CEKUNGAN AIR TANAH DI CEKUNGAN KOTA BANDUNG

MAKALAH
“CEKUNGAN AIR TANAH”

OLEH :
NAMA : JEFRIYADI GURUSINGA
NPM

: 141113015

FAKULTAS SAINS TERAPAN
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini, makalah ini
membahas kasus cekungan air tanah di Jakarta, Surat Keputusan Presiden RI No
26 Tahun 2011 + lampiran , penentuan batas cekungan air tanah, luasan cekungan
air tanah dan potesi cekungan air tanah

Makalah ini berguna untuk pembaca untuk media pembelajaran baik
formal maupun non formal sebagai penyusun saya akui banyak kekurangan pada
makalah ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan agar
dalam penyusunan makalah berikutnya bisa lebih baik.

Yogyakarta, 18 maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
1.2. Tujuan
BAB II. TINJAUAN UMUM
2.1. Cekungan Air Tanah
2.2. Penetapan Cekungan Air Tanah
2.3. Sebaran Cekungan Air Tanah di Indonesia

2.3.1

Cekungan Air Tanah Lintas Negara

2.3.2

Cekungan Air Tanah Lintas Provinsi

2.3.3

Cekungan Air Tanah Lintas Kabupaten/Kota

2.3.4

Cekungan Air Tanah Dalam Satu
Kabupaten/Kota

2.4. Surat Keputusan Presiden RI No 26 Tahun 2011 beserta
lampiran


2.5. Penentuan Batas Cekungan Air Tanah

2.5.1. Batas Lateral
2.5.2. Batas Vertikal
BAB III. CONTOH KASUS
3.1. Cekungan Air Tanah Jakarta
3.1.1. Akuifer air tanah tak tertekan (140 m)
3.2. Analisa kasus dan konservasi air tanah
BAB IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.
Air tanah mengalir dalam lapisan pembawa air (akuifer) yang dibatasi oleh

batas hidrogeologi yang dapat berupa batuan, patahan, lipatan, atau tubuh air
permukaan. Batas-batas ini menentukan tiga elemen penting dalam anatomi
cekungan hidrogeologi, yaitu kawasan imbuhan (recharge area), kawasan
pengaliran (flowing area), dan kawasan pengurasan (discharge area). Kendali
hidrogeologi bersifat alamiah dan tidak kasat mata karena berada di bawah
permukaan.

1. Salah satu sistem cekungan air tanah yang berkembang sangat pesat di
Indonesia adalah cekungan air tanah gunung api. Dengan jumlah gunung api yang
kurang lebih 130 buah di Indonesia, maka sumber daya air yang mengalir di
dalamnya sangat besar.
2. Bab ini ditulis dengan dilator-belakangi perhatian penulis atas adanya berbagai
pendapat para pakar mengenai kondisi air tanah di Indonesia baik yang
menyangkut kuantitas maupun kualitasnya. Permasalahan air tanah di Cekungan
indonesia menjadi berkembang pada saat dikaitkan dengan permasalahan
indonesia sebagai kawasan imbuhan yang masih saja menjadi polemik. Banyak
ahli juga memberikan pandangan dan saran sesuai bidang keahlian yang dimiliki.

Gambar Ilustrasi tata air yang dikendalikan kondisi geologi berupa perlapisan
akuifer dan lapisan kedap air. Batas-batas tersebut tidak mengikuti batas

administrasi

1.2 Tujuan
-

Untuk mengetahui apa itu cekungan air tanah
Untuk mengetahui apa saja isi dari Surat Keputusan Presiden No 26 Tahun 2011

-

tentang cekungan air tanah
Untuk mengetahui bagaimana penentuan batas cekungan air tanah
Untuk mengetahui bagaimana penentuan luasan cekungan air tanah
Untuk mengetahui apa saja potensi dari cekungan air tanah

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Cekungan Air Tanah

Cekungan terdiri dari cekungan topografi dan cekungan geologi.
Cekungan topografi didefinisikan sebagai tempat yang secara morfologi
bentuknya cekung dan dibatasi oleh tinggian atau punggungan. Cekungan
topografi berkaitan dengan tatanan air hidrologi.
Adanya krisis air akibat kerusakan lingkungan, perlu suatu upaya untuk
menjaga keberadaan/ketersediaan sumber daya air tanah salah satunya dengan
memiliki suatu sistem monitoring penggunaan air tanah yang dapat
divisualisasikan dalam data spasial dan atributnya. Dalam Undang-undang
Sumber Daya Air, daerah aliran air tanah disebut Cekungan Air Tanah (CAT) yang
didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat
semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbunan, pengaliran dan
pelepasan air tanah berlangsung.
Menurut Danaryanto, dkk. (2004), CAT di Indonesia secara umum
dibedakan menjadi dua buah yaitu CAT bebas (unconfined aquifer) dan CAT
tertekan (confined aquifer). CAT ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan
total besarnya potensi masing-masing CAT adalah :


CAT Bebas : Potensi 1.165.971 juta m³/tahun




CAT Tertekan : Potensi 35.325 juta m³/tahun
Elemen CAT adalah semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah,

jadi seakan-akan merupakan kebalikan dari air permukaan.

