Evolusi Jejaring Teror DAN Indonesia

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

Ulasan Kritis Kuliah Umum Sidney Jones, 27 September 2011
“Evolusi Jejaring Teror di Indonesia”
Anggalia Putri Permatasari (1006743424)

Tulisan ini ditujukan sebagai ulasan kritis atas materi kuliah umum yang diberikan oleh
Sidney Jones, penasihat senior International Crisis Group (ICG), yang bertemakan “Evolusi
Jejaring Teror Indonesia” yang diselenggarakan pada tanggal 27 September 2011. Topiktopik utama yang dibahas dalam kuliah umum ini adalah sebagai berikut: 1) Kecenderungan
insiden terorisme terkini di Indonesia, 2) Sumber utama terorisme di Indonesia (Darul Islam,
konflik komunal, dan sosiologi ideologi Salafi Jihadisme), dan 3) Evolusi ‘organisasi jihadis’
di Indonesia tahun 2001-2011.
Kuliah umum ini dimulai dengan menyoroti berbagai insiden terorisme terkini di
Indonesia, di mana yang paling kontemporer terjadi hanya beberapa hari sebelum kuliah
umum ini diadakan, yakni Bom Gereja Kepunton, Solo, pada tanggal 25 September 2011
oleh kelompok yang disinyalir merupakan bagian dari kelompok Cirebon. Referensi kepada
‘kelompok’ atau ‘sel’ dalam insiden terorisme kontemporer di Indonesia ini (alih-alih pada

sebuah organisasi tertentu, misalnya Jamaah Islamiyah seperti yang cenderung dilakukan
sebelumnya) mengindikasikan adanya perubahan dalam hal sifat jejaring dan gerakan
terorisme di Indonesia yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh Jones di sepanjang
kuliahnya.
Kecenderungan-kecenderungan perubahan jejaring teror di Indonesia yang dapat
disarikan dari elaborasi Jones adalah sebagai berikut:
Kecenderungan pertama: organisasi besar (merujuk kepada Jamaah Islamiyah) yang
memayungi kelompok-kelompok ‘teroris’ sudah pecah menjadi kelompok-kelompok kecil
yang saling berkaitan (terkadang tumpang-tindih), namun tidak berada dalam satu garis
hirarki/komando. Menurut Jones, peran JI sebagai sebuah organisasi saat ini sudah jauh lebih
kecil dibandingkan organisasi lain, misalnya JAT, dan kelompok-kelompok pecahannya.
Selain itu, fokusnya lebih diarahkan pada dakwah dan pendidikan meskipun ada bagiannya
yang masih ingin melakukan ‘amaliyah.’ Hal ini sejalan dengan argumen Magouirk et al.
yang menyatakan bahwa pada awalnya JI merupakan organisasi yang sangat hirarkis
(sebagaimana halnya sebuah organisasi militer), namun kemudian bermutasi menjadi
1

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional

Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

organisasi yang terfragmentasi dan kemudian ‘dibajak’ oleh para anggotanya yang militan,
yang kemudian meminggirkan anggota dan pemimpin yang lebih moderat.1
Kecenderungan kedua: aksi teror cenderung melibatkan teknologi rendah dengan jumlah
korban yang juga relatif rendah (low tech, low casualties terror), khususnya sejak tahun 2009
(di mana terjadi aksi teror ‘besar’ terakhir, yakni Bom Marriot-Carlton). Satu hal yang tersirat
dari pernyataan ini adalah kita dapat berekspektasi bahwa insiden teror mungkin akan lebih
sering terjadi (dengan semakin terdesentralisasinya jejaring teror), tapi dengan intensitas yang
lebih kecil (kuantitas tinggi, kualitas rendah). Perkiraan ini didukung oleh Sageman dalam
analisisnya mengenai sifat jejaring teror saat ini, yaitu bahwa terorisme skala kecil adalah
konsekuensi logis dari berkurangnya peran komando sentral yang dapat mensuplai kebutuhan
operasional dalam aksi-aksi teroris.2
Kecenderungan ketiga: terjadi perubahan target dari ‘musuh jauh’ ke ‘musuh dekat.’ Pada
tahun 2011, seluruh insiden teror yang dikemukakan oleh Jones adalah serangan terhadap
target lokal yang lazim dikenal sebagai ‘musuh dekat’, khususnya polisi dan gereja. Selain
itu, muncul juga konteks lama aksi teror, yakni potensi konflik komunal baru dari bentrokan
di Ambon. Sebenarnya perubahan target ini lebih tepat jika dikatakan sebagai ‘kembali ke
pola lama’ karena aksi-aksi teror di Indonesia pada aswalnya memang ditujukan kepada

