MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI Penyel

MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
‘’Penyelesaian Sengketa Ekonomi’’

Dosen Pengampu :Dr. Rosdalina, M.Hum

Disusun Oleh:
1. Khusnul Aryani Mulyono
2. Sri Wahayu Puspitasari

(15.4.1.047)
(15.4.1.049)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
2017/2018

1

PEMBAHASAN
Tinjauan Umum tentang Sengketa

Pujangga besar Aristoteles telah mengatakan bahwa “manusia ditakdirkan
sebagai makhluk sosial” atau dalam bahasa latinnya disebut “zoon piliticon”.
Manusia tidak dapat sebagai makhlul hidupnya terasing dari manusia lain,
melainkan harus selalu hidup dalam ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan
sebagai suatu kesatuan sosial. Seperti yang dikatakan Bouman, seorang sarjana
sosiologi terkenal, bahwa “Manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama
dengan sesama manusia”, hal ini disebabkan karena adanya faktor kebutuhan
hidup, perasaan suka menolong, rasa harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari
perlindungan, dan lainnya karena adanya kepentingan.1
Untuk memenuhi kebutuhan kepentingannya, manusia mengadakan
hubungan satu dengan yang lainnya yang disebut kontak. Dalam melakukan
kontak satu sama lain atau masyarakat, maka kepentingan dapat bertentangan satu
sama lain yang menimbulkan perselisihan sehingga diharapkan manusia dapat
memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib dalam hidup bersama
tersebut. Apabila tidak dipelihara, akan menimbulkan konflik atau sengketa dalam
masyarakat.2
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat terjadi antara
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok
dengan kelompok, antara perushaan dengan perusahaan, antara perusahaan
dengan negara, antara negara satu dengan lainnya, dan sebagainya. Dengan kata

1 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11
2 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11-12

2

lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi
baik dalam lingkup nasional maupun internasional.3
Banyak kata yang mungkin digunakan untuk menggambarkan sengketa
(disputes), seperti : Konflik, debat, gugatan, keberatan, kontreversi, perselisihan,
dan lain-lain. Walaupun demikian, diantara kata-kata tersebut tentu mempunyai
arti sendiri dan berbeda-beda, penggunaannya tergantung pada situasi dan kondisi
tertentu. Penulis lebih condong untuk menggunakan kata sengketa sebagai suatu
istilah hukum dibandingkan kata lainnya. Istilah sengketa telah menjadi istilah
baku dalam praktik hukum.4
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan
oleh pihak lain. Pihak merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada
pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak
pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang

dinamakan sengketa. Akan tetapi, dalam konteks hukum, khususnya hukum
kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara
para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan
perkataan lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak.
Wanprestasi dapat terjadi dalam hal debitur5

3 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
4 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
5 Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
1985), hlm. 228

3

1.

Sama sekali tidak memenuhi prestasi


2.

Tidak tunai memenuhi prestasi

3.

Terlambat memenuhi prestasi

4.

Keliru memenuhi prestasi

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.
Penyelesaian sengketa tergantung bagaimana pengelolaan atas sengketa tersebut.6
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sengekta terutama sengketa bisnis membutuhkan penyelesaian sengketa
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa
melalui proses peradilan yang berbelit-belit, biaya mahal, dan waktu yang lama,

kurang cocok untuk penyelesaian sengketa bisnis. Oleh karena itu, para sarjana
Amerika berusaha mencari alternatif selain dari pengadilan. Alternatif lain selain
proses pengadilan inilah dewasa ini dikenal dengan ADR (Alternative Dispute
Resolution).7
Gerakan ADR (Alternative Dispute Resolution) lahir di Amerika Serikat
pada era 1970-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara dalam bentuk
antara lain arbitrase dan mediasi. Secara teori ADR dapat memberikan prosedur
yang lebih murah, cepat, tidak kompleks seperti litigasi formal. Penggunaannya
6 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13
7 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13-14

4

tidak hanya ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan,
akan tetapi juga menghadapi permasalahan yang mengandung faktor budaya,
geografi, dan psikologi.8
Keberadaan ADR dalam sistem penyelesaian sengketa sudah diramal
sebelummya sejak 35 tahun lalu, yaitu dalam pidato Prof. Frank Sander dari

Harvard University di tahun 1976, untuk memperingati Roscoe Pound, yang
mengungkapkan ramalan bahwa untuk merespons kecenderungan makin
meningkatnya perkara di pengadilan, maka nantinya hanya kan ada dua solusi
yaitu9
1.

