PERAN MITIGASI BENCANA DALAM BIDANG PERE

PL 3001 ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN
PERAN MITIGASI BENCANA DALAM BIDANG PERENCANAAN DAN
KETERKAITAN ANTARA KEDUANYA
WINDYA DWI NANDA
15414095
Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota
Sekolah Arsitektur, Perencanaan Dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Mitigasi bencana merupakan salah satu cara penanggulangan bencana. Dimana
hal tersebut dilaukan untuk mengurangi kerentanan terjadinya bencana dan
menurunkan tingkat risiko bencana yang ada. Indonesia sebagai salah satu
negara yang berada di kawasan rawan bencana dengan tingkat ancaman
bencana yang tinggi diharapkan mempunyai suatu sistem penanggulangan
bencana yang memadai. Salah satu bidang yang berperan penting dalam hal ini
adalah bidang perencanaan atau tata ruang dimana dapat mengintervensi aspek
kebencanaan melalui sistem perencanaan pembangunan dan tata ruang yang
mempertimbangkan aspek kebencanaan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem
yang terintegrasi antara aspek mitigasi bencana dengan bidang perencanaan itu
sendiri untuk tercioptanya Negara Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera.
Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan

dan keterkaitan antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang
terintegrasi.
Kata Kunci: Bencana, Mitigasi Bencana, Perencanaan, Tata Ruang

PENDAHULUAN
Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Diluar itu, bencana menjadi salah
satu momok yang menghantui orang-orang di beberapa daerah tertentu. Termasuk beberapa
daerah yang ada di Indonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan dengan terjadinya bencana, baik
bencana alam, bencana akibat ulah manusia, maupun penyebab yang lain. Beberapa dari
bencana tersebut adalah tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, dan
lain-lain. Berdasarkan Laporan Bencana Asia Pasifik 2010, Indonesia menempati peringkat
keempat sebagai salah satu negara yang paling rentan terkena bencana alam di Asia Pasifik.
Hal tersebut disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan

yang menjadi salah satu jalur lintas ring of fire, yaitu negara yang memiliki banyak gunung
api. Selain itu, wilayah Indonesia juga memiliki daerah dengan patahan aktif dan

dekat

dengan zona subduksi lempeng, dimana merupakan zona pertemuan lempeng yang saling
mendesak sehingga apabila terjadi pergeseran dan tubrukan antar lempeng akan terjadi gempa
bumi yang mengguncang Indonesia. Terlebih lagi zona tersebut berada di tengah laut
sehingga apabila terjadi guncangan juga akan menyebabkan meningkatnya tinggi gelombang
laut sehingga terjadi tsunami. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara beriklim
tropis dengan jenis cuacanya tersendiri. Dimana Indonesia memiliki curah hujan yang cukup
tinggi sehingga apabila hal tersebut tidak disikapi dengan baik dapat menyebabkan timbulnya
banjir apabila kapasitas sungai tidak dapat menampung jumlah air yang ada di dalamnya.
Begitu pula bencana-bencana yang lainnya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa bencana
tersebut juga dapat terjadi dikarenakan oleh faktor pembangunan dan pengembangan daerah
yang melebihi kapasitas dan kemampuan daerah tersebut yang seharusnya.
Sebagai salah satu negara dengan ancaman bencana yang tinggi, Indonesia
membutuhkan suatu sistem penanggulangan bencana yang memadai, baik itu untuk
mengurangi risiko terjadinya bencana, mengurangi kerentanan, menyiapkan diri apabila
terjadi bencana, maupun untuk memulihkan diri setelah terjadinya bencana. Untuk itu,

muncullah sebuah istilah mitigasi bencana. Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tetang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi bencana. Upaya di atas merupakan bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh
perencanaan untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam melakukan mitigasi bencana.

