Critical Review Reklamasi Teluk Palu

“CRITICAL REVIEW TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA”
(Studi Kasus: Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu)

Oleh:
Nadhia Maharany Siara

135060601111003

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

Abstrak
Kota Palu merupakan kota empat dimensi dengan landscape unik. Salah satu kawasan
yang menjadi icon kota Palu adalah kawasan pesisir Teluk Palu. Teluk Palu mempunyai
ekosistem pesisir yang sangat kompleks dengan memiliki ekosistim
estuaria, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun menjadikan teluk
Palu kaya akan organisme perairan, hal ini diiringi dengan makin

meningkatnya populasi manusia tinggal dan mendiami wilayah pesisir
sepanjang teluk Palu. Saat ini Pemerintah Kota Palu sedang melaksanakan
pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu dengan melakukan reklamasi.
Namun Reklamasi Pantai Talise ini diduga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Palu. Berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu
disebutkan bahwa kawasan sempadan pantai yang belum terbangun di sepanjang Teluk Palu
ditetapkan kurang lebih 100 meter dari titik pasang tertingi air laut. Berdasarkan RTRW Kota
Palu, pada pasal 49 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa kawasan Pantai Teluk Palu ditetapkan
sebagai kawasan pariwisata alam dan pariwisata buatan. Berdasarkan pasal 85 tentang
ketentuan umum peraturan zonasi dalam Perda Kota Palu yang menyebutkan bahwa
sempadan pantai teluk palu diperbolehkan aktifitas rekreasi. Namun tidak disebutkan adanya
reklamasi. Disinilah letak permasalahannya bahwa tidak adanya disebutkan rencana
reklamasi namun pada kenyataanya terdapat reklamasi Pantai Talise yang disebutkan bahwa
telah mendapat izin pemrintah setempat.

Pendahuluan
Kota Palu merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik Kota Palu luas wilayah Kota Palu sebesar
395,06


km

2

(Bappeda & PM Kota Palu, 2010). Kota Palu yang menjadi

pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian menjadikan Kota Palu
sebagai kota yang paling maju di Sulawesi Tengah. Kota Palu juga memiliki
potensi wisata yang cukup tinggi karena Kota Palu memiliki landscape
yang unik. Kota Palu dibelah aliran sungai yang mengalir dari arah selatan
sedangkan di sisi barat dan timur merupakan pengunungan indah yang
ceruk lonjongnya ke arah utara membentuk garis pesisir teluk yang
menawan. Dimensi gunung, sungai, laut dan pesisir teluk membuat kota
Palu dijuluki dengan empat dimensi.
Salah satu kawasan yang menjadi icon Kota Palu adalah kawasan
pesisir Teluk Palu. Teluk Palu memiliki potensi yang sangat baik untuk
pengembangan kegiatan perikanan. Wilayah pesisir pantai Teluk Palu
terdiri atas 26 Desa/ Kelurahan yang masuk dalam wilayah administratif
Kabupaten Donggala dan Kota Palu dengan potensi SDA yang cukup
besar, baik yang berada disepanjang pesisir maupun yang ada diwilayah

laut teluk Palu. Teluk Palu mempunyai ekosistem pesisir yang sangat
kompleks dengan memiliki ekosistim estuaria, mangrove, terumbu karang,
dan padang lamun menjadikan teluk Palu kaya akan organisme perairan,
hal ini diiringi dengan makin meningkatnya populasi manusia tinggal dan
mendiami wilayah pesisir sepanjang teluk Palu. Daerah estuaria dapat kita
temukan pada dimuara sungai teluk Palu serta sungai-sungai kecil lainnya
yang terdapat hampir diseluruh kelurahan/desa disepanjang wilayah
pesisir teluk Palu. Ekosistim mangrove banyak dijumpai di sepanjang
pantai Loli Tasiburi sampai Tanjung Batu, namun daerah Kabonga (tanjung
kabonga) adalah yang paling produktif dan kompleks, wilayah timur
daerah mangrove dapat dijumpai disepanjang pantai Labuan hingga
Toaya. Bentangan ekosistem karang dimulai dari kelurahan Tipo sampai
dengan Tanjung Karang bahkan sampai desa Salubomba, Ekosistim karang
tersebut berjarak 10 – 20 meter dari pasang tertinggi (Ansar, 2011).