‘musuh dekat’, yaitu pada masa Komando Jihad di era 70 dan 80-an (yang berakar pada
gerakan Darul Islam pada tahun 40-an).3 Konteks ini harus terus diingat agar kita tidak
terjebak pada periodisasi superfisial yang mengkotak-kotakan sejarah terorisme tanpa
menekankan kontinyuitas di antara berbagai periodisasi tersebut 4, juga agar tidak muncul
sustained anxiety di kalangan masyarakat tertentu karena merasa dijadikan ‘target terkini.’
Kecenderungan keempat: mulai ada konvergensi antara kelompok teror dan preman dan
kriminal lain (konvergensi kriminal-teror). Meskipun hal ini merupakan kecenderungan yang

1

Justin Magouirk, Scott Atran, dan Marc Sageman, “Connecting Terrorst Networks”, Studies in Conflict
and Terrorism, 31, 1-16, 2008 h. 14, diunduh dari
http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf. Diakses 12 Oktober 2011.
2
Marc Sageman, Understanding Terror Networks ( Philadelphia: University Press of Pennsylvania, 2004),
h. 176.
3
Untuk narasi detil mengenai evolusi gerakan ini sejak NII hingga JI yang lebih menekankan pada aspek
kontinyuitas ideologis baca Solahudin, Dari NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2010).

4
Argumen dan peringatan ini dikemukakan oleh Isabelle Duyvesteyn dalam tulisannya, “The Role of
History and Continuity in Terrorism Research,” 2007, dalam Modul Metodologi Penelitian Terorisme, Andi
Widjajanto, 2011.

2

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

menarik (karena mulai terjadi fenomena ‘pengkarbitan’ dalam kelompok-kelompok teror,
terutama yang disiapkan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri 5), konvergensi antara
kelompok teror-kriminal ini bukanlah sesuatu yang baru dan telah terjadi juga di masa Komji.
Yang membedakannya adalah, jika dahulu tindak kriminal merupakan fungsi dari kelompok
teror (untuk mensuplai kebutuhan aksi teror), kini para aktor kriminal dikooptasi oleh
kelompok-kelompok teror. Jika terjadi konvergensi lebih jauh di antara teror dan kriminal,
pemerintah dapat menjadikannya amunisi untuk lebih jauh lagi mendelegitimasi dan

mendepolitisasi kelompok-kelompok tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh pemerintah
Filipina kepada Kelompok Abu Sayyaf, pemerintah Rusia kepada gerakan Chechnya, dan
pemerintah Inggris pada IRA.6
Selain keempat kecenderungan di atas, Jones membahas pula mengenai tantangantantangan yang masih dihadapi Indonesia dalam upaya penanggulangan terorisme, di
antaranya ‘lulusan’ wilayah konflik internasional (terutama Moro) yang berpotensi menjadi
pemimpin, rekrutmen di penjara, berbagai enabling factors seperti tata kelola kepemerintahan
yang buruk (dalam hal pergerakan lintas-batas, imigrasi, dokumen kependudukan, dsb.), dan
masalah penegakan hukum secara umum. Sebagai penutup, Jones berargumen bahwa cara
terbaik untuk memerangi kejahatan adalah penguatan penegakan hukum, mulai dengan
memerangi pelanggaran-pelanggaran kecil sebelumnya.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa esensi dari gerakan teror di Indonesia
sesungguhnya bertumpu pada jejaring dan bukan ideologi semata (‘radikalisme agama’)
sebagaimana wacana publik yang dominan pada saat ini. Sebagaimana argumen Sageman,
‘social network precedes ideological commitment’ di mana afiliasi formal terhadap jihad
adalah sebuah fenomena kelompok dan bukan karena internalisasi ideologi secara