2.2. Penetapan Cekungan Air Tanah

Pengelolaan air tanah berbasis cekungan air tanah dimaksudkan bahwa
cekungan air tanah sebagai acuan dalam menentukan segala kegiatan
pengelolaan air tanah mulai dari pengambilan kebijakan, penyusunan strategi dan
rencana pengelolaan, serta pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air tanah.
Dengan peran penting cekungan air tanah dalam pengelolaan air tanah terutama
menyangkut kewenangan dan tanggung jawab, maka saat ini sedang disusun
rancangan peraturan yang khusus mengatur tentang cekungan air tanah, yaitu
Keputusan Presiden tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.
Cekungan air tanah tersebut memiliki kriteria sebagai berikut (Pasal 8, PP
No. 43/2008) :





mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis
dan/atau kondisi hidraulik air tanah;
mempunyai daerah imbuhan dan daerah luahan air tanah dalam satu
sistem pembentukan air tanah; dan
memiliki satu kesatuan sistem akuifer.
Cekungan air tanah yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden
disusun oleh Menteri ESDM dalam bentuk rancangan penetapan cekungan air
tanah. Selain itu mengakomodasi masukan dari bawah, rancangan penetapan
cekungan air tanah dapat diusulkan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota setelah
mendapat pertimbangan dari wadah koordinasi pengelolaan sumber daya air
setempat. Setelah itu rncangan diajukan kepada Presiden setelah mendapat
pertimbangan dari Dewan Sumber Daya Air Nasional. Penyusunan rancangan
penetapan cekungan air tanah dilakukan melalui tahapan:






Identifikasi cekungan air tanah;
Penentuan batas cekungan air tanah; dan
Konsultasi publik.
Perbedaan antara batas cekungan air tanah dengan batas administrasi, akan
menyebabkan rancangan penetapan cekungan air tanah terbagi menjadi 4 kategori,
yaitu:






cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota;
cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
cekungan air tanah lintas provinsi; dan
cekungan air tanah lintas negara.

Berikut merupakan gambaran mengenai penetapan cekungan air tanah


Gambar Diagram penetapan cekungan air tanah (PP No. 43/2008)
Pada tahap konsultasi publik, rancangan penetapan cekungan air
tanah dikonsultasikan
oleh
Menteri kepada
pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hasil konsultasi kemudian
disampaikan oleh Menteri kepada Presiden dengan tembusan kepada
Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk mendapatkan pertimbangan. Setelah
memperhatikan pertimbangan dari Dewan Sumber Daya Air Nasional, Presiden
kemudian menetapkan cekungan air tanah.

Cekungan air tanah yang telah ditetapkan oleh Presiden tersebut menjadi
dasar pengelolaan air tanah oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Penetapan cekungan air tanah dapat ditinjau kembali apabila ada
perubahan fisik dan/atau non fisik di cekungan air tanah bersangkutan atau
ditemukan cekungan baru yang mengakibatkan perubahan batas atau jumlah
cekungan air tanah.


2.3. Sebaran Cekungan Air Tanah di Indonesia
Menurut Danaryanto et al., 2005, CAT di Indonesia secara umum terdiri
atas akuifer bebas atau tak-tertekan dan akuifer tertekan. CAT seperti ditunjukkan
dalam Tabel 5-1 tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan total besarnya
potensi masing-masing CAT adalah:
1.

CAT akuifer bebas

2.

CAT akuifer tertekan

: Potensi 496.217 juta m3/thn
: Potensi 20.906 juta m3/thn

Kedua CAT ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Tabel Potensi air tanah pada CAT di Indonesia per Pulau (Air Tanah Danaryanto et
al, 2005)
Pulau/
No Kepulauan/

Luas
Jumlah
CAT
CAT
(km2)

Provinsi

Potensi Air tanah pada
Akuifer (juta m3/tahun)
Bebas

Tertekan

1

Bali

8

4,381

1,577

21

2

NTB

9

9,475

1,908

107

3

NTT

38

31,929

8,229

200

4

Maluku

68

25,830

11,943

1,231

5

Sulawesi

91

37,778

19,694

550

6

Jawa

80

81,147

38,851

2,046

7

Sumatera

65

272,843 123,528

6,551

8

Papua

40

262,870 222,524

9,098

9

Kalimantan

22

181,362 67,963

1,102

Total

421

907,615 496,217

20,906

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa potensi air tanah pada CAT di
Indonesia paling banyak tertdapat pada pulau-pulau yang besar. Luas tiap
cekungan air tanah tidak sama, tergantung dari kondisi hidrogeologi setempat.
Umumnya pada pulau-pulau kecil seperti
di Nusa Tenggara dan di
Maluku dijumpai luas CAT yang cukup sempit, sedangkan di Kalimantan, Papua
dan Sumatera banyak dijumpai CAT yang memiliki luas dan potensi yang besar.
Di Kep. Maluku, P. Jawa dan P. Sulawesi, mempunyai jumlah CAT yang
cukup banyak namun luas dan potensi air tanahnya tidak begitu besar jika
dibandingkan dengan P. Irian dan Kalimantan. Walaupun jumlahnya lebih sedikit,
namun CATnya lebih luas dan potensi air tanahnya lebih besar. Perbandingan
jumlah CAT pada tiap pulau/kepulauan/provinsi dan potensi air tanah yang
dimilikinya dapat dilihat pada Gambar 5–10.

