MENINGKATKAN PERAN LAGZIS DALAM PEMBIAYA

MENINGKATKAN PERAN LAGZIS DALAM
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN ISLAM

A.

PENDAHULUAN
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di

Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah Islamiyah.
Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam
dapat

disosialisasikan

kepada

masyarakat

dalam

berbagai


tingkatannya. Melalui pendidikan inilah masyarakat dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun hingga hari ini pendidikan Islam di Indonesia masih
dihadapkan pada berbagai problematika yang tidak ringan. Berbagai
komponen pendidikan Islam dari tujuan, kurikulum, guru, sarana dan
prasarana, pembiayaan, dan sebagainya masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan mendasar yang berakibat pada mutu
pendidikan Islam yang seringkali menunjukkan keadaan yang kurang
menggemberikan.
Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembagalembaga pendidikan Islam di negeri ini terutama terkait dengan
pembiayaan pendidikan yang minim. Hal ini berimbas pada hampir
semua

komponen

pendidikan

lainnya.


Padahal

biaya

pendidikan

merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental
input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah maupun madrasah. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang
dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa
tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan secara maksimal.
Pada

dasarnya

semua

penyelenggaraan


pendidikan

adalah

membutuhkan biaya. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di
sekolah maupun Madrasah dalam segala aktifitasnya perlu sarana dan
prasarana untuk proses pengajaran, layanan, pelaksanaan program,

1

dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada, kesemua itu
memerlukan anggaran dana.
Lahirnya Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No. 373 tahun 2003 tentang
pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat (Sudirman, 2007: 64) merupakan
hal yang sangat dinanti-nanti oleh umat Islam di Indonesia. Sebab,
selama ini ketulusan umat Islam dalam menjalankan salah satu rukun
Islamnya masih terkesan dipandang sebelah mata oleh pemerintah.
Pemerintah belum memberikan good will.
Potensi besar umat Islam dalam persoalan zakat belum dapat

dikelola secara maksimal demi kemaslahatan bersama. Padahal dengan
potensi yang ada, sesungguhnya zakat (termasuk infaq dan shadaqah)
mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka ikut serta
membantu

pemerintah

dalam

penanggulangan

dan

pengentasan

kemiskinan. Namun demikian, untuk mewujudkan hal itu zakat tidak
boleh dikelola dengan sembarangan, akan tetapi lebih dari itu ia harus
dikelola dengan profesional oleh lembaga-lembaga yang berprinsip
pada managemen modern.
Menurut Nuryufa dalam Ishlah (1995: 6), besarnya jumlah

penduduk muslim tidak berarti apa-apa tanpa dibarengi dengan
kesadaran akan kewajibannya untuk ikut menegakkan perekonomian
ummat Islam baik melalui zakat, infaq, maupun shodaqoh. Padahal
zakat merupakan soko guru dalam mu’amalat, baik secara nafsiyah
(spiritual) maupun secara nadiyah (material), karena zakat berperan
sangat mendasar dan bersifat permanen dalam menjawab masalah
kemiskinan. Sebab itulah zakat, infaq, dan shodaqoh seringkali
dipandang sebagai solusi yang paling penting bagi pengentasan
kemiskinan, sehingga perlu kesadaran yang menyeluruh dari ummat
Islam akan arti penting zakat, infaq, maupun shodaqoh bagi tegaknya
perekonomian ummat.
Salah satu upaya menuju pengelolaan zakat secara profesional
adalah merumuskan sasaran penerima zakat secara benar sesuai
dengan konteks saat ini. Sebab konsep lama mengenai golongan

2

penerima zakat yang dalam peristilahan fikih biasa disebut mustahiq
zakat yang berjumlah delapan kelompok, bila dikorelasikan dengan
kontek kekinian tidak jarang sudah kehilangan ruhnya.

Lembaga Zakat, Infaq dan Sodaqoh (LAGZIS) sangat berperan
aktif sebagai salah satu pilar dalam pembiayaan pendidikan Islam. Hal
ini dibuktikan di beberapa pendidikan Tinggi memerankan LAGZIS
sebagai salah satu pilar pembiayaan bagi mereka yang berhak
menerimannya.
pembiayaan

Mengingat

pendidikan

peningkatannya sehingga

pentingnya
Islam,

maka

peran


LAGZIS

perlu

kita

dalam

upayakan

mampu berkembang disemua lembaga

pendidikan terutama lembaga pendidikan Islam.
Berdasarkan hal di atas, penulis memfokuskan penulisan ini pada
pengertian dan urgensi Zakat, infaq dan shadaqah, eksistensinya,
Pengelolaannya,

pendistribusiannya,

serta


peran

LAGZIS

dalam

pembiayaan pendidikan Islam.
B.

PEMBAHASAN
(1).Ekstistensi Zakat, Infaq dan Shodaqah
Zakat (Qardhawi, 1995: 8) adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah
yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik
dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.
Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam,
sebagaimana diungkapkan dalam berbagai Hadits Nabi, sehingga
keberadaannya dianggap ma`lum minaddien bi adl-dlaurah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak
dari ke-Islaman seseorang (Yafie, 1995:220).

