.
1.

Landasan Filosofis Guru IPS dalam Perubahan Zaman

Perkembangan zaman menuntut perubahan sosial di semua lapisan masyarakat, kemajuan
informasi dan teknologi global merambah negara maju dan negara sedang berkembang termasuk
Indonesia saat ini. Untuk mengimbangi perkembangan dan kemajuan tersebut profil guru harus
mampu melakukan seleksi aneka kecenderungan siswa dalam mengarahkan proses belajarmengajar pendidikan IPS. Guru IPS harus pandai memanfaatkan sumber-sumber informasi dari
media massa modern dan peralatan teknologi pengajaran, tetapi tetap dalam koridor kurikulum
yang dipakai saat ini guru senantiasa mengikuti perkembangan dan perubahan – perubahan yang
terjadi.
Secara sadar atau tidak guru IPS ikut aktif dalam tatanan kerja masa transisi yang sedang populer
saat ini dalam kemajuan belajar melalui Informasi Teknologi, paling tidak guru IPS harus
dipertautkan kembali dalam keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya
dalam bidang pendidikan. Ada dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ;
adalah aliran yang paling hati-hati dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap
Radikal ;adalah sikap paling keranjingan atau mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap
ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam pendekatan pribadi dapat menempati salah satu empat
titik utama yang terletak diantara dua ekstreminitas tersebut.
N. Daldjoeni dalam buku beliau “Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial” (1992 : 37 – 38)
merincikan Empat Titik Utama secara filosofis bagi kinerja guru IPS dalam melakukan seleksi
diantara dua ekstreminitas perkembangan dan perubahan zaman tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Perenialisme; itu berdasarkan keyakinan adanya kebenaran yang sifatnya abadi dan mutlak.
Sehubungan dengan itu sekolah bertugas membantu para siswa menemukan kebenarankebanaran itu. Faham ini berakar pada filsafat Thomas Aquino.
(2) Esensialisme; berisi faham bahwa ada hakekat-hakekat minimum tertentu yang harus
dipertahankan sekolah. Hakekat tersebut dapat berubah-ubah dalam rentangan zaman, tetapi
untuk masa tertentu hakekat itu merupakan endapan dari pengetahuan dan kebijaksanaan yang
berasal dari masa lampau. Inilah yang perelu diterimakan kepada generasi sekarang di sekolah.
(3) Progresivisme; beretalian dengan faham William James dan John Dewey tentang faham
‘pragmatisme’, dimana penyelelidikan sesuatu harus dilakukan secara ilmiah. Dalam hal itu
sekolah merupakan pendahulunya.
(4) Rekonstruksionisme; meskip ini mirip dengan Progresivisme, akan tetapi lebih maju lagi,
karena secara konkrit ini lebih mendekati tujuan yang diidamkan oleh progresivisme. Karena itu
sekolah diharapkan menjadi pelopor usaha pembaharuan masyarakat. Filsafat ini dari Theodore
Brameld.
1. PENUTUP
1. Kesimpulan
Perkembangan istilah atau nama Social Studies pertama kali dimasukan secara resmi kedalam
kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827, Dr. Thomas Arnold direktur sekolah

tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukan Social Studies kedalam kurikulum
sekolah. Pada awal abad ke – 20 sebuah Komite Nasional dari The National Education
Assciation memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukan ke dalam
kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat.
Tahun 1921 berdirilah “National Council for the Social Studies “ atau disingkat ( NCSS ),
sebuah organisasi professional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta kaitannya dengan disiplin ilmu – ilmu
sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic. Pada pertemuan
ilimiah dalam sebuah seminar Nasional Indonesia tentang Civic Education tahun 1972 di
Tawangmangu Solo Jawa Tengah, dalam paparan seminar tersebut ditawarkanlah 3 (tiga) istilah
untuk dimasukan dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Pertama; Istilah Pengetahuan
sosial; kedua, Studi Sosial (Social Studies) dan ketiga , Ilmu Pengetahuan Sosial.
Pada tahun 1972 – 1973 sudah pernah dilakukan uji coba pertama konsep IPS masuk
dipersekolahan Indonesia diterapkan pada kurikulum proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan
tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, sehingga dilakukan reeduksi mata pelajaran mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas saat itu dimasukan mata pelajaran ilmu social serumpun atau sejenis digabung ke
dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu perberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Tahun 1993 National Council for the Social Studies (NCSS) mengeluarkan definisi resmi yang
membawa social studies sebagai kajian yang terintegrasi dan mencakup ilmu yang semakin
luas. NCSS memaparkan kurikulum standar untuk studi sosial menyediakan kerangka kerja
yang dimusyawarahkan secara professional. NCSS pertamakali menerbitkan standar kurikulum
nasional pada tahun 1994. Sejak saat itu standar kurikulum banyak digunakan diberbagai negara
sebagai kerangka kerja bagi guru dan sekolah – sekolah untuk menyelaraskan kurikulum dan
pembangunan dalam bidang pendidikan.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994 -1995 merupakan
pembenahan atas pelaksanaaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan
dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni. Pembenahan kurikulum ini didorong oleh amanat GBHN 1988 intinya
antara lain a) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan
jenjang pendidikan; (b) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam
tahun menjadi sembilan tahun dan (c) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS
diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menghendaki pelaksanaan program Pendidikan IPS
yang powerful, hal tersebut dicirikan oleh pengembangan program Pendidikan IPS yang
bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan menerapkan prinsip belajar aktif. Pendidikan
IPS bertujuan meningkatkan kecakapan hidup (life skills) siswa untuk menjadi kompetensi yang
dapat digunakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelaksanaan Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar nasional pendidikan; standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Salah satu dari delapan standar nasional pendidikan tersebut adalah Standar Isi (SI)
merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum disamping
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Pengembangan suatu kurikulum haruslah memiliki landasan filosofis, dimaksudkan agar
memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam implimentasinya. Filsafat pendidikan mengandung
suatu nilai-nilai atau cita-cita masyarakat, berdasarkan cita-cita tersebut terdapat sebuah
landasan, yang tidak lain mau dibawa kemana arah pendidikan anak didik tersebut. Dengan kata
lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat.
Secara teoritis terdapat beberapa pandangan filosofis kurikulum, Landasan Filosofis
sebagaimana dipaparkan dalam “Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPS ” Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Tahun 2007, Depdiknas
RI dirincikan sebagai berikut berikut : pertama; Esensialisme; adalah aliran yang menggariskan
bahwa kurikulum harus menekankan pada penguasaan ilmu Tujuan dari aliran esensialisme
adalah menciptakan intelektualisme Sekolah yang baik dalam pandangan filsafat esensialisme
adalah sekolah yang mampu mengembangkan intelektualisme siswa. kedua Perenialsme; adalah
aliran yang memandang , bahwa sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan adalah kepemilikan
atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai yang abadi, serta tidak terkait oleh
ruang dan waktu. Dalam pandangan aliran Perenialisme kurikulum akan menjadi sangat
ideologis karena dengan pandangan-pandangan ini menjadikan siswa atau peserta didik sebagai
warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
Ketiga; Progresivisme; adalah aliran ini memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yakni
kecerdasan yang praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan berbagai masalah
yang disajikan oleh guru atau pendidik. aliran Progresivisme adalah memperhatikan kebutuhan
individual yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya dan mendorong untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga Negara dewasa, terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari. Implementasi
IPS dalam pandangan aliran filsafat Progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu
membekali kepada siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya kemiskinan, pengangguran, kebodohan,
ketertinggalan, kenakalan remaja atau narkoba dan lainnya.
Keempat; Rekonstruksionisme; adalah aliran ini berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan
kepada pencapaian tatanan demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menghendaki agar
setiap individu dan kelompok tanpa mengabaikan nilai-nilai masa lalu, mampu mengembangkan

