APOTHEOSIS FREEMASONRY DALAM THE LOST SY

1

APOTHEOSIS FREEMASONRY
DALAM THE LOST SYMBOL
Oleh: Deni Junaedi, S.Sn.

Abstract
In the latest novel, The Lost Symbol, Dan Brown explains about “apotheosis”: “Human
became God” or “Divinized Man”. Like in older novels, Brown uses art masterpieces to
support his ideas, now explores Brumidi’s work, The Apotheosis of Washington. He writes
that apotheosis is in accordance with Bible, Koran, Bhagavad Gita, and others holy books;
actually, there is no apotheosis concept in Koran. The world of Freemasonry cannot be
separated with his novels.

Keywords: The Apotheosis of Washington, Constantino Brumidi, Freemasonry, The Lost
Symbol.

Novel-novel Dan Brown menempati ruang tersendiri dalam khasanah seni rupa karena
menempatkan art masterpieces sebagai jantung cerita. Dalam buku terbarunya, The Lost
Simbol, penulis kelahiran Amerika Serikat 22 Juni 1964 itu mengupas karya Constantino


Brumidi Apotheosis of Washington, mural seluas 433 meter persegi yang menutupi kanopi
Rotunda Capitol Washington DC. Sebelumnya, pada tahun 2000, lewat Angles and Demons
Brown memanfaatkan patung-patung Gian Lorenzo Bernini di Vatikan dan Roma. Dan di
novel terkenalnya, The Da Vinci Code, penulis yang tinggal di New England itu
menggunakan lukisan-lukisan Leonardo da Vinci.
Rupanya pembaca setia Brown tak sabar menanti, hari pertama peluncuran The Lost
Simbol di New York 15 September 2009, lebih dari satu juta kopi terjual ludes. Prestasi itu

tercatat sebagai rekor novel dewasa dengan penjualan tercepat sepanjang sejarah. Seminggu
kemudian, hanya di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dua juta kopi dilahap pengantri.
Penerbit-penerbit di seluruh pelosok dunia berkompetisi memperoleh right. Di Indonesia,
Penerbit Bentang berhasil mendapatkannya dan mengganggap sebagai ‘sebuah catatan
prestasi istimewa’.
Lewat tokoh utamanya, Robert Langdon sebagai dosen simbologi dari Harvard
University, Brown dengan piawai mengemas argumentasi-argumentasi terkait dunia

2

Freemasonry. Jika dalam The Da Vinci Code Brown menyerang kepercayaan Kristiani
dengan mengatakan Yesus memiliki istri Maria Magdalena (2005:338-348), pada The Lost

Simbol dia mengajarkan paham aphotheosis: upaya manusia menjadi tuhan. Dengan

kemampuannya memadu fakta dan fiksi yang dikemas di alur thriller , Brown menerangkan
apotheosis sebagai puncak spiritual Freemasonry.

Gambar 1: Sampul buku The Lost Symbol karya Dan Brown; Apotheosis of
Washington karya Brumidi menjadi jantung ceritanya. (Sumber: penulis).

1.

Karya Apotheosis of Washington
Apotheosis of Washington, karya Constantino Brumidi, adalah puncak kejayaan

Gedung Capitol Amerika Serikat. Mural ciptaan tahun 1865 tersebut menjadi pusat The Lost
Symbol. Lukisan dinding dengan teknik fresco itu menghiasi bagian dalam kubah dengan

ukuran yang sangat mencengangkan di ketinggian sekitar 55 meter. Sebagaimana pemaparan
Dan Brown, karya ini menjadi penggambaran George Washington sebagai presiden pertama
Amerika Serikat yang juga Grand Master Freemasonry yang telah mencapai tahap apotheosis.
Di langit-langit gedung Kongres A.S. tersebut tergambar George Washington duduk

di surga mengenakan jubah ungu, sebuah warna kebesaran kerajaan. Ia diapit dewi
Kebebasan (Victory) di sebelah kiri sedang meniup terompet, dan di sebelah kanan terdapat
dewi Kemenangan (Liberty) mengenakan topi Phrygian berwarna merah sebagi simbol
emansipasi. Grand Master Mason itu dikelilingi 13 dayang, di atas kepala masing-masing

3

terdapat bintang yang merepresentasikan 13 koloni asli yang membentuk Amerika Serikat.
Dua orang gadis di seberang Washington membawa pita bertuliskan E Pluribus Unum, suatu
kalimat yang juga terdapat dalam lambang negara Amerika Serikat yang berari Bhineka
Tunggal Ika .

