REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK DILEMA

Proceedings 7th International Conference Malaysia-Indonesia Relations, 2013, 477-486

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30%
KANDIDAT WANITA DI INDONESIA
(WOMEN’S POLITICAL REPRESENTATION: THE DILEMMA OF THIRTY PERCENT
QUOTA FOR WOMEN CANDIDATES IN INDONESIA)
Adiasri Putri Purbantina, S.IP, M.Si,
International Relations Department,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
(adiasri.p@gmail.com)

Women plays significant role for economic and social development in
the world. Although women’s population constitutes more than half world
population, they are still underrepresented in politics and parliament. Political
participation gave women direct access to promote women issues on decision
making level. According to UNDP Report 2005, women’s representation in
legislatures around the world was 15 percent. In 2012, women’s political
representation in Southeast Asia was at 18.09 percent. The importance of
promoting women’s political representation was highlighted by the Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW),
which has been ratified by many countries around the world. “Quota system” or

“Gender quota” is considered as the most effective tools to enhance women’s
political participation. The implementation of “quota system” in Indonesia has
already begun since the UU RI No 12 tahun 2003. With this law, political
parties were encouraged to give 30% quota for women candidates. But this “30
percent quota” has brought some dilemmas.
Keywords: Gender Quota, Indonesian Politic
Pengantar
Wanita memiliki populasi lebih dari separuh populasi dunia, tetapi wanita masih
kurang terwakili dalam politik dan parlemen. Berdasarkan 2012 Women’s Political
Participation Report Asia-Pacific, jumlah perwakilan wanita di empat kawasan masih di
bawah rata-rata global. Empat kawasan tersebut adalah kawasan Pasifik dengan
perkecualian Australia dan Selandia Baru (3,65%); kawasan Asia Timur (17,6%); kawasan
Asia Tenggara (18,09 %) dan Asia Selatan (19,76%).1
Rendahnya jumlah perwakilan wanita ini mendapatkan mendapatkan perhatian
dunia. Berdasarkan UN Women, berbagai studi menunjukkan bahwa dengan jumlah
perwakilan wanita yang lebih tinggi di parlemen, maka isu-isu wanita (seperti kekerasan
terhadap wanita, kesetaraan gender, marjinalisasi perempuan, dll) akan mendapatkan
perhatian lebih. 2 Berdasarkan penelitian dari Institute for Women’s Policy Research di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa negara bagian yang mempunyai keterwakilan
perempuan lebih tinggi memiliki kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan

sumber daya dan hak-hak perempuan.3
Untuk terlibat dalam politik, tidak cukup hanya melalui voting tetapi juga melalui
kebebasan bicara, berkumpul, terlibat dalam organisasi dan juga termasuk hak untuk maju
dalam sebagai kandidat dalam pemilu, berkampanye, hingga terpilih menjadi wakil rakyat.4
Dengan terlibat dalam politik, wanita mendapatkan akses di level pembuatan kebijakan. 5
Secara idealnya, berdasarkan standar internasional, baik pria maupun wanita memiliki hak
yang seimbang untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek proses politik. Hanya saja, dalam
realitanya, wanita seringkali kurang terlibat dalam politik, secara terutama dalam partaipartai politik. Partai politik merupakan salah satu institusi yang penting yang mampu
mempengaruhi peran politik wanita. Partai politik lah yang menentukan kandidat-kandidat
mana yang akan maju dalam pemilu dan isu-isu nasional apa yang akan mereka angkat.6
477

Adiasri Putri Purbantina,

Berbagai langkah diambil untuk meningkatkan jumlah perwakilan wanita di berbagai
negara di dunia. Sebagian besar dari mereka berwujud kebijakan kuota (gender quota).
Penggunaan kebijakan kuota ini berawal dari konferensi PBB, United Nations Fourth World
Conference on Women, yang diselenggarakan di Beijing pada bulan September 1995.
Konferensi PBB ini menghasilkan sebuah Beijing Declaration and Platform for Actions, yang
ditandatangani oleh 189 negara-negara anggota. Melalui deklarasi ini, pemerintahpemerintah di berbagai negara anggota diminta untuk menjamin keadilan akses politik dan