Saat ini Pemerintah Kota Palu sedang melaksanakan pengembangan
kawasan pesisir Teluk Palu dengan melakukan reklamasi. Sekitar 2 hektar
bagian laut Pantai Talise, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Kota
Palu yang merupakan bagian dari kawasan pesisir Teluk Palu telah
berubah jadi daratan. Penimbunan Pantai Talise ini merupakan kegiatan

reklamasi yang lakukan Perusda Kota Palu, dan dilaksanakan PT Yauri
Properti Investama (YPI).
Lokasi tersebut juga jadi tempat sekira 35 nelayan setempat untuk
menambat perahu. Timbunan pada laut yang merupakan bagian dari
kegiatan reklamasi Pantai Talise, juga berada tepat di depan kurang lebih
18 hektar tambak garam milik 160 petambak garam Talise. Reklamasi
juga berlangsung tepat didepan lapak 60 pedagang jagung bakar serta 75
pemilik kafe masyarakat lokal.
Untuk menimbun laut seluas 38,33 hektar, Perusda membutuhkan
1,8 – 2 juta kubik material. Dalam kerangka acuan disebutkan, material
akan diambil berasal dari enam titik kelurahan, masing-masing kelurahan
Silae, Kalora, Sungai Palupi, Watusampu, Tondo dan Kawatuna. Melihat
kerangka acuan, potensi kerusakan lingkungan dan kerugian pemkot
akibat

pengambilan

material

urug


cukup

besar.

Permasalahannya

beberapa kelurahan, seperti Silae, Tipo dan Watusampu memiliki riwayat
banjir bandang yang berdampak pada pemukiman warga akibat aktifitas
pengerukan material galian C (http://palu.aji.or.id/2015/10/05/reklamasi-teluk-paluuntuk-siapa/ diakses 25 November 2015).
Sementara pengurugan laut di Pantai Talise, menurut para nelayan
telah menyentuh kawasan terumbu karang, tempat bertelurnya ikan
kakap merah, hilangnya kawasan publik, serta menurunkan kandungan
garam air laut akibat perubahan pola arus pada titik masuknya air laut ke
kawasan tambak garam.
Pertanyaan penelitian
1. Bagaimana pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu?
2. Bagaimana permasalahan pada pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu?

Pembahasan

Kawasan teluk Palu terletak antara 03.13 – 00.51 derajat lintang
selatan dan antar 119.34 – 120.10 derajat bujur timur. Sementara luas
daratan kawasan teluk Palu 2.158,62 km2 ditambah luas dari 4
kecamatan di Kabupaten Donggala 1.763,56 km2. Kawasan darat teluk
Palu terdiri dari tujuh kecamatan, 3 kecamatan di kota palu yaitu :
kecamatan Palu Utara, kecamatan Palu Timur, dan kecamatan Palu Barat
sedangkan

untuk

kabupaten

Donggala,

yaitu

kecamatan

Banawa,


kecamatan Sindue, kecamatan Tanantovea, dan kecamatan Tawaili. Yang
terdapat di dua puluh empat (24) kelurahan/desa (Abu, 2011).
Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu
Kawasan teluk merupakan salah satu andalan wisata di Kota Palu.
Hal ini disebabkan

keindahan pemandangan alamnya,

Jika berada di

kawasan tersebut, kita dapat dengan leluasa menikmati pemandangan
gunung, sungai, teluk dan laut, tanpa halangan apapun.
Hal ini ditunjang oleh berbagai sarana dan prasarana di sekitarnya
yakni berupa jalan lingkar pantai Teluk Palu yang diresmikan pada tahun
2006, juga terdapat Jembatan Palu IV, yang berfungsi untuk melengkapi
Jembatan Palu I, II, dan III yang sebelumnya telah dibangun.

Adanya

beberapa jembatan di Kota Palu inilah yang menghubungan antara

Kecamatan Palu Barat dengan kecamatan lainnya.

Selain itu beberapa

kawasan perhotelan juga banyak dibangun di sekitar wilayah teluk ini,
termasuk pusat perbelanjaan Palu Grand Mall. Hal lain yang juga turut
meramaikan kawasan teluk ini adalah adanya pedagang yang berjualan di
sekitarnya dengan berbagai aneka makanan tradisional khas Kota Palu.
Saat ini di kawasan ini telah dibangun Anjungan Pantai Talise sebagai
salah satu public space di Kota Palu dan terus dilakukan penataannya.
Anjungan Pantai Talise ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Palu
untuk berolahraga pada hari minggu dan hari libur lainnya.