Mencegah terjadinya sengketa

2.

Mengekspor alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Ia bahkan telah mengantisipasi bahwa di tahun 2000-an akan tampil
lembaga selain lembaga pengadilan yaitu “Dispute Resolution Center” yang
tampak ramalannya mendekati kenyataan.10
ADR kemudian dikembangkan oleh karena adanya kritik terhadap
lembaga pengadilan antara lain:
1.

Waktu


8 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
9 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
10 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14-16

5

Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan kesulitannn
mendapatkan suatu putusan yang benar-benar final dan mengikat (karena hak para
pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan
lainnya). Waktu tidak bisa dikontrol oleh para pihak.
2.

Adversary

Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk saling
menyerang.

3.

Biaya Mahal

Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal (khususnya bagi
masyarakat pedalaman, hal ini akan ditambah dengan biaya trasnportasi).
Ditambah lagi dengan sistem peradilan yang mempunyai prosedur yang
bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya tersebut ditambah pula dengan biaya
pengacara, belum lagi biaya-biaya informal dalam sistem peradilan.
4.

Prosedur yang Ketat

Dengan

adanya

prosedur

beracara


yang

rigid/ketat,

kadangkala

menghilangakan keleluasaan para pihak (prinsipal) untuk mencari inovasi
alternatif-alternatif penyelesaian. Sering kali kepentingan sebenarnya dari pihak
yang bersengketa tidak tercermin dalam gugatan/tuntutan yang diajukan
5.

Lawyer Oriented

Karena sistem prosedur yang kompleks dalam peradilan, maka hanya
pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat beracara di pengadilan. Oleh

6

karena


itu,

pihak

sengketa

banyak

mendelegasikan

semuanya

kepada

pengacaranya, di mana pengacara tidak mengerti benar kepetingan dari si klien.
6.

Ungkapan Mengenai Citra Pengadilan


Berbagai ungkapan yang ditujukan ke arah proses penyelesaian sengketa
melalui litigasi semakin meyudutkan popularitas badan pengadilan. 11
Ada ungkapan yang digalih dari pepatah, ada pula yang diformulasikan dari kesan
yang ditampung dari kenyataan praktik sehari-hari.
Salah satu pepatah Cina menyatakan “Berperkara di pengadilan akan
menimbukan

kebencian

berpuluh-puluh

tahun.

Dengan

demikian,

akan

menghancurkan hubungan keluarga dan persaudaraan. Pepatah cina lain
mengatakan ”Seseorang yang berperkara akan kehilangan lembu, hanya untuk
mendapatkan seekor kucing”
7.

Win-Lose Situation

Sistem peradilan didasarkan pada nilai benar atau salah, yang pada
akhirnya akan menghasilkan situasi yang kalah atau menang.
8.

Kurangnya Kemampuan Hakim

Sejalan dengan era global dan perkembangan teknologi, diharapka seorang
Hakim adalah seseorang yang mempunyai sumber daya dan kemampuan
pengetahuan yang lebih dari lainnya. Mereka dituntut banyak belajar. Namun
kenyataannya, Hakim hanya mengetahui suatu hal secara terbatas dan tidak
11 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 16-17

7

didukung oleh keahlian yang profesional. Oleh karena itu, sulit untuk
mengharapkan suatu penyelesaian sengketa yang kompleks, secara baik, dan
objektif dari para Hakim sebeb kualitas Hakim tidak seimbang denga
perkembangan teknologi dan menyebabkan putusan Hakim sering menyimpangan
dari perrmasalahan pokoknya.
9.

Hubungan Putus

Dengan adanya sistem win-lose, maka untuk kasus perdata atau bisnis,
maka hubungan para pihak menjadi putus atau tidak harmonis lagi.12

10.