Elemen penting yang menggambarkan apotheosis adalah bentuk pelangi di balik awan
yang diduduki Washington. Lengkung warna-warni tersebut menjadi simbol kejayaan yang
menghubungkan langit dan bumi. Ikonografi pelangi bukan lah barang baru. Karya-karya
Pengadilan Terakhir (The Last Judgment), misalnya ciptaan Lochner pada abad ke-15,

menggambarkan Yesus tengah duduk di atas pelangi saat hari perhitungan dosa.
Dalam Apotheosis of Washington Brumidi menambah figur dewa-dewi dilingkaran
lapis kedua. Columbia atau dewi Kemerdekaan berada tepat di bawah Washington. Ia dilukis

tengah mengacungkan pedang untuk berperang memperjuangkan kemerdekaan. Di sebelah
kiri terdapat sang asistennya, elang botak (bald eagle). Di sisi lain terdapat Merkuri, dewa
Perdagangan, menyerahkan sekarung emas kepada Robert Morris untuk mengurus keuangan
saat Perang Revolusi. Ada juga Minerva, dewi Kebijaksanaan, nampak sedang memberi
instruksi kepada Benjamin Franklin. Terdapat pula Ceres, Flora, dan Pomona, dewi-dewi
Romawi yang terkait dengan agrikultur dan kesuburan panen; mereka tengah menawarkan
bantuan kepada kaum muda Amerika. Pada bagian lain Neptunus, dewa Lautan, membuka
jalan di samudera sebagai persiapan untuk menambatkan kabel dasar laut. Tak ketinggalan
Vulkan, dewa Api, digambarkan berada di tempat pandai besi, menghasilkan mesin uap dan
meriam. Namun karena oculus (lingkaran yang menjadi frame kubah) lebih kecil ketimbang
muralnya, maka tidak semua figur dapat terlihat.
Keseluruhan mural tersebut dikelilingi oleh 72 pentagram atau bintang segi lima.
Simbol yang kadang dikaitkan dengan ketuhanan ini telah muncul sejak peradaban Mesir,
mengacu pada duat yang kurang lebih berarti surga (Cox, 2010:55-58). Dalam ritual
supranatural (occultist) maupun sihir (witchcraft), pentagram memainkan peran penting
(Burns, 2009:42). Simbol-simbol Mesir kuno maupun okultisme memang sering digunakan
dalam lingkungan Freemasonry.
Sebenarnya Brumidi bukanlah seniman pertama yang mengangkat judul Apotheosis of
Washington. Sebelumnya tahun 1802, John James Barralet membuat karya grafis yang


menggambarkan Washington tengah diterbangkan dari makamnya ke Gunung Olimpus oleh
dewa Waktu beserta dukungan dewa-dewi lainnya (Jacobs, 1977:115). Dan pada tahun 1860,
lithograf Apotheosis of Washington dikerjakan oleh H. Weishaupt. Dalam karya tersebut

4

Washington dibawa terbang ke surga oleh dewi Keimanan dan dewi Cinta, sementara dewi
Harapan melapangkan jalan.

Gambar 2: Apotheosis of Washington (1865) karya Constantino Brumidi,
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Apotheosis_of_George_Washington.jpg).

Gambar 3: The Last Judgment karya Lochne, Yesus duduk di pelangi, menjadi salah satu
inspirasi Brumidi, (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Stefan_Lochner_006.jpg).
.

5

Gambar 4: Apotheosis of Washington (1802) karya John James Barralet dibuat sebelum Brumidi,
(Sumber: http://ncsmodules.unl.edu/liberty/content.php?id=lby.00154).


Gambar 5: Apotheosis of Washington (1860) karya H. Weishaupt dibuat sebelum Brumidi,
(Sumber: http://www.metmuseum.org/special/George_Washington/4.r.htm).

6

2.