Gambar Potensi air tanah pada CAT akuifer bebas dan tertekan

Jumlah cekungan air tanah di Indonesia sebanyak 421 CAT, terutama
tersebar di pulau-pulau besar dengan potensi air tanah diperkirakan mencapai 496
milyar m3/tahun. Sebanyak 80 cekungan air tanah di antaranya terdapat di P. Jawa
dan P. Madura dengan potensi air tanah sekitar 38 milyar m3/tahun. Hamparan
cekungan air tanah banyak yang lintas provinsi, kabupaten/kota dan ada juga yang
lintas negara, serta sering juga dijumpai berada di bawah permukaan laut. Luas
tiap cekungan air tanah tidak sama, tergantung kepada kondisi
hidrogeologi setempat. Umumnya di pulau-pulau kecil seperti di Nusa Tenggara
dan Maluku, sekungan air tanah yang dijumpai cukup sempit, sedangkan di P.
Kalimantan, Papua, Jawa dan Sumatra, banyak dijumpai cekungan air tanah yang
cukup luas. Jumlah cekungan air tanah tiap provinsi serta nama, keberadaan
cekungan dan perkiraan potensi air tanah tiap cekungan secara jelas diatur dalam
Keppres tentang Penetapan Cekungan Air Tanah (sedang dipersiapkan).
Penentuan CAT bukan didasarkan pada batas administrasi melainkan pada
batas hidrogeologis, seperti telah diuraikan di muka, oleh karena itu banyak CAT
yang keberadaannya melintasi dua wilayah administrasi, bahkan bisa lebih.
Berikut ini beberapa contoh sebaran CAT di Indonesia, baik yang lintas negara,
lintas provinsi, lintas kabupaten, maupun yang berada dalam satu wilayah
kabupaten.
Tabel Potensi air tanah pada CAT di Indonesia

No CAT

Jumlah Luas

Potensi Air

Tanah pada
Akuifer (juta
m3/tahun)
(km2)

Bebas

Tertekan

1

Lintas Negara

5

147.88
6

126.276 5.259

2

Lintas Provinsi

36

319.63
5

131.186 4.127

3

Lintas
Kabupaten/Kota

176

349.02
3

198.101 9.987

4

Dalam
Kabupaten/Kota

204

91.071

40.654

Total

421

907.61
5

496.217 20.906

1.533

Gambar Perbandingan luas CAT di Indonesia per jenis cekungan

2.3.1

Cekungan Air Tanah Lintas Negara

Air tanah pada CAT lintas negara merupakan tanggung jawab
Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Karena CAT lintas negara sudah melewati batas administrasi wilayah Indonesia,
sehingga pengelolaannya harus melibatkan negara bersangkutan, yang memiliki
CAT yang sama dengan Indonesia. CAT lintas negara di Indonesia ada 5, yaitu
CAT Paloh dan Tanjungselor yang melintasi Malaysia, CAT Besikama melintasi
Timor Lorosae, serta CAT Jayapura dan Timika-Merauke yang melintasi Papua
Nugini. Berikut ini adalah daftar CAT lintas negara yang ada di Indonesia.
Tabel Potensi air tanah pada CAT lintas negara
Potensi Air Tanah pada
Akuifer (juta m3/tahun)

CAT
No

No
CAT

Provinsi - Negara
Nama

Luas (km2)

Bebas

Tertekan

1

146

Paloh

561

Kalimantan Barat Malaysia

147

-

2

160

Tanjungselor

13.550

Kalimantan Timur Malaysia

6.098

13

3

309

Besikama

481

Nusa Tenggara Timur

105

7

4

415

Jayapura

1.685

Papua - Papua Nugini

1.158

66

5

421

Timika-Merauke

131.609

Irian Jaya Barat Papua - Papua Nugini

118.768

5.173

Total

147.886

126.276

5.259

Salah satu contoh CAT lintas negara adalah CAT Timika–Merauke. CAT
tersebut melintasi batas administrasi Negara Papua Nugini. Sebaran CAT Timika–
Merauke dapat dilihat pada Gambar 5-12.

Gambar CAT Timika-Merauke lintas negara Indonesia-Papua Nugini
2.3.2

Cekungan Air Tanah Lintas Provinsi

CAT lintas provinsi adalah CAT yang berada pada dua wilayah provinsi
atau lebih. Pengelolaan air tanah pada CAT lintas provinsi merupakan
kewenangan Pemerintah (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral). Di
Indonesia terdapat 36 CAT yang keberadaannya melintasi wilayah provinsi.
Salah satu contoh CAT lintas provinsi adalah CAT Tegal – Brebes yang
berada pada wilayah administrasi Provinsi (Prov.) Jawa Tengah dan Jawa Barat
seperti pada Gambar 5-13.

Gambar Sebaran CAT di P. Jawa

Gambar Perbesaran Area A Gambar, contoh CAT lintas provinsi:CAT TegalBrebes, lintas Prov. Jateng- Prov. Jabar
2.3.3

Cekungan Air Tanah Lintas Kabupaten/Kota

Air tanah pada CAT lintas kabupaten/kota pengelolaannya menjadi
kewenangan gubernur. Di Indonesia, terdapat cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota sebanyak 175 buah. Cekungan air tanah terluas ada di Taritatu
Prov. Papua yaitu memiliki luas 25.380 km2. Potensi air tanah pada akuifer bebas
terbesar berada pada cekungan air tanah Terminabuan-Bintuni Prov. Irian Jaya
sebesar 22.234 juta m3/tahun, sedangkan untuk potensi pada akuifer
tertekan terbesar sebesar 1.109 juta m3/tahun terletak di cekungan air tanah Medan
di Prov. Sumatera Utara. Dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahwa wilayah
Papua memiliki luasan cekungan air tanah dan potensi akuifer bebas yang besar.
Luasan cekungan air tanah dan potensi air tanah pada akuifer bebas
terkecil terdapat di Watuputih Prov. Jawa Tengah, dengan luasan 31 km2 dan
potensi sebesar 3 juta m3/tahun. Sedangkan untuk potensi air tanah pada akuifer
tertekan terkecil sebesar 1 juta m3/tahun dijumpai di beberapa daerah yaitu:
Butung Prov. Sulawesi Tengah; Bobo, Langko dan Sinjai Prov. Sulawesi Selatan;
Kolaka dan Tinanggea Prov. Sulawesi Tenggara; dan Reo-Riung di Prov. Nusa
Tenggara Timur. Dapat disimpulkan bahwa untuk cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota, Jawa Tengah memiliki luasan cekungan air tanah terkecil
dibandingkan daerah lain di seluruh Indonesia.

