MEMBURU SASTRA LISAN BERPIJAK PADA BUMI

MEMBURU SASTRA LISAN
BERPIJAK PADA BUMI SENDIRI
Puji Santosa
Memburu sastra lisan dengan berpijak pada
bumi

sendiri

merupakan

pendirian

dari

sastrawan Mansur Samin Siregar. Hal ini
terwujudkan dalam proses kreatif Mansur
Samin yang dimulainya ketika dirinya belum
menginjak bangku sekolah rakyat di kampung
halamannya, Batang Toru, Tapanuli Selatan.
Mansur Samin selalu berpijak pada bumi
sendiri. Ketika masa kecil dia selalu mendengar

kisah-kisah rakyat yang didendangkan oleh
orang-orang tua di kampungnya. Cerita lisan
yang dituturkan dari mulut ke mulut itu mulai
tertanam dalam jiwanya. Ketika baru berusia enam tahun, ia sudah mampu
mendendangkan andung-andung (puisi lisan yang berisi ratapan kesengsaraan
hidup yang bersifat lirik romantik). Salah satu syair yang berisi kekagumannya pada
alam ketika masih anak-nak itu adalah sebagai berikut.
Las ni ari on
sumurung lobi di balian
di ari na sadari on
sumurung salo lobi malungun
(Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut.
Panas teriknya hari ini
terlebih di tengah sawah
juga pada hari ini
terlebih hati terasa susah.)
Larik-larik syair yang berisi ratapan hati itu sekaligus sebuah metafora
antara keadaan alam dengan perasaan jiwanya yang terasa amat susah, sedih, dan
haru. Hal itu disebabkan oleh keadaan ketika masih anak-anak Mansur Samin sering


1

menyaksikan betapa menyakitkan buruh-buruh kuli kontrak yang hendak melarikan
diri dari perkebunan karet yang dihukum cambuk oleh serdadu Belanda. Merasa
sebagai bagian dari rakyat yang terjajah, Mansur Samin hatinya ikut luka. Kuli
kontrak yang berasal dari Jawa itu juga bangsanya sendiri. Kejamnya penjajah
Belanda melebihi kekejaman alam terhadap para penghuninya. Mansur Samin hanya
dapat menyenandungkan luka derita hidupnya itu melalui andung-andung, sastra
lisan warisan nenek moyangnya.
Ketika sudah dewasa dan dapat menulis berbagai cerita, Mansur Samin
menjadi seorang pemburu sastra lisan. Semua cerita rakyat yang berbentuk
dongeng, legenda, mite, epos, sage, dan mantra dari seluruh pelosok nusantara, ia
kumpulkan dan dipilah-pilahkan untuk ditulis ulang. Penulisan ulang sastra lisan itu
dapat berbentuk sajak atau syair naratif yang biasa disebut dengan nama balada,
seperti baladanya “Raja Singamangaraja XII” (1963 mendapat hadiah penghargaan
dari majalah Sastra), dalam bentuk buku kumpulan sajak cerita rakyat Sontanglelo
(1985 yang berisi 12 sajak tentang cerita-cerita rakyat di nusantara dan kini
memasuki cetak ulang), juga digubah dalam bentuk drama puisi, seperti “Sarabara”
dan “Kuala” (1958, dicetak ulang 1996), dan dalam bentuk buku cerita anak-anak,
seperti Ucok dan Si Pelor (2001, mendapat hadiah Adikarya IKAPI). Sastra lisan yang

sudah ditulis oleh Mansur Samin dalam bentuk buku cerita anak-anak jumlahnya
sudah ratusan. Berdasarkan pengakuanya, ketika diwawancarai oleh penulis, 2003,
sudah berhasil ditulis sebanyak 320 buku yang berisi kisah sastra lisan, bahkan
hampir semuanya mendapatkan bantuan dari proyek buku Inpres.
Mansur Samin dalam buku Sontanglelo (1996), menyatakan bahwa dirinya
sudah lebih dari tiga puluh tahun lamanya bergulat mengerjakan sajak-sajak
panjang yang bersumber dari cerita rakyat yang berpijak pada bumi sendiri. Tidak
mudah baginya memilih cerita rakyat yang banyak bertebaran di seluruh pelosok
tanah air itu untuk diangkat kembali dalam sajak-sajak dan buku-bukunya. Satu hal
yang menjadi tujuan utama Mansur Samin memburu sastra lisan adalah
memperoleh nilai-nilai puitis, dramatis, estetis, dan religius, agar bangsa ini mau
menghargai jerih payah warisan nenek moyangnya. “Dengan mengenal cerita
rakyat”, kata Mansur Samin, “jiwa kita lebih dekat untuk mengenal jiwa rakyat,
2