Penataan

kawasan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat
leluasa memanfaatkannya serta dapat berinteraksi satu sama lain. Itulah
salah

satu


tujuan

ruang

publik,

sebagaimana

dikemukakan

oleh

Kusumawijaya (2006) bahwa ruang publik dapat berupa taman, tempat

bermain, jalan, atau ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan
sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat dapat melakukan
kegiatan

publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang


dapat mengikat suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari atau
kegiatan berkala.
Selain itu pada waktu tertentu di kawasan ini sering diadakan
berbagai event lokal seperti konser, Festival Teluk Palu, reuni akbar dan
lain sebagainya, bahkan event berskala nasional. Wisata Teluk Palu juga
memberikan

pengaruh

terhadap

aspek

ekonomi

masyarakat

yang


bermukim di sekitarnya. Sebelum wisata Teluk Palu ini berkembang pesat
ekonomi masyarakat di sekitarnya masih tergolong rendah.
Permasalahan Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Palu
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 02 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Teluk Palu,
pengelolaan kawasan pesisir pantai teluk palu dilakukan dengan memperhatikan peruntukan
kegiatan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, pembangunan tidak berdasarkan tata ruang.
Namun Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Donggala tidak melakukan apapun terhadap
pelanggaran ini. Berdasarkan RTRW Kota Palu, pada pasal 49 ayat 4 dan 5 menyebutkan
bahwa kawasan Pantai Teluk Palu ditetapkan sebagai kawasan pariwisata alam dan pariwisata
buatan. Berdasarkan pasal 85 tentang ketentuan umum peraturan zonasi dalam Perda Kota
Palu yang menyebutkan bahwa sempadan pantai teluk palu diperbolehkan aktifitas rekreasi.
Namun tidak disebutkan adanya reklamasi. Disinilah letak permasalahannya bahwa tidak
adanya disebutkan rencana reklamasi namun pada kenyataanya terdapat reklamasi Pantai
Talise yang disebutkan bahwa telah mendapat izin pemerintah setempat.
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 2005 tentang retribusi pelayanan usaha
perikanan, Pelanggarannya berupa Melakukan diskriminasi terhadap alat tangkap bangang.
Berdasarkan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2005 tentang pemakaian alat tangkap dan alat
Bantu penangkapan ikan dalam pengelolaan perikanan pelanggarannya berupa melakukan
pembiaran dan tidak menindak lanjut pelanggaran yang menurut peraturan dilarang bahkan
diberikan sanksi, Memberi izin kepada pengusaha/pemodal melakukan Illegal Fishing.
Pola lain dari konflik pengelolaan SDA di Teluk Palu ialah Kesenjangan dan
ketidakadilan pemanfataan ruang; Pertama, maraknya pelaku illegal fishing di teluk Palu
yang dilakukan secara terang-terangan di daerah kelurahan Tondo, kelurahan Mamboro di
desa Wani, Salubomba, dll. Kedua, penambangan-penambangan yang ekstraktif di kelurahan

Watusampu, kelurahan Buluri, kelurahan Mamboro, Lambara dan Taipa. Terdapat 14
perusahaan tambang galian C yang masih aktif beroperasidi teluk palu. Ketiga, izin-izin
pendirian bangunan seperti hotel, dermaga pegangkutan material sirtukil, rumah makan dan
tempat wisata dimana dijalankan dengan melakukan reklamasi pada wilayah-wilayah pesisir
pantai (Ansar,2011).
Meningkatnya konflik sosial dan ekonomi di nelayan teluk Palu yang hingga kini
telah terjadi. Mengingat, semakin sempitnya wilayah kelola nelayan teluk Palu yang diambil
alih oleh pemodal dan praktek illegal. Nelayan teluk Palu terancam kekuarangan pendapatan
penghasilan di teluk Palu dikarenakan menurunnya daya dukung dan akibat praktek illegal
fishing. Hasil studi Lembaga Yayasan Pendidikan Rakyat tahun 2005, prilaku illegal fishing
di teluk Palu nelayan di daerah Mamboro, Tondo, Lere, Talise, Tipo, Buluri, dan kelurahan
Pantaloan mengalami penurunan pendapatan sebanyak 50-70 % setiap harinya. Kondisi yang
terparah menimpa bagi kaum perempuan dan anak-anak sebagai dampak dari penurunan
pendapatan nelayan di teluk Palu. Banyak ibu-ibu nelayan yang kehilangan pekerjaannya
sebagai penjual ikan di pasar lokal karena tidak adanya pendapatan ikan dari suaminya atau
orang lain yang mempercayakan kepadanya. Keempat, rusaknya ekologi teluk Palu,
hilangnya garis pantai, abrasi, sedimentasi, pencemaran, hancur dan rusaknya terumbu
karang, menurunnya potensi ikan, dll menjadi ancaman bagi kelestarian dan kesinambungan
sistem ekologi di teluk Palu.
Reklamasi sebagai bagian dari pembangunan di wilayah pesisir Pantai Teluk Palu,
harus mengacu pada rencana strategis pengelolaan pesisir pantai milik pemerintah provinsi
serta menjadikan kajian lingkungan hidup strategis sebagai dasar, seperti diatur dalam Pasal
11 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di Pesisir Pantai dan
Pulau-Pulau Kecil.
Pembangunan dan upaya pengelolaan pesisir pantai, erat kaitannya dengan
penyelenggaraan atau pemanfaatan ruang yang sedianya bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara seperti amanah Pasal 3 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang.
Sejauh reklamasi pantai teluk palu, hanya mengacu pada RTRW Kota Palu. Padahal
RTRW Kota Palu tidak mendelinasi apa yang diamanahkan oleh Undang-Undang nomor 32
Tahun 2009, Peraturan Presiden Nomor 122 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007.
Sejauh ini reklamasi Talise belum mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP). Hal itu berdasarkan surat KKP Nomor B.821/KP3K.3/IV/2014
tertanggal 16 April 2014. Surat ini adalah jawaban atas usaha aktivis dari Koalisi Rakyat