Zakat, infaq, dan shodaqoh sebagai landasan ekonomi Islam,
soko guru muamalat, serta tiang ekonomi ummat mempunyai
kedudukan yang istimewa di dalam Islam, karena bukan sematamata ibadah (ibadah mahdhah seperti sholat dan puasa) melainkan
ia sebagai ibadah yang berkaiatan erat dengan ekonomi, keuangan,
dan kemasyarakatan. Disamping itu menurut Mubiyarto (1982),

3

zakat, infaq, dan shodaqoh mengandung hikmah yang bersifat
rohaniah dan filosofis.
Menurut Bunasor dalam Al Muslimun (1994: 12), fungsi zakat,
infaq, dan shodaqoh dalam Islam ada tiga, yaitu:
Spiritual; zakat, infaq, dan shodaqoh adalah kewajiban

o

manusia sebagai konsekuensi ikatannya dengan Allah.
Ekonomi; zakat, infaq, dan shodaqoh menghajatkan adanya

o


distribusi pendapatan.
Sosial; zakat, infaq, dan shodaqoh dimanfaatkan untuk

o

menolong (solidaritas) sesama ummat manusia.
Disinilah letak keunggulan sistem Islam, karena dalam Islam
selain mendorong ummatnya untuk mencari penghasilan setinggitingginya (pertumbuhan ekonomi), Islam juga mendorong dan
memberikan sistem distribusi kekayaan yang adil (sebagaimana
zakat, infaq, dan shodaqoh) kepada mustahiq yang 8 berdasarkan
canangan peraturan (syari'at) nya yang bersifat taktis dan tersier
menurut dhuruf sosial masyarakatnya (Mas'udi: 1991: 147). Dalam
hal

ini

Islam

mengobati


kemiskinan

langsung

ke

akar

permasalahannya, yaitu mengobati keserakahan manusia. Islam
memandang bahwa sesungguhnya yang perlu dientaskan terlebih
dahulu adalah orang-orang kaya (muzakki), sebab dengan zakat,
infaq,

dan

shodaqoh

yang

mereka

salurkan,

maka

mereka

mengentaskan kemiskinan yang terdapat di dalam diri mereka
sendiri,

seperti

sifat

tamak,

serakah,

dan

kikir.

Jadi

Islam

membersihkan mereka dari kemiskinan yang sifatnya ruhiyah,
setelah itu dampaknya dapat menyebar ke obyek zakat, infaq, dan
shodaqoh.
(2).Pengertian LAGZIS
Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh (LAGZIS) adalah lembaga
yang

bergerak

dalam

bidang

pemberdayaan

ummat.

Lagzis

berupaya melakukan gerakan membumikan zakat sebagai rukun
Islam yang wajib ditunaikan bagi orang-orang yang telah memenuhi
syarat.Arti Penting Zakat, Infaq, dan Shodaqoh.
4

Lagzis

memulai

mengenalkan

zakat

dengan

menerapkan

pendekatan personal, SDM - SDM awal Lagzis. Mengingat tidak
semua orang telah memenuhi standar minimal berzakat maka Lagzis
juga menerima infak dan shodaqah bagi ummat muslim yang belum
memenuhi

kewajiban

zakat.

Langkah

ini

diharapkan

dapat

menumbuhkan kebiasaan untuk terbiasa berzakat bilamana telah
memenuhi kewajiban berzakat.
Visi yang diemban Lagzis ialah berusaha menjadi pelayan Allah
SWT dan penerus dakwah Rasulullah SAW yang profesional. Dan
dengan visi itulah yang menjadi setiap pelayanan kepada muzakki
dan mustahik dilandaskan.
Bentuk pelayanan yang diberikan Lagzis kepada muzakki adalah
senantiasa berusaha memberikan laporan mengenai aktivitas dan
keuangan Lagzis. Media yang digunakan adalah majalah Muzakki
dan buletin Lagzis. Setiap bulannya muzakki akan menerima majalah
berikut tanda bukti pembayaran ZIS. Majalah dan bukti ZIS akan
diantar oleh para pelayan yang akan datang setiap bulan ke tempat
para muzakki.
(3).Pelembagaan Pengelola ZIS
Sebelum

berlakunya

undang-undang

pengelolaan

zakat,

sebenarnya fungsi pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian
zakat telah eksis terlebih dahulu ditengah-tengah masyarakat.
Fungsi ini dikelola oleh masyarakat sendiri, baik secara perorangan
maupun kelompok (kelembagaan).
Ada

2

(dua)

kelembagaan

pengelola

zakat

yang

diakui

pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat
(LAZ). Kedua-duanya telah mendapat payung perlindungan dari
pemerintah. Wujud perlindungan pemerintah terhadap kelembagaan
pengelola zakat tersebut adalah Undang-Undang RI Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI
Nomor 373 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta Keputusan Direktur

5

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291
tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Disamping memberikan perlindungan hukum pemerintah juga
berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap
kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat
Nasional,

Propinsi,

Kabupaten/Kota

sampai

Kecamatan.

Dan

pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin)
bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik
berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.
Untuk

mendapatkan

sertifikasi

atau

pengukuhan

dari

pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 313
tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat pada baba III Pasal 22c disebutkan
bahwa setiap Lembaga Amil Zakat tingkat propinsi yang mengajukan
permohonan

kepada

pemerintah

harus

memenuhi

beberapa

persyaratan, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Berbadan hukum;
Memiliki data muzakki dan mustahiq;
Telah beroperasi minimal selama 2 tahun;
Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik selama 2 tahun terakhir
Memiliki wilayah operasional minimal 40% dari jumlah
Kabupaten/Kota di Propinsi tempat lembaga berada;
Mendapat rekomendasi dari Kantor Wilayah Departemen
Agama Propinsi setempat;
Telah mampu mengumpulkan dana Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) dalam satu tahun;
Melampirkan surat pernyataan bersedia disurvei oleh Tim
yang dibentuk oleh Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi dan diaudit oleh akuntan publik;
Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi
dengan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) dan Kantor
Wilayah
Departemen
Agama
Propinsi
wilayah
operasional.