rakyat kita, rakyat Indonesia. Siapa bilang mudah mengenal jiwa rakyat?”. Jelas arah
pemikiran Mansur Samin selalu berpihak pada rakyat.
Selanjutnya, Mansur Samin menyarankan untuk membina apresiasi sastra di
kalangan rakyat, siswa, dan masyarakat luas itu harus dimulai dari cerita lisan atau
cerita rakyat. Dalam sastra lisan atau cerita rakyat itulah yang sesungguhnya

bersarang jiwa rakyat. Kemudian ia bercerita bahwa sejak anak-anak dirinya telah
dipengaruhi oleh sastra lisan, yakni cerita-cerita rakyat di desa kelahirannya,
Tapanuli Selatan. Sesudah menginjak remaja, Mansur Samin dipengaruhi pula oleh
buku karangan William Saroyan, berjudul Komedi Manusia yang diterjemahkan Anas
Ma’ruf, buku Don Kisot karya Cervantes, buku Teman Duduk karya Mohammad
Kasim, dan cerita-cerita dari Arab-Persia kisah Seribu Satu Malam yang sangat
mempengaruhi perkembangan kreatifnya di kemudian hari.
Sumber kreativitas yang berasal dari sastra lisan atau cerita rakyat dan
berpijak pada bumi sendiri tidak akan habis-habisnya digali, diburu, dan ditulisnya.
Lakon satu babak Sarabara digali dari sumber sastra lisan tentang sejarah masuknya
agama Islam ke daerah Tapanuli Selatan. Kata sarabara dalam bahasa Mandailing
berarti ‘berantakan’, ‘kalangkabut’ atau ‘kocar-kacir’. Ucapan itu biasa dikatakan
kepada pasukan barisan yang diserang musuh, dilurus, berantakan, sehingga
sarabara. Atau dapat juga ucapkan itu diungkapkan oleh seorang pemburu ketika
sedang memburu hewan buruannya sehingga sarabara.
Sementara itu, lakon satu babaknya yang berjudul “Bahana Lautan Malam”
digali ketika Mansur Samin berkerja menjadi kuli pelabuhan dan kelasi awak kapal.
Perjalanan Mansur Samin dari Labuan Batu, Belawan, Medan, hingga ke tanah Jawa,
Cirebon dan Jakarta, mendapat berbagai pengalaman hidup yang tak terlupakan.
Pengalaman itu menarik ketika mengarungi samudera lepas dengan mite-mite,

dongeng, dan legenda-leganda tentang peri laut, mambang, para perompak, dan
romansitisme awak kapal, kapiten kapal, bersama seorang wanita yang menumpang
kapalnya. Sebagai seorang penyair yang mengagumi cipta Tuhan dengan keindahan
alam, laut, dan negerinya, Mansur Samin tergugah untuk diabadikan peristiwa itu
dalam karyanya “Bahana Lautan Malam”.

3

Pergolakan politik dalam negeri ketika Mansur Samin menjadi wartawan
surat kabar harian Merdeka, seputra tahun 1966, diabadikan dalam buku kumpulan
sajak Perlawanan dan dramanya “Kebinasaan Negeri Senja”. Negeri yang carut marut
dan berada diambang kehancuran pada waktu itu dimetaforakan sebagai
kebinasaan negeri senja. Tidak ubahnya seperti lakon karya Sanusi Pane
“Sandyakala Ning Majapahit”, Mansur Samin banyak berbicara penguasa yang korup
sehingga perlu mendapat perlawanan. Kemudian, cintanya terhadap tanah air,
tumpah darah, dan bangsa negeri ini, Mansur Samin menulis Lagu Nyanyian Tanah
Air, Sontanglelo, Sajak-Sajak Putih, dan Dendang Kabut Senja. Ratap tangis negeri
kita ini dikumandangkan Mansur Samin lewat balada-balada panjangnya. Dengan
balada-baladanya itu Mansur Samin tak jemu-jemunya mengingatkan bangsanya
agar memahami jiwa rakyat, hidup merakyat, dan berada di kalbu rakyatlah

bersarang jiwa-jiwa pahlawan yang tanpa pamrih, murni, dan tulus ikhlas.
Pada tahun 2005, Mansur Samin yang memiliki obsesi memburu sastra lisan
yang bernama mantra, menghembuskan napasnya terakhir di Jakarta. Puisi rakyat
yang dianggap sakral, penuh tuah, dan magis itu berpijak pada bumi sendiri dan
menjadi kekayaan mental-spritual bangsa. Sebelum menghembuskan napasnya yang
terakhir ia berpendapat bahwa pertahanan sosial budaya bangsa kita ini terletak
pada kemampuan diri memiliki senjata ampuh yang bernama mantra. Hanya
mantralah yang mampu memberi kekuatan hidup dan mempertahankan hidup di
dunia ini agar lurus jalannya. Hal itu secara jelas diekspresikan dalam drama
puitisnya berjudul “Kuala”.
Kata kuala secara harfiah berarti ‘muara sungai’ atau ‘tempat pertemuan
antara sungai dengan laut’. Kata kuala secara kias juga bermakna menjadi tempat
pertemuan antara beberapa aliran menjadi satu. Dari pemahaman arti kata kuala itu
akhirnya menjadi sebuah metafora dan sekaligus simbol pertemuan antara
beberapa jiwa berkumpul menjadi satu, menyatukan persepsi dalam suatu wadah
tertentu dari berbagai pemikiran, dan mempertemukan berbagai aliran dan
kepercayaan hidup pada suatu keyakinan tertentu. Oleh karena itu, tokoh Jembalang
pada akhir cerita mengungkapkan: “Kebenaran adalah kuala jiwa/ Kuala setiap
sengketa manusia/ Hidup berselimut kabut kuala/ Akhirnya, semua menuju ke kuala/
4