untuk Keadilan dan Perikanan (KIARA) yang mempertanyakan legalitas reklamasi Talise.
Dalam suratnya, KKP menegaskan belum pernah menerima dokumen-dokumen yang
merupakan persyaratan pengajuan rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan terhadap
reklamasi Pantai Teluk Palu sehingga rekomendasi terhadap reklamasi tersebut belum pernah
diterbitkan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Izin lokasi reklamasi dengan luasan di atas 25 hektar harus mendapatkan
rekomendasi.
Reklamasi Pantai Talise ini diduga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Palu. Berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu
disebutkan bahwa kawasan sempadan pantai yang belum terbangun di sepanjang Teluk Palu
ditetapkan kurang lebih 100 meter dari titik pasang tertingi air laut.
Kawasan

itu

ditetapkan

sebagai

kawasan

pariwisata

yang

bertujuan

menyelenggarakan jasa pariwisata atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha
sarana pariwisata, dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut.
Diperkuat lagi dengan Keputusan Wali Kota Palu Nomor:650/2288/DPRP/2012
tangal 10 Desember 2012 bahwa pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise bahwa
hanya untuk pembangunan sarana wisata serta sarana pendukungnya dan tidak diperkenankan
digunakan untuk kepentingan lain.
Dampak Reklamasi Pantai
Secara teknis, reklamasi pantai dapat merubah konfigurasi pantai dan menutup
sebagian wilayah laut sehingga sulit dibuktikan bahwa kegiatan tersebut tidak
membawa dampak negatif terhadap lingkungan laut. Termasuk mempengaruhi
keanekaragaman hayati secara negatif, mengganggu karakter fisik, aktivitas dan interaksi dari
organisme-organisme dalam suatu lingkungan fisik wilayah laut.Selain
permasalahan lingkungan hidup akibat reklamasi pantai, reklamasi pantai juga merambat
pada permasalahan sosial,ekonomi, dan sumber daya alam.
Menurut Relua (2013) Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari reklamasi pantai
sebagai berikut:
1. Pencemaran lingkungan pantai oleh limbah yang dihasilkan.
2. Perubahan garis pantai pola arus laut saat ini.
3. Gangguan terhadap pola lalu lintas kota.
4. Pola kegiatan nelayan menjadi terganggu.

5. Gangguan terhadap tata air tanah maupun air permukaan termasuk di dalamnya
masalaherosi, penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi banjir di kawasan
pantai.
6. Terjadinya pencemaran pantai pada saat pembangunan.
7. Permasalahan pemindahan penduduk dan pembebasan tanah.
8. Potensi terjadinya kerusakan pantai dan instalasi bawah air (kabel, pipa gas, dan
lainya).
9. Potensi

gangguan

terhadap

lingkungan

(tergusurnya

perumahan

nelayan,

berkurangnya hutan mangrove, terancamnya biota pantai langkah).
10.

Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang

(RDTR).
Dampak fisik yang terjadi karena adanyaperubahan lingkungan.Berdirinya bangunanbangunan konstruksi yang direklamasi, membawa perubahan pada kawasan pantai.Perubahan
fisik lingkungan alam yang dapat kita lihat dari pembangunan reklamasi pantai yaitu seperti
perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, dapat mengubah bentang alam (geomorfologi) dan
aliran air (hidrologi) dikawasan reklamasi tersebut.Sistem hidrologi gelombang air laut yang
jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya.Berubahnya air akan mengakibatkan daerah diluar
reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga akan terjadi abrasi.Perubahan
lain yaitu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sendimen sungai, pola pasang
surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air, serta potensi gangguan
terhadap lingkungan. Dampak lainnya yaitu meningkatkan potensi banjir dan penggenangan
di wilayah pesisir. Potensi banjir akibat kegiatan reklamasi itu akan semakin meningkat bila
dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan
global.Disebabkan

karena

perubahan

lahan

dan

bentang

alam,

kerena

kegiatanreklamasipantai itu sendiri.
Dampak biologis yang sudah jelas terlihat akibat pembangunan reklamasi itu yaitu
seperti kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati.Keanekaragaman
hayati yangdiperkirakan akan punah akibat pembangunan reklamasi itu antara lain berupa
terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, eustaria, dan juga
terancamnya biota laut.Keanekaragaman biota laut akan berkurang, baik flora maupun fauna,
karena timbunan tanah urugan mempengaruhi ekosistem yang sudah ada.Serta penurunan
keanekaragaman hayati lainnya, dapat kita lihat dalam pasal 21 UU No. 32 Tahun 2007
tentang

kriteria

baku

kerusakan

lingkungan

hidup.