Selanjutnya

setiap

lembaga

zakat

yang

telah

mendapat

sertifikasi dari pemerintah berkewajiban:

6

segera

-

melakukan

kegiatan

sesuai

dengan

program kerja yang dicanangkan
-

menyusun laporan termasuk laporan keuangan

-

membuat publikasi laporan keuangan yang telah
diaudit melalui media massa, dan:
menyerahkan laporan kepada pemerintah setiap

tahunnya.

Menurut perangkat perundang-undangan yang ada bahwa zakat
yang dibayarkan melalui badan amil zakat (BAZ) atau lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang mendapat sertifikasi dari pemerintah dapat
digunakan sebagai faktor pengurang penghasilan kena pajak dari
Pajak

Penghasilan

menggunakan

Wajib

bukti

Pajak

setoran

yang

yang

bersangkutan

sah.

Lingkup

dengan

kewenangan

pengumpulan zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor

581 tahun 1999 pada bab IV pasal 27 sebagaimana dimaksud pada Pasal
25 termasuk harta selain zakat seperti: infaq, shadaqah, hibah, wasiat,
waris dan kafarat.

(4).Zakat, Infaq dan Shadaqah
(a).

Pengertian, Pembagian dan Dasar Hukumnya
Az Zakat berarti suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih

dan baik sebagaimana dalam Firman Allah Q.S. 9: 103, Q.S.
30:39, Q.S. 18: 81 (Hafidhuddin, 2002: 1). Menurut istilah Yusuf
Qardawi zakat adalah sejumlah harta tertentu yang telah
mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan
dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu. Antara makna secara bahasa dan
istilah

sangat

berkaitan

yaitu

bahwa

setiap

harta

yang

dikeluarkan zakatnya akan suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan
berkembang.
Penggunaan zakat dengan segala bentuknya di dalam alQuran terulang sebanyak 30 kali dan

27 kali di antaranya

digandengkan dengan kewajiban menjalankan perintah shalat.

7

Disamping pemakaina kata zakat berbagai ayat al-Quran juga
menggunakan

kata

as-shodaqoh

dengan

makna

zakat.

Sebagaimana QS. At-Taubah ayat 103

       
          
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui. (QS. At-Taubah: 103)
Berikut ini beberapa ayat al-Quran yang berkaitan dengan
zakat, diantaranya: QS. Al-An’am ayat 141-142, QS. At-Taubah 3435, QS. Al-Isra’ ayat 26-27, QS. Adz-Dzariyat ayat 19, QS. AlBaqarah ayat 215, QS. Ali Imran ayat 92, QS. Ibrahim ayat 31, QS.
Al-Hadid ayat 7, QS. Al-Munafiqun 1-7, dan QS. Al-Baqarah ayat
254
Adapun nisab zakat selain zakat fitrah yang sering disebut
dengan zakat maal adalah sebagai berikut:

N
o

1

2
3
4

Jenis Harta
Tumbuhtumbuhan
(padi, biji2an,
buah2an,
umbi2an,
kacang2an,
dan
sebagainya
Emas
Perak
Logam mulia,
batu permata

Nishab
1350 Kg
gabah atau
750 Kg
beras atau
senilai
dengan
harga
tersebut
94 gram
672 gram
Senilai 94
gram emas
murni

Haul
(waktu
)

Kadar Zakat

Setiap
kali
panen

5 % atau 10 %

1 tahun
1 tahun

2,5 %
2,5 %

1 tahun

2,5 %

Keteranga
n
Jika
pengairan
pakai biaya
maka 5%,
jika tanpa
biaya 10 %

8

5

6

7

8

Pendapatan
perdagangan
(industri, jasa,
real estate,
gaji **,
perkebunan,
uang
simpanan, dll
Kambing, biribiri, domba

Sapi

Rikaz (harta
terpendam)

Senilai 94
gram emas
murni

40-120
ekor
121-200
ekor
201-300
ekor
30 ekor
40 ekor
60 ekor
70 ekor

*)menurut
Imam
Syafi'i
sama
nisabnya
emas
**) imam
lain tidak
ada syarat
nisab

* 1 tahun
* * Setiap
kali
menerim
2,5 %
a gaji
atau
bayaran
1.
1 ekor
2 ekor
3 ekor
1 tahun

1 Tahun

1 ekor umur 1
thn
1 ekor umur 2
thn
2 ekor umur 1
thn
1 ekor umur 1
tahun dan 1 ekor
umur 2 tahun

seketika

20%

Jumlah dari
kelipatanny
a akan
dihitung
dari jumlah
pokok

Tabel 1: Jenis Zakat, Haul, Nishab, serta Kadar Zakat
Adapun ketentuan dan regulasi pengelolaan zakat menurut
undang-undang adalah sebagai berikut:
1.

UU RI No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan
Zakat

2.

Keputusan menteri agama RI no. 373 tahun 2003
tentang pelaksanaan UU no. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat

3.

Keputusan dirjen Bimas Islam dan urusan haji no.
D/291 tahun 2000, tentang pedoman teknis pengelolaan
zakat.

(b).