partisipasi wanita dalam struktur kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Paska
dikeluarkannya deklarasi ini semakin banyak negara yang mengimplementasikan kebijakan
kuota.7
Negara Indonesia menerapkan kebijakan sistem kuota ini semenjak tahun 2003.
Berdasarkan “UU No. 12/2003” mengenai Pemilu, semua parta-partai politik yang akan
maju dalam pemilu 2004 disarankan untuk memberikan kuota 30 persen kepada kandidat
wanita. Hanya saja kemudian, dalam periode pemerintahan tahun 2004-2009, jumlah
perwakilan wanita dalam parlemen nasional (Dewan Perwakilan Rakyat /DPR) hanya
mencapai 11,3 persen.8 Kemudian pemerintah Indonesia masih melakukan berbagai usaha
untuk memperbaiki sistem kuota dalam pemilu di Indonesia yang meliputi “UU No. 10/2008”
mengenai pemilu, “UU No. 2/2011” mengenai partai politik, dan yang terakhir “UU No. 8
/2012” mengenai pemilu.
Kuota Gender & Undang-Undang Pemilu di Indonesia
Kuota gender telah menjadi salah satu sub bidang yang paling cepat berkembang
dalam studi mengenai wanita dan politik. UN Entity for Gender Equality and Empowerment
for Women (UN Women) mendorong negara-negara untuk menggunakan sistem kuota
untuk mendorong peningkatan perwakilan wanita dalam parlemen.9 Berdasarkan Women in
Politics 2012 Report, UN Women menyatakan bahwa kuota memiliki dampak positif dalam
peningkatan keterlibatan wanita dalam politik. Dari 59 negara-negara yang
menyelenggarakan pemilu di tahun 2011, sebanyak 17 negara memberlakukan sistem

kuota. Wanita mendapatkan 27 persen kursi di parlemen di ketujuh belas negara tersebut.
Masih berdasarkan UN Report tersebut, ditemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah
kepala negara dan kepala pemerintahan wanita dari delapan orang di tahun 2005 menjadi
17 orang di tahun 2012. Selain itu juga terdapat peningkatan jumlah menteri wanita dari
14,2 persen di tahun 2005 menjadi 16,7 persen di tahun 2012.10
Berdasarkan Mona Lee Krook dalam bukunya yang berjudul Quota for Women in
Politics: Gender and Candidate Selection Reform Worldwide (2009), negara-negara yang
menggunakan sistem kuota dapat ditemukan di berbagai belahan dunia dan negara-negara
ini memiliki karakteristik institusi, ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda. Menurut Krook,
secara umum sistem kuota dapat dibagi menjadi tiga model utama, yaitu reserved seats,
party quota, dan legislative quotas.11
Reserved seats dapat ditemukan secara terutama di Afrika, Asia, dan Timur Tengah
dan pengimplementasiannya melalui sebuah reformasi konstitusi (dan terkadang melalui
undang-undang pemilu). Sistem ini berupa pemberian distrik tersendiri bagi kandidat wanita
ataupun pendistribusian kursi bagi wanita berdasarkan porsi dari masing-masing partai
berdasarkan popular vote. Reserved seats berbeda dengan party quota ataupun legislative
quota, yang hanya memberikan sejumlah persentasi tertentu bagi kandidat wanita dalam
partai politik.12
Party quotas adalah jenis sistem kuota gender yang paling sering dipakai dan
kebijakan jenis ini secara umum memandatkan kuota 25 hingga 50 persen dalam total

kandidat yang diajukan oleh partai-partai politik. Sistem party quotas adalah sistem kuota
yang dianut secara sukarela oleh partai-partai politik yang berkomitmen untuk
meningkatkan jumlah kandidat wanita mereka. Pengimplementasian sistem kuota ini sangat
bergantung kepada sistem pemilu13 yang dianut suatu negara .14
Legislatives quota dapat ditemukan di negara-negara sedang berkembang, terutama
Amerika Latin, negara-negara post-conflict, seperti di Afrika, Timur Tengah, dan Eropaeropa Tenggara.Sistem ini diaplikasikan melalui sebuah reformasi ataupun undang-undang
478

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30% KANDIDAT WANITA DI INDONESIA

pemilu, dan kadang melalui konstitusi. Sistem ini memberikan hak kepada partai untuk
mengatur kuota tetapi dengan melalui persetujuan parlemen nasional. Parlemen nasional
lah yang menerapkan sejumlah kuota kandidat wanita, antara 25-50 persen, yang harus
dipenuhi oleh partai politik. Legislative quota merupakan sistem kuota terbaru yang muncul
pertama kali pada tahun 1990-an, yang merupakan era dimana isu perwakilan /
representasi wanita mendapatkan perhatian internasional (organisasi internasional dan
transnasional NGO).15
Usaha Indonesia untuk membela hak-hak wanita sudah dimulai semenjak tahun
1952, Indonesia meratifikasi United Nation Convention on Political Rights of Women melalui
UU No. 68 / 1958, dibawah Presiden Soekarno. Pada tahun 1984, dibawah Suharto,