Gambar Perbesaran Area B Gambar contoh CAT lintas kabupaten: CAT
Rawadanau lintas Kab. Serang dan Kab. Pandeglang

2.3.4

Cekungan Air Tanah Dalam Satu Kabupaten/Kota

Air tanah dalam CAT dalam satu kabupaten/kota dikelola oleh bupati/
walikota.
Di Indonesia cekungan jenis ini dijumpai sebanyak 207 buah cekungan.
Luas cekungan air tanah terbesar dapat ditemui di Kab. Bajawa, Prov. Nusa
Tenggara Timur sebesar 10.970 km2. Untuk potensi air tanah terbesar pada
akuifer bebas dijumpai di Kab. Putussibau Prov. Kalimantan Barat sebesar 4.264
juta m3/tahun, sedangkan potensi air tanah terbesar pada akuifer tertekan dijumpai
di Kab. Posi-Posi Prov. Maluku Utara sebesar 130 juta m 3/tahun. Dapat
disimpulkan bahwa berdasarkan data di atas untuk cekungan air tanah dalam satu
kabupaten/kota, potensi terbesar dan luas cekungan air tanah paling luas tersebar
di Prov. Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat dan Maluku Utara.
Untuk data cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, luas
cekungan paling kecil terdapat di Kab. Labea Prov. Sulawesi Tengah sebesar 14
km2. Untuk potensi air tanah pada akuifer bebas terdapat di Watidal Prov. Maluku
sebesar 5 juta m3/tahun. Sedangkan untuk potensi air tanah terkecil pada akuifer
tertekan adalah sebesar 0,3 juta m3/tahun yang terdapat di Kab. Babatna Prov.
Sulawesi Tengah. Dapat disimpulkan bahwa data cekungan air tanah dalam satu

kabupaten/kota, potensi terkecil dan luasan paling kecil dijumpai di Prov.
Sulawesi.

Gambar Perbesaran Area C Gambar, Contoh CAT dalam satu kabupaten: CAT
Banyuwangi dan CAT Blambangan, Kab. Banyuwangi.

2.4. Surat Keputusan Presiden RI No 26 Tahun 2011
beserta lampiran

lampiran 1 CAT di Jakarta, STUDI KASUS

lampiran 2 CAT di Jakarta, STUDI KASUS

2.5. Penentuan Batas Cekungan Air Tanah

Penentuan batas cekungan air tanah dilakukan melalui identifikasi tipe
batas cekungan air tanah, yakni batas hidraulik yang dikontrol oleh kondisi dan
kontur permukaan tanah, kondisi geologi dan hidrogeologi regional maupun
setempat. Oleh karena itu, di suatu wilayah kabupaten/kota atau provinsi, kadang
kala tidak ditemukan setiap sisi batas cekungan air tanah yang dikaji karena
berada di wilayah administrasi lainnya (Danaryanto, et al., 2005).
Dalam kondisi seperti itu, penentuan batas cekungan air tanah perlu
dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi antar kabupaten/kota, provinsi, atau
negara yang tercakup di dalam cekungan tersebut.
Penentuan batas cekungan air tanah meliputi batas lateral dan batas
vertikal.

Gambar Contoh cekungan air tanah lintas kabupaten/kota
(Danaryanto et al., 2005)

Keberadaan dan pelamparan cekungan air tanah sangat tergantung kepada
kondisi geologi dan hidrogeologi setempat. Batas cekungan air tanah tidak selalu
sama dengan batas yang didasarkan pada kondisi permukaan tanah seperti batas
administrasi, batas daerah aliran sungai, termasuk batas antara daratan dengan
lautan. Sering di atas permukaan tanah tidak ada air permukaan tetapi di bawah
tanah dijumpai air tanah dan begitu juga sebaliknya di atas permukaan tanah
terdapat air permukaan sedangkan di bawah permukaan tanah tidak dijumpai air

tanah. Sebagai contoh di Kepulauan (Kep.) Nusa Tenggara dan Maluku serta
pulau – pulau kecil lain di Indonesia sering ditemukan air tanah di bawah
permukaan tanah yang kering. Di daerah Indonesia lainnya pada daerah yang
sama sering dijumpai air permukaan dan air tanah secara bersamaan.

2.5.1. Batas Lateral
Penentuan batas lateral dilakukan untuk mengetahui keberadaan
cekungan air tanah yang mencakup satu wilayah kabupaten/kota, lintas
kabupaten/kota, lintas provinsi, atau lintas negara.
Batas tanpa aliran eksternal adalah bidang kontak antara akuifer dan bukan
akuifer. Batas itu dapat berupa bidang sesar, keselarasan, atau ketidakselarasan.
Penentuan batas lateral cekungan air tanah dilakukan sebagai berikut.
a. Batas tanpa aliran eksternal (tipe batas A1)
Batas tanpa aliran eksternal ditentukan berdasarkan:
1.

Peta geologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
melakukan pengelompokan formasi batuan atau satuan batuan menjadi
satuan hidrogeologi, yakni akuifer atau bukan akuifer, dan memperoleh
informasi tentang struktur geologi terutama sesar, lipatan, dan kekar.
2.
Peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi (akuifer dan non akuifer).

b. Batas pemisah air tanah (tipe batas A3)
Batas pemisah air tanah terletak berimpit dengan batas pemisah air
permukaan pada suatu akuifer utama, yang memisahkan dua aliran air
tanah dengan arah berlawanan. Batas pemisah air tanah ditentukan berdasarkan:
1.

Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi.
2.
Peta topografi/peta rupa bumi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk menentukan batas pemisah air permukaan.

c. Batas muka air permukaan eksternal (tipe batas B1)

Batas muka air permukaan eksternal ditentukan berdasarkan:
1.

Peta topografi/peta rupa bumi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang lokasi dan kedudukan muka
air permukaan yang bersifat tetap, misal muka air laut dan danau.
2.
Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi.
3.
Hasil analisis data hidrogeologi bawah permukaan dari kegitan
pengeboran dan atau pendugaan geofisika, untuk memperoleh informasi jenis
akuifer dan sebarannya.
Berdasarkan informasi sebagaimana disebutkan pada huruf a, b, dan c
dapat ditentukan:
1.

Batas muka air permukaan eksternal adalah muka air laut di
sepanjang garis pantai yang berbatasan dengan akuifer utama dan muka air
danau yang berbatasan dengan akuifer utama.
2.
Batas sebagaimana disebut pada huruf a, merupakan
batas lateral cekungan air tanah jika akuifer utama berupa akuifer tertekan,
batas lateral cekungan itu berada di daerah lepas pantai.

d. Batas aliran air tanah (tipe batas C1 dan C2)
Batas aliran air tanah masuk ke dalam cekungan air tanah (tipe batas C1)
dan batas aliran air tanah keluar dari cekungan air tanah (tipe batas C2) ditentukan
berdasarkan:
1.

Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, untuk memperoleh informasi tentang satuan hidrogeologi dan
parameter akuifer terutama keterusan (T) dan koefisien kelulusan (k).
2.
Peta curah hujan tahunan rata-rata skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, sebagai data masukan untuk penghitungan jumlah imbuhan air
tanah di dalam cekungan (Qtotal).
3.
Peta aliran air tanah skala lebih besar atau sama dengan 1:100.000, untuk
menentukan arah aliran air tanah dan penghitungan jumlah aliran air tanah
yang masuk ke dalam cekungan (Qin) atau jumlah aliran air tanah yang
keluar dari cekungan (Qout).
Berdasarkan informasi seperti disebutkan pada huruf a, b, dan c di atas,
batas aliran air tanah ditentukan sebagai berikut:
1.

Jika Qin/Qtotal dan Qout/Qtotal cukup berarti, di lokasi yang dikaji (tipe
batas C1 dan C2) merupakan batas aliran air tanah masuk dan batas aliran air

tanah keluar, artinya Qin dan Qout perlu diperhitungkan dalam evaluasi
potensi cekungan air tanah yang bersangkutan.
2.
Jika Qin/Qtotal dan Qout/Qtotal tidak berarti, Qin dan Qout dapat
diabaikan. Artinya, tipe batas C1 dan C2 dapat ditentukan sebagai batas
tanpa aliran eksternal atau sebagai tipe batas A1.

2.5.2. Batas Vertikal
Penentuan batas vertikal dilakukan untuk mengetahui batas, sebaran, dan dimensi
cekungan air tanah pada arah vertikal. Penentuan batas vertikal cekungan air
tanah dilakukan sebagai berikut.
1.

Batas tanpa aliran internal (tipe batas A2)

Batas tanpa aliran internal adalah bidang kontak antara akuifer dan bukan akuifer
yang mengalasinya atau yang berfungsi sebagai dasar akuifer. Batas itu dapat
berupa bidang keselarasan atau ketidakselarasan.
Batas tanpa aliran internal ditentukan berdasarkan: peta geologi dan peta
hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, hasil analisis
pendugaan geofisika, dan penampang litologi dari hasil kegiatan pengeboran,
untuk memperoleh informasi tentang sebaran dan dimensi akuifer dan bukaan
akuifer secara vertikal.

1.

Batas muka air permukaan internal (tipe batas B2)

Batas muka air permukaan internal ditentukan berdasarkan:
1.

Peta geologi dan peta hidrogeologi skala lebih besar atau sama dengan
1:250.000, hasil analisis pendugaan geofisika, dan penampang litologi dari
hasil kegiatan pengeboran, untuk memperoleh informasi tentang ketebalan
akuifer di bawah kanal atau sungai (d) dan ketebalan maksimum akuifer
utama (d3-maks dan d4-maks) yang berada di kedua sisi saluran/kanal atau
sungai (Akuifer-3 dan Akuifer-4).
2.
Peta topografi skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi lokasi dan sebaran saluran/kanal dan sungai.
3.
Hasil analisis data pengukuran atau rekaman kedudukan muka
air saluran/kanal dan muka air sungai, untuk memperoleh informasi tentang
kedudukan muka air saluran/kanal dan muka air sungai.

Berdasarkan informasi seperti pada huruf a, b, dan c di atas, batas muka
air permukaan internal ditentukan sebagai berikut.
1.

Jika d/d3-maks > 5% dan d/d4-maks > 5%, tipe batas B2 merupakan batas
vertikal bagian atas cekungan air tanah, artinya Akuifer-3 dan Akuifer-4
berada dalam satu cekungan air tanah.
2.
Jika d/d3-maks £ 5% dan d/d4-maks £ 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah, artinya Akuifer-3 dan Akuifer-4 berada pada
cekungan air tanah yang berbeda.
3.
Jika d/d3-maks > 5% dan d/d4-maks < 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah dari Akuifer-4.
4.
Jika d/d3-maks < 5% dan d/d4-maks > 5%, tipe batas B2 merupakan batas
lateral cekungan air tanah dari Akuifer-3.

1.