Zakat Profesi dan Jenisnya

9

Zakat sebagaimana dijelaskan di depan adalah ibadah yang
memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Zakat juga
sering disebut sebagai ibadah maaliyah ijtihadiyah. Menurut
Monzer Kahf, tujuan utama dari zakat adalah untuk mencapai
keadilan sosial ekonomi. Zakat merupakan transfer sederhana
dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk
dialokasikan kepada si miskin. (Kahf,1999).
Menurut Dr. Yusuf Qardawy (2005: 23), padanan hukum
zakat profesi yang paling tepat adalah zakat Al-Mal Al-Mustafad
(harta yang diperoleh melalui satu jenis proses kepemilikan yang
baru dan halal). Jenis-jenis Al-Mal Al-Mustafad mencakup antara
lain; (1) Al-Amalah (penghasilan yang diperoleh dalam bentuk
upah atau gaji atas pekerjaan tertentu); (2) Al-A'thiyah (sejenis
bonus atau insentif tetap yang diterima secara teratur oleh
prajurit Negara islam dari baitul mal); (3) Al-Mazhalim (jenis harta
yang disita secara tidak sah oleh penguasa terdahulu, dan telah
dianggap hilang oleh pemilik aslinya, sehingga kalau harta itu
dikembalikan kepada pemilik aslinya, maka harta tersebut
dikategorikan sebagai harta yang diperoleh dengan kepemilikan
baru, dan karena itu, wajib dizakati.
Zakat penghasilan dari gaji dikategorikan kepada zakat
profesi. Apabila dirunut berdasarkan pendapat ulama mengenai
zakat profesi ini, ada tiga pendapat yang muncul tentang nishab
dan kadar zakat profesi, yaitu:
(1).

Menganalogikan zakat profesi kepada hasil pertanian,
baik nishab maupun kadar zakatnya. Dengan demikian
nishab zakat profesi adalah 653 kg beras dan kadar
zakatnya 5% atau 10% (tergantung kadar keletihan yang
bersangkutan) dan dikeluarkan setiap menerima gaji, tidak
perlu menunggu batas waktu setahun.

(2).

Menganalogikan zakat profesi dengan zakat
perdagangan atau emas. Nishabnya 85 gram emas murni
24 karat, dan kadar zakatnya 2,5%, boleh dikeluarkan
10

setiap menerima, kemudian penghitungannya
diakumulasikan di akhir tahun.
(3).

Menganalogikan nishab zakat profesi dengan hasil
pertanian. Nishabnya senilai 653 kg beras, sedangkan kadar
zakatnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5%. Hal
tersebut berdasarkan analogi (qiyas) atas kemiripan
(syabbah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah
ada, yakni:
- Model memperoleh harta penghasilan (profesi) mirip
dengan panen (hasil pertanian).
- Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan
berupa uang. Oleh sebab itu bentuk harta ini dapat
diqiyaskan dalam zakat harta (simpanan/kekayaan)
berdasarkan harta zakat yang harus dibayarkan (2,5%).
Zakat Perusahaan dan Jenisnya

(c).

Para ulama kontemporer menganalogikan zakat perusahaan
kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legal
dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada
kegiatan trading atau perdagangan.
Hal tersebut dikuatkan oleh keputusan seminar zakat di
Kuwait, tanggal 3 April 1984 tentang zakat perusahaan bahwa
Zakat perusahaan disamakan dengan perdagangan apabila
kondisi-kondisi sebagai berikut terpenuhi:
- Adanya peraturan yang mengharuskan pembayaran zakat
perusahaan tersebut.
- Anggaran Dasar perusahaan memuat hal tersebut.
- RUPS mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan hal
itu.
- Kerelaan para pemegang saham menyerahkan
pengeluaran zakat sahamnya kepada dewan direksi
perusahaan.

11

Pendapat ini berdasarkan prinsip usaha bersama yang
diterangkan dalam hadis Nabi saw. tentang zakat binatang ternak
yang penerapannya digeneralisasikan oleh beberapa madzhab
fikih dan yang disetujui pula dalam Muktamar Zakat I. Idealnya
perusahaan yang bersangkutan itulah yang membayar zakat jika
memenuhi keempat kondisi yang disebutkan di atas. Jika tidak,
maka perusahaan harus menghitung seluruh zakat kekayaannya
kemudian memasukkan ke dalam anggaran tahunan sebagai
catatan yang menerangkan nilai zakat setiap saham untuk
mempermudah pemegang saham mengetahui berapa zakat
sahamnya.
Mengingat penganalogian zakat perusahaan kepada zakat
perdagangan maka pola penghitungan, nisab dan syarat-syarat
lainnya juga mengacu pad zakat perdagangan. Dasar
penghitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada suatu
riwayat yang diterangkan Oleh Abu Ubaid dalam kitab Al Amwal
“Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat,
perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) ataupun
barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah
dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah
hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”
Dari penjelasan diatas maka pola penghitungan zakat
perusahaan adalah didasarkan pada neraca (balance sheet)
dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar.
Metoda penghitungan ini biasa disebut dengan metoda
Syar’iyyah, Metode ini digunakan di Saudi Arabia dan beberapa
negara Islam lainnya sebagai pendekatan penghitungan zakat
perusahaan.
Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan
dan bahkan berkaitan dengan kepemilikannya adalah saham.
Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan
kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan.
Pada setiap akhir tahum biasanya pada watku Rapat Umum