Essay ini akan membahas peran mitigasi bencana dalam perencanaan dan keterkaitan
antara keduanya sehingga mampu menjadi suatu sistem yang terintegrasi. Kasus yang akan
diambil dalam pembahasan essay ini adalah beberapa bencana besar yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2000-an dan penanggulangan bencana-bencana tersebut, baik dalam mengurangi
kemungkinan terjadinya bencana, mengurangi risiko terjadinya bencana, sampai pemulihan
yang dilakukan wilayah tersebut setelah menghadapi bencana.
ISI
Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia. Berdasarkan kenyataannya perencanaan merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan dari aspek mitigasi bencana. Sebuah bencana bukanlah sesuatu hal yang tidak
mungkin dapat diintervensi kejadiannya, setidaknya untuk mengurangi dampak yang

ditimbulkannya maupun frekuensi terjadinya bencana, kecuali bencana yang benar-benar
merupakan kontribusi dari alam itu sendiri. Pada dasarnya, suatu perencanaan atau penataan
ruang yang direncanakan secara ideal tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi
wilayah, aspek sosial masyarakat yang menempati wilayah, tetapi juga memperhatikan
kondisi lingungan wilayah yang akan direncanakan. Karena, ketiga aspek tersebut adalah hal
yang harus diseimbangkan keberjalanannya dalam perencanaan sesuai dengan manajemen
penggunan lahan. Hal tersebut jug sesuai dengan Hyogo Framework for Action (HFA) yang
diputuskan pada Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005
mengamanatkan perencanaan guna lahan (landuse planning) atau perencanaan tata ruang
sebagai salah satu alat untuk pengurangan risiko bencana.
Aspek mitigasi bencana juga dapat menjadi aspek pengendali dari suatu perencanaan.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu poin menimbang yang ada dalam Undang-Undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa secara geografis Negara
Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan
penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Penataan ruang sebagai salah satu bentukan dari
perencanaan itu sendiri merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu, Undang-Undang ini juga menyatakan
bahwa fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya dan salah


satu jenis kawasn yang termasuk kawasan lindung tersebut adalah kawasan rawan bencana.
Hal tersebut menandakan bahwa kawasan rawan bencana merupakan salah satu kawasan
yang memiliki batasan-batasan atau limitasi tertentu dalam penggunaan lahan dan
pemanfaatan ruangnya. Hal tersebut juga beriringan dengan dokumen rencana tata ruang
suatu daerah yang dilengkapi dengan peraturan zonasi untuk pembangunan dan
pengembangan daerah tersebut. Hal tersebut juga sempat dinyatakan oleh Burby dan French
pada tahun 1981 bahwa perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di
daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam.
Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan yang dikeluarkan oleh Sekretariat
Nasional Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
pada poin keenam tabel arahan kebijaksanaan dan program mitigasi bencana perkotaan
menyebutkan bahwa salah satu kebijaksnaaan yang dilakukan adalah mengevaluasi dan
merevisi

Rencana

Tata

Ruang


(terutama

Rencana

Tata

Ruang

Kota),

dengan

mempertimbangkan aspek mitigasi bencana. Namun, sampai saat ini masih ditemukan suatu
kesulitan tertentu untuk mengintegrasikan aspek bencana dengan penataaan ruang. Hal
tersebut dikarenakan pada kenyataannya sudah banyak bangunan yang terbangun pada tempat
yang seharusnya memiliki limitasi pembangunan tertentu. Contohya yaitu rumah yang
dibangun pada kemiringan lahan di atas 30 % dan merupakan kawasan rawan longsor, atau
pembangunan yang melebihi batas kemampuan lahan yang dibangundi kawasan resapan air
yang berfungsi untuk menahan air dan menyediakan air untuk daerah yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan arahan pada kebijaksanaan keenam yang telah disebutkan di atas, program

evaluasi dan revisi dapat dibagi ke dalam penanganan untuk daerah yang sudah terbangun
dan yang belum terbangun. Adapun program yang dapat dilakukan untuk kawasan yang
sudah terbangun adalah dengan meningkatkan akses menuju kawasan yang dianggap rawan
bencana tersebut, melakukan peremajaan dan melengkapi prasarana dan fasilitas ketahanan
bencana yang memadai, menambah ruang terbuka hijau sebagai tempat berinteraksi antar
masyarakat maupun sebagai tempat evakuasi apabila terjadi bencana, serta relokasi sumber
potensi bahaya teknologi yang terlalu dekat dengan kawasan perumahan. Selain itu,
perencanaan tidak hanya fokus pada pembangunan.
Berikut adalah beberapa bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang abad ke-21 (dari
tahun 2000 s.d. sekarang)

1. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Samudra Hindia dan Kota Padang
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa bumi adalah
peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi di dalam bumi secara tiba-tiba ditandai
dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi, dimana akumulasi energi penyebab
terjadinya gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang
dipancarkan ke segala arah berupa gelombang seismik sehingga efeknya dapat dirasakan
sampai ke permukaan bumi. Sedangkan, menurut Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana, tsunami adalah gelombang pasang yang timbul akibat terjadinya

gempa bumi di laut, letusan gunung api bawah laut atau longsoran di laut. Dalam hal ini,
tsunami merupakan collateral hazard atau bencana ikutan dari beberapa bencana lainnya
yang terjadi terlebih dahulu.
Pada penghujung tahun 2004, tepatnya pada Hari Minggu tanggal 26 Desember 2004
terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang cukup dahsyat dengan kekuatan gempa sekitar
9,1 SR dan ketinggian gelombang laut sekitar 20-30 meter yang menghantam Nangroe Aceh
Darussalam, Thailand, Sri Lanka, Maladewa, daerah pantai selatan Afrika dan beberapa
daerah lain yang berada dekat dengan bibir pantai Samudra Hindia. Gempa ini berpusat di
tengah laut, tepatnya yaitu pada zona subduksi yang ada di Samudra Hindia itu sendiri.
Tabrakan antar lempeng tersebut menyebabkan golakan air laut yang terjadi dan kemudian
menimbulkan bencana tsunami. Pada saat itu, bencana ini menghasilkan 280 ribu korban
jiwa. Dimana korban yang paling banyak berasal dari daerah NAD itu sendiri sekitar
sebanyak 200 ribu jiwa. Selain itu, bencana ini menyebabkan rusaknya pelayanan dan
infrastruktur dasar yang ada di Aceh, serta hancurnya sistem sosial dan ekonomi. Getaran
yang diakibatkan oleh gempa ini menimbulkan patahan sepanjang 1500 km dari Aceh sampai
Andaman. Kekuatan gempa serta tinggi dan derasnya aliran tsunami mampu menyeret sebuah
kapal seberat 2600 ton sejauh 5 km ke daratan.
Lima tahun setelah gempa dan tsunami Samudra Hindia, pada tanggal 30 September
dan 01 Oktober 2009 terjadi gempa dengan kekuatan sekitar 7,6 SR di ibukota Provinsi
Sumatera Barat, Padang.


Dimana pada tanggal 30 September terjadi gempa dengan

episentrum gempa berada pada zona subduksi dan pada tanggal 01 Oktober terjadi gempa
dengan episentrum berada di patahan aktif yang sempat me. Kedua gempa ini merupakan
gempa terdahsyat yang dirasakan oleh Provinsi Sumatera Barat sejak Indonesia merdeka.

Gempa ini merusak beberapa bangunan vital dan jaringan infrsatruktur penghubung
antarwilayah. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh gempa ini adalah jumlah korban
sebanyak 1587 orang (hilang, meninggal, luka berat, dan luka ringan) dan total kerusakan
sebesar Rp 20,86 triliun.
Gambar 1. Aceh saat Tsunami dan 10
Tahun Setelahnya