Constantino Brumidi Perupa Capitol

Constantino Brumidi, seniman pencipta Apotheosis of Washington, lahir di Roma
bulan 26 Juli 1805. Ayahnya berasal dari Peloponnese Yunani dan ibunya orang Italia.
Karena bakat seninya yang telah nampak sejak kecil, Brumidi belajar di kampus terkenal
Accademia San Luca.
Selepas kuliah ia membangun karirnya di Roma. Karena bakatnya, ia menerima
perlindungan dari Paus Gregorius XVI. Brumidi mendapat tugas membuat lukisan dinding
Vatikan dan merestorasi Loggia of Raphael, galeri terbuka ciptaan seniman renaissance
Raphael. Brumidi juga pernah bekerja pada Pangeran Torlonia dan mengabdi pada Paus Pius
IX yang diabadikan dalam potret seluruh badan.
Tahun 1848 terjadi kerusuhan di Vatikan, demonstrasi menuntut pemerintahan

demokratis marak di jalan-jalan. Brumidi berpihak pada kaum revolusioner, hingga tahun
1851 ia dijatuhi hukuman penjara 18 tahun. Untung Paus Pius IX yang karena kedekatannya
mengampuni Brumidi, dengan syarat ia mesti meninggalkan Italia.
Bersama istrinya, Anna, Brumidi menuju New York dan menjadi warga negara AS
pada 1852. Sebagaimana karirnya di Roma, ia sempat membuat lukisan dinding di belakang
altar Gereja Stefanus di New York dan bekerja di Baltimore dan Meksiko. Selanjutnya ia
menunjukkan kebolehannya di gedung MPR-nya A.S. Perupa yang disebut “Michelangelonya Capital” itu menciptakan illusi visual (tromple l’oeilo) di koridor-koridor hingga ruang
Wakil Presiden. Tetapi Apotheosis of Washington, dianggap sebagian besar ahli seni sebagai
masterpieces Brumidi.
Perintah pembuatan mural tersebut diterima Brumudi pada bulan Agustus 1862,
sementara George Washington sendiri telah dikubur 131 tahun sebelumnya. Ia menerima
persetujuan dari kedua partai setelah menyerahkan sketsa awal. Dan sejak April 1863
Brumidi dibayar US$2.000 per bulan, dengan catatan total pembayaran tidak lebih dari
US$40.000. Tahun 1865 ia dapat menyelesaikan mahakaryanya.
Ketinggian lokasi Apotheosis of Washington memaksa Brumidi bekerja keras. Di
usianya yang telah tua dan kesehatannya yang memburuk, ia mesti naik turun tangga. Untuk
memberinya sedikit rasa nyaman, dia diberi kursi di perancah yang berbahaya. Pada Oktober
1879, Brumudi terjatuh dari kursi itu, untung berhasil berpegangan pada anak tangga. Ia tidak
kapok, keesokan harinya kembali ke kursi itu.
Semakin lama kondisi kesehatannya semakin memburuk, di musim dingin Februari

1880 ia berpisah dari kehidupan dunia. Kini, untuk menghormati 25 tahun perjuangnnya

7

mempercantik Gedung Capitol, di Brumidi Carridor ditempatkan patung dada Brumidi (Cox,
2010:102-107).

Gambar 6: Constantino Brumidi Mi hela gelo- ya Capital ,
(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:BrumidiBust.jpg).

Gambar 7: Gedung Capitol Amerika Serikat, langit-langit kubahnya dihiasi Apotheosis of Washington,
(Sumber: http://vigilantcitizen.com/wpcontent/uploads/2009/08/CapitolBuildingatNightWashingtonDC.jpg).

8

3. Freemasonry Organisasi Penuh Simbol
Novel-novel Dan Brown lekat dengan dunia Freemasonry. Karenanya, tanpa
memahami Freemasonry, buku pengarang yang kini menempati jajaran elite penulis dunia itu
kurang dapat ditangkap spiritnya. Freemasonry digambarkan sebagai “sistem moralitas,
terselubung alegory, dan di illustrasikan dengan simbol.” (Morgan, 2007:8). Deskripsi itu

diberikan untuk menjelaskan berbagai aspek rahasia mereka. Persaudaraan ini memang
banyak dipandang sebagai “perkumpulan rahasia” (secret society), namun mereka
mengidentifikasi dirinya sebagai “perkumpulan yang penuh rahasia” (esoteric society) (Cox,
2010:230).
Peran simbol sangat penting dalam dunia Mason. Sampai-sampai dalam inisiasi
derajat pertama, seorang Mason diharuskan mengucapkan kata, “Di sini, semua adalah
simbol.” (Beresniak :8), dan setiap tingkatan memiliki simbol berbeda. Jangka dan sudut,
simbol Freemasonry yang paling dikenal, dipandang para Mason sebagai sebuah “Bintang
David”, (Cox, 2010:230) citra lain simbol Zionisme Israel. Pemaknaan simbol ini mirip
dengan ying dan yang, dua hal yang bertentangan namun saling mengisi. Seperti tubuh dan
jiwa, material dan spiritual, atau manusia biasa dan manusia tercerahkan.
Kebanyakan pengamat menyatakan Ksatria Templar sebagai cikal bakal Freemasonry
(Morgan, 2007:77). Pasukan ini didirikan tahun 1118, dua tahun setelah tentara salib merebut
Yerusalem. Keberadaan Ksatria Templar, sebagaimana yang dikemukakan dihadapan Raja
Yerusalem King Baldwin, untuk mengamankan jalur peziarah Eropa dari pelabuhan Jaffa ke
Yerussalem.
Kendati Ksatria Templar menjadi bagian tentara salib, namun sesungguhnya mereka
tidaklah beragama Kristen (Baigent dalam Tasmara, 1999:61). Mereka justru mengadopsi
doktrin-doktrin Kabbalah (Knight dalam Harun Yahya, 2005:15), ilmu kebatinan esoterik
Yahudi untuk mempelajari arti tersembunyi dalam kitab Taurat.