12

Pemegang Saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan
(deviden) perusahaan termasuk juga kerugiannya. Pada saat
itulah ditentukan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.
Yusuf al Qaradhawi (2005: 39) mengemukakan dua
pendapat yang berkaitan dengan kewajiban berzakatpada saham
tersebut. Pertama jika perusahaan itu merupakan perusahaan
industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan perdagangan
maka sahamnya tidaklah wajib dizakati, Misalnya perusahaan
hotel, biro perjalanan dan angkutan (darat, laut udara). Alasannya
adalah saham-saham itu terletak pada alat-alat perlengkapan,
gedung-gedung, sarana dan prasarana lainnya, Akan tetapi
keuntungan yang ada dimasukkan ke dalam harta para pemilik
saham tersebut, lalu zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya.
Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abdul Rahman Isa.
Kedua, jika perusahaan tesebut merupakan perusahaan dagang
murni yang membeli dan menjual barang-barang, tanpa
melakuakn kegiatan pengolahan, seperti perusahaan yang
menjual hasil-hasil industri, perusahaan dagang internasional,
perusahaan ekspor impor, maka saham-saham atas perusahaan
itu wajib dikeluarkan zakatnya. Hal yang sama berlaku pada
perusahaan industri dagang, seperti perusahaan yang mengimpor
bahan-bahan mentah, kemudian mengolah dan menjualnya,
contohnya perusahaan minyak, perusahaan pemintalan kapas
dan sutera, perusahaan besi danbaja dan perusahaan kimia.
(d).

Hubungan Zakat, Infaq, dan Shadaqah
Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan

non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib
diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah diantara nya,
infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam,
infak kemanusiaan, dll. Adapun Shadaqoh dapat bermakna infak,
zakat dan kebaikan non materi lainnya, seperti senyum, tasbih,
takbir, dll. (Hafidhuddin, 2002: 1-2).

13

Makna Infaq adalah lebih luas dan lebih umum dibanding
dengan

zakat.

Tidak

ditentukan

jenisnya,

jumlahnya

dan

waktunya suatu kekayaan atau harta harus didermakan. Allah
memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan jenis
harta,

berapa

jumlah

yang

yang

sebaiknya

diserahkan.

Sedangkan Makna Shadaqah mempunyai makna yang lebih luas
lagi dibanding infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan
yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak
terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi,
misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun orang yang
buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis kepada
saudaranya,

menyalurkan

syahwatnya

pada

istri

dsb.

Dan

shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq) iman seseorang.
Gambaran hubungan Sadaqah, Infaq dan Zakat adalah sebagai
berikut:

SHADAQAH
Material

NonMaterial

INFAQ

Wajib

ZAKAT

Non-Wajib

Non-Zakat

Gambar 1: Hubungan Shadaqah, Infaq, dan Zakat
(5).Manajemen dan Pengelolaan ZIS
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud
“Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan,

14

pengorganisasian,

pelaksanaan,

dan

pengawasan

terhadap

pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
Manajemen dan pengelolaan ZIS diawali dengan kegiatan
perencanaan, dimana dapat meliputi perencanaan program beserta
budgetingnya serta pengumpulan (collecting) data muzakki dan
mustahiq, kemudian pengorganisasian meliputi pemilihan struktur
organisasi (Dewan pertimbangan, Dewan Pengawas dan Badan
Pelaksana), penempatan orang-orang

(amil) yang tepat dan

pemilihan system pelayanan yang memudahkan ditunjang dengan
perangkat lunak (software) yang memadai, kemudian dengan
tindakan nyata (pro active) melakukan sosialisasi serta pembinaan
baik kepada muzakki maupun mustahiq dan terakhir adalah
pengawasan

dari

sisi

syariah,

manajemen

dan

keuangan

operasional pengelolaan zakat. 4 (empat) hal diatas menjadi
persyaratan mutlak yang harus dilakukan terutama oleh lembaga
pengelola zakat baik oleh BAZ (Badan Amil Zakat) maupun LAZ
(Lembaga Amil Zakat) yang profesional.
Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah (1)
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam
pelayanan ibadah zakat.

(2) meningkatnya fungsi dan peranan

pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial. Dan (3) meningkatnya hasil guna
dan daya guna zakat.
Dalam
pendidikan

kaitannya
Islam

peran

yang

dari

LAGZIS/BAS
awal

sudah

dalam

pembiayaan

menjadi

program

Badan/lembaga pengelola zakat karena pendidikan adalah jalan
untuk menggapai hari esok yang lebih baik.
Kualitas manajemen suatu organisasi pengelola zakat (Widodo,
2003) harus dapat diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat
dijadikan sebagai alat ukurnya. Pertama, amanah. Sifat amanah
merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil
zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sitem yang
dibangun. Kedua, sikap profesional. Ketiga, transparan. Dengan

15

transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu
sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak
intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak eksternal.
Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan
masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila
didukung oleh penerapan prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsipprinsip operasionalisasi LPZ (lembaga pengelola zakat) antara lain.
Pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek
kelembagaan, sebuah LPZ seharusnya memperhatikan berbagai
faktor, yaitu : visi dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas
dan struktur organisasi, aliansi strategis.
Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan
aset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan
menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu
perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat
adalah sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus.
Ketiga, aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem
pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan
adalah : LPZ harus memiliki sistem, prosedur dan aturan yang
jelas; manajemen terbuka; mempunyai activity plan; mempunyai
lending commite; memiliki sistem akuntansi dan manajemen
keuangan; diaudit; publikasi; perbaikan terus menerus.
Setelah prinsip-prinsip operasional dipahami, kita melangkah
lebih jauh untuk mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat
dapat berjalan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan sinergi dengan
berbagai stakeholder. Pertama, para pembayar zakat (muzaki). Jika
LPZ ingin eksis, maka ia harus mampu membangun kepercayaan
para muzaki antara lain dengan: memberikan progress report
berkala, mengundang muzaki ke tempat mustahiq, selalu menjalin
komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua,
para amil. LPZ harus mampu merekrut para amil yang amanah dan
profesional. Setelah itu, LPZ juga harus mampu mendesain sistem

