KARTUNIS KARTUN DAN RUANG PUBLIK
KARTUNIS, KARTUN, DAN RUANG PUBLIK
oleh Agni Saraswati
“Tidak hanya pada surat kabar, kemunculan kartun sudah mulai merambah ke ruang
lain yang cukup menyita perhatian kita seperti pada sampul buku, kemasan makanan,
maskot sebuah acara, cinderamata (kaos dan mug)…Ini menandai babak baru di mana
kartun telah menjadi teman dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat, bukan lagi sebagai senjata politik yang menyeramkan yang hanya dapat
dihadirkan di media massa.”
DARI KARTUNIS KE KARTUN
Tidak banyak seniman yang bisa menjadi kartunis, meskipun ia memiliki kemampuan melukis
yang memadai. Terdapat beberapa syarat untuk menjadi kartunis yang berhasil. Antara lain, ia
harus memiliki sense of humor yang baik. Karyanya tidak hanya menggelitik, tetapi juga mesti
mampu melihat sebuah tragedi dari sudut lain, yaitu komedi. Artinya ia harus memiliki
kecakapan menghibur orang lain dengan memberikan energi positif melalui kartunnya. Tentu
dengan beberapa etika yang mesti diindahkan, seperti tidak diperbolehkannya unsur sarkasme
dan SARA di dalam kartun tersebut. Ada juga syarat lainnya seperti seorang kartunis harus
kritis terhadap problem sosial yang terjadi saat ini. Ia harus up to date dan pandai menyeleksi
berita mana yang penting untuk diangkat dan mana yang tidak.
Topik tentang kartun memang tidak lepas dari si penciptanya, kartunis. Dahulu peran kartunis
dianggap hebat karena ia berada pada posisi yang berbahaya dan riskan terhadap ancaman,
salah satunya pemerintah. Tetapi sejak reformasi, sorotan ke kartunis mulai surut dan beralih
ke kartun itu sendiri. Seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma tentang saat kematian bagi
kartunis, di mana ia mengutip Roland Barthes bahwa kartunis mati setelah kartunnya dibaca.
Ini juga berlaku untuk pembacaan karya seni secara umum, di mana audiens bebas
menginterpretasikan artinya sesuai pemikirannya sendiri tanpa harus terpatok dengan
penjelasan si kartunis.
Perkembangan dunia kartun memang terlanjur menarik untuk diulas. Dari perbincangan
dengan tiga kartunis lintas generasi, yaitu Asnar Zacky, Rakhmat Tri Basuki a.k.a Mas Gepeng,
dan Herpri Kartun, saya memperoleh beberapa pemahaman baru. Terutama dari pengalaman
mereka berkutat dengan dunia kartun. Kartun memiliki pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan bangsa Indonesia. Dahulu, kartun lebih banyak tampil di surat kabar sebagai
serial kartun komik strip yang hemat/tanpa kata di mana pemahaman lebih banyak pada
bahasa gambar. Saat pemerintahan presiden Soekarno, dunia kartun lebih didominasi oleh
gambar kartun nasionalisme (sekitar tahun 1961-1966).
Pada zaman Orde Baru (era kepemimpinan presiden Soeharto), pemerintah melarang berbagai
pemberitaan yang dianggap berpotensi memprovokasi massa untuk mengkritik pemerintah.
Kartun yang dihasilkan pada masa tersebut pun cenderung lebih kreatif, baik dari segi visual
atau verbal (kata-kata), didominasi oleh kartun satire berupa karikatural yang mulai
mengandung banyak teks, simbol, dan indeks. Kebebasan yang dibatasi membuat orang
berpikir untuk mencari simbol yang relevan dan mudah dipahami. Berbeda dengan saat ini,
kartun disajikan dengan teks yang terlalu kritis dan vulgar, melaluinya orang bisa memaki-maki
dengan gambar yang berakibat melecehkan, merendahkan, hingga pembunuhan karakter. Ya,
memang bisa dibilang kartun telah mengalami kemajuan dalam artian kartunis bebas
berekpresi tanpa takut dicekal atau lebih buruk, surat kabarnya ditutup/dibredel. Tetapi secara
etika, hal ini merupakan sebuah kemunduran. Kartun pada dasarnya merupakan kritik atau
opini yang disampaikan melalui media visual dengan penyajian yang mudah dimengerti tanpa
langsung membicarakan objek persoalan (ada pesan tersembunyi/disembunyikan). Ia
menyampaikan sebuah ironi tetapi dalam wujud humor. Humor tak selamanya agresif dan
radikal. Sebab ia berfungsi untuk menghasilkan tawa yang bertujuan memelihara
keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi perpecahan masyarakat. Ia juga
membebaskan orang dari kecemasan dan rasa sengsara. Meski tertawa, tepatnya tertawa
bersama, mengandaikan ada pihak yang ditertawakan. Tawa di sini mengandung makna
resistensi.
