SASTRA SOSIOLOGI DAN KAJIAN BUDAYA LITER

SASTRA, SOSIOLOGI, DAN KAJIAN BUDAYA1
(LITERATURE, SOCIOLOGY, AND CULTURAL STUDIES)
Nasrullah Mappatang2
Pengantar; Membaca Sastra, Membaca Masyarakat, Menilai Kebudayaan
Kajian inter-disipliner dalam studi sosio-kultural (sosial budaya) dewasa ini semakin tak terhindarkan.
Terkhusus pula pada kajian kesusastraan yang biasanya berposisi di Fakultas Sastra dan atau Fakultas
Ilmu Budaya. Studi kesusastraan ini ditandai dengan menjadikan karya sastra berupa puisi, drama,
maupun cerpen dan novel, serta belakangan ini Travel Writing dan Film sebagai data utama atau bahan
kajian primer. Pengkajian awal kesusastraan memfokuskan diri pada tiga objek saja yakni puisi, drama,
dan fiksi. Fiksipun dibagi dua dalam kecendrungannya, yakni cerita pendek dan novel. Namun, seiring
perkembangan kajian di bidang ini, muncul genre baru yakni catatan perjalanan (travel writing) dan
Film/Cinema.
Perkembangan paradigma, teori, dan perspektif pada kajian ini juga menjadikan semakin cair dan
dinamisnya pula proses dalam perkembangan kajiannya. Jika awalnya penelitian terhadap karya sastra
hanya terfokus pada bentuk saja oleh aliran formalism, serta dalam hal struktur saja oleh aliran
strukturalisme, maka seiring perkembangannya adapula cara pandang yang menghubungkannya dengan
struktur masyarakat yang menjadi setting cerita, maka muncullah strukturalisme genetik. Dalam aliran
strukturalisme genetik ini, struktur cerita dianggap bergenesis atau memiliki hubungan genetik dengan
struktur masyarakat yang diceritakan atau masyarakat tempat dimana penulis berinteraksi. Interaksi yang
dimaksud juga bisa bermakna interaksi sosial, ataupun interaksi ideologis, atau bisa keduanya.
Pada strukturalisme genetik, karya sastra mulai dihubungkan dengan masyarakat. Strukturalisme genetik

mencari dialektika teks dan praktik sosial yang ada di masyarakat. Apa yang direpresentasikan dalam teks
karya sastra dianggap memiliki kaitan yang genetis – ideologis dengan daya tangkap dan penghadiran teks
melalui representasi dan juga pilihan cara penyajian penulis karya. Subjek kolektif penulis dan pandangan
dunia penulis (world view) dalam strukturalisme genetik dinilai turut mempengaruhi hadirnya struktur teks
dan wacana dalam karya sastra. Terutama pada novel yang berkembang dengan pesat belakangan ini.
1 Sebuah Pengantar untuk melihat hubungan Paradigmatis dan dialektis antara Sastra, Masyarakat, dan Kebudayaan. Ditulis
pada 1 Juni 2017
2 Penggiat SKOLASTRA (Sekolah Sastra dan Budaya) dan Institute of Social Change Studies (ISCS), Indonesia. Alumni Sastra
Inggris (English Literature), Universitas Hasanuddin, dan Sekolah Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya dan Media (Media
and Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, Indonesia.

Formalisme dan Strukturalisme; Melihat Bentuk, Isi, dan Estetika Makna
Aliran Formalisme dan Strukturalisme menjadikan penelitian karya sastra berkutat pada aspek intrinsik
(internal) karya saja. Yang diteliti dalam strukturalisme dan formalisme terbatas pada unsur pembentuk
karya berupa tema, setting, alur cerita, karakter tokoh, latar cerita dan beberapa hal terkait lainnya. Gaya
bahasa dan pemaknaan semiotis bahasa juga menjadi bahan pengkajian di pendekatan strukturalis –
formalis ini. Mengetahui dan menjabarkan bagaimana sebuah karya dibentuk dan disusun menjadi sebuah
kesatuan struktur yang memiliki makna petanda adalah ciri khas dari pendekatan ini.
Bahasa dan struktur karya bisa dikatakan sebagai fokus penelitian pada Formalisme dan Strukturalisme.
Sementara itu, strukturalisme genetik menjembatani kajian tentang struktur (intrinsik) karya dengan