Disitu

dijelaskan

untuk

menentukanterjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup
Kesimpulan
1. Pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu saat ini berupa perluasan kawasan yang
berupa reklamasi Pantai Talise.
2. Terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan kawasan pesisir Teluk Palu
yakni ketidaksesuaian pengembangan dengan kebijakan terkait berupa peraturan
daerah dan RTRW Kota Palu. Salah satunya seperti rencana reklamasi Pantai Talise
tidak termuat dalam kebijakan apapun.
3. Terdapat dampak pada reklamasi pantai, dampak tersbut berupa dampak secara teknis,
secara fisik dan secara biologis.
Saran
1.

Gubernur harus melakukan pembinaan dan pengawasan penataan ruang di Kota Palu
guna mencegah terjadinya tumpang tindih pemanfaatan yang tidak sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Palu melalui kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang.

2. Gubernur harus menyusun Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-WP3K) dalam rangka
memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan menjamin perkembangan
investasi di daerah dan menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Cara
Penerbitan Izin Reklamasi sesuai dengan Pasal 16 Permen KP No 17 tahun 2013.
3. Gubernur harus menugaskan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Penataan Ruang
untuk melakukan penyidikan terkait pelanggaran Tata Ruang yang terjadi dalam
pelaksanaan reklamasi Pantai Teluk Palu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UndangUndang No 26 Tahun 2007 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
kecil yang menyebutkan bahwa Penentuan Lokasi Reklamasi dilakukan berdasarkan
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-WP3K) dan/atau Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Kota, sehingga hal ini mengindikasikan adanya
penyelundupan hukum dalam pelaksanaan reklamasi tersebut.
4. Gubernur harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintah Kota
Palu dalam rangka pelaksanaan Saran Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi
Tengah kepada Walikota Palu untuk menghentikan aktivitas pelaksanaan Reklamasi
Pantai Teluk Palu yang dilakukan oleh PT Yauri Investama di Kelurahan Talise

Kecamatan Matikulore dan PT Mahakarya Putra Palu di Kelurahan Lere Kecamatan
Palu Barat yang bekerjasama dengan Perusda Kota Palu.

Daftar Pustaka
Abu, Asnah. 2011. Pengaruh Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu Terhadap Peningkatan
Pendapatan Masyarakat Kelurahan Lere. INFRASTRUKTUR Vol. 2 No. 1 Juni 2012 :
56 ‐ 64.
Ansar. 2011. Menuju Kebijakan Pengelolaan Teluk Palu yang Harmonis. Media Litbang
Sulteng IV (2) : 142 – 148 , Desember 2011.
Kusumawijaya, Marco. 2004. Kota Rumah Kita. Borneo Publications.
Tunggang Langgang Jakarta. Indonesia.
Kemetrian Kelautan dan Perikan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pemerintah

Kota

Palu.

2012.

Keputusan

Wali

Kota

Palu

Nomor:650/2288/DPRP/2012 tangal 10 Desember 2012
Pemerintah Kota Palu. 2005. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Teluk Palu.
Pemerintah Kota Palu . 2005. Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2005
tentang Retribusi Pelayanan Usaha Perikanan
Pemerintah Kota Palu. 2005. Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2005
tentang Pemakaian Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
Dalam Pengelolaan Perikanan.
Rellua, Olivianti. 2013. Proses Perizinan dan Dampak Lingkungan Terhadap
Kegiatan
Reklamasi Pantai. Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Republik Indoensia. 2007. Undang-Undang No. 32 Tahun 2007 Tentang Kriteria Baku
Kerusakan Lingkungan Hidup.
http://palu.aji.or.id/2015/10/05/reklamasi-teluk-palu-untuk-siapa/ diakses 25 November 2015