KARTUN SEBAGAI RUANG PUBLIK
Kian terasa kalau ruang publik mulai menghilang dan tergantikan dengan yang privat. Secara
sederhana, gejala privatisasi dapat dilihat melalui munculnya spanduk-spanduk atau iklan
komersial yang menghiasi tembok di jalan-jalan. Seperti yang pernah disampaikan oleh
Widyatmoko (dalam sebuah perbincangan dengan penulis) bahwa komodifikasi atas ruang
seperti halnya kepemilikan lahan untuk beriklan dan itu dapat disewakan.
Jika dikaitkan dengan ruang publik yang mengacu pada semua tempat yang sepantasnya
difungsikan untuk kepentingan umum, misalnya taman kota, alun-alun, atau juga media massa,
peran kartun sebagai penyampai persoalan tentang/di ruang publik akhirnya dapat dipahami
sebagai sebuah ruang itu sendiri. Tentunya jika disadari bahwa di dalam kartun juga
berlangsung aktivitas publik. Di sana terjadi semacam komunikasi antara masyarakat dengan
pemerintah yang disajikan secara visual oleh sang kartunis, sehingga terjalinlah sebuah aktivitas
transfer pemikiran yang berpotensi mempengaruhi lawan bicara seperti yang lazimnya
dilakukan oleh berbagai media massa (televisi, radio, surat kabar, dll). Bedanya, ruang publik
yang satu ini bersifat nonfisik dan satu arah.
Tidak hanya pada surat kabar, kemunculan kartun sudah mulai merambah ke ruang lain yang
cukup menyita perhatian kita seperti pada sampul buku, kemasan makanan, maskot sebuah
acara, cinderamata (kaos dan mug), dll. Topik yang disampaikannya juga lebih terbuka, bisa
tentang ekonomi, gender, HAM, budaya, dll. Ini menandai babak baru dimana kartun telah
menjadi teman dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, bukan lagi
sebagai senjata politik yang menyeramkan yang hanya dapat dihadirkan di media massa. Salah
seorang kartunis yang memperkenalkan kartun melalui media kaos adalah Mas Gepeng.
Menurutnya, kartun di media massa itu hal yang biasa sehingga ia mencari tempat lain untuk
menuangkan kartunnya, yaitu kaos. Dari segi visual ia tertarik untuk menggambarkan keadaan
Indonesia yang saat ini mengalami carut marut dari segi politik dan ekonomi. Banyaknya
ketidakadilan yang terjadi sebagai akibat praktik ketimpangan kekuasaan.
Bagi Mas Gepeng, kaos terbukti bisa menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan
karena dalam pembuatannya harus jeli memilih ide yang benar-benar bagus dan menarik, serta
umumnya dipakai untuk jangka waktu yang panjang. Pencarian tema dan eksekusinya juga
harus tepat. Tepat ilustrasi, tepat tema dan tepat sasarannya. Sedangkan di media massa,
kartun berganti setiap minggu. Sehingga jangka waktunya lebih pendek dan terkadang
menampilkan kartun yang kurang kreatif karena minimnya waktu dan tema baru untuk
diangkat. Contoh tersebut menunjukan bahwa kartun telah berevolusi mengikuti perubahan
sosial budaya di tiap-tiap generasi. Ia, kartun, terbukti bisa berkompromi dengan media apapun
asalkan tetap bertujuan untuk menghasilkan tawa, baik untuk ditertawakan ataupun
menertawakan.
Bacaan:
• I Dewa Putu Wijana, “Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa”, Ombak, Yogyakarta, 2004.
• Seno Gumira Ajidarma, “Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor”, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta, 2012.
Tentang penulis:
Lahir di Yogyakarta, 30 November 1989. Penulis merupakan alumnus Seni lukis, ISI
Yogyakarta angkatan 2008 dalam bidang penciptaan karya seni. Saat ini aktif menulis di
beberapa pameran seni rupa antara lain: ”Via Regia” (21 April-5 Mei 2013,Lir Caffe),
”Nggresulo”(19-26 Januari 2013,Jogja Gallery), ”Jalan Aja”(20 Oktober 2012, Galeri Biasa), ”In
Flux” (17-21 November 2011, Jogja Gallery) serta menjadi moderator di beberapa diskusi seni.