Indonsia meratifikasi konvensi PBB lainnya yaitu Nation Convention on the Elimination of All
Forms Discrimination Against Women (CEDAW) melalui UU No. 7 / 1984. Indonesia mulai
mengadopsi kebijakan kuota pada tahun 2003.16
Semenjak pemilu Indonesia yang pertama pada tahun 1955 hingga pemilu 1999,
jumlah tertinggi perwakilan wanita di DPR hanya mencapai 13 persen. 17 Berbagai usaha
dilakukan oleh para aktivis wanita untuk mendapatkan jumlah perwakilan wanita yang lebih
tinggi di parlemen dan usaha mereka akhirnya mendapatkan hasil ketika dtetapkan UU No.
12 /2003 mengenai pemilu. 18 Berdasarkan undang-undang ini, partai-partai politik yang
akan bersaing pada pemilu 2004 didorong untuk memberikan kuota bagi kandidat wanita
(non-compulsory quota).19 Pasal 65 dalam UU ini menuliskan bahwa setiap partai politik
harus memiliki minimal 30 persen jumlah kandidat wanita di berbagai distrik electoral (baik
DPR, DPD, maupun DPPRD). 20 Hanya saja sayangnya hasil pemilu tahun 2004 hanya
menunjukkan sedikit peningkatan jumlah perwakilan wanita di DPR. Hanya terdapat
sebanyak 11,3 persen kursi DPR yang diduduki oleh wanita di periode pemerintahan 20042009. Undang-undang ini dianggap kurang efektif karena sifatnya hanya mendorong dan
tidak ada sangsi yang diberikan kepada partai-partai politik yang tidak memenuhi syarat
kuota tersebut. 21
Undang-undang pemilu yang baru kemudian dikeluarkan pada tahun 2008, yaitu UU
No. 10 / 2008. Undang-undang ini meminta partai-partai politik untuk memastikan adanya
kuota 30 persen bagi wanita baik di level struktural maupun sebagai kandidat. 22 Undangundang ini mengkombinasikan kuota 30 persen bagi daftar kandidat di masing-masing
partai dengan sistem zipper. Sistem zipper ini berarti untuk setiap tiga kandidat yang

diajukan oleh partai politik, harus terdapat satu kandidat wanita. Pada pemilu tahun 2009
terdapat peningkatan jumlah perwakilan wanita di DPR. Sebanyak 70 persen dari total 38
partai yang bersaing pemilu 2009, menominasikan lebih dari 30 persen wanita sebagai
kandidat mereka. 23

Grafik 1
“Dinamika Jumlah Perwakilan Wanita di DPR”

479

Adiasri Putri Purbantina,

Sumber: Data diolah oleh UNDP Indonesia yang diambil dari “Pusat Data dan Informasi
Arsip Nasional”24
Berdasarkan penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada
pemilu 2009, jumlah perempuan dalam parlemen (DPR) di tingkat nasional meningkat dari
11,6 persen menjadi 18 persen (yakni dari 65 menjadi 101 orang, dari total 560 anggota
DPR). Penambahan jumlah juga terjadi di DPD dari 21 persen menjadi 27,7 persen (yakni
dari 27 menjadi 36 orang, dari total 132 anggota DPD). Anggota legislatif perempuan juga
bertambah pada tingkat provinsi, dari 10 persen menjadi 21 persen (yakni 374 menjadi

1.778 orang dari 33 provinsi di Indonesia).25
Pada tahun 2014, masyarakat Indonesia akan menghadapi pemilu lagi. Sistem
kuota gender di Indonesia kini diperkuat oleh undang-undang pemilu yang baru yaitu UU No.
8 / 2012. Pasal 8 dalam undang-undang ini menyebutkan adanya persyaratan kuota 30
persen bagi partisipasi wanita dalam struktur partai di level nasional. Pasal 55 menyebutkan
bahwa setiap partai politik wajib menyertakan minimum 30 persen kuota bagi kandidat
wanita. Pasal 55 tersebut dilengkapi dengan pasal 56 yang menyatakan bahwa setiap tiga
kandidat yang diajukan oleh partai politik, harus terdapat satu kandidat wanita.26
Pada intinya, undang-undang pemilu di Indonesia selalu berubah dari pemilu yang
satu ke pemilu lainnya. Tetapi dapat dilihat bahwa walaupun selalu terdapat undang-undang
baru, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan jumlah perwakilan wanita di
parlemen. Menjelang pemilu 2014 partai-partai politik diwajibkan untuk menyertakan 30
persen kandidat wanita.
Dilema Pengimplementasian Kuota 30 Persen Wanita di Indonesia
Pengimplementasian kuota gender di berbagai belahan dunia beragam. Krook
menyampaikan empat argument utama mengenai alasan-alasan pengadopsian kuota
gender di berbagai negara. Argumen pertama adalah atas dorongan berbagai kelompok
atau organisasi wanita yang mulai merasa bahwa kuota gender adalah alat yang efektif
untuk meningkatkan jumlah representasi politik /perwakilan wanita. Argumen kedua adalah
bahwa sistem kuota dianut sebagai alasan strategis berbagai elit politik secara terutama

terkait dengan kompetisi antar partai. Pandangan ketiga melihat pengimplementasian
sistem kuota ini sebagai sesuatu yang muncul demi alasan normative yaitu pentingnya nilai
equality dan representation. Penjelasan yang terakhir adalah bahwa sistem kuota ini
tersebar di berbagai belahan dunia atas jasa organisasi-organisasi internasional, seperti
PBB.27
Penerapan sistem kuota gender di Indonesia muncul dari perjuangan kaum aktivis
wanita di Indonesia. Sistem kuota gender dianggap sebagai salah satu cara efektif untuk
meningkatkan jumlah perwakilan wanita di Indonesia. Kuota sistem di Indonesia
memastikan adanya 30 persen kuota bagi kandidat wanita dari masing-masing partai politik
480