Memicu Konflik Baru

Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya hubungan,
maka hal tersebut dapat memicu konflik baru lagi.13
Cara penyelesaian sengketa
Di dalam peneyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,
antara lain negosiasi (negatiation) , melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, peradilan, dan peradilan umum.14
Negosisasi (Negotation)

12 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18
13 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18
14 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199

8

Negisosasi adalah tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak
(kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian
sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berpekara.15
Dalam konteks bisnis, negosiasi adalah hal yang selalu dilakukan.
Negosiasi biasanya dilakukan sebelum pihak-pihak yang ingin berbisnis
mengikatkan diri dalam suatu kontrak, maupun jika terjadi sengketa mengenai
pelaksanaan kontrak tersebut dikemudian hari. Penyelesaian sengketa melalui
negosiasi sudah lazim dan merupakan langkah awal yang dilakukan oleh para
pelaku bisnis.16
Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang di rancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai
kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh, karena itu negosiasi
merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk berdiskusikan
penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak
berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu harus di perhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan
secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan
damai.17

15 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
16 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23
17 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199

9

Secara umum teknik negosiasi dapat dibagi menjadi: Teknik negosiasi
kompetitif, teknik kooperatif, teknik negosiasi lunak, teknik negosiasi keras, dan
teknik yang bertumpu pada kepentingan (interet base).18
Teknik negosiasi kompetitif atau sering kali diistilahkan dengan teknik
negosiasi yang bersifat alot (tough) adalah teknik negosiasi yang bercirikan:
menjaga agar tuntutan tetap tinggi sepanjang proses negosiasi, menganggap
perunding lain sebagai musuh, jarang memberikan konsesi dan sering kali
menggunakan cara berlebihan. Tujuan penggunaan teknik ini adalah sebagai suatu
cara mengintimidasi lawan dalam memenuhi permintaan dan tuntutan, membuat
pihak lawan kehilangan kepercayaan diri, mengurangi harapan pihak lawan, serta
pada akhirnya lawan menerima kurang dari apa yang diharapkan sebelumnya.
Kepedulian

perundingan

kompetitif

hanyalah

memaksimalkan

nilai-nilai

kesepakatan.19
Sebaliknya, teknik negosiasi koorperatif menganggap pihak negosiator
lawan bukan sebagai musuh, namun sebagai mitra kerja mencari kepentingan
bersama. Para pihak menurut pola penyelesaia koorperatif ini berkomunikasi satu
sama lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama (shared interest ad
values), dengan menggunakan rasio dan akan sehat sebagai cara menjajaki kerja
sama. Hal yang dituju oleh negosiator koorperatif adalah penyelesaian yang adil
berdasarkan analisis yang objektif (berdasarkan fakta hukum) melalui upaya
membangun atmosfer yang positif dan saling percaya.20

18 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23
19 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24
20 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24-25

10

Teknik negosiasi lunak dan keras adalah saling melengkapi, di mana
teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihak yang
bertujuan untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan teknik negosiasi keras
menempatkan

perunding

sangat

dominan

terhadap

perundingan

lunak,

menganggap pihak lawan adalah musuh dan bertujuan untuk memperoleh
kemenangan. Teknik negosiasi interest based adalah jalan tengah atas
pertentangan keras-lunak yang memiliki empat komponen dasar yaitu21
1)

Orang

2)

Kepentingan

3)

Solusi

4)

Kriteria objektif

Tabel 1. Perbandingan Teknik Negosiasi Lunak, Keras, dan Internet
Based22
SOFT (LUNAK)
Perundingan
teman

HARD (KERAS)
adalah

INTEREST BASED

Tujuan kesepakatan

Perunding
dipandang Perunding adlah pemecah
sebagai musuh
masalah
Tujuan semata untuk Tujuan untuk mencapai hasil
mencapai kemenangan
bijaksana

Memberi konsesi untuk
membina hubungan
Lunak terhadap orang
dan masalah

Menuntut
konsesi
sebagai persyarat
Keras terhadap orang dan
masalah

Pisahkan
orang
dengan
masalah
Lunak terhadap orang, keras
terhadap masalah

21 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 25
22 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 26