Email: [email protected]. HP: 085643478991
oleh Agni Saraswati
“Tidak hanya pada surat kabar, kemunculan kartun sudah mulai merambah ke ruang
lain yang cukup menyita perhatian kita seperti pada sampul buku, kemasan makanan,
maskot sebuah acara, cinderamata (kaos dan mug)…Ini menandai babak baru di mana
kartun telah menjadi teman dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat, bukan lagi sebagai senjata politik yang menyeramkan yang hanya dapat
dihadirkan di media massa.”
DARI KARTUNIS KE KARTUN
Tidak banyak seniman yang bisa menjadi kartunis, meskipun ia memiliki kemampuan melukis
yang memadai. Terdapat beberapa syarat untuk menjadi kartunis yang berhasil. Antara lain, ia
harus memiliki sense of humor yang baik. Karyanya tidak hanya menggelitik, tetapi juga mesti
mampu melihat sebuah tragedi dari sudut lain, yaitu komedi. Artinya ia harus memiliki
kecakapan menghibur orang lain dengan memberikan energi positif melalui kartunnya. Tentu
dengan beberapa etika yang mesti diindahkan, seperti tidak diperbolehkannya unsur sarkasme
dan SARA di dalam kartun tersebut. Ada juga syarat lainnya seperti seorang kartunis harus
kritis terhadap problem sosial yang terjadi saat ini. Ia harus up to date dan pandai menyeleksi
berita mana yang penting untuk diangkat dan mana yang tidak.
Topik tentang kartun memang tidak lepas dari si penciptanya, kartunis. Dahulu peran kartunis
dianggap hebat karena ia berada pada posisi yang berbahaya dan riskan terhadap ancaman,
salah satunya pemerintah. Tetapi sejak reformasi, sorotan ke kartunis mulai surut dan beralih
ke kartun itu sendiri. Seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma tentang saat kematian bagi
kartunis, di mana ia mengutip Roland Barthes bahwa kartunis mati setelah kartunnya dibaca.
Ini juga berlaku untuk pembacaan karya seni secara umum, di mana audiens bebas
menginterpretasikan artinya sesuai pemikirannya sendiri tanpa harus terpatok dengan
penjelasan si kartunis.
Perkembangan dunia kartun memang terlanjur menarik untuk diulas. Dari perbincangan
dengan tiga kartunis lintas generasi, yaitu Asnar Zacky, Rakhmat Tri Basuki a.k.a Mas Gepeng,
dan Herpri Kartun, saya memperoleh beberapa pemahaman baru. Terutama dari pengalaman
mereka berkutat dengan dunia kartun. Kartun memiliki pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan bangsa Indonesia. Dahulu, kartun lebih banyak tampil di surat kabar sebagai
serial kartun komik strip yang hemat/tanpa kata di mana pemahaman lebih banyak pada
bahasa gambar. Saat pemerintahan presiden Soekarno, dunia kartun lebih didominasi oleh
gambar kartun nasionalisme (sekitar tahun 1961-1966).
Pada zaman Orde Baru (era kepemimpinan presiden Soeharto), pemerintah melarang berbagai
pemberitaan yang dianggap berpotensi memprovokasi massa untuk mengkritik pemerintah.
Kartun yang dihasilkan pada masa tersebut pun cenderung lebih kreatif, baik dari segi visual
atau verbal (kata-kata), didominasi oleh kartun satire berupa karikatural yang mulai
mengandung banyak teks, simbol, dan indeks. Kebebasan yang dibatasi membuat orang
berpikir untuk mencari simbol yang relevan dan mudah dipahami. Berbeda dengan saat ini,
kartun disajikan dengan teks yang terlalu kritis dan vulgar, melaluinya orang bisa memaki-maki
dengan gambar yang berakibat melecehkan, merendahkan, hingga pembunuhan karakter. Ya,
memang bisa dibilang kartun telah mengalami kemajuan dalam artian kartunis bebas
berekpresi tanpa takut dicekal atau lebih buruk, surat kabarnya ditutup/dibredel. Tetapi secara
etika, hal ini merupakan sebuah kemunduran. Kartun pada dasarnya merupakan kritik atau
opini yang disampaikan melalui media visual dengan penyajian yang mudah dimengerti tanpa
langsung membicarakan objek persoalan (ada pesan tersembunyi/disembunyikan). Ia
menyampaikan sebuah ironi tetapi dalam wujud humor. Humor tak selamanya agresif dan
radikal. Sebab ia berfungsi untuk menghasilkan tawa yang bertujuan memelihara
keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi perpecahan masyarakat. Ia juga
membebaskan orang dari kecemasan dan rasa sengsara. Meski tertawa, tepatnya tertawa
bersama, mengandaikan ada pihak yang ditertawakan. Tawa di sini mengandung makna
resistensi.