Batas muka air tanah bebas (Tipe Batas D)

Batas muka air tanah bebas adalah bidang yang merupakan tempat kedudukan
muka air tanah tersebut. Batas muka air tanah bebas ditentukan berdasarkan peta
muka air tanah bebas skala lebih besar atau sama dengan 1:250.000, untuk
memperoleh informasi tentang kedudukan muka air tanah.

BAB III
CONTOH KASUS

DAMPAK NEGATIVE PENGGUNAAN AIR TANAH
YANG BERLEBIHAN DI JAKARTA
Pada kenyataannya pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor
industri dan jasa masih mengandalkan airtanah secara berlebih ⇒ menimbulkan
dampak negative terhadap sumberdaya airtanah maupun lingkungan, antara lain :
1.

Penurunan muka air tanah

2.

Intrusi air laut

3.

Amblesan tanah
Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung

bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas
jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terusmenerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang
mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.
Di Jakarta, layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh
penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta bergantung pada
penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi
air tanah dalam jumlah besar.Pada saat yang bersamaan, pembangunan hotel
mewah, apartemen, dan pusat perbelanjaan terus berlangsung. Makin banyaknya
gedung besar ini secara masif menambah beban pada tanah. Kombinasi dua hal
tersebut saling menunjang menciptakan ruang kosong di Bumi yang membuat
tanah ambles.
Tahun 2008, saat beberapa bagian gedung BPPT, Sarinah, Menara
Eksekutif, ambles, para ahli telah mengingatkan bahwa itu terjadi karena proses
dewatering atau pengurasan air bawah tanah dalam jumlah besar yang tidak hatihati serta besarnya penekanan permukaan tanah akibat pembangunan gedunggedung pencakar langit.
Penggunaan air tanah Jakarta memang besar. Data resmi untuk pemakaian
komersial menurut Dinas Pelayanan Pajak adalah 22 juta meter kubik per tahun.

Biasanya penggunaan komersial adalah 30 persen dari penggunaan domestik.
Dengan demikian, hitungan kasar total pemanfaatan air tanah Jakarta 73 juta
meter kubik per tahun. Akan tetapi, penghitungan berdasar jumlah penduduk yang
9 juta orang, rata-rata kebutuhan air dan kemampuan layanan PT Palyja dan PT
Aetra, maka angka minimal pemanfaatan air tanah yang muncul adalah 270 juta
meter kubik per tahun, jauh di atas batas pengambilan aman, yaitu 60 juta meter
kubik per tahun.
Gap yang besar ini mungkin terjadi karena pengawasan air tanah masih
sangat minimal. Jumlah aparat yang bertugas mengawasi dapat dihitung dengan
jari, sementara pemanfaat komersial sudah ribuan jumlahnya. Di sisi lain,
pengawasan dari masyarakat sangat sulit dilakukan karena data pemanfaat
komersial air tanah tertutup rapat.

3.1

Cekungan Air Tanah Jakarta
Muka air tanah cekungan Jakarta terus mengalami perubahan sesuai

dengan berjalannya waktu. Hasil studi yang dilakukan oleh BIT GTL & Dinas
Pertambangan DKI Jakarta, 1994) menunjukkan kedudukan muka air tanah untuk
berbagai akuifer dapat diuraikan sebagi berikut:

3.1.1. Akuifer air tanah tak tertekan (2 tahun (periode panjang) antara
0,12 m/tahun (Tongkol) dan 0,46 m/tahun (Kuningan), sedangkan di luar
wilayah DKI Jakarta terhitung 0,07 m/tahun (Cibinong). Pada periode
1994, kecepatan penurunannya antara 0,06 m/tahun (Cibinong) dan 4,44

-

m/tahun (Cilandak).
Pola perubahan muka air tanah pada sistem akuifer tidak tertekan
dipengaruhi oleh pola curah hujan di daerah sekitarnya. Pada saat
berlangsungnya musim penghujan, muka airtanah umumnya cenderung
naik karena proses pengisian kembali, sementara penurunan muka airtanah
secara alamiah (natural groundwater depletion) terjadi pada saat musim
kemarau. Di beberapa lokasi seperti di Monas, Senayan, pasar Rebo dan
Cilandak, perubahan muka air tanah sangat terkait dengan pola
pemompaan di sekitar lokasi pemantauan.

Akuifer air tanah tak tertekan mempunyai kedudukan muka alami (1956)
sekitar 5 m (aml), yang kemudian turun menjadi 2,49 m (bml) pada tahun 1992.
Pada tahun 1994 muka air tanah mengalami penurunan terdalam yang mencapai
3,48 - 3,50 m (bml), sedangkan hasil studi 1996 menunjukkan penurunan antara
01,0-4,35 m (bml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara
3,0-11,0 km ke arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia
(Distam DKI Jakarta & Dit GTL, 1995), menunjukkan bahwa akuifernya,
memiliki hubungan dengan air laut dan tidak memperlihatkan terjadinya proses
intrusi air laut. Proses yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air

tanahnya adalah Natrium Bikoarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis
isotop menunjukkan umur rata-rata air tanahnya adalah 10,318 ± 13,639 tahun.