5

A break of pattern dari ‘pola tradisional’ yang mengharuskan calon pelaku bom bunuh diri untuk
memiliki pemahaman agama yang mendalam selain seleksi yang sangat ketat. Sageman bahkan menganalogikan

perekrutan pelaku bom bunih diri dengan ujian masuk universitas di mana ada seleksi, ujian, dan evaluasi.
6
Pemerintah Filipina dan Rusia menyebut ASG dan pejuang Checnya sebagai ‘organized bandits’
sedangkan pemerintah Inggris menyebut IRA sebagai ‘a bunch of criminals’ lihat “ The Grammar of Terrorism:
Rethinking the Concept of Asymmetric Threats,” dalam Robert W. Orttung dan Andrey Makarychev (Ed.),
National Counter-Terrorism Strategies: Legal, Institutional, and Public Policy Dimensions in the US, UK,
France, Turkey and Russia (Amsterdam et al.: IOS Press, 2006) dan Mary J. Hickman et al., “Suspect
Communities? Counter-terrorism Policy, the Press, anf the Impact on Irish and Muslim Communities 19742007,” 2011, diunduh dari www.statewatch.org/.../uk-london-met-suspect-communities-findings.pdf pada 10
September 2011;

3

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

individual.7 Khusus untuk Asia Tenggara, jejaring sosial ini bertumpu pada hubungan guru
dan murid (discipleship), selain hubungan persahabatan (friendship) dan kekerabatan

(kinship).8 Setelah JI kehilangan pusat komandonya (pasca-kematian Abdullah Sungkar),9
jejaring ini menjadi sangat terdesentralisasi dan masing-masing memiliki target operasi
sendiri. Analisis jejaring sosial (friendship, kinship, dan discipleship) inilah yang menurut
saya kurang dieksplorasi oleh Jones sehingga nama-nama teroris yang banyak sekali
disebutkan dalam kuliah umum ini sangat sulit diingat dan dihafalkan.
Kuliah umum ini memberi kita pelajaran bahwa gerakan teror di Indonesia bukanlah
gerakan yang monolitik, hirarkis, dan berpusat pada satu entitas/organisasi saja. Jejaring teror
saat ini lebih menyerupai sebuah ’all-channel network’ di mana para individu saling
terhubung dengan semua individu lain meskipun tipe dasarnya adalah tipe ‘hub’ di mana
sekelompok individu berhubungan satu sama lain (dalam mode yang tidak hirarkis) melalui
sebuah node (simpul) sentral.10 (Lihat gambar 1-3 pada bagian lampiran)
Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemerintah Indonesia harus melawan jejaring
dengan mode perang berjejaring pula. Secara lebih operasional, Sageman menyarankan untuk
membidik simpul-simpul sosial yang paling signifikan untuk mereduksi kapasitas kelompok
teror sehingga tidak dapat melancarkan aksi teroris dengan skala besar. 11 Akan tetapi,
sebagaimana dinyatakan Sageman, sangat sulit untuk mengeliminasi sepenuhnya kelompokkelompok ini sehingga yang dapat dilakukan saat ini adalah mencegah eskalasi teror, bukan
mengeliminasi teror sepenuhnya.12 Untuk melakukan ini peran intelijen sangat sentral dan
Indonesia memiliki harapan lebih baik karena RUU Intelijen telah disahkan, yang
7


Marc Sageman, Understanding Terror Networks ( Philadelphia: University Press of Pennsylvania, 2004).
Ibid.
9
Menurut Margouirk et al., pemimpinan ABB lebih bersifat ‘oracular’ atau lebih berperan sebagai
pemersatu ideologis-spiritual belaka tanpa kendali ataupun komando operasional. Lihat
10
Untuk penjelasan mendetil mengenai netwar, lihat John Arquilla dan David Ronsfelt, “The Advent of
Netwar,’ RAND Corporation, diunduh
dari http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1382/MR1382.ch1.pdf. Diakses
12 Oktober 2011.
11
Marc Sageman, Loc. cit. Hal inilah yang sepertinya sedang terjadi di Indonesia pada saat ini. Banyak
pihak luar (termasuk Sidney Jones) yang memuji kemajuan penanggulangan terorisme di Indonesia karena telah
berhasil menangkap anggota jejaring teror, termasuk yang merupakan simpul utama seperti Noordin M. Top.
Hal ini membuat kelompok-kelompok teror terdegradasi sehingga lebih memilih target-target yang soft seperti
gereja. Sebagai contoh analisis kemajuan kontraterorisme di Indonesia, lihat Zachary Abuza, “Counter-terrorism
in Indonesia: The Great Leat Forward”, Terrorism Monitor, Volume 8 Issue 2 2010 diunduh dari
http://www.apgml.org/frameworks/docs/7/Abuza%202009_Indonesian%20CT_Great%20Leap%20Forward.pdf
.Diakses 12 Oktober 2011.
12