Sumber: photo.liputan6.com

Gambar 2. Gempa Padang

Sumber: nasional.news.viva.co.id


Kedua bencana gempa bumi dan tsunami yang ada di atas semakin menyadarkan
masyarakat Indonesia dengan kondisi Indonesia yang berada di kawasan rawan bencana.
Namun, pada saat gempa dan tsunami terjadi di Samudra Hindia tahun 2004, masyarakat
Aceh banyak yang belum siap dalam menghadapi terjadinya bencana tersebut. Hal tersebut
dimulai dari sistem peringatan bencana (Early Warning System) yang belum memadai,
masyarakat yang masih awam dengan ancaman bencana yang ada, kesiapsiagaan masyarakat
akan bencana yang sangat minim, kecakapan manajemen bencana yang belum layak, dan
keberadaan jalur dan tempat evakuasi yang belum memadai. Selain itu, tahap tanggap darurat
yang dilakukan terkesan cukup lama sampai kepada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang
direncanakan pada tahun 2006. Apabila kita bandingkan dengan bencana yang sama yang
terjadi di Jepang pada tahun 2011 terjadi perbedaan korban yang cukup signifikan. Gempa
Samudra Hindia dengan kekuatan 9,1 SR menimbulkan lebih 200 ribu lebih jiwa, sedangkan
gempa Jepang dengan kekuatan 9,0 SR hanya menimbulkan korban sekitar 25 ribu jiwa yang
berarti 1/8 kali jumlah korban yang ditimbulkan pada oleh bencana Samudra Hindia. Hal
tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat kesiapan masyarakat dan pemerintahnya dalam
menghadapi kejadian bencana. Selain itu, tak perlu waktu lama Jepang sudah pulih dari
keterpurukannya. Terlepas dari luas wilayah dan sistem teknologi Jepang yang canggih,

penataan ruang yang dilakukan di Jepang sudah mempertimbangkan aspek kebencanaan
dikarenakan Jepang juga merupakan salah satu negara yang rentan akan terjadinya bencana,

khususnya gempa bumi.
Namun, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah sejak bencana pada tahun 2004
tersebut perkembangan sistem manajemen bencana yang dilakukan di Indonesia semakin
baik. Indonesia bekerja sama dengan Jerman untuk membuat sebuah sistem peringatan
bencana yang dimulai pada tahun 2005 dan telah disosialisasikan ke beberapa daerah
terpencil yang ada di Indonesia khususnya daerah yang rawan bencana. Indonesia juga
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional 2008. Indonesia juga semakin gencar
untuk melakukan sosialisasi tentang kebencanaan kepada masyarakat yang tinggal di dekat
kawasan rawan bencana. Selain itu, pembangunan yang ada di Indonesia semakin menuruti
rencana tata ruang yang harus mempertimbangkan kawasan rawan bencana, meskipun tidak
dapat dipungkiri masih banyak kekurangan yang harus dibenahi.
2. Letusan Gunung Api Merapi dan Sinabung
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional No. 4 Tahun
2008 luas daerah rawan bencana gunung api di Indonesia sekitar 17.000 km 2 dengan jumlah
penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunung api sebanyak kurang lebih 5,5
juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunung api, diperkirakan tiap tahun terdapat
sekitar 585.000 orang yang terancam bencana letusan gunung api. Berdasarkan data, sekitar
13 % gunung berapi yang ada di dunia berada di Indonesia dengan potensi bencana yang
berbeda-beda.
Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh lintasan cincin api dunia, sejarah letusan
gunung api Indonesia sudah mulai terkuak pada saat meletusnya Gunung Tambora pada tahun
1815 yang dikabarkan menjadi letusan terbesar sepanjang sejarah yang menyebabkan seluruh
dunia ditutupi langit yang gelap dan mempengaruhi kehidupan sebagian besar daerah di dunia
dan mencetak sejarah-sejarah baru dunia. Namun, letusan tersebut tidak banyak disadari oleh
masyarakat yang ada di penjuru dunia karena pada saat itu belum ada jaringan komunikasi
antarnegara. Berbeda dengan letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 di saat jaringan
komunikasi antarnegara sudah mulai berkembang sehingga informasi tentang letusan tersebut
lebih cepat tersebar dan diketahui oleh negara-negara lain.
Pada tahun 2010 lalu, terjadi letusan Gunung Merapi yang cukup menggemparkan
Indonesia dengan tinggi asap letusan mencapai 17 km dan memuntahkan 150 juta m 3 material
panas yang didominasi oleh material berat dengan sebaran awan panas mencapai 15 km.