16

operasional yang memberikan kesempatan kepada para amil untuk
berkembang dan berkarya.
Ketiga, pengambil kebijakan. Kebijakan dalam konteks
kenegaraan juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perkembangan LPZ. Dengan adanya peraturan seperti UU, maka
LPZ akan dapat bergerak secara legal. Sehingga LPZ mempunyai
landasan yang cukup kuat dalam mengelola zakat. dan Keempat,
media massa. Media merupakan penyambung lidah. Dengan begitu
banyaknya oplah media diharapkan jangkauan sosialisasi kepada
masyarakat akan semakin luas.
(6). Re-Definisi Asnaf Mustahiq ZIS dan Distribusinya
Mustahiq zakat atau orang yang berhak menerima zakat harta
benda (zakat maal) ada delapan asnaf (golongan) sebagaimana
dalam Q.S. At Taubah: 60 yakni fakir, miskin, 'amil (petugas zakat),
mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang
yang telah memerdekakan budak –zaman dulu), ghorim (orang yang
berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu
sabil (yang dalam perjalanan).
Umumnya zakat yang diberikan kepada mereka bersifat
konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini kurang
begitu membantu mereka untuk jangka panjang, karena uang atau
barang kebutuhan sehari-hari yang telah diberikan akan segera
habis dan mereka akan kembali hidup dalam keadaan fakir atau
miskin.
Berikut adalah para mustahiq yang berhak menerima zakat,
yaitu :
-

Fakir dan miskin. Para ulama’ klasik menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang secara
ekonomi berada pada garis yang paling bawah, sementara
miskin adalah orang yang relatif lebih beruntung di banding si
fakir. Definisi ini masih relevan untuk kontek kita saat ini,
namun

perlu

pengembangan

lebih

lanjut.

Dana

yang

17

terkumpul melalui zakat bisa ditasarufkan kepada kelompok ini
bukan dalam hal-hal konsumtif yang bersifat sesaat. Alangkah
baiknya apabila diberikan kepada mereka dalam bentuk
pemenuhan

sandang,

pangan,

papan,

kesehatan,

dan

pendidikan.
-

Amil. Golongan ini bisa diserahkan kepada pemerintah
atau lembaga yang mendapat pengesahan dari pemerintah,
seperti

BAZ,

LAGZIS,

dll.

Pemerintah

dalam

rangka

mengefektifkan pengumpulan zakat, bisa membuat lembaga
khusus

yang

pengelolaan,

menangani
dan

zakat,

pentasarufannya

baik

pengumpulan,

atau

memfasilitasi

masyarakat mendirikan lembaga zakat namun dengan tetap
melakukan pengawasan kepada mereka. Amil merupakan
sebuah lembaga profesi dimana ia bisa dijadikan sebagai
sumber mata penghidupan. Dengan demikian pentasarufan
dana zakat untuk kontek ini adalah diberikan kepada orang
atau fungsi-fungsi yang terlibat dalam pengelolaan zakat.
-

Muallaf . Mu’allaf

dalam

banyak

konsep

fiqih

konvensional selalu didefinisikan sebagai “orang yang tengah
diusahakan untuk masuk lebih mantap dalam komunitas Islam,
karena baru memeluk agama Islam”. Menurut Masdar definisi
ini tidak salah, namun alangkah baiknya dikembangkan
pemaknaannya sesuai kata asal “muallaf qulubuhum”, yakni
“orang yang perlu disadarkan hatinya untuk kembali pada
jalan fitrah kemanusiaannya”. Sebagai individu, misalnya ia
harus diarahakan untuk bersikap jujur, mau menghormati hak
orang lain, tidak membuat kerusakan dan tindakan negatif
lainnya. Konkritnya penyaluran dana zakat untuk golongan ini
bisa diarahkan dalam bentuk biaya rehabilitasi mereka yang
terperosok ke dalam tindakan asusila, kejahatan kriminal,
penyalahgunaan narkotika, dan lain sebagainya.
-

Riqab. Secara harfiyah golongan ini diartikan dengan
orang yang berstatus budak yang dapat dipekerjakan sesuai

18

dengan keinginan, dapat diperjualbelikan kepada siapa saja,
dan dapat dijadikan sebagai hadiah kepada orang lain. Untuk
saat sekarang hampir bisa dipastikan pemaknaan di atas tidak
akan bisa kita jumpai lagi. Pemaknaan yang lebih luas untuk
kontek sekarang adalah gugusan manusia yang tertindas dan
tereksploitasi oleh orang lain, baik secara personal maupun
struktural, tertindas secara politis maupun ekonomis. Bentuk
konkrit

penyaluran

dana

ini

adalah

diperuntukkan

bagi

peningkatan taraf hidup buruh-buruh rendahan, para petani di
pedesaan, usaha-usaha yang mengarah pada penguatan
politik kerakyataan dan lain lain.
-

Gharimin. Golongan ini secara harfiyah didefinisikan
dengan “orang yang sedang tertindih hutang”. Dalam kontek
sekarang

alangkah

baiknya

dana

zakat

bukan

saja

ditasarufkan untuk membantu orang-orang yang sedah pailit
karena

utang,

namun

juga

bagi

usaha

peningkatan

kemampuan management orang-orang yang melakukan usaha
dengan modal pinjaman.
-

Sabilillah. Pada zaman Nabi
golongan

ini

adalah

mereka

yang termasuk dalam

(tentara)

yang

berperang

menegakkan agama Islam. Untuk saat ini kata “sabilillah”
hendaknya difahami dengan “sabilil khair” berjuang di jalan
kebaikan yang diorientasikan kepada kemaslahatan bersama,
bukan hanya untuk kepentingan umat Islam saja, namun juga
umat-umat

lain.