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30% KANDIDAT WANITA DI INDONESIA

di Indonesia. Dengan peningkatan jumlah partisipasi wanita dalam partai politik akan
meningkatkan peluang bagi wanita untuk terpilih dan membuat isu-isu wanita lebih
mendapatkan perhatian di parlemen. Tetapi apakah penerapan sistem kuota ini telah
berfungsi sebagaimana yang diharapkan?
Tulisan ini membahasa dua dilema / permasalahan yang timbul di Indonesia akibat
penerapan sistem kuota gender ini. Permasalahan pertama adalah bahwa terkait demi
memenuhi kuota, mayoritas kandidat wanita yang maju dalam pemilu tidak memiliki latar

belakang yang sesuai dan bahwa wanita hanya menjadi alat bagi partai politik untuk
mendapatkan suara (Voter getter). Sebagai contohnya, terkait dengan fenomena
banyaknya artis / pekerja dunia seni yang maju ke panggung politik tanpa memiliki skill dan
knowledge yang cukup. Permasalahan kedua yang kemudian muncul adalah bahwa
walaupun terdapat peningkatan jumlah perwakilan wanita di parlemen, mereka belum tentu
aktif dalam mengangkat isu-isu wanita.
Caleg Wanita di Indonesia & Artis Wanita sebagai Voter Getter
Kuota 30 persen kandidat wanita bukanlah persyaratan yang mudah untuk dipenuhi
setiap partai politik yang ingin maju dalam pemilu di Indonesia, baik pemilu di tingkat lokal,
provinsial, maupun nasional. Partai politik seolah dipaksa untuk memberikan prioritas
mereka kepada calon-calon kandidat wanita. Permasalahan kemudian dapat muncul
apabila kemudian demi memenuhi kuota dan agar dapat bersaing dalam pemilu, partaipartai politik kemudian menerima calon-calon kandidat wanita dengan kemampuan dan
pengetahuan politik yang kurang.
Berdasarkan hasil penelitian LIPI di empat daerah (Propinsi Aceh, Maluku Utara,
Nusa Tenggara Barat), ditemukan bahwa partai politik kesulitan menjaring caleg perempuan.
Padahal menurut aktivis perempuan, banyak sekali perempuan berkualitas yang siap untuk
dijaring oleh partai politik. Wanita yang berhasil menduduki jabatan strategis di partai politik
dan kandidat / calon legislatif wanita yang pada akhirnya menempati urutan teratas dalam
pencalegan biasanya memiliki kedekatan dengan pimpinan partai politik dan/atau memiliki
popularitas tinggi dan/atau memiliki kemampuan finansial yang bagus.28

Salah satu permasalahan utama dengan partai-partai politik di Indonesia adalah
bahwa sebagian besar partai politik merupakan catchall parties yang prioritasnya adalah
memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana untuk membiayai partai mereka. 29
Populisme seringkali dilihat sebagai salah cara bagi partai-partai politik untuk memenuhi
kuota 30 persen kandidat wanita. 30 Salah satu fenomena yang kini muncul dalam panggung
politik Indonesia adalah kemunculan artis / pekerja industri seni (entertainment industry)
yang maju sebagai kandidat dalam pemilu. Sebagian besar artis ini tidak memiliki
pengetahuan politik yang cukup. Kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang diterapkan di
Indonesia dalam kuota gender ini digunakan oleh partai-partai politik untuk menjadikan
wanita sekedar sebagai alat untuk mendapatkan suara (voter getter) tanpa benar-benar
peduli pada isu-isu wanita.
Pemilu tahun 2009 memang menunjukkan peningkatan jumlah perwakilan wanita,
hanya saja hal yang perlu diperhatikan adalah bahawa kaum wanita yang duduk di legislatif
(DPR) maupun DPRD saat ini bukanlah yang berlatarbelakang aktivis maupun mereka yang
banyak bersentuhan dengan pemberdayaan kelompok marginal. 31 Kebanyakan dari
perwakilan wanita ini berlatarbelakang figure popular, dinasti politik, dan kader parpol.
Sebagian besar dari wanita ini minim bersentuhan dengan organisasi gerakan perempuan
dan kurang paham dengan isu gender maupun perjuangan demokratisasi di Indonesia
dimana wanita adalah bagian integral dalam perjuangan tersebut.32
Menurut gubernur DKI Jakarta yang sekarang, Joko Widodo, kaum artis Indonesia
telah memenuhi (hijacked) proses elektoral di Indonesia. Menurutnya, hal ini terlihat seperti
jalan pintas bagi partai untuk mendapatkan suara dan hal ini merupakan indikasi buruknya
sistem rekruitmen politik di Indonesia. Banyak kaum artis yang masih memiliki kemampuan
yang kurang untuk duduk di kursi pemerintahan. Partai-partai politik cenderung ‘memasang’
artis sebagai kandidat diantara kandidat-kandidat lain yang kurang popular untuk
481