Letusan ini menewaskan lebih dari 300 orang dan menghanguskan banyak rumah , serta
merusak lahan pertanian dan perkebunan sehingga produksi hasil pangan setempat menurun.
Beberapa tahun setelah letusan Merapi terjadi, tepatnya pada tahun 2013 Gunung Sinabung di
Kabupaten Karo Sumatera Utara meletus setelah dikabarkan tidak aktif selama empat abad.
Berbeda dengan letusan Merapi, tinggi asap letusan Sinabung semaksimal mungkin hanya
mencapai 10 km dan memuntahkan 2,4 juta m3 material (terhitung sampai Januari 2014) yang
didominasi oleh material berbentuk abu dengan sebaran awan panas sejauh 4,5 km. Letusan
ini menyebabkan lebih dari 28.000 orang mengungsi dan lebih dari 100.000 Ha lahan
pertanian dan perkebunan rusa. Hal yang semakin membedakan bencana letusan Merapi dan
Sinabung adalah kondisi permukiman yang berada di sekitar gunung. Dimana erupsi Merapi
tidak begitu menjadi masalah karena hanya sedikit masyarakat yang bermukim di dekat
puncak gunung. Namun, hal tersebut menjadi masalah saat terjadi erupsi Sinabung dimana
ada banyak masyarakat yang bermukim dekat dengan puncak gunung sehingga menjadi salah
satu kesulitan tersendiri pada saat melakukan evakuasi.
Gambar 3. Erupsi Merapi

.com/2010/10/27

Gambar 4. Bencana Erupsi Sinabung

Sumber: blog.act.id

Hal yang membuat masyarakat berminat untuk tinggal di sekitar gunung adalah
dikarenakan kondisi lahannya yang subur yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi lahan
pertanian dan perebunan. Namun, hal yang perlu diingat juga adalah apabila erupsi terjadi,
kondisi pertanian dan perkebunan akan rusak dan tanah akan kembali benar-benar subur
setelah beberapa puluh tahun mendatang. Oleh karena itu, pembangunan yang dilakukan di
kawasan letusan gunung api memiliki limitasi-limitasi tertentu. Selain itu, hal yang perlu
diperhatikan adalah tempat dan jalur evakuasi apabila terjadinya letusan maupun aliran awan