11

Percaya
perunding lawan
Mudah
posisi

pada Tidak percaya
perunding

dibangun
situasi
dan

mengubah

Mengemukakan
tawaran
Mengungkap
line

Keperayaan
pada berdasarkan
kondisi

Memperkuat posisi

Fokus pada kepentingan

Membuat ancaman

Menelusiru kepentingan

bottom

Menciptakan win-lose
Mencegah win-lose
Perolehan
sepihak
Mengalah
untuk sebagai
harga Hasil
sedaoat
kesepakatan
kesepakatan
diterima para pihak
Mencari satu jawaban Mencari satu jawaban Mengembangkan
yang
menyenangkan yang harus diterima terlebih
dahulu
lawan
perunding lawan
memutuskan
Bersikeras
atas
perlunya kesepakatan

Bersikeras atas posisi

Bersikuluh
objektif

pada

mungkin
pilihan
sebelum
kriteria

Mencegah contest of Memenangkan
will
perlombaan

Mencapai kesepakatan
keinginan bersama

Menerima
ditekan

Argumentasi dan
terhadap lawan

untuk
Menerapkan tekanan

asalasan

Untuk menghasilkan suatu negosiasi ang efektif, maka perlu diperhatikan
tahapan-tahapan dalam proses negosiasi yang berlangsung. Howard Raiffa
membagi tahap-tahap negosiasi menjadi: 23
1.

Tahap persiapan,

2.

Tahap tawaran awal (openning gambit),

3.

Tahap pemberian konsesi, dan

4.

Tahap akhir permainan (end play)

atas

23 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27

12

Di samping tahapan-tahapan negosiasi, perlu juga diperhatikan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi efektivitas proses penyelesaian sengketa melalui
negosiasi. Negosiasi dapat berlangsung efektif dan mencapai kesepakatan yang
bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:24
1. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan yang penuh
(willingess to negotiate)
2. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness)
3. Mempunyai wewenag mengambil keputusan (authoritative)
4. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan
saling ketergantungan (relative equal bargainimh power)
5. Mempunyai kemauan menyelesaikan maslah (willingness to settle)
6. Terdapat

BATNA

(Best Alternative Ti a Negotited Agreement) yang tidak terlalu baik
7. Sense of urgensy
8. Tidak mempunyai kendala psikologi yang besar.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, diharapkan pihak-pihak yang
bersengketa dapat melakukan negosiasi yang efektif dan dapat menghasilkan
kesepakatan penyelesaian sangketa yang mereka hadapi. Kelebihan penyelesaian
sangketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak ang bersengketa sendiri yang akan
menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak
yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa dan bagaimana cara
24 Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 27

13

penyelesaian sengketa yang diinginkan. Dengan demikian, pihak yang
bersengketa dapat mengontol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah
penyelesaian sengketa yang diharapkan.25
Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi juga merupakan salah satu bentuk
negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan
tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.26
Sementara itu pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan
sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi
mengandung unsur-unsur, antara lain :27

1. Merupakan

sebuah

proses

penyelesaian

sengketa

berdasarkan

perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
25 Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 28
26 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199-200
27 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200

14

4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian, tugas utama mediator sebagai fasilitator untuk
menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut :28
1. Sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga
terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para
pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul
(penyelesaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan
bersama.
Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi
merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat
berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat.
Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang
ada, tetapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namun,
putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan nilai atau norma yang
berlaku. Jika dengan cara mediasi tidak menghasikan suatu putusan diantara para
pihak maka tiap-tiap pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti
melalui pengadilan, arbitrase, dan lain-lain.29
Konsiliasi

28 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200-201
29 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201

15

Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih
untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian
dari konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10
dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga
alternatif dalam penyelesaian sengketa.30
Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa
alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan
sengketa.31
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan
kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak
kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat
putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehinga keputusan akhir
merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam
sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.32
Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan ke luar dari sengketa,
proses ini disebut konsiliasi. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering
diartikan mediasi.33
30 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201
31 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
32 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202
33 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 34

16

Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan
rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa.
Hanya dalam konsiliasi ada rekomendasi pada pihak-pihak yang bersengketa,
sedangkan mediator dalam suatu mediasi hanya berusaha membimbing para pihak
yang bersengketa menuju suatu kesepakatan.34
Arbitrase
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal
ini, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti
dan Abdulkadir Muhammad.35
a. Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan
persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan
diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
b. Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan
swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam
dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan
sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan kehendak bebas
pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini dituangkan dalam
perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
34 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27
35 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202