Adiasri Putri Purbantina,

mendapatkan suara. Menurut Widodo, fenomena politisi dengan latar belakang dunia
hiburan ini menjadi praktek umum yang terjadi di perpolitikan Indonesia. 33
Fenomena artis menjadi politisi ini dapat dilihat mulai dari pemilu tahun 2004. Pada
pemilu ini artis-artis yang maju dalam pemilu dapat dikategorikan menjadi tiga golongan.34
Golongan yang pertama adalah mereka yang memang sebelumnya telah bergabung dalam
partai politik (baik partai besar maupun kecil). Golongan yang kedua adalah mereka yang
memanfaatkan posisi mereka sebagai public figure dan berperan sebagai voter getter.
Golongan ketiga adalah para artis yang memiliki posise netral yang karya-karyanya
seringkali dipakai oleh para politisi.35 Berikut ini adalah daftar artis-artis wanita dari total
yang maju sebagai kandidat dalam pemilu 2004:
Tabel 1
“Daftar Kandidat Wanita dengan Latar Belakang Pekerja Industri Seni dalam Pemilu 2004”
No
Nama
Partai Asal
Daerah Pemilihan
1
Marissa Haque
PDI-P
Jawa Barat II
2
Renny Djajoesman
Golkar
Jawa Tengah I
3
Nurul Arifin
Golkar
Jawa Barat III
4
Puput Novel
Golkar
Jawa Barat VIII
5
Rieke Dyah Pitaloka
PKB
Jawa Barat IV
6
Emilia Contesa
PPP
Jawa Timur VII
7
Ratna Paquita Wijaya
PAN
DKI Jakarta I
8
Nia Daniati
PKPB
Propinsi Jambi
9
Anna Tairas
Partai Demokrat
Jawa Timur IV
10
Angelina Sondakh
Partai Demokrat
Jawa Tengah VI
11
Nindy Elise
PDS
Jawa Barat VII
12
Marini
Partai PP
Jawa Tengah IV
13
Tutie Kirana
Partai PIB
Jawa Timur I
14
Usi Karundeng
Partai PIB
Sulawesi Utara
15
Dien Novita
Partai Golkar
DI Yogyakarta
16
Anneke Putri
PKS
DKI Jakarta II
17
Rae Sita Supit
Partai Golkar
Jawa Barat V
Sumber: Data diambil dari Nyarwi berdasarkan data dari KPU; CENTRO database; dan
Alfito Deannova36
Berbeda dengan dua pemilu sebelumnya, kuota 30 persen bagi kandidat wanita
dalam pemilu 2014 sifatnya wajib. Berikut ini adalah daftar nama-nama artis yang menjadi
kandidat dalam pemilu tahun 2014 nanti:
Tabel 2
“Daftar Calon Legislatif dari Kalangan Artis dalam Pemilu 2014”
No
Partai Politik
Nama Kandidat
1
Partai Amanat Nasional
Anang, Ashanty, Desi Ratnasari, Ikang Fauzi,
(PAN)
Marissa Haque, Hengky Kurniawan, Jeremy
Thomas, Ayu Azhari, Dwiki Dharmawan,
Norman Kamaru, Eko Patrio, dan Primus
Yustisio.
2
Partai Nasional Demokrat
Melly Manuhutu, Doni Damara, Jane Shalimar,
(Nasdem)
Mel Shandy, dan Sarwana.
3
Partai Kebangkitan Bangsa
Cinta Penelope, Tommy Kurniawan, Tia AFI,
(PKB)
Ridho Rhoma, Vicky Irama, Dedi Irama,
Mandala Shoji, Said Bajuri, Khrisna Mukti,
Ressa Herlambang, Arzetti Bilbina, Akrie Patrio,
dan Iyeth Bustami.
4
Partai Gerakan Indonesia
Irwansyah, Nuri Shaden, Bella Saphira, Iis
Raya (Gerindra)
Sugianto, Ifan Seventeen, Rahayu Saraswati,
Bondan Winarno, Rachel Maryam, dan Jamal
482

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30% KANDIDAT WANITA DI INDONESIA