KARTUN SEBAGAI RUANG PUBLIK
Kian terasa kalau ruang publik mulai menghilang dan tergantikan dengan yang privat. Secara
sederhana, gejala privatisasi dapat dilihat melalui munculnya spanduk-spanduk atau iklan
komersial yang menghiasi tembok di jalan-jalan. Seperti yang pernah disampaikan oleh
Widyatmoko (dalam sebuah perbincangan dengan penulis) bahwa komodifikasi atas ruang
seperti halnya kepemilikan lahan untuk beriklan dan itu dapat disewakan.
Jika dikaitkan dengan ruang publik yang mengacu pada semua tempat yang sepantasnya
difungsikan untuk kepentingan umum, misalnya taman kota, alun-alun, atau juga media massa,
peran kartun sebagai penyampai persoalan tentang/di ruang publik akhirnya dapat dipahami
sebagai sebuah ruang itu sendiri. Tentunya jika disadari bahwa di dalam kartun juga
berlangsung aktivitas publik. Di sana terjadi semacam komunikasi antara masyarakat dengan
pemerintah yang disajikan secara visual oleh sang kartunis, sehingga terjalinlah sebuah aktivitas
transfer pemikiran yang berpotensi mempengaruhi lawan bicara seperti yang lazimnya
dilakukan oleh berbagai media massa (televisi, radio, surat kabar, dll). Bedanya, ruang publik
yang satu ini bersifat nonfisik dan satu arah.
Tidak hanya pada surat kabar, kemunculan kartun sudah mulai merambah ke ruang lain yang
cukup menyita perhatian kita seperti pada sampul buku, kemasan makanan, maskot sebuah
acara, cinderamata (kaos dan mug), dll. Topik yang disampaikannya juga lebih terbuka, bisa
tentang ekonomi, gender, HAM, budaya, dll. Ini menandai babak baru dimana kartun telah
menjadi teman dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, bukan lagi
sebagai senjata politik yang menyeramkan yang hanya dapat dihadirkan di media massa. Salah
seorang kartunis yang memperkenalkan kartun melalui media kaos adalah Mas Gepeng.
Menurutnya, kartun di media massa itu hal yang biasa sehingga ia mencari tempat lain untuk
menuangkan kartunnya, yaitu kaos. Dari segi visual ia tertarik untuk menggambarkan keadaan
Indonesia yang saat ini mengalami carut marut dari segi politik dan ekonomi. Banyaknya
ketidakadilan yang terjadi sebagai akibat praktik ketimpangan kekuasaan.
Bagi Mas Gepeng, kaos terbukti bisa menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan
karena dalam pembuatannya harus jeli memilih ide yang benar-benar bagus dan menarik, serta
umumnya dipakai untuk jangka waktu yang panjang. Pencarian tema dan eksekusinya juga
harus tepat. Tepat ilustrasi, tepat tema dan tepat sasarannya. Sedangkan di media massa,
kartun berganti setiap minggu. Sehingga jangka waktunya lebih pendek dan terkadang
menampilkan kartun yang kurang kreatif karena minimnya waktu dan tema baru untuk
diangkat. Contoh tersebut menunjukan bahwa kartun telah berevolusi mengikuti perubahan
sosial budaya di tiap-tiap generasi. Ia, kartun, terbukti bisa berkompromi dengan media apapun
asalkan tetap bertujuan untuk menghasilkan tawa, baik untuk ditertawakan ataupun
menertawakan.
Bacaan:
• I Dewa Putu Wijana, “Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa”, Ombak, Yogyakarta, 2004.
• Seno Gumira Ajidarma, “Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor”, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta, 2012.
Tentang penulis:
Lahir di Yogyakarta, 30 November 1989. Penulis merupakan alumnus Seni lukis, ISI
Yogyakarta angkatan 2008 dalam bidang penciptaan karya seni. Saat ini aktif menulis di
beberapa pameran seni rupa antara lain: ”Via Regia” (21 April-5 Mei 2013,Lir Caffe),
”Nggresulo”(19-26 Januari 2013,Jogja Gallery), ”Jalan Aja”(20 Oktober 2012, Galeri Biasa), ”In
Flux” (17-21 November 2011, Jogja Gallery) serta menjadi moderator di beberapa diskusi seni.
Email: [email protected]. HP: 085643478991