3.1.2. Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m)
Pada sistem akuifer ini, gejala kenaikan muka airtanah selama periode >2
hanya terjadi di Tongkol (0,43 m/tahun), sedangkan pada 1994 terjadi di kompleks
PAM Darmawangsa (0,24 m/tahun). Diwilayah DKI Jakarta, kecepatanpenurunan
muka airtanah selama periode >2 tahun terhitung antara 0,22 m/bulan (Sunter) dan
2,47 m/bulan (kompleks Jakarta Land), sementara di luar wilayah DKI Jakarta
mencapai 0,81 m/bulan (Teluk Pucung). Selama periode 1994, gejala penurunan
muka airtanah di wilayah DKI Jakarta terhitung dengan kecepatan antara 0,72
m/tahun (Walang Baru dan kompleks Hotel Borobudur) dan 3,96 m/tahun
(Senayan), sedangkan di luar wilayah DKI Jakarta mencapai 1,20 m/tahun di
Teluk Pucung.
Perubahan muka airtanah yang didominasi oleh gejala penurunan,
berkaitan dengan pola Qabs di daerahs sekitarnya, yaitu pada periode Januari
1993 – November 1994 umumnya sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI
Jakarta. Meskipun di beberapa lokasi pemantauan menunjukkan pola muka
airtanah yang sesuai dengan pola curah hujan, terutama gejala penurunan muka
airtanah yang terjadi pada saat musim kemarau, namun karena kedudukan lapisan
akuifer tertekan tengah cukup dalam, maka diduga tidak ada pengaruh yang
berarti dari curah hujan, kecuali terjadi kebocoran pada konstruksi sumur.
Akuifer air tanah tertekan atas (40-140 m) memiliki kedudukan muka air
tanah dalam (1956) antara 1 - 10 m (ami), dan mengalami penurunan kembali
pada tahun 1992 menjadi 18,64 - 35,50 m (bml). Dan pada tahun 1994 muka air
tanah turun kembali menjadi 31,78 - 56,90 m (bml). Sedangkan hasil studi 1995
memperlihatkan bahwa mat nya telah mengalami kenaikan antara 12,70 - 52,98 m
(nml). Akuifer ini memiliki batas penyebaran yang berjarak antara 1,5 - 7,5 km ke
arah darat dari pantai, dan berdasarkan analisis hidrokimia (Distam DKI Jakarta &

Dit GTL, 1995) memperlihatkan bahwa akuifernya tidak memiliki hubungan
dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena tipe air
tanahnya adalah Natrium Bikarbonat (umumnya air tanah tua). Hasil analisis
isotop memperlihatkan bahwa umur rata-rata air tanahnya adalah 17.500 s/d
22.006 tahun.

3.1.3. Akuifer air tanah tertekan bawah (>140 m)
Pola muka airtanah pada periode panjang (>2 tahun) menunjukkan gejala
penurunan pada semua lokasi pemantauan, sedangkan pada 1994 kenaikan muka
airtanah terjadi di kompleks DPRD Kebon Sirih (4,20 m/tahun) dan CengkarengPedongkelan (0,24 m/tahun). Kecepatan penurunan muka airtanah pada periode
>2 tahun antara 0,19 m/bulan (Sunter) dan 2,25 m/bulan (Porisgaga), sementara
selama periode 1994 kecepatan penurunan antara 0,24 m/tahun (Tongkol) dan
4,70 m/tahun (kompleks PT BASF). Pola perubahan muka airtanah pada sistem
akuifer tertekan bawah berhubungan erat dengan pola Qabs di daerah sekitarnya,
di mana pola perubahan pada periode Januari 1993 – November 1994 umumnya
sesuai dengan pola Qabs di wilayah DKI Jakarta. Didaerah Jakarta Utara
pemanfaatan airtanah sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih
lanjut, terutama untuk proses industri (Zone IV pada Peta Konservasi Airtanah
Jakarta 1993/1994). Pola perubahan airtanah pada sistem akuifer tertekan (dalam)
pada periode 1994 masih didominasi oleh kecenderungan penurunan. Gejala yang
mengarah pada pemulihan kedudukan muka airtanah, ditunjukkan oleh
kecenderungan kenaikan, terjadi di Cakung (sistem akuifer tertekan atas),
kompleks DPRD Kebon Sirih dan
Cengkareng

Pedongkelan

(akuifer

tertekan

bawah).

Tetapi

hasil

pemantauan periode panjang (>2 tahun) masih menunjukkan gejala penurunan di
semua lokasi pemantauan termasuk di tiga lokasi pemantaun. Kondisi tersebut
merupakan bukti upaya pengawasan/kontrol terhadap jumlah pengambilan
airtanah di daerah tutupan tersebut (Zone IV) masih belum menunjukkan hasil
seperti yang diharapkan.

Akuifer air tanah tertekan bawah memiliki kedudukan mat alami (1956)
sekitar 2 m (negatif), yang kemudian mengalami penurunan menjadi 22,0-33,90 m
(bml). Selama tahun 1994 terus terjadi penurunan mat menjadi 40,0-51,40 m
(bml), sedangkan hasil studi 1995 menunjukkan bahwa akiufernya tidak
berhubungan dengan air laut, tetapi yang terjadi adalah proses pencucian karena
tipe air tanahnya adalah Natrium Bikarbonat. Hasil analisis isotop menunjukkan
umur rata-rata air tanahnya adalah 17,172 tahun s/ d 32,58 tahun.
Adanya data air tanah akuifer tertekan atas (40-140 m) yang bersifat payau
ternyata berada di tepi kali Grogor, Sunter dan Cakung, sehingga pencemaran air
payau ke dalam akifer tesebut adalah melalui mekanisme pasang naik air laut
yang masuk ke dalam aliran air sungai dan mencemari air tanah dangkalnya. Air
tanah payau ini akan menyebabkan rusaknya pipa sumur bor dalam yang
selanjutnya akan mengakibatkan pipa menjadi keropos dan bocor, dan akhirnya
mencemari air tanah tertekan atas (Distam DKI Jakarta &DitGTL, 1995).
Air garam yang berada dalam akuifer tertekan dapat pula merupakan air
tanah tua (Distam DKI Jakarta & GT, 1966) karena lingkungan pengendapan
akuifer adalah pengendapan fluviatil serta laut (Hehanusa & Djoehanah, 1983 dan
Distam DKI Jakarta & P3G 1995).