masyarakat yang terkait dengan karya tersebut. Temasuk di dalamnya subjek kolektif penulis atau di
kelompok sosial mana penulis bergaul dan aktif atau mengasosiasikan diri, sampai pandangan dunia
penulis ikut dihubungkan dengan teks dan struktur bangunan karya yang diteliti. Bisa dikatakan,
strukturalisme genetik menjadi jembatan penghubung antara ilmu dan kajian sastra dengan Sosiologi.
Ketika hubungan sastra dengan masyarakat semakin terbuka untuk dikaji, maka sosiologi sebagai ilmu
semakin relevan. Meski menimbulkan perdebatan yang tak berkesudahan antara campur tangan disiplin
ilmu sosial ini dengan disiplin ilmu sastra, namun dinamika dan dialektika keduanya melahirkan pengkajian
yang lebih luas dan mendalam. Akses – akses kesusastraan pun merambah ke ranah sosial. Karya sastra
dilihat sebagai produk sosial (dan budaya), dan sekaligus karya sastra (berikut penulisnya) dilihat pula
sebagai pembaca dan sekaligus juga sebagai peng-interupsi kondisi dan struktur sosial yang ada di
masyarakat.
Aspek – aspek perluasan inilah yang oleh para peneliti struktural dan formalis menilai otonomi karya sastra
menjadi terancam. Bagaimanapun, kaum formalis dan strukturalis menganggap karya sastra merupakan
sebuah bangunan teks yang otonom. Cara pandang otonomi teks ini lah yang melahirkan konsekuensi
metodologis yang memposisikan karya sastra bebas dari pengaruh eksternal. Termasuk dan terutama apa
yang diyakini oleh para strukturalis genetis, terlebih para pengagum dan pengguna sosiologi sastra.
Keduanya, ditentang sekaligus tidak mendapatkan tempat di cara pandang dan metode Strukturalisme dan
Formalism Sastra ini.

Sastra dan Sosiologi, Dinamika Hubungan Teks Karya dan Konteks Masyarakat

Seperti disebutkan pada pengantar di atas, hubungan antara penulis, karya sastra, dan masyarakat
menjadi semakin erat dewasa ini. Dan, studi Sosiologi Sastra semakin mendapatkan tempat di bidang
kajian akademis. Para ahli di bidang ini selain mampu membaca alur cerita dan estetika bahasa dalam
karya, juga mampu dalam membaca masyarakat, berikut ilmu sosial sebagai perangkat analisis dan tools
untuk membangun struktur dan sistem sosial masyarakat yang diidamkan. Disini, sastra dan studi sastra
dari segi keilmuan semakin bermanfaat di masyarakat.
Sosiologi Sastra yang dipopulerkan oleh Alan Swingewood, Pierre Bourdieu dan Lucien Goldman lewat
Strukturalisme Genetik-nya melihat kaitan antara teks dan masyarakat, terlebih pada struktur sosialnya.
Relasi teks dan konteks sosial, serta hubungan teks dengan posisi dan peran penulis adalah kaitan –
kaitan yang mengakrabi studi sosiologi sastra ini. Sebuah karya dilihat sebagai sebuah entitas yang tak
terpisahkan dengan subjek kolektif penulisnya, juga dengan kondisi sosial yang dihadapi penulisnya. Juga
termasuk genesis ideologis yang juga bersifat historis, adalah perihal yang turut mewarnai kehadiran
sebuah teks karya yang kemudian menjadi objek penelitian dalam strukturalisme genetik dan sosiologi
sastra.
Jika dalam Strukturalisme Genetik dan Sosiologi Sastra berupaya membangun hubungan erat dan
sekaligus dialektis antara unsur intrinsik karya sastra dengan unsur ekstrinsik (masyarakat), sedikit
berbeda denga kajian budaya (Cultural Studies). Meski Cultural Studies melihat kebudayaan sebagai
sebuah entitas yang berada di tengah masyarakat, namun pengkajiannya cenderung membedakan diri
dengan sosiologi sastra dan sosiologi budaya sekalipun. Dialektika saling mempengaruhi antara subjek
dengan masyarakatnya dengan pertalian yang ideologis, politis, dan berkomitmen etis adalah hal yang

utama dan menonjol dalam Cultural Studies.
Sastra dan Cultural Studies; Dari Kritik Teks ke Kritik (Politik) Kebudayaan
Kajian Budaya atau Cultural Studies (CS) adalah sebuah bidang kajian yang lahir dari rahim kritik sastra.
Terkhusus lagi kritik Sastra Inggris di University of Birmingham, Inggris. Para sarjana Kajian Bahasa dan
Sastra Inggris yang tergabung di Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) ini, yang juga sering
disebut sebagai eksponen dari Birmingham School, adalah para pelopor sekaligus pendiri CS. Mereka