Dalam perkembangannya setelah pasukan salib kalah dan kembali ke Perancis,
Ksatria Templar dibantai dan dibubarkan Gereja dengan tuduhan melakukan bidah. Meski
demikian mereka tidak benar-benar musnah. Beberapa anggotanya melarikan diri ke
Skotlandia, wilayah Eropa yang tidak mengakui kekuasaan Gereja Katolik. Mereka
bersembunyi dalam serikat tukang batu yang biasa disebut Mason. Dari sinilah terjadi
perubahan nama Ksatria Templar menjadi Freemasonry (persaudaraan tukang batu bebas)
(Ridyasmara, 2006:132-139).

9

Keadaan itu membuat mereka hidup dalam kerahasiaan. Namun kerahasiaan itu
pulalah yang membuat mereka bisa bergerak kemana-mana menuntut balas dan menyebarkan
ideologi. William Gay Carr, seorang mantan anggota dinas rahasia Inggris, banyak
mengungkap keterlibatan anggota Freemasonry dalam berbagai konspirasi pergolakan dunia.
Dari Revolusi Perancis, Revolusi Oktober Rusia, Perang Dunia I, Perang Dunia II, hingga
mengangkangi pemerintahan Amerika Serikat (Carr, 2009:passim). Templar juga mampu
menguasai perekonomian dunia, dengan Rothschil sebagai tokohnya (Ridyasmara, 2006:205215).
Freemasonry masuk ke

Indonesia tahun 1764, dibawa masuk penjajah Belanda.


Raden Saleh, pelukis Indonesia pertama yang pernah belajar ke Eropa, tercatat sebagai
generasi awal Mason Hindia Belanda. Tokoh-tokoh Boedi Oetomo juga masuk dalam
kelompok tersebut. Hubungan Freemasonry dengan para Sultan Jogja pada masa penjajahan
Belanda juga sangat dekat, bahkan gedung lodji untuk pertemuan para Mason yang terletak di
jalan Malioboro dipinjam pakai dari Sultan (Steven, 2004:1-183). Karenanya tidak aneh jika
kita menemukan simbol Bintang David pada tugu Jogja.
Setelah di Indonesia hidup hampir dua abad, pada tanggal 27 Februari 1961 Presiden
Soekarno membubarkan Freemasonry karena tidak sesuai dengan kepribadian nasional
(Nurdi, 2007:184-185). Meskipun telah dibubarkan, namun di Indonesia muncul organisasi
lain yang sesungguhnya merupakan turunan dari Freemasonry, misalnya The Rotary Club
(Siagian dalam Steven, 2004:xiii).

Gambar 8: Jangka dan Sudut simbol Freemasonry, bentuk lain Bintang David,
(Sumber: Deni Junaedi, Freemasonry Pelatuk Pluralisme, Yogyakarta: Bendera Hitam, 2010:34).

10

Gambar 9: Ksatria Templar, cikal bakal Freemasonry,
(Sumber: http://indonesianredcrescent.blogspot.com/).

Gambar 10: Sultan Jogja dan Lodji Mataram selalu menjalin hubungan erat. Lodji yang kala itu
terletak di Malioboro pinjaman dari keraton. Tahun 1925 Hamengkoe Boewono VIII berkunjunga ke
sana; simbol Bintang David nampak di latar belakang, (Sumber: Th. Steven, Tarekat Mason Bebas
dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, , Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2004:173)

Gambar 11: Tugu Jogja dengan simbol Bintang David,
(Sumber: Penulis).

11

4.

Apotheosis Freemasonry
Apotheosis berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti “berubah menjadi dewa”.