panas dan tempat atau jalur pengalihan lahar panas maupun dingin agar tidak mengganggu
ekosistem lingkungan maupun masyarakat.
3. Bencana Banjir dan Tanah Longsor Jakarta dan Banjarnegara
Banjir dan tanah longsor adalah bencana yang paling dominan terjadi di Indonesia.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional, banjir adalah peristiwa atau keadaan
dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Sementara
itu, tanah longsor adalah merupakan salah satu jenis gerakan masa tanah atau batuan, ataupun
pencampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah
atau batuan penyusun lereng.
Jakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi salah satu lokasi
langganan banjir tiap tahunnya yang merupakan air luapan dari Sungai Ciliwung. Adapun
penyebab banjir ini adalah semakin meningkatnya luas kawasan wilayah terbangun di Jakarta
yang tidak dibarengi dengan peningkatan Ruang Terbuka Hijau yang berfungsi untuk
menyerap air, pintu air yang tidak berfungsi dengan baik, pendangkalan dan pengecilan
sungai yang disebabkan oleh pembuangan sampah yang dilakukan ke sungai, serta
normalisasi pantai yang menyebabkan kawasan yang seharusnya menjadi daerah penampung
air laut menjadi berubah fungsi sehingga menyebabkan penurunan permukaan daratan akibat
terus-menerus mengalami abrasi dan peningkatan level air laut. Banjir ini menimbulkan
kerugian material Jakarta sampai pada angka bertriliun-triliun rupiah dn meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan harga pokok sebesar 10-20% dari sebelumnya. Hal tersbut
dikarenakan Jakarta bukan hanya sekadar pusat pemerintahan, tetapi juga pusat ekonomi
wilayah. Dalam menghadapi banjir tersebut, pemerintah Jakarta telah mempersiapkan sekian
banyak cara untuk menanggulangi dan meminimalisir frekuensi dan dampak yang ditimbulan
akibat banjir itu sendiri, baik itu dengan merelokasi perumahan yang berada di pinggir
sungai, pengerukan dan penjernihan sungai, dan lain-lain. Kanal yang terdapat di Jakarta
adalah merupakan salah satu sistem penanganan bencana banjir yang ada di Jakarta sejak
zaman pemerintahan Belanda. Namun, selain pemerintah masyarakat juga memegang peran
penting dalam penanggulangan bencana sehingga harus ada koordinasi antara pemerintah dan
masyarakat dalam menghadapi bencana banjir.
Hampir sama dengan Jakarta, Banjarnegara adalah salah satu daerah dengan frekuensi
terjadinya tanah longsor tersering yang ada di Indonesia. Longsor yang terjadi di
Banjarnegara disebabkan oleh beberapa lokasi memiliki kondisi tanah yang merupakan

endapan vulkanik tua yang sudah lama dan lapuk, kondisi kelerengan lahan yang cukup terjal
sehingga apabila terjadi hujan akar pohon tidak dapat menahan tanah dan terjadilah longsor,
dan aktivitas pertanian dan penggunaan lahan di beberapa lokasi yang tidak sesuai dengan
aturan penggunaan kawasan konservasi air. Namun, salah satu hal yang juga ikut memberikan
kontribusi penting dalam longsor tersebut adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk
yang ada di sekitar lokasi longsor yang akan berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah
permukiman maupun kawasan terbangun lain yang beberapa pembangunannya tidak sesuai
dengan ketentuan yang seharusnya. Setiap longsor ini terjadi akan menimbulkan korban jiwa
sekitar 50 orang dan kerusakan bangunan seperti rumah dan lain-lain. Karena lomgsor ini
terjadi hampir setiap tahunnya diharapkan masyarakat untuk menyadari kondisi rawan
bencana yang dihadapinya. Selain itu, sebagian besar masyarakat tidak mengerti tentang tata
cara penggunaan lahan miring. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah
terkait dengan penggunaan lahan tersebut agar masyarakat setidaknya dapat meminimalisir
kemungkinan terjadinya longsor maupun dampak yang ditimbulkannya, seperti dengan
penanaman komoditi tani atau kebun berupa tanaman keras agar tanaman tersebut nantinya
dapat menahan air dan menguatkan tanah.
Gambar 5. Banjir Jakarta

Sumber: showbiz.liputan6.com

Gambar 6. Longsor Banjarnegara

Sumber: news.liputan6.com

Poin-poin di atas adalah beberapa bencana yang terjadi di Indonesia sekitar abad ke21 (tahun 2000-an) dan mitigasi bencana yang dilakukan untuk menanggulanginya sebagai
peran mitigasi bencana dalam bidang perencanaan.