17

c. Dalam pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, mengatakan
bahwa penyelesain perkara di luar pengadiln atas dasar perdamaian atau
melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi, putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah
untuk dieksekusi dari pengadilan.
Menurut Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering)., arbitrase
merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan
kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan
mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri,
dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan
putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat
kedua belah pihak untuk melaksanakannya.36
Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak
lain merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan
yang mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka
dilakukan lewat pranata arbitrase. Dalam hal ini para pihak berhak dan berwenang
untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan
sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk
menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.37

Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan :

36 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 16
37 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 17

18

”adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk
melepaskannya, untuk meyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang
atau beberapa orang wasit”
Selanjutnya dalam ayat (3) pasal 615 Rv. Ditentukan :
”bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk
menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada
pemutusan seseorang atau beberapa orang wasit”
Dari ketentuan Rv. Tersebut jelas bagi kita bahwa setiap orang berhak
orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa meraka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan
memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan
yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Dan bahwa mereka
berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit.
Penunjukkan penyelesaian sengketa lewat arbitrase sebelum sengketa terbit
dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka
(PACTUM DE KOMPROMITENDO). Sedangkan penunjukkan arbitrase sebagai
cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat
persetujuan arbitrase sendiri (AKTA COMPROMIS)38
Dalam klausula atau persetujuan yang dibuat tersebut, para pihak harus
dengan jelas-jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian
sengeketa melalui arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas,
siapa saja yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan
38 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 17-18

19

sengketa meraka, tata cara apa yang harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter
menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah
diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para)
arbiter tersebut.39
Sifat perjanjian arbitrase menurut Rv.
Undang-undang mensyaratkan bahwa setiap persetujuan arbitrase harus
dilakukan secara tertulis, baik notariil maupun di bawah tangan, serta ditanda
tangani oleh para pihak. Dalam hal salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat
membubuhkan tanda tangannya, maka persetujuan tersebut harus dilakukan secara
notariil. Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut juga harus memuat masalah
yang menjadi sengketa, nama-nama dan tempat tinggal (kedudukan) para pihak,
nama-nama dan tempat tinggal (para) arbiter, dan jumlah arbiter yang harus selalu
ganjil. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan tersebut batal demi
hukum (pasal 618 ayat (1), (2), dan (3) Rv.)40
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih
disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun
internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan
arbiter mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat
final.41

39 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 18
40 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 19
41 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203

20

Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha,
baik nasional maupun internasoinal. Pemerintah telah mengadakan pembaharuan
terhadap Undang-Undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum
yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.42
Sementara itu, sengketa ini dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undang dikuasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh
suatu keadaan, seperti dibawah ini :43
a. Meninggalnya salah satu pihak
b. Bangkrutnya salah satu pihak
c. Novasi (pembaruan utang)
d. Insolvensi (keadaaan tidak mampu membayar) salah satu pihak

42 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203
43 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203-204

21

e. Pewarisan
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana perlaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok
Suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke pengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan
tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di
tetapkan.44
Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni arbitrase ad hoc atau
arbitrase volunter dan arbitrase institusional.45

1.

Arbitrase Ad Hoc atau Arbitrase Volunter

Arbitrase Ad Hoc atau Arbitrase Volunter merupakan arbitrase yang
dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan
tertentu. Oleh karena itu. Arbitrase ad hoc bersifat “insedentil”, dimana
kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus
perselisihan tertentu maka apabila telah menyelesaikan sengketa dengan
44 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204
45 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204

22

diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan
berakhirnya dengan sendirinya.
2.

Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang
bersifat “permanen”, sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya
dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Semetara itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang
memberikan jasa arbitrase, yakni Badan arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).46
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak untuk
memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum
tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang
diajukan oleh pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang
mengikat (biding opinion) mengenai persoalaan berkenaan dengan perjanjian
tersebut, misalnya terdapat penafsiran ketentuan belum jelas, yakni adanya
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan
munculnya keadaan baru. 47
Pemberian pendapatan oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah
pihak terkait padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan
pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian sehingga terhadap

46 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204
47 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204-205