kuala tertutup, kuala hidup!/ Hukum mayapada, hukum manusia adalah kuala
derita”. Kemudian tokoh Ayah berkeyakinan bahwa “Dunia adalah kuala segala”.
Hanya di dunia tempat bertemuanya berbagai persoalan hidup.
Dua aliran yang berbeda itu sebenarnya disatukan oleh kuala keyakinan.
Tokoh Jembalang merupakan simbol dunia roh yang penuh dengan kabut kegelapan
yang bermukim di lautan. Sementara itu, tokoh Ayah merupakan simbol dunia
jasmani yang dipenuhi pula kabut kemisterian yang bermukim di daratan. Antara
dunia roh yang bermukim di lautan dan dunia jasmani yang bermukim di daratan itu
diselimuti oleh kabut kegelapan pada malam hari, lalu diterangi oleh panasnya sinar
matahari pada siang harinya. Dua dunia yang berbeda itu masih berada di jagat raya
di bawah satu kekuasaan Tuhan. Hal itu juga merupakan simbol antara hidup roh
dan hidup jasmani yang diselimuti oleh perasaan dan pikiran yang bermukim dalam
satu badan manusia. Dalam diri manusia yang terdiri atas dunia roh dan dunia
jasmani itu bertemulah kuala jiwa, kuala kebenaran, di bawah satu kekuasaan Illahi.
Pada akhir naskah drama puisi “Kuala” itu Mansur Samin memberi catatan
bahwa tokoh Jembalang muncul di pentas tanpa wajah. Terkniknya tokoh Jembalang
berkostum hitam semua. Muka tidak kelihatan karena ditutup oleh kostum yang
serba hitam. Hal itu jelas memberi isyarat bahwa dunia roh itu tidak tampak oleh
indera penglihatan manusia. Dunia roh hanya bisa kita tangkap melalui indera yang

lain, misalnya melalui indera pendengaran atau dengan indera keenam. Dengan
indera itu manusia mampu mengerahkan kemampuannya (berkonsentrasi) untuk
berkomunikasi dengan dunia roh meskipun berada di dunia lain.
Dengan demikian, drama puisi karya Mansur Samin—paman dari Prof.
Ahmad Samin Siregar, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,
Kampus Padang Bulan, Medan—itu mengandung makna filosofi yang dalam tentang
kehidupan. Hidup berselimut kabut kuala yang mengandung pengertian bahwa hidup
di dunia ini selalu penuh dengan derita, kesengsaraan, kegelapan, yang akhirnya
bermuara kepada pangkuan Tuhan di akhirat. Oleh karena itu, kabut kegelapan
harus kita singkirkan dengan cahaya iman. Cahaya keimanan akan selulu menuntun
ke jalan benar, ialah jalan keutamaan yang berakhir pada kemuliaan abadi, di hadirat

5

Tuhan. Drama yang diambil dari sastra lisan Batak ini menjadi pijkan di bumi sendiri
yang dapat dijadikan bahan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Samin, Mansur 1996a. “Apa Kata Laut Banda” dalam Dendang Kabut Senja. Jakarta:
Aladin.
-------- 1996b. “Sontanglelo” dalam Sontanglelo: Sajak-sajak Cerita Rakyat. Jakarta:

Pembina Anak Indonesia.
-------- 1996c. “Kuala” dalam Sarabara. Jakarta: Margi Wangi.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.
Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Sastra dalam Tanya Jawab. EndeFlores: Nusa Indah.
Santosa, Puji., dkk. 2003. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Santosa, Puji. 2003. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh.
Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta:
Pararaton.
Santosa, Puji., Suroso, & Pardi. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya Ruri.
Yogyakarta: Pararaton.
Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan mitologis: Telaah dunia
wayang dalam sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Santosa, Puji., & Imam Budi Utomo. 2011. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam
Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Puiblishing.
Santosa, Puji. 2013. Ancangan semiotika dalam pengkajian susastera. (Cetakan
kedua, cetakan pertama 1993). Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif,
dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Puiblishing.

6

Santosa, Puji. 2015. Metodologi penelitian sastra: Paradigma, proposal, pelaporan, &
penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.

7

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124