Kutipan sumber
Reklamasi Teluk Palu Untuk Siapa?
Suara Kaum ter-Pinggir-kan
Sekira 2 hektar bagian laut Pantai Talise, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore Kota Palu
telah berubah jadi daratan. Penimbunan Pantai Talise ini merupakan kegiatan reklamasi yang
lakukan Perusda Kota Palu, dan dilaksanakan PT Yauri Properti Investama (YPI).
Lokasi tersebut juga jadi tempat sekira 35 nelayan setempat untuk menambat perahu.
Timbunan pada laut yang merupakan bagian dari kegiatan reklamasi Pantai Talise, juga
berada tepat di depan kurang lebih 18 hektar tambak garam milik 160 petambak garam Talise.
Reklamasi juga berlangsung tepat didepan lapak 60 pedagang jagung bakar serta 75 pemilik
kaffe.
“Katanya mo dikase gaga (dibangun jadi bagus/indah), sebenarnya kita menolak ini, tapi mau
bagaimana lagi, kalau kita protes pasti mereka bilang ‘siapa kamu”,” kata Burhanuddin, ketua
Kelompok Nelayan “Satu Hati” Talise Jalan Komodo II Kelurahan Talise.
“Untuk bisa jadi kristal garam itu butuh angin, butuh juga area resapan, kalau didepan situ
ditimbun reklamasi, ya tidak tau bagaimana nantinya,” kata Muhammad Ali, petambak garam
Talise.
Secara resmi, kegiatan reklamasi dibuka langsung Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan
Tombolotutu pada Minggu 19 Januari 2014. Berdasarkan surat Walikota Palu, H Rusdi
Mastura tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi nomor : 520/3827/Disperhutla, yang
dikeluarkan kepada pihak pemohon PT YPI tertanggal 23 Desember 2013, reklamasi akan
menimbun laut Pantai Talise seluas 38,33 hektar, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 5
(lima) tahun, terhitung sejak 23 Desember 2013 – 23 Desember 2018.
Perusda Kota Palu, melalui anak perusahaannya Palu Properti Sejahtera (PPS) menyebutkan,
bahwa diatas kawasan reklamasi seluas 38,33 hektar tersebut nantinya akan dibangun pusat
bisnis dan sarana wisata terbesar dan termegah, seperti Mall, hotel, ruko, apartemen, pusat
permainan hingga kuliner.
“Jika reklamasi ini malah menurunkan pendapatan masyarakat disini atau menurunkan harga
tanah bapak-bapak, silahkan ludahi muka saya. Tapi, kalau pembangunan kawasan ini bagus,
dan harga tanah bapak naik, bagikan juga saya sedikit uangnya,” kata Mulhanan disambut

tawa para tamu undangan yang hadir peletakan timbunan pertama reklamasi Teluk Palu di
Pantai Talise.
“Kalau sekarang, siapa yang mau berkunjung ke Pantai Talise ini di siang hari? Aktivitas
ekonomi baru berjalan hanya pada malam hari. Nah dengan reklamasi ini, kami akan
membuat sebuah kawasan kuliner, dengan fasilitas lengkap dan representativ, sehingga
pengunjung bisa menikmatinya baik pada siang maupun malam hari,” jelas kuasa direksi
PPS, Taufik Kamase.
Namun, dua hektar timbunan dari total target reklamasi seluas 38,33 hektar di Pantai Talise,
saat ini telah menghilangkan secara paksa tambatan perahu milik 35 nelayan setempat. Dua
bagang yang tinggal beberapa meter dari bibir timbunan juga tidak lagi menghasilkan,
pasalnya pondok milik Burhanuddin yang dijadikan tempat untuk memperbaiki jarring ikan
juga telah berdiri ditengah area reklamasi, tanpa kejelasan ganti rugi.
“Mau kerja bagaimana, dulu kita kalau siang selalu kumpul sambil memperbaiki jarring,
sekarang mau kerja debu semua, jadi ya begini saja dulu, sambil menunggu kesepakatan
harga ganti rugi pondok dan bagang kami. Selain itu, didepan situ ada terumbu karang tempat
bertelur ikan batu, kalau itu ditimbun tidak tahu bagaimana kami, tentu harus lebih jauh lagi
kita cari tempat yang ada ikannya. Soalnya sekarang ikan disini sudah sarjana semua. Belum
lagi bahan bakar yang tambah mahal begini,” pasrah Burhanuddin.
“Sebenarnya lebih baik memang tambak garam ini dipertahankan, karena ini tanah yang
bagus sekali, saya ini tidak sekolah, tapi bapak bisa cari dimana ada orang produksi garam
ditengah kota, Cuma di Palu,” ucap Muhammad Ali petambak ikan.
Untuk membuat dataran diperairan Pantai Talise seluas 38,33 hektar, pihak perusahaan
pelaksanan membutuhkan material urug sebanyak 1.823.700. m3 timbunan padat (Sumber
Kerangka Acuan), yang akan diambil dari enam (6) kelurahan, yakni Kelurahan Kalora, Silae,
Watusampu, Tondo, Kawatuna, Sungai Palupi.
Ditambah Tipo yang awalnya tidak masuk dalam daftar kelurahan yang diambil materialnya,
yang kemudian berdasarkan surat keputusan walikota nomor 540/848/PU.ESDM/2013
tertanggal 17 Juli 2013, yang berisi izin kepada CV Trimitra Sejati, milik Jafri Yaury yang
juga selaku direktur PT YPI untuk melakukan ekploitasi material di Kelurahan Tipo diatas
lahan seluas 27,04 hektar.