Ibid.
8

4

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

memberikan kewenangan pada intelijen untuk melakukan penyadapan dengan izin
pengadilan.
Selain itu, pasukan kontraterorisme di Indonesia (Densus 88) harus dibuat fleksibel
mengikuti musuh yang harus ditumpasnya karena perkembangan gerakan teror sangat adaptif
terhadap perubahan-perubahan yang tidak terduga sebelumnya yang lebih bertumpu pada
hubungan yang terfragmentasi di antara bagian-bagian yang bersifat semi-otonom sebagai
kebalikan dari sebuah ‘grand design’ yang berbasiskan komando dan kontrol yang hirarkis. 13
Meskipun dapat dikatakan bahwa center of gravity dari gerakan teror di Indonesia
adalah jejaring dan dalam kuliah umum ini faktor-faktor deprivasi, sosial, ekonomi, dan

politik tidak dibahas (bracketed), perlu diingat pula bahwa terorisme adalah sebuah konflik
sosial yang meskipun hanya muncul dari segelintir minoritas terbukti memiliki dampak yang
besar terhadap kehidupan masyarakat luas, bukan dari kerusakan fisik yang ditimbulkannya,
melainkan dari teror psikologis yang bahkan dapat memicu friksi komunal di tengah
masyarakat dan menurunkan lebih jauh legitimasi pemerintah. Jika kita melihat sejarah, pada
akhirnya terorisme hampir tidak pernah berhasil mencapai tujuannya, tetapi dapat mendorong
suatu bangsa untuk melakukan policy blunder. Hal ini yang perlu dihindari oleh Indonesia.
Pada akhirnya, penulis bersepakat dengan Jones bahwa penegakan hukum (termasuk
pemulihan legitimasi para aparatnya) adalah hal paling utama yang dapat dilakukan Indonesia
saat ini dalam penanggulangan terorisme. Sayang sekali bahwa Indonesia saat ini masih
tertatih-tatih dalam upaya penegakan supremasi hukum itu sendiri sehingga penulis sekali
lagi bersepakat dengan pemateri: there is indeed still a long way to go.

13

Magouirk et al. Loc cit.

5

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia

Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

DAFTAR PUSTAKA

Abuza, Zachary. 2010. “Indonesian Counter-Terrorism: The Great Leap Forward.” Terrorism
Monitor,
Volume:
8
Issue:
2
January
14.
Diunduh
dari
http://www.apgml.org/frameworks/docs/7/Abuza%202009_Indonesian%20CT_Great%
20Leap%20Forward.pdf. Diakses 12 Oktober 2011.
Arquilla, John dan David Ronsfelt. 2001. “The Advent of Netwar.’ RAND Corporation,
diunduh dari
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1382/MR1382.ch1.pdf.
Diakses 12 Oktober 2011.
Duyvesteyn, Isabelle. 2007. “The Role of History and Continuity in Terrorism Research,”
dalam Andi Widjajanto. 2011. Modul Metodologi Penelitian Terorisme. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Hickman, Mary J. et al. 2011.“Suspect Communities? Counter-terrorism Policy, the Press,
anf the Impact on Irish and Muslim Communities 1974-2007.” Diunduh dari
www.statewatch.org/.../uk-london-met-suspect-communities-findings.pdf
pada
10
September 2011.
Magouirk, Justin; Scott Atran, dan Marc Sageman. 2008. “Connecting Terrorst Networks”,
Studies in Conflict and Terrorism, 31, 1-16, 2008 h. 14. Diunduh dari
http://www.artisresearch.com/articles/Sageman_Connecting_Terrorist_Networks.pdf.
Oktober 2011.

Diakses

12

Orttung, Robert W. dan Andrey Makarychev (Ed.). 2006. National Counter-Terrorism
Strategies: Legal, Institutional, and Public Policy Dimensions in the US, UK, France,
Turkey and Russia. Amsterdam et al.: IOS Press.
Sageman, Marc. 2004. Understanding Terror Networks. Philadelphia: University of
Pennsylvania.
Solahudin. 2010. Dari NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu.

6

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

Lampiran
Tipe jejaring seluruh saluran atau ‘all-channel network’ dalam konteks gerakan teror di
Indonesia dapat dilihat dari gambar-gambar berikut ini:14

Gambar 1. Jejaring Kepemimpinan Jemaah Islamiyah 1993–1995. (6)

14

Magouirk et al. Loc cit.

7

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

Gambar 2 Jejaring Bom Bali I 2002

8

Mata Kuliah Terorisme di Indonesia
Semester Gasal 2011/2012
Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional
Program Magister Departemen Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UI

Gambar 3. Jejaring Serangan Kedutaan Australia 2004

9