3.2. Analisa kasus dan konservasi air tanah
Pengambilan air tanah yang berlebihan telah menimbulkan berbagai
dampak yang tidak diinginkan seperti penurunan muka air tanah, intrusi air laut,
penurunan muka air sungai pada musim kemarau dan amblesan tanah. Hal ini
tidak akan terjadi apabila dilakukan kegiatan konservasi air tanah untuk menjaga
kelestarian, kesinambungan ketersediaan, daya dukung, fungsi air tanah, serta
mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan air tanah.
Pemerintah Jawa Barat dalam rangka konservasi air tanah ini telah
membuat perda yang diperlukan dalam langkah konservasi ini, yaitu Perda No 16

tahun 2001 tentang pengelolaan Air Bawah Tanah dan Perda No 6 tahun 2001
tentang pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Dalam kebijakan operasionalnya, strategi yang ditempuh adalah :
1.

Zona kritis dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 8 %

per tahun
2.

Zona rawan dilakukan pengurangan debit pengambilan air tanah sebesar 5 %

per tahun
3.

Penambahan resapan air ke dalam tanah sebesar 4 % per tahun

4.

Melakukan berbagai upaya substitusi dengan air permukaan

5.

Mengatur sebaran titik pengambilan air tanah berdasarkan kapasitas optimum

akifer guna menghindari terbentuknya zona kritis dan rawan
Sedang kegiatan operasional, sebagai implementasi strategi diatas,
dilakukan langkah sebagai berikut:
1.

Pengurangan debit melalui syarat teknis Daftar Ulang Ijin Pengambilan Air

Tanah (SIPA)
2.

Penertiban pengambilan air tanah

3.

Sosialisasi upaya pengehematan dan konservasi air tanah

4.

Koordinasi dan Kerjasama antara stakeholder terkait
Langkah-langkah serupa di atas, telah dilakukan juga oleh Pemerintah

DKI Jakarta. Seiring dengan semakin meningkatknya kebutuhan air bersih di
Indonesia dengan mempertimbangkan konservasi air tanah, maka dalam dekade
mendatang tidak akan terjadi bencana nasional.
Dalam skala kecil, peningkatan kualitas hidup tersebut akan terjadi, dan
juga keseimbangan sektor lainnya. Berbagai peraturan telah dibuat berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Begitu pula halnya dengan
instansi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan air tanah

menjadi wewenang Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral sedangkan
Pengelolaan air permukaan menjadi wewenang Departemen Kimpraswil.
Sedangkan wewenang regulasi pengelolaan kualitas air permukaan dan tanah
dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan terdapat pada kementrian
negara Lingkungan Hidup.
Dalam penyelamatan air tanah untuk melakukan konservasi dan
pengendalian air tanah demi menjaga kesinambungan ketersediaan air tanah dan
menjamin keberlangsungan pemanfaatannya, maka beberapa kegiatan telah
dilakukan oleh pemerintah, antara lain :
1.

Menentukan cekungan air tanah..

2.

Pemantauan perubahan kuantitas dan kualitas serta lingkungan air tanah

3.

Penentuan daerah imbuhan (non budidaya) dan daerah lepasan (budidaya)

4.

Penetapan daerah perlindungan air tanah (zona aman, rawan, kritis, dan

rusak)
5.

Pemberdayaan masyarakat di bidang konservasi air tanah

6.

Penetapan kebijakan dan pengaturan air tanah

7.

Pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan konservasi air tanah.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1.

pemanfaatan air untuk memenuhi kebutuhan sektor industri dan jasa masih

mengandalkan air tanah secara berlebih menimbulkan dampak negative terhadap
sumberdaya air tanah maupun lingkungan yaitu Penurunan muka air tanah,Intrusi
air laut, dan Amblesan tanah
2.

Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-gedung

bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di gedung, dan amblesnya ruas
jalan adalah konsekuensi logis pengambilan air tanah berlebihan secara terusmenerus, serta makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang
mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah
3.

Ketidakseimbangan siklus hidrologi yang terdapat di suatu daerah telah

mengakibatkan terganggunya susbsitem air tanah yang berada di dalamnya,
sehingga mengakibatkan dampak negatif yang tidak diinginkan seperti, penurunan
muka air tanah, penurunan muka air sungai pada musim kemarau, amblesan, dan
intrusi airlaut.
4.

Peraturan tentang Cekungan Air Tanah sementara ini baru untuk P Jawa,

untuk daerah lainnya belum ada, sehingga hal ini harus lebih ditingkatkan lagi
secara bertahap.

4.2. SARAN
1.

Harus ada keterpaduan dan integrasi antara air tanah yang terletak dalam satu

cekungan air tanah namun terletak pada pada wilayah sungai yang berbeda dalam
pengelolaan sumberdaya air yang hendak dilakukan.
2.

Dalam upaya konservasi air tanah, maka perlu dilakukan menjaga

keberlangsungan pengisian atau peresapan air dari sumber air permukaan atau
hujan yang terdapat di setiap WS melalui Pelestarian Kawasan Resapan Air, dan
Pengisian Air Kembali kedalam tanah (artificial recharge),
3.

Pemantauan penurunan muka air tanah pada setiap CAT perlu dilakukan

untuk mengetahui dampaknya terhadap land subsidence dan potensi intrusi air
laut.

DAFTAR PUSTAKA

http:// Wikipedia/cekungan air tanah.co.id
www.academiedu.com
www.slideshare/batas dan sebaran cekungan air tanah.com
www.esdm/surat/keputusan/presiden/tentang/cekungan/air/tanah/beser
ta/lampiran.co.id