Mirdad.
Angel Lelga, Lyra Virna, Emilia Contesa, Okky
Asokawati, Ratih Sanggarwati, dan Mat Solar.
6
Charles Bonar Sirait, Nurul Arifin, Tantowi
Yahya, dan Tety Kadi Wibowo.
7
Yessy Gusman, Edo Kondologit, Nico Siahaan,
dan Rieke Diah Pitaloka.
8
Yenny Rahman, Anwar Fuadi, Inggrid Kansil,
dan Venna Melinda.
9
Partai Hati Nurani Rakyat
David Chalik, Andre Hehanusa, dan Gusti
(Hanura)
Randa.
Keterangan : Kandidat wanita ditandai dengan warna biru.
Sumber: Data ini diambil dari pemberitaan Kompas Online bulan Juli 201337
Dapat dilihat bahwa dibandingkan pemilu 2004, makin banyak artis, terutama artis
wanita, yang maju dalam pemilu di Indonesia. Dengan melihat banyaknya artis wanita yang
maju sebagai kandidat / caleg dalam pemilu 2014, kemudian yang menjadi pertanyaan
adalah bagaimana kontribusinya bagi agenda wanita (women issues) dan perjuangan
wanita ketika mereka akhirnya terpilih untuk masuk dalam parlemen. Apakah peningkatan
jumlah perwakilan wanita dalam parlemen, secara terutama parlemen nasional (DPR) dapat
sekaligus mengangkat women issues di Indonesia untuk mendapatkan perhatian lebih?
5

Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)
Partai Golongan Karya
(Golkar)
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P)
Partai Demokrat (PD)

Kinerja Perwakilan Wanita dalam Parlemen
Para perwakilan wanita di DPR Indonesia saat ini dianggap belum memperlihatkan
usaha lebih dalam mengangkat women issues. Banyak isu yang menyangkut nasib wanita
di Indonesia yang belum menjadi perhatian para politisi wanita. Diantaranya yaitu isu tenaga
kerja, perdagangan manusia, ketidakadilan hukum. Permasalahan apakah kenaikan jumlah
perwakilan wanita di parlemen sejalan dengan semakin tingginya perhatian terhadap
persoalan wanita di Indonesia, masih patut dipertanyakan. Ketua Konfederasi Organisasi
Buruh, Nining Elitos, menyatakan bahwa salah satu contoh kurangnya perhatian pemerintah
pada isu wanita dapat dilihat pada UU Ketenagakerjaan yang menurutnya tidak
memberikan perlindungan kepada kaum buruh dan merugikan buruh wanita.38
Dalam DPR, perwakilan wanita cukup tersebar di semua badan kerja DPR RI,
antara lain dalam Komisi, Panitia Khusus, dan Panitia Kerja DPR. Namun demikian kinerja
anggota DPR wanita masih dapat dipertanyakan. Women Research Institute39 melakukan
survei kepada 160 responden, yang merupakan anggota Kaukus Perempuan Parlemen
Republik Indonesia (KPP RI) serta anggota Komisi II dan Komisi VIII DPR RI pada tahun
2012 mengenai anggota legislatif wanita. Sebanyak 36 responden mengembalikan survei
tersebut dan dapat ditarik beberapa kesimpulan dari hasil survei. Hasil survei menyatakan
bahwa anggota legislatif wanita cukup rajin menghadiri rapat-rapat di Dewan. Meskipun
demikian, hasil survei ini juga menunjukkan bahwa anggota DPR wanita belum memberikan
kontribusi maksimal dalam pembuatan kebijakan di DPR. Tingkat keaktifan untuk
menyampaikan pendapat dan argumentasi masih rendah yakni hanya 20 persen anggota
DPR wanita yang aktif. Selain itu, sebesar 83 persen anggota DPR perempuan menyatakan
berpendapat sesuai dengan arahan dari fraksi, sedangkan yang mengaku berpendapat
tidak sesuai dengan arahan fraksi hanya 17 persen.40
Masih berdasarkan hasil survei WRI tersebut, anggota DPR wanita yang aktif
menghadiri rapat maupun menyampaikan argumentasi pada rapat-rapat di DPR juga
rendah. Masih rendahnya angka keaktifan anggota Dewan wanita tersebut disebabkan
beberapa hal antara lain karena masih ada anggota Dewan wanita yang merasa kurang
percaya diri dan merasa kurang menguasai persoalan di komisi yang ditempatinya.
Banyaknya wanita yang berkiprah di dunia politik ternyata belum mampu menawarkan
kultur politik yang berbeda. Wanita belum mampu menunjukkan diri sebagai agen
perubahan. Lemahnya peran wanita di parlemen terjadi karena kapabilitas perempuan yang
lolos ke parlemen kurang teruji.41
483