Sebab,

berjuang

di

jalan

kebaikan

sesungguhnya adalah berjuang di jalan Allah juga. Dana zakat
dalam hal ini bisa diwujudkan dalam bentuk pembangunan
sarana dan prasarana umum, pengembangan SDM, beasiswa
pendidikan, penegakan keadilan dll.
-

Ibnu Sabil. Dalam fiqih klasik ibnu sabil didefinisikasn
dengan musafir yang sedang kehabisan bekal. Pemaknaan ini
dirasa sangat sempit bila disesuaikan dengan kontek saat ini.
Pendefinisan yang mendekati spirit “ibnu sabil” dalam kontek

19

sekarang adalah mereka yang terpental dari tempat tinggal
semula dan hidup di jalanan atau di kampung orang lain.
Dengan demikian dana zakat bisa diberikan kepada upaya
pengentasan kaum gelandangan, tuna wisma, membantu
korban bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gunung
meletus, dll.
Sedangkan dalam Keputusan menteri agama RI no. 373 tahun
2003

tentang

pelaksanaan

UU

no.

38

tahun

1999

tentang

pengelolaan zakat bab V pasal 28 dinyatakan bahwa:
XLVIII Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahiq
dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
a. hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan
ashnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim,
sabilillah, dan ibnussabil;
b. mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya
memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat
memerlukan bantuan;
c. mendahulukan mustahiq dalam wilayahnya masing-masing.
XLIX
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang
produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut:
d. apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat
kelebihan;
e. terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan;
f. mendapat persetujuan tertulis dari Dewan Pertimbangan.

Dengan demikian, dalam rangka mengentaskan kemiskinan
dan

mengangkat

taraf

hidup

kaum

dhuafa,

maka

sistem

pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh harus diubah, yaitu
dengan cara memberikan kail pada mereka, bukan ikan, dengan
harapan bahwa melalui kail tersebut mereka akan mampu mencari
ikan sendiri.
Bentuk-bentuk kail ini bias bermacam-macam, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh LAGZIS. Dana zakat, infaq, dan shodaqoh
yang telah dikelola dengan baik, diberikan dalam beberapa bentuk,
antara lain:
-

Skill (ketrampilan). Dalam hal ini LAGZIS merekrut
orang-orang yang memiliki ketrampilan agar mengajarkan
ketrampilan yang mereka miliki pada kaum dhuafa. Adapun

20

ketrampilan-ketrampilan yang diberikan adalah yang bersifat
wirausaha,

yaitu:

menjahit,

membuat

kue,

membatik,

menyulam, kerajinan tangan (membuat keramik, hiasan-hiasan
dinding, taplak meja, sulak, keset, kaligrafi, buket-buket
bunga), pertukangan, mengelas, menyablon, menjilid, foto
copy, membuat bakso, dan sebagainya.
-

Alat-alat Wiraswasta. Misalnya mesin jahit, perangkat
pertukangan, bengkel, las, sablon, mesin penjilidan dan foto
copy, gerobak bakso, perangkat pembuat kue, alat-alat untuk
membatik, dan sebagainya.

-

Modal. LAGZIS menyediakan modal pada kaum dhuafa
yang berminat untuk berwirausaha. Dengan demikian kaum
dhuafa tidak hanya bisa menerima dana zakat, infaq, dan
shodaqoh

saja,

namun

lebih

dari

itu,

mereka

mampu

mengembangkannya menjadi wirausaha yang mandiri sebagai
sumber mata pencaharian.
Selanjutnya dengan perencanaan yang matang, strategi dan
penanganan yang profesional, serta pengembangan yang aktif,
maka bentuk-bentuk wirausaha tersebut dapat membidik pasar
eksternal (tidak hanya internal di kalangan kaum muslimin), hingga
pada akhirnya wirausahawan muslim akan mampu menguasai rantai
produksi ekonomi sepanjang mungkin. Ini tidak hanya menjamin
stabilitas usaha, tapi juga membuat posisi tawar (bargaining
position) yang lebih kuat terhadap para pesaing pasar bebas yang
saat ini didominasi oleh orang-orang non muslim.
(7).Peran LAGZIS Dalam Pembiayaan Pendidikan Islam
Seminar dan ekspo zakat Asia Tenggara yang berlangsung di
UIN Malang pada tanggal 21-24 Nopember 2006 yang bertema
”Peranan Pendidikan tinggi dalam Membangun Peradapan Zakat Asia
Tenggara”. Pada seminar itu hadir para akademisi dan praktisi zakat,
tidak hanya dari Indonesia, namun juga beberapa pakar dari
Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Seminar yang dibuka

21

oleh Mentri Agama M. Maftuh Basuni, membicarakan tentang
pengembangan zakat di Asia Tenggara, salah satunya melalui pintu
perguruan Tinggi.
Dalam hal pengembangan ZIS, selama ini tugas untuk
mangkaji dan mencari terobosan baru masih dimonopoli oleh praktisi
agama. Mereka dianggap oleh masyarakat sebagai krlompok yang
kompeten sekaligus berkepentingan dengan zakat. Apalagi, zakat
membutuhkan tenaga teknis yang dianggap tidak perlu berlatar
pendidikan formal. Tak hayal kalau masalah zakat cenderung
menjadi pembicaraan terbatas dalam majlis taklim, masjid, atau
musholla. Hal ini bisa dimaklumi bahwa masalah zakat adalah
urusan pribadi karena sebagai bagian dari ibadah kepada Allah.
Orang yang tidak berzakat juga tidak mendapat hukuman sosial dan
tegas.
Secara hirarkhis, jenjang pendidikan di Indonesia terbagi
dalam beberapa tahap, Mulai dari sekolah dasar, sekolah lanjutan
tingkat pertama, sekolah lanjutan Tingkat Atas, hingga perguruan
Tinggi. Masing-masing memiliki tugas dan kewajiban berbeda dalam
membentuk generasi mendatang. Pendidikan dianggap Investasi
paling menjanjikan untuk kemajuan sebuah Bangsa, Untuk itu
pemerintah