23

pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan hukum atau perlawanan
baik upaya hukum banding atau kasasi.48
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam
waktu paling lama 30hari terhitung sejak tanggal pertama putusan ditetapkan.
Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan
dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada penitera pengadilan negeri dan
oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran. 49
Dengan demikian, putusan arbirase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum dan mengikat pada pihak. Keputusan arbitrase bersifat fnal, berarti putusan
arbitrase merupakan putusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding,
kasasi, atau peninjauan kembali.50
Sementara itu, ketua pangadilan negeri dalam memberikan perintah
pelaksanaan keputusan arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan
suatu putusan arbitrase, seperti:51
a. Para pihak telah menyetujui bahwa sangseketa diantara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase;
b. Persetujuan untuk menyelesaikan sangketa melalui arbitrase dimuat
dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak;

48 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
49 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
50 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
51 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205

24

c. Sangketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya dibidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan aturan
perundang-undangan;
d. Sangketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan keterlibatan umum.
Dengan demikian, putusan arbitrase dibutuhi perintah oleh ketua
pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata dan keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam pelaksanaan keputusan arbutrase internasional berdasarkan undang-undang
nomor 30 tahun 1999, berwenang menangani maslah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri jakarta pusat.52
Sementara itu, berdasarkan pasal 66 undangan-undangan nomor 30 tahun
1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan
diwilayah hukum republik indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti
berikut.53
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbitrase atau majelis
arbitrase disuatu negara yang dengan dengan negara indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internaisonal.

52 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206
53 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206

25

b. Putusan arbitrase internasioal terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di indonesia dan
keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasiona dapat dilaksanakan di indonesia setelah
memperoleh eksekutor dari ketua pengadilan negeri jakarta pusat.
Dengan demikian, suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung
unsur-unsur, seperti berikut.54
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah
putusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan dan disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sangketa.
Peradilan
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang
maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar itu
diambil suatu tindakan untuk “menghakimi sendiri” sangatah tercela, tidak tertib,
dan harus dicegah. Tidak hanya dengan suatu pencegahan, tetapi diperlukan
54 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206

26

perlindungan dan penyelesaian. Oleh karena itu, yang berhak memberikan
perlindungan dan penyelesaian adalah negara. Untuk itu, negara menyerakan
kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan negeri denan para
pelaksanaanya, yaitu hakim.55
Pengadilan berdasarkan undang-undang nomor 2 tahun 1986 adalah
pengadilan negeri dan pengadilan dan pengadilan tinggi dilingkungan peradilan
umum. Dalam menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku
dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang
berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu,
disebutkan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.56
Sementara itu, beradasarkan pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
peradilan yang berbeda dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradila
tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.57
Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umu, yang dimaksud

55 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207
56 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207
57 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207-208

27

dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.58
Dengan demikiam, kekuasaan kahakiman dilindungi peradilan umum
dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.59
1.

Pengadilan Negeri

Pengadilan negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan
dikotamadya kabupaten atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kotamadya atau kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden.
Sementara itu, pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara perdata ditingkat pertama.
2.

Pengadilan Tinggi

Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan
di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang
dibentuk dengan undang-undang. Sementara itu, pengadilan tinggi bertugas dan
berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata ditingkat banding.
Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan
terakhir sangketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah
hukumannya.

3.

Mahkamah Agung

58 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 208
59 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 208

28

Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-undang No.
14 tahun 1985, merupakan pengadilan yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas

dari

pengaruh

pemerintah

dan

pengaruh-pengaruh

lain,

yang

berkedudukan di ibukota negara republik indonesia. Mahkamah Agung bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus 60
a. Permohon kasasi
b. Sangketa tentang kewenangan mengadili
c. Permohonan

peninjauan

kembali

putusan

pengadilan

yang

telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau singkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.
Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, kerana61
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2) Salah menerapka atau melanggar hukum yang berlaku
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali tingkat pertama dan terakhir atau putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam
60 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209
61 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209

29

perundang-undangan. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu
kali dan tidak di menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan.62
Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus dan
dalam hal ini sudah dicabut permohonan peninjauan kembai itu tidak dapat
diajukan lagi. Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata harus
diajukan sendiri oleh para pihak yang berpekra atau ahli warisnya atau seorang
wakilnya secara khusus dikuasi untuk itu dengang tenggang waktu pengajukan
180 hari yang didasarkan atas alasan, seperti berikut.63
1) Didasakan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang
diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidna dinayatakan palsu.
2) Setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
3) Apabilah telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
yang ditunut.
4) Mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan
sebab-sebabnya.
5) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau tingkatnya telah
diberikan butusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
62 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209
63 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209-210