Adiasri Putri Purbantina,

Sedangkan untuk di level lokal (DPRD), dapat ditemukan masalah yang sama.
Salah satu contohnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LIPI, draft Rancangan
Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak
Korban Kekerasan di Maluku Utara bukan datang dari inisiatif DPRD, melainkan berasal
dari Pemerintah Kota Ternate. Berdasarkan apa yang terjadi dalam rapat pembahasan
alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), para anggota DPRD wanita
tampak tidak peduli. Para anggota DPRD ini umumnya adalah wajah baru dalam politik
setempat dan belum berpengalaman serta tidak aktif dalam organisasi atau jaringan
wanita.42 Banyaknya anggota-anggota DPRD wanita yang tidak menguasai substansi isuisu wanita dapat ditemui di wilayah-wilayah lain di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat,
Papua.43
Pada intinya, hal yang mempersulit gerak anggota legislator wanita
memperjuangkan isu-isu wanita adalah keterikatan mereka terhadap keputusan parpol yang
diwakili oleh fraksi. Fraksi merupakan perpanjangan tangan parpol dalam mengatur
anggotanya yang duduk di lembaga legislatif. Oleh karena itu, fraksi memiliki “kekuatan”
besar untuk mempengaruhi “sepak terjang” anggotanya, sebagaimana diatur dalam UU
maupun Peraturan Tata Tertib DPR atau Tatib DPRD. 44
Kesimpulan
Sistem kuota gender diberlakukan di Indonesia dengan harapan untuk
meningkatkan jumlah representasi wanita di parlemen Indonesia, baik di level nasional,
daerah, maupun lokal. Tetapi peningkatan jumlah reperesentasi wanita di Indonesia
ternyata masih membawa hasil sebagaimana yang diharapkan dan malah menciptakan
dilema tersendiri. Demi memenuhi kuota 30 persen kandidat wanita, partai politik kemudian
menerima wanita yang kurang atau bahkan tidak memiliki pengetahuan politik yang cukup.
Salah satu fenomena menarik yang terjadi di panggung perpolitikan Indonesia adalah
fenomena artis wanita yang maju dalam pemilu. Sebagian besar artis-artis wanita ini tidak
memiliki pengetahuan politik yang cukup. Banyaknya kaum artis wanita yang maju ini
menjadi contoh bagaimana wanita hanya berfungsi sebagai voter getter. Partai politik masih
belum serius menanggapi pentingnya isu-isu wanita. Isu-isu wanita masih belum
mendapatkan perhatian di parlemen Indonesia sebagaimana yang diharapkan. Sehingga
pada intinya, walaupun melalui sistem kuota 30 persen ini terdapat jumlah peningkatan
representasi wanita di Indonesia, peningkatan jumlah ini tidak diiringi dengan peningkatan
kapabilitas kandidat wanita.
Daftar Referensi
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012).
Perempuan, Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif
Perempuan di Tingkat Lokal. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Asril, S. (2013, Juli 24). Caleg Artis Harus Rajin Baca Berita dan Buku. Retrieved Agustus
15,
2013,
from
Kompas.com:
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/24/0941217/Caleg.Artis.Harus
Aziz, D. A. (2013). Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam parlemen. Yogyakarta:
Rangkang Education.
Bastian, A. Q. (2012, November 8). Celebrity Politicians’ Star Power Derails. Retrieved
Agustus
2013,
15,
from
The
Jakarta
Globe:
http://www.thejakartaglobe.com/archive/celebrity-politicians-star-power-...1
Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013). Indonesia’s next parliament: celebrities, incumbents and
dynastic members? Retrieved Agustus 2013, 15, from East Asia Forum:
http://www.eastasiaforum.org
Krook, M. L. (2009). Quota for Women in Politics: Gender and Candidate Selection Reform
Worldwide. Oxford: Oxford Univesity Press.

484

REPESENTASI WANITA DALAM POLITIK: DILEMA PENERAPAN KUOTA 30% KANDIDAT WANITA DI INDONESIA

Muzakki, A. (2013, Juli 25). The Dilemma for Female Candidates in Indonesia. Retrieved
Agustus
15,
2013,
from
The
Jakarta
Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/25/the-dilemma-female-ca
Nyarwi. (n.d.). From Celebrity to Politician: The Indonesian Celebrity in the House of
Representative (DPR RI) 2004-2007. The Indonesian Journal of Communication
Studies.
Safitri, D. (2011, Maret 7). Perempuan di Parlemen: Sudahkah Membawa Perubahan?
Retrieved
Agustus
15,
2013,
from
BBC
Indonesia:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/03/110304_perem
Siregar, W. Z. (2006). Women and the Failure to Achieve the 30 Per Cent Quota in the
2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of the Electoral System. 20th IPSA
World Congress. Fukuoka: 20th IPSA World Congress.
True, P. J., Niner, D. S., Parashar, D. S., & George, D. N. (2012). Women’s Political
Participation in Asia and the Pacific. SSRC Conflict Prevention and Peace Forum.
UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.).
Democratic Governance. Retrieved Agustus 15, 2013, from UN Women, UN Entity
for
Gender
Equality
and
the
Empowerment
of
Women:
http://www.unifem.org/gender_issues/democratic_governance/
UNDP. (2010). Power, Voice and Rights: A Turning Point for Gender Equality in Asia and the
Pacific. New Delhi: Macmillan Publishers India Ltd.
UNDP Indonesia. (2010). Women’s Participation in Politics and Government in Indonesia.
Jakarta: UNDP Indonesia.
United Nations. (2012, Maret 2). Women’s political participation must be accelerated through
quotas – UN Official. Retrieved Agustus 2013, 15, from United Nations:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?newsid=41445&cr=un
United Nations. (n.d.). Chapter 3: Political Participation. Retrieved Agustus 15, 2013, from
United Nations: http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter3.htm
Usu, N. R. (n.d.). Affirmative Action in Indonesia: The Gender Quota System in the 2004 and
2009 Elections. Flinders Asia Centre Occasional Paper 1.
UU RI No.8 /2012. (n.d.). Retrieved Agustus 2013, 15, from http://datahukum.pnri.go.id/
Note
1