Jika melihat isi perjanjian antara pihak Pemkot dengan PT YPI, pengambilan material urug
dari tujuh kelurahan tersebut, baik jangka pendek maupun jangka panjang tidak memberikan
keuntungan berarti bagi pihak Pemkot Palu.
“Karena bekas lokasi pengambilan material akan menjadi milik pihak perusahaan, disini
pihak pemkot hanya memperoleh manfaat dan keuntungan dari retribusi kubikasi, jadi ini
menjadi semacam land bankingnya PT YPI,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Ahmad
Pelor.
“Seperti kejadian tahun-tahun sebelumnya, kerusakan alam akibat ekploitasi material galian
C telah berdampak langsung tidak hanya memperparah kerusakan lingkungan, tetapi juga
meningkatnya resiko banjir bandang dari gunung ke pemukiman warga, juga meningkatnya
warga yang menderita Inveksi Saluran Pernafasan (ISPA),” imbuh Ahmad.
Salah satu poin penting catatan notulen Pokja Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
ruang BKPRD Prov Sulteng, yang diselenggarakan Dinas Cipta Karya Perumahan dan Tata
Ruang Prov Sulteng di Hotel Lawahba, Selasa 25 Maret 2014 menyebutkan, pada dasarnya
kegiatan reklamasi tidak dianjurkan; tapi dapat dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai
ketentuan, salah satu bagian kecilnya adalah soal ANDAL yang harus memperhatikan RT/RW
mulai kab/kota, provinsi bahkan nasional.
Menurut kepala BLH Prov Sulteng Mucklis, pasal 36 UU nomor 32 tahun 2009 menyebutkan
bahwa setiap kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UPL/UKL , dan wajib memiliki izin
lingkungan. Dan pasal 109 menyebutkan, bahwa jika suatu kegiatan tidak memiliki izin
reklamasi belum memiliki izin lingkungan atau dikeluarkan instansi, maka hal tersebut masuk
kategori pelanggaran pidana, dengan ancaman kurungan 1-3 tahun penjara serta denda Rp1-3
milyar.
“Izin lingkungan bisa keluar dengan dua syarat utama, yakni izin lokasi dan izin prinsip.
Secara

prinsip

izin

itu

sah,

apakah

diditandangani

bupati/walkot,

gubernur/kementerian.Kedua kegiatan harus sesuai dengan RT/RW.Apabila dua hal ini tidak
ada, maka wajib hukumnya komisi penilai AMDAL, mulai provinsi maupun kab/kota wajib
untuk menolak,” kata Muchlis.
Dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi (Dishubkominfo) Kota Palu, Vony
menyebutkan, bahwa setiap pembangunan berdasarkan UU nomoe 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas, wajib memiliki Analisis Dampak Lalu Lintas (Andallalin).

Beberapa pihak juga menyebutkan, bahwa penyusunan ANDAL reklamasi Teluk Palu wajib
memperhatikan aturan-aturan terkait.
“Mari kita lihat RT/RW Kota Palu, pada pasal 49 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa kawasan
Pantai Teluk Palu ditetapkan sebagai kawasan pariwisata alam dan pariwisata buatan. Yang
kami lanjutkan dengan pasal 85 tentang ketentuan umum peraturan zonasi dalam Perda Kota
Palu yang menyebutkan bahwa sepadan pantai teluk palu diperbolehkan aktifitas
rekreasi.Tetapi yang ingin kami sampaikan, bahwa tidak disebutkan adanya reklamasi.Jadi
mungkin dapat kami sampaikan bahwa tidak ada rencana reklamasi didalam RTRW Kota
Palu, disitu masalahnya,” ungkap Siti Nuraifah dari Dinas Cipta Karya Sulteng.
Nafas Sesak Kaum ter – Pinggir – kan
Dari total rencana reklamasi 38,33 hektar, hingga kini pengurugan telah mencapai sekitar dua
hektar. Pengurugan telah meminggirkan tambatan perahu milik sekitar 35 nelayan di pantai
Talise. Pengurugan juga tinggal beberapa meter dari dua bagang milik nelayan Talise.
Para nelayan juga telah kehilangan tempat penambatan perahu, dan kini telah berganti dengan
tanah haram, reklamasi. Pondok milik ketua kelompok nelayan “Satu Hati” Talise, saat ini
juga telah berdiri diatas lokasi pengurugan.
“Untuk tempat tambat perahu, katanya mau diganti rugi sebesar Rp1,5 juta per perahu, kalau
untuk bagang kami minta Rp40 juta, tapi katanya perusahaan hanya bersedia Rp20-25 juta.
Pondok saya juga belum jelas ganti ruginya,” kata Burhanuddin, ketua kelompok nelayan
“Satu Hati” Talise.
Ketidakjelasan nasib juga dialamai 160 petambak garam Talise. Para petambak yang awalnya
menolak reklamasi, akhirnya melunak setelah beberapa kali pertemuan dengan pihak perusda
yang dimediasi Pemkot. Para petambak rela menjual lahan mereka, dari awalnya seharga Rp1
juta per meter, menjadi Rp3,5 juta per meter.
“Tapi tidak tahu bagaimana sudah, tahun lalu para petani dibagikan buku rekening, tapi isinya
nol, dan sampai sekarang tidak tahu kelanjutannya,” kata salah seorang nelayan, Muhammad
Ali.
Namun, jauh dalam hati para petambak, sebenarnya menolak reklamasi, karena hanya itu
pekerjaan tumpuan hidup bagi keluarganya. Tapi apa daya, reklamasi telah dimulai, proses