PENUTUP
Berdasarkan bahan isi di atas diterangkan mengenai peran mitigasi bencana dalam
bidang perencanaan dan integrasi antara keduanya yang ternyata masih belum memadai
mengingat kedua hal tersebut merupakan hal yang berhubungan. Proses perencanaan atau tata
ruang dan pembangunan yang ada di Indonesia masih belum begitu memperhatikan aspk
kebencanaan. Sehingga dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana cukup
besar. Namun, suatu peristiwa akan dianggap sebagai suatu bencana apabila ada kerugian
yang ditimbulkannya, baik korban jiwa maupun kerugian materil dan fisik. Sementara itu,
yang membunuh dan melukai manusia, serta merusak lingkungan bukanlah bencana itu
sendiri, melainkan bangunan yang ada di daerah tersebut. Oleh karena itu, pendirian
bangunan tersebut adalah salah satu hal yang dapat diintervensi oleh bidang perencanaan atau
penataan ruang. Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana yang
cukup tinggi, harus benar-benar mempertimbangkan aspek mitigasi dalam pelaksanaan
perencanaan dan pembangunan. Meskipun banyak hal dari aspek kebencanaan dan
mitigasinya yang terkait dengan bidang perencanaan atau tata ruang, hal yang harus
diperhatikan adalah pencapaian tujuan mitigasi bencana untuk kesejahteraan Indonesia bukan
hanya untuk satu bidang saja. Namun, dengan banyaknya komponen-komponen dan ilmuilmu spesifik yang ada di dalamnya, diharapkan bidang perencanaan mampu menjadi pilar
dan tonggak untuk mendorong aspek penanggulangan bencana khususnya di kawasan rawan
bencana di Indonesia.
REFERENSI
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Arah Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan oleh Sekretariat Nasional Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

Damayanti, Pribasari. 2012. Bencana dan Keterkaitannya dengan Perencanaan
Wilayah dan Kota. Badung Disaster Study Group. tersedia dalam http://bandung-disasterstudy-group.blogspot.co.id/2012/05/belakangan-marak-berita-terjadi-bencana.html
diakses pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.00 WIB.
Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia tersedia dalam
http://perencanaankota.blogspot.co.id/2013/02/perencanaan-tata-ruang-berbasis.html
diakses pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.06 WIB.
Simarmata, Hendricus Andri. Faktor Kebencanaan Dalam Penataan Ruang tersedia
dalam http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=226 diakses
pada Jum’at 26 Februari 2016 pukul 18.30 WIB.
Badan

Meteorologi

Klimatologi

dan

Geofisika.

Gempa

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Gempabumi_-_Tsunami/Gempabumi.bmkg

Bumi.
diakses

pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 15.28 WIB.
National Geographic Indonesia. 2012. 26 Desember 2004, Gempa dan Tsunami
Getarkan

Aceh

tersedia

dalam

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/26-

desember-2004-gempa-dan-tsunami-getarkan-aceh diakses pada Senin, 01 Februari 2016
pukul 15.53 WIB.
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara
tersedia dalam http://www.bappenas.go.id/files/2113/5228/3473/bab-33-rehabilitasi-danrekonstruksi-nanggroe-aceh-darussalam-nad-dan-sumatera-utara.pdf diakses pada Senin,
01 Februari 2016 pukul 16.15 WIB.

Padang

Pascabencana

tersedia

dalam

http://ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/bp/kota.padan
g/BAB%20IV%20Padang%20PascaBencana.doc diunduh pada Senin, 01
Februari 2016 pukul 16.48 WIB.
World Bank. 2010. Mengukur Kerugian yang Diakibatan oleh Merapi tersedia dalam
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2010/11/24/measuring-merapis-losses
pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 21.30 WIB.

diakses

2014.

Vulkanolog:

Erupsi

Sinabun

belum

sebesar

Merapi

teresdia

dalam

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/01/140121_sains_gunung_sinabung diakses
pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 22.00 WIB.
Ahadi.

2012.

Penyebab

Banjir

di

Jakarta

tersedia

dalam

http://www.ilmusipil.com/penyebab-banjir-di-jakarta diakses pada Senin, 01 Februari
2016 pukul 23.40 WIB.
2014. Longsor Banjarnegara, Jokowi Fokus Urus Evakuasi tersedia dalam
https://m.tempo.co/read/news/2014/2014/12/14/173628405/longsor-banjarnegara-jokowifokus-urus-evakuasi diakses pada Senin, 01 Februari 2016 pukul 23.45 WIB.