True, P. J., Niner, D. S., Parashar, D. S., & George, D. N. (2012). Women’s Political Participation in Asia and
the Pacific. SSRC Conflict Prevention and Peace Forum.
2
UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.). Democratic
Governance. Retrieved Agustus 15, 2013, from UN Women, UN Entity for Gender Equality and the
Empowerment of Women: http://www.unifem.org/gender_issues/democratic_governance/
3
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). Perempuan,
Partai Politik, dan Parlemen: Studi Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di Tingkat Lokal. Jakarta: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
4
United Nations. (n.d.). Chapter 3: Political Participation. Retrieved Agustus 15, 2013, from United Nations:
http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/publication/Chapter3.htm
5
UN Women, UN Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women. (n.d.).
6
United Nations. (n.d.).op.cit.
7
Krook, M. L. (2009). Quota for Women in Politics: Gender and Candidate Selection Reform Worldwide.
Oxford: Oxford Univesity Press.
8
Siregar, W. Z. (2006). Women and the Failure to Achieve the 30 Per Cent Quota in the 2004-2009 Indonesian
Parliaments: The Role of the Electoral System. 20th IPSA World Congress. Fukuoka: 20th IPSA World
Congress.
9
United Nations. (2012, Maret 2). Women’s political participation must be accelerated through quotas – UN
Official.
Retrieved
Agustus
2013,
15,
from
United
Nations:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?newsid=41445&cr=un
10
United Nations. (2012, Maret 2).
11
Krook, M. L. (2009).
12
Krook, M. L. (2009).

485

Adiasri Putri Purbantina,

13

“In countries with proportional representation (PR) electoral systems, party quotas govern the composition of
party lists. While some parties apply the quota to the list as a whole, others direct it to the number of seats on
the list that they anticipate winning in the next elections. In countries with majoritarian systems, party quotas
are often directed at a collection of single member districts. This may entail nominating a proportion of women
across all the districts where the party is running candidates.” Lihat Krook, M. L. (2009).
14
Opello dalam Krook, M. L. (2009).
15
Krook, M. L. (2009).
16
Aziz, D. A. (2013). Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam parlemen. Yogyakarta: Rangkang Education.
17
Siregar, W. Z. (2006).
18
Siregar, W. Z. (2006).
19
Siregar, W. Z. (2006).
20
UNDP Indonesia. (2010). Women’s Participation in Politics and Government in Indonesia. Jakarta: UNDP
Indonesia.
21
Siregar, W. Z. (2006).op.cit
22
Usu, N. R. (n.d.). Affirmative Action in Indonesia: The Gender Quota System in the 2004 and 2009 Elections.
Flinders Asia Centre Occasional Paper 1.
23
UNDP. (2010). Power, Voice and Rights: A Turning Point for Gender Equality in Asia and the Pacific. New
Delhi: Macmillan Publishers India Ltd.
24
UNDP Indonesia. (2010).
25
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
26
UU RI No.8 /2012. (n.d.). Retrieved Agustus 2013, 15, from http://datahukum.pnri.go.id/
27
Krook, M. L. (2009).
28
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
29
Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013). Indonesia’s next parliament: celebrities, incumbents and dynastic
members? Retrieved Agustus 2013, 15, from East Asia Forum: http://www.eastasiaforum.org
30
Kenawas, Y. C., & Fitriani. (2013).
31
Ani Soetjipto dalam Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S.
(2012).
32
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012).
33
Bastian, A. Q. (2012, November 8). Celebrity Politicians’ Star Power Derails. Retrieved Agustus 2013, 15,
from The Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/archive/celebrity-politicians-star-power-...1
34
Nyarwi. (n.d.). From Celebrity to Politician: The Indonesian Celebrity in the House of Representative (DPR
RI) 2004-2007. The Indonesian Journal of Communication Studies.
35
Nyarwi. (n.d.).
36
Nyarwi. (n.d.).
37
Asril, S. (2013, Juli 24). Caleg Artis Harus Rajin Baca Berita dan Buku. Retrieved Agustus 15, 2013, from
Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2013/07/24/0941217/Caleg.Artis.Harus
38
Safitri, D. (2011, Maret 7). Perempuan di Parlemen: Sudahkah Membawa Perubahan? Retrieved Agustus 15,
2013, from BBC Indonesia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/03/110304_perem
39
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
40
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
41
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
42
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
43
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.
44
Andriana, N., Siregar, S. N., Haris, S., Yanuarti, S., Budiatri, A. P., & Amalia, L. S. (2012). op.cit.

486