30

6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
keliruan yang nyata.
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi64

Proses

Perundingan

Arbitrase

Litigasi

Yang
mengatur

Para pihak

Arbiter

hakim

Prosedur

Informal

Agak formal
dengan rute

Jangka waktu

Segera
minggu)

Biaya

sesuai
Sangat formal dan teknis

(3-6
Agak cepat (3-6bulan)

Lama (2tahun lebih)

Murah (low cosh)

Terkadang
mahal

Sangat mahal (expensive)

Aturan bukti

Tidak perlu

Agak formal

Sangat formal dan teknis

Publikasi

Konfidensial

Konfidensial

Terbuka untuk umum

Hubungan
para pihak

Kooperatif

Antagonistis

antagonistis

Fokus
penyelesaian

For the future

Masa lalu (the past)

Masa lalu (the past)

Metode
negosiasi

Kompromis

Sama
keras
prinsip hukum

Komunikasi

Memperbaiki yang
sudah lalu

Jalan buntu (bloked)

Jalan buntu(bloked)

Result

Win-win

Win-lose

Win-lose

sangat

pada Sama keras pada prinsip
hukum

64 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua,
(Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 210-211

31

Pemenuhan

Sukarela

Selalu ditolaj dan
mengajukan oposisi

Ditolak dan mencari dalih

Suasana
emosional

Bebas emosi

Emosional

Emosi bergejolak

Memutuskan sangseketa mengenai wewenang mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan penuntut
umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan
yang dipimpinnya.65
Pasal 148
1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu
tidak termasuk wewenang pengadilan negeri yang di pimpinnya, tetapi
termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat
pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang membuat alsannya.
2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut
umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya
kepada kejaksaan negeri ditempat pengadilan negeri yang tercantum dalam
surat penetapan.

65 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 130

32

3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.66
Penjelasan :
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang
dimaksud dari kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk
disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat (3)67
Cukup jelas
Pasal 149
1. Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 148, maka:
a. Ia mangajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan dalam waktu tujuh had setelah penetapan tersebut
diterima.

66 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131
67 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131

33

b. Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut diatas mengakibatkan
batalnya perlawanan.
c. Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 dan hal itu dicacat dalam
buku daftar panitera.
d. Dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan
perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.
2. Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari stelah
menerima

perlawanan

tersebut

dapat

menguatkan

atau

menolak

perlawanan itu dengan surat penetapan.
3. Dalam hal pegadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum,
maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri
yang bersangkutan untuk menyidanngkan perkara tersebut.
4. Jika

pengadilan

tinggi

menguatkan

pendapat

pengadilan

negeri,

pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada
pengadilan negeri yang bersangkutan.
5. Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.68
Penjelasan:
Pasal 149

68 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 132

34

Cukup jelas
Pasal 150
Sangketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwewenang
mengadili atas perkara yang sama,
b. Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili perkara yang sama.69
Penjelasan :
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
1. Pengadilan tinggi memutus sangketa wewenang mengaili antara dua
pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
2. Mahkama agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sangketa tentang wewenang mengadili:
a. Antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan
pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain.

69 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133

35

b. Antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah
hukum pengadilan tinggi yang berlainan.
c. Antara dua pengadilan tinggi atau lebih.70
Penjelasan :
Pasal 151
Cukup jelas71

DAFTAR PUSTAKA
Amriani Nurnaningsih,2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan Jakarta: Rajawali Pers
Karjadi. M, R. Soesilo,1998. Kitab Undang-undangan Hukum Acara
Pidana, Bogor Sukabumi: Politelia
Mahkamah Agung R.I.,2004. Mediasi dan Perdamaian, Jakarta: MA-RI
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung:
Alumni, 1985)
Sari Elsi Kartika, Advendi Simanunsong,2008. Hukum Dalam Ekonomi
Edisi Kedua, Jakarta: PT Grasindo
70 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133
71 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor
Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 134

36

Widjaja Gunawan, Ahmad Yani,2000. Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

37