Dari gabungan kata apo (berubah) dan theos (dewa). Dalam Freemasonry, apotheosis
disimbolkan dengan piramid yang puncaknya berkilau cemerlang (biasanya dengan ‘mata
serba-melihat’) (Burns, 2009:32). Dalam uang satu dolar A.S. kita bisa melihat simbol
tersebut. Brown mencatat, filsafat Mason mengakui kemungkinan adanya Tuhan di dalam
diri manusia. Segala yang berada dalam jangkauan seorang manusia yang tercerahkan berada
dalam jangkauan Tuhan (Brown, 2010: passim).
Sebagaimana disebutkan dalam The Lost Symbol, paham apotheosis Freemasonry
didukung ajaran alkimia dan hermeutika. Alkimia (alchemy) memiliki dua makna yang
berbeda meski saling terkait. Pengertian pertama berhubungan dengan persoalan fisik yaitu
‘upaya mengubah timah menjadi emas’. Dari pengertian ini kelak menjadi ilmu kimia
(chemistry). Sedang makna kedua lebih bersifat filosofis atau spiritual, yakni usaha manusia
untuk meraih kebijakan tertinggi, atau ‘dari manusia menjadi Tuhan’. Tujuan utama alkemi
adalah perubahan wujud atau transmutasi (transmutation), kondisi dimana sesuatu berubah
menjadi suatu yang lain. Alkemi berasal dari Mesir Kuno, dipelajari orang-orang Barat lewat
Yunani (Place, 2009:71-72).
Sementara hermeutika (meskipun sama-sama berasal dari kata Hermes, namun
memiliki pengertian yang berbeda dengan hermeneutika) adalah tradisi filosofi mitos yang
berkembang di wilayah kosmopolitan Aleksandria pada sekitar abad pertama Masehi.
Kepercayaan Hermeutisisme, sebuah produk sinkretisme, sangat terpengaruh Neoplatonisme
dan Gnostisisme, serta pemikiran Mesir dari zaman Ptolomy, Ibrani, dan Kristen (Cox,
2010:144-145). Brown mengutip aforisme Hermetik, “Tidak tahukah kalian bahwa kalian
adalah Tuhan? ” (Brown, 2010:238).

Gambar 12: “i

ol apotheosis erupa pira id de ga

u ak

ata ser a- elihat ; tercetak dalam

uang satu dolar A.S., (Sumber: Penulis)

12

5.

Apotheosis di Belahan Dunia
Sesungguhnya konsep apotheosis, ‘manusia menjadi Tuhan’, bukanlah hal yang baru.

Jauh sebelum George Washington, beribu tahun lalu Firaun telah mentahbiskan diri sebagai
Tuhan. Tercatat juga raja-raja dari pusat kebudayaan pagan banyak yang menempatkan
dirinya setara Tuhan, sebut saja Naram-Sim raja pertama Mesopotamian; atau para Emperor
Roma seperti Tiberius, Caligula, Claudius, Tiberius, dan sederet lainnya; demikian juga rajaraja suku Inca.
Pendewaan juga terjadi pada Raden Wijaya, Raja Majapahit yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana; dalam Candi Simping di Blitar ia diarcakan sebagai dewa Harihara atau
gabungan antara dewa Siwa dan dewa Wisnu. Dari semua apotheosis, menurut Brown, yang
paling nyata adalah penuhanan Yesus (2010:125), yang dapat dilacak sejak pengajaran Paulus
(Ananias, 2008:53-148).
Di era kontemporer, paham apotheosis tetap marak diajarkan. Tokoh spiritual India,
Sai Baba, menyatakan dirinya sebagai Tuhan yang menjelma menjadi manusia (Al-Adnani,
2006 : 208-212). Ajarannya diteruskan di Indonesia oleh Anand Kreshna. Menurut Kreshna
saat mencapai etape penyatuan antara jiwa dengan Tuhan, sangat sulit memisahkan manusia
dari Tuhan atau Tuhan dari manusia (dalam Jaiz, 2001:144).
Brown menyatakan bahwa dalam al-Quran juga mengandung ide apotheosis
(2010:681). Namun, meskipun sempat menyusup dalam kehidupan umat Muslim, filsafat
apotheosis bukanlah ajaran Islam karena tidak dikenal dalam sumber hukum Islam. Paham
apotheosis masuk ke sebagian kaum sufi lewat ajaran tasawuf. Abu Yazid al-Buzhthami
memperkenalkan penyatuan manusia dengan Tuhan. Al-Hallaj yang menyatakan dirinya
sebagai ‘Yang Maha Benar’ (‘Ana al-Haq’). Al-Arabi membawa ajaran kesatuan wujud
makhluk dengan Tuhan yang dikenal sebagai wahdatul wujud (Syukur, 2002:32-57). Lalu
diteruskan Syekh Siti Jenar di Indonesia mengajarkan manunggaling Kawulo-Gusti (AlQalami, :39).
Aqidah Islam memberikan konsep sederhana. Sebagaimana dalam kalimat syahadat
yang harus diucapkan tiap orang Islam, la ilaha illa Allah, (tiada tuhan selain Allah). Atau
yang tertulis dalam al-Quran surat al-Ikhlas ayat 1, qul huwa Allahu ahad, (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa). Juga yang tercantum dalam surat as-Syura ayat 11, laisa
kamitslihi syai’un, (tidak ada sesuatupun yan serupa dengan Dia). Dan masih banyak ayat