pengetahuan, teori, atau pandangan tertentu yang paling relevan dengan kepentingan mereka
melalui pemberdayaan peserta didik dalam proses pembelajaran guna memproduksipengetahuan
baru. Dalam pandangan aliran filsafat ini lebih menekankan agar siswa dalam pembelajaran
mampu menemukan (inquiri), penemuan yang bersifat informasi baru bagi siswa berdasarkan
bacaan yang ia lakukan. Pembelajaran lebih ditekankan pada proses bukan hasilnya. Aktivitas
siswa menjadi perioritas utama dalam berlangsungnya pembelajaran.
1. Saran – Saran
Guru IPS harus berperan aktif dalam tatanan kerja dimana saat ini sedang dalam kemajuan
belajar melalui Informasi Teknologi, paling tidak guru IPS harus dipertautkan kembali dalam
keterlibatan filosofis atau filsafat yang berkembang khususnya dalam bidang pendidikan. Ada
dua aliran filsafat ekstreminitas ; pertama sikap reaksioner ; adalah aliran yang paling hati-hati
dan takut kepada pembaharuan; dan kedua sikap Radikal ;adalah sikap paling keranjingan atau
mendukung pembaharuan. Dengan dua sikap ekstreminitas diatas, maka guru IPS dalam
pendekatan pribadi dapat menempati salah satu titik utama yang terletak diantara dua
ekstreminitas tersebut.
Agar jangan sampai dinilai oleh siswa sebagai guru yang kolot dan ketinggalan, sebaiknya guru
atau pengajar harus banyak belajar seiring dengan kemajuan Informasi dan teknologi, karena
perkembangan informasi Global membuka seluas-luasnya pelajaran di dunia maya, internet dan
media massa, paling tidak guru mampu mengimbangi proses-belajar mengajar dengan
memanfaatkan peralatan teknologi sebagai alat pengajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, A., 2011. 52 Kajian Kebijakan Kurikulum Ips. [Online]. Tersedia
:http://www.slideshare.net/Dwijosusilo/52-kajian-kebijakan-kurikulum-ips [24 September 2011.
Jam 18.04 WITA]
Ardhian, T., 2011. Landasan Kurikulum IPS. [Online]. Tersedia :
http://trioardhian.blogspot.com/2011/05/landasan-kurikulum-ips.html [30 sept 2011 diakses jam
16.50 wita]
Bambang A. Soekisno, R., 2007. Bagaimanakah Perjalanan Kurikulum Nasional (pada
Pendidikan Dasar dan Menengah) ?. [Online]. Tersedia :
http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-padapendidikan-dasar-dan-menengah/ [30 Sept 2011 diakses jam 15.03 wita]
Daldjoeni, N., 1992. Dasar –dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung : Penerbit Alumni
Depdiknas, 2007. Naskah Akdemik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum 2007. Jakarta: Depdiknas.

Gunawan, 2009. Filosofi Dasar dalam Pengembangan Kurikulum Sekolah. [Online]. Tersedia :
http://bloggersumut.net/pendidikan/filosofi-dasar-dalam-pengembangan-kurikulum-sekolah [30
Sept 2011 diakses jam 15.10 wita]
Haslinda, 2010. Makalah Pendidikan IPS. [Online]. Tersedia : (http
://haslindafadillah,blogspot.com/2010/11/makalah-pendidikan-ips.html [27 Sept 2011 diakses
jam 20.44.wita]
Liewie, 2009. Filosofi Pendidikan. [Online]. Tersedia : http:
//id.shvoong.com/humanities/philosophy/1947159-filosofi-pendidikan/ [27 September 2011
diakses jam 16.40 Wita]
NCSS, 2000. National Standar for Social Studies Teachers :Executive Summary. [Online].
Tersedia : http://www.socialstudies.org/standards/execsummary [30 Sept 2011 diakses jam 10.34
wita]
Rijono, 2008. Kurikulum 2004 (KBK) & Kurikulum 2006 (KTSP) Memang Berbeda
Secara Signifikan. [Online]. Tersedia : http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/ [30 Sept 2011 diakses jam 14.38
wita]
Sukadi, 2004. Pendidikan IPS yang Powerful dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Laporan
Penelitian.Singaraja: IKIP negeri Singaraja.

PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat
cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru
sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta
1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30 tahun
jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri.
Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas
pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah
masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas output pendidikan
dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota,
antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan
juga muncul dua problem yang lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah
disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem
persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni
pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar
sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air
kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan
berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk
pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi
kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini
menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan
pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran
pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b)
mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ek