sekarang

mulai

menaruh

perhatian

yang

cukup

signifikan kepoada pengembangan dunia pendidikan, antara lain
memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) dalam
bentuk beasiswa dan buku. Untuk itu juga Pembiayaan dalam bentuk
lain yang banyak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan Islam
sehingga peningkatan peran LAGZIS dalam pembiayaan pendidikan
dapat terwujud.
Langkah kongkrit lain yang dapat dilakukan perguruan tinggi
adalah mengumpulkan zakat dari muzakki baik dari kalangan
kampus maupun masyarakat yang berkecukupan. Peran penelitian
(khususnya model PAR) dalam pemetaan potensi zakat kampus dan
lingkungan sekitar akan bermanfaat dalam penjemputan zakat dan
pendistribusiannya.

22

Dana yang terkumpul dalam baitul maal kampus dapat
digunakan untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang
kurang mampu dan memberikan bantuan kepada anak-anak putus
sekolah

untuk

meneruskan

pendidikannya.

Dalam

hal

ini,

pendayagunaa zakat seperti konsumtif, namun sebenarnya justru
produktif karena akan membangun masa depan generasi bangsa.
Wajah bangsa Indonesia beberapa dasawarsa mendatangkan akan
ditentukan oleh seberapa kita peduli terhadap pendidikan anak kita
hari ini.
C.

KESIMPULAN
Potensi besar umat Islam dalam persoalan zakat saat ini belum

dapat dikelola secara maksimal demi kemaslahatan ummat. Padahal
dengan potensi yang ada, sesungguhnya zakat (termasuk infaq dan
shadaqah) mempunyai peran yang sangat strategis dalam rangka ikut
serta membantu pemerintah dalam penanggulangan dan pengentasan
kemiskinan

dan

sebagai

salah

satu

upaya

dalam

pembiayaan

pendidikan Islam.
Salah satu upaya menuju pengelolaan zakat secara profesional
adalah merumuskan sasaran penerima zakat secara benar sesuai
dengan konteks saat ini yakni tidak hanya pada tataran konsumtif,
tetapi juga pada tataran produktif. Sebab konsep lama mengenai
golongan penerima zakat yang dalam peristilahan fikih biasa disebut
mustahiq zakat masih terlalu sempit dalam pemaknaan.
Di samping itu, pengelolaan ZIS harus dilakukan dengan kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, tindakan nyata (pro active), dan
pengawasan. Ke empat peran dan pengelolaan tersebut harus diandasi
oleh sifat amanah, profesional serta transparan. Peran stakeholder
dalam pengelolaan zakat ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: Muzakki,
amilin serta pemerintah (pengambil kebijakan).

23

DAFTAR RUJUKAN
al Qardhawi, Yusuf. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan
(Terjemahan), Jakarta: Gema Insani
-----------------------. 1998. Hukum Zakat. (Terjemah). Jakarta: PT. Pustaka
Litera Antarnusa.
-----------------------. 2005. Spektrum Zakat. Jakarta Timur : Zikrul Hakim.
Ali, Mohamad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf.
Jakarta: UI Press.
Ali, Nuruddin. 2006. Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Al-Usaimin, Muhammad bin Shaleh. 2008. Fatwa-Fatwa Zakat. Jakarta
Timur : Darus Sunnah Press.
Cholid Fadlullah, Manajemen Hukum ZIS dan Pengamalannya di DKI
Jakarta, Jakarta : Bazis, 1993.
Dedi supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah ( Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya), 2003.
Departemen Agama, Pola Pembinaan Amil Zakat, Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam. Jakarta, 2005.
Fakhruddin. 2006. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang :
UIN. Malang Press.
Fattah, Nanang. 2004. Ekonomi & Pembiayaan Pendidikan. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
24

Hafidhuddin, Didin. 2002. Panduan Zakat Bersama Dr. K.H. Didin
Hafidhudin Jakarta: Replubika.
-----------------------. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta:
Gema Insani Press.
Juanda, Gustian. 2006. Pelopor Zakat Pengurang Pajak Penghasilan.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Kahf, Monzer. The Principle of Socioeconomics Justice in The
Comtemporarry Fiqh of Zakah. Iqtisad. Journal of Islamic
Economics. Vo. 1. Muharram 1420 H / April 1999.
Keputusan Dirjen Bimmas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Keputusan Menteri Agama RI nomor 373 tahun 2003 tentang
pelaksanaan undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat
Mas'udi, Masdar Farid. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sahri, Muhammad. 2006. Mekanisme Zakat & Permodalam Masyarakat
Miskin. Malang : Bahtera Press.
Sudirman. 2007. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. Malang: UIN
Malang Press
Suyitno, dkk (Ed.). 2005. Anatomi Fiqh Zakat: Potret dan Pemahaman
Badan Amil Zakat Sumatra Selatan .Yogyakarta : BAZ Propinsi
Sumatra Selatan dan LKHI
Fakultas Syari'ah IAIN Raden Fatah
Palembang Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat
Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fiqh Sosial. Mizan : Bandung.

25