lain yang menegaskan keesaan Allah dan tidak adanya sesuatu yang setara dengan Dia.

13

Dengan demikian, tidak lah benar jika Dan Brown menyatakan di dalam al-Quran
“membisikkan pesan apotheosis”. []

Gambar 13: Apotheosis Firaun,
(Sumber: http://www.egyptmyway.com/photo/egyptian_museum1_8.html)

Gambar 14: Apotheosis Kertarajasa Jayawardhana, Raja Majapahit diarcakan sebagai dewa Harihara,
(Sumber: http://www.wacananusantara.org/content/view/category/2/id/223)

Gambar 15: Apotheosis Al-Hallaj; Ana al-Haq tak dikenal dalam sumber hukum Islam,
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Al-hajjaj.jpg).

14
Kepustakaan
Al-Adnani, Abu Fatiah, Dajjal Sudah Muncul dari Khurasan, (Solo: Granada Mediatama, 2006,
cetakan kesebelas 2007).
Al-Qalami, Abu Fajar, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, (Surabaya: Pustaka Media).
Al-Qoshash, Ahmad, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Terj. Utsman Zahid as-Sidany, (Bogor:
Pustaka Thariqotul Izzah, 2009).
Amini, Muhammad Safwat as-Saqa, da “a di A u Ha i , Gerakan Freemasonry, (Jakarta: Maktab
Rabitah, 1982).
Ananias, M.I., Evolusi Kristen, (Yogyakarta: Gelanggang, 2008).
Beresniak, Daniel Symbol of Freemasonry, (New York: Barnes and Nobel Books).
Brown, Dan, Angles and Demons, Terj. Isma B. Koesalamwardi, (Jakarta: Serambi, 2005, cetakan
kelimabelas 2009).
_________, The Da Vinci Code, Terj. Isma B. Koesalamwardi, (Jakarta: Serambi, 2003, cetakan
ketigabelas 2005).
_________, The Lost Symbol, Terj. Ingrid Dwijani Nimpoeno, (Yogyakarta: Bentang, 2009, cetakan
pertama 2010).
Burns, Cathy, Masonic ang Occult Symbol Illustrated, (Mt.Carmel: Sharing, 1998, cetakan kedelapan
2009).
Carr, Willian Gay, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1991, cetakan
ketujuh 2009).
Cox, Simon, Decoding The Lost Symbol, (Jakarta: Hikmah, 2010).
Gaarder, Jostein, Dunia Sophie, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996, cetakan ketujuhbelas
2006).
Hasan, Muhammad Khalifah Sejarah Agama Yahudi, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998).
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980).
Ja o s, Phoe e Lloyd, Joh Ja es Barralet a d the Apotheosis of George Washington , Winterthur
Portfolio, (Vol. 12, 1977:115-137 ).
Jaiz, Hartono Ahmad dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kyai Dipertuhankan, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2001, cetakan kesembilan 2008).
_________, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001).
Khilafah dan Jejak Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009).
Morgan, Giles, Freemasonry, (Herts: Pocket Essentials, 2007).
Place, Robert M., Magic and Alchemy, ( New York: Chelsea House, 2009).
Ridyasmara, Rizki, Knights Templar Knights of Christ, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Steven, Th., Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004).
Syukur, Amir, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cetakan kedua 2002).
Tasmara, Toto, Dajal dan Simbol Setan, (Jakarta: Gema Insani, 1999).
Yahya, Harun, Ancaman Global Freemasonry, Terj. Halfino Berry, (Bandung: Dzikra, 2005).
Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawulo Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa,
(Jakarta: Gramedia, 1991).