antara lain Raymond Williams, Richard Hoggart, dan Edward Thompson sebagai generasi pertama, dan
Stuart Hall sebagai generasi kedua.
Cultural Studies yang lahir di Center – sebutan untuk CCCS – ini bisa dibilang mengadopsi pendekatan
dan teori – teori dalam Kritik Sastra. Adopsi ini terutama untuk dijadikan alat dalam mengkritik kebudayaan
yang ada di masyarakat. Khususnya teori dan metode kritik sastra Marxisme. Marxisme Kultural (Cultural
Marxism) menjadi terma dan aliran baru di kelompok Center ini. Pembacaan awal dilihat dari gagalnya aksi
politik oleh partai Buruh Inggris menghadapi Margareth Thatcher. Sampai pada hasil kajian Center yang
menyatakan bahwa secara kebudayaan, di kapitalisme lanjut ini, di Inggris terutama, kelas pekerja sudah
terkontaminasi blok kebudayaan kelas borjuasi. Sehingga, aksi politik dari blok politik kelas pekerja
terkooptasi oleh budaya borjuis. Dengan demikian, kesadaran kelas para pekerja menjadi terdistorsi
menjadi keinginan memiliki gaya hidup seperti majikan atau para kelas atas. Olehnya itu, menurut para
anggota Mazhab Birmingham ini, kebudayaan seperti ini harus dikritik, terutama dengan massifnya industri
budaya yang menghegemoni kelas pekerja untuk terus diam dan tidak lagi memperjuangkan nasib

kelasnya.
Eropa Barat memang, termasuk dan paling utama di Inggris, telah memiliki kapitalisme yang matang,
bukan hanya industri manufaktur dan industri financial (keuangan), namun juga sudah sampai pada industri
budaya, dimana kelas menengah dan kelas pekerja menjadi targetan konsumennya. Dalam hal ini, sastra
popular, dan budaya popular yang mewakili gaya hidup lintas kelas menjadi massif dan dikonsumsi oleh
kelas bawah secara massif pula. Selain menghegemoni dan menina bobokan kelas pekerja untuk tidak
bergerak memperjuangkan kelasnya, para industrialis budaya juga meraup keuntungan yang tidak sedikit.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa industri budaya ini secara ekonomi menolong kapitalisme global dari
kebangkrutan akibat krisis yang melanda beberapa kali semenjak Perang Dunia II usai.
Dalam posisinya di dunia akademik, Cultural Studies menginterupsi teks yang di dalamnya termaktub
ideologi dominan yang menyingkirkan ideologi dan praktik kebudayaan kelas subordinat atau yang
terdominasi. CS bisa dikatakan bermain pada isu dan kritik kebudayaan. Mediumnya boleh dari teks,
visual, audio visual, maupun praktik dan kebijakan serta politik kebudayaan itu sendiri. CS berdiri di
komitmen intelektual untuk membela yang terpinggirkan. Baik yang terpinggirkan dalam arena kelas, ras,
gender dan seksualitas, serta arena politik identitas lainnya. Metode yang digunakan tergantung dari
konsekuensi metodologis sebagai hasil pembacaan atas perspektif dan paradigma yang digunakan.

Metode mengikut dari hasil kajian awal dan tujuan yang dikehendaki oleh peneliti atau pengkaji
kebudayaan.
Disini, di Kajian Budaya (Cultural Studies) ini, metode kritik sastra, etnografi, semiotika, analisis wacana,

sampai pada ekonomi politik menjadi relevan untuk digunakan. Baik secara terpisah maupun sekaligus
dalam sebuah proyek penelitian yang komprehensif. Tidak ada batasan selama masalah yang ingin
dianalisa dan dipecahkan memungkinkan penggunaan teori dan metode tertentu untuk digunakan.
Pendekatan inter-disipliner menjadi sangat relevan bahkan menjadi ciri khas utama Cultural Studies ini.
Di Cultural Studies ini pula karya sastra menjadi bahan kajian yang tak ada habisnya, bersama teks media,
film, karya desain komunikasi visual, dan segala bentuk wujud budaya dan praktik kebudayaan lainnya.
Tema – tema tentang kelas sosial, ras, nasionalisme, etnisitas, gender dan semacamnya beserta isu
tentang hegemoni, dominasi, subordinasi, emansipasi, komodifikasi, diskriminasi, peng-liyan-an,
strukturasi, spasialisasi, dan marginalisasi dan juga tema – tema terkait menjadi hal yang lazim ditemukan
dan digunakan dalam Cultural Studies. Termasuk yang banyak dihadirkan secara estetis, etis, ideologis,
dan politis oleh para penulis karya – karya sastra di berbagai lintasan dan bentangan zaman.
Cultural Studies (Kajian Budaya) semakin membuka ruang tiap karya sastra untuk dibaca, dinilai,bahkan
dikritik kembali. Khususnya untuk melacak unsur hegemoni dan relasi kuasa di dalamnya. Dua hal yang
menjadi karakter khas Cultural Studies, yakni melihat apa yang politis, ideologis dan sarat relasi kuasa
pada teks – teks karya sastra, juga pada wujud kebudayaan lainnya, tidak hanya terbatas pada karya
sastra. Meski memang, karya sastra adalah titik tolak utama dari Cultural Studies ini.