pembentukan Kristal garam yang bergantung pada angin dan area resapan air, akan hilang
terhalang reklamasi dan bangunan bertingkat.
“Jika permintaan kami tidak diberi kejelasan, maka kami sepakat untuk menghentikan
penimbunan itu,” tegas Muhammad.
Jika para nelayan mengharap bagang mereka diganti dengan sesuai, maka mereka masih ada
harapan untuk membangun kembali bagang ditempat lain. Tapi, bagi para petambak garam,
setelah reklamasi jelas tambak mereka akan termatikan, karena unsur alami pembentukan
Kristal garam ikut hilang. Untuk itulah para petambak menaikan harga jual lahan mereka,
agar bisa mencari tanah baru serta untuk modal membangun usaha kembali.
Meskipun, baik pihak pemkot maupun perusda berjanji, bahwa masyarakat sekitar yang
terdampak reklamasi langsung akan diserap sebagai tenaga keamanan dan buruh dikawasan
reklamasi.
Nelayan Total 1800* orang 35-40 berada di kawasan reklamasi
Petambak Garam 160 petambak Terbagi dalam 16 kelompok
Pedagang jagung bakar gerobak 60 pedagang
kaffe 75 pemilik
SMK Perikanan Dan Kelautan Tepat berada didepan kawasan reklamasi
Gerak Langkah Penimbun (nan)
Untuk menimbun laut seluas 38,33 hektar, Perusda membutuhkan 1,8 – 2 juta kubik material.
Dalam kerangka acuan disebutkan, material akan diambil berasal dari enam titik kelurahan,
masing-masing kelurahan Silae, Kalora, Sungai Palupi, Watusampu, Tondo dan Kawatuna.
Ditambah satu lokasi yang awalnya tidak masuk dalam perencanaan, namun belakangan
dimasukkan melalui kerjasama susulan antara CV Trimitra Sejati, milik Jafri Yauri yang
sekaligus juga sebagai direktur dari PT Yauri Properti Investama dengan pihak Pemkot Palu,
yang diteken langsung walikota dan memberikan izin kepada CV Trimitra Sejati untuk
melakukan ekploitasi material di Kelurahan Tipo.
Pengambilan material dari Kelurahan Tipo, mendapat perlawanan dari warga setempat karena
pihak perusahaan yang ujug-ujug menurunkan alat berat dan puluhan dump truck untuk
mengambil material.

Hilyas, perwakilan warga Tipo dalam dialog publik yang diselenggarakan Ombudsman RI
perwakilan Sulteng mengatakan, warga melarang aktifitas pengambilan material di
wilayahnya, karena pihak perusahaan tidak pernah melakukan komunikasi dengan warga.
Melihat kerangka acuan, potensi kerusakan lingkungan dan kerugian pemkot akibat
pengambilan material urug cukup besar. Pasalnya beberapa kelurahan, seperti Silae, Tipo dan
Watusampu memiliki riwayat banjir bandang yang menerjang pemukiman warga akibat
aktifitas pengerukan material galian C.
Sementara pengurugan laut di Pantai Talise, menurut para nelayan telah menyentuh kawasan
terumbu karang, tempat bertelurnya ikan batu (kakap merah), hilangnya kawasan publik,
serta menurunkan kandungan garam air laut akibat perubahan pola arus pada titik masuknya
air laut ke kawasan tambak garam.
Secara kualifikasi dan kompetensi, tim penyusus dokumen ANDAL yang beral dari
Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Padjajaran serta beberapa tenaga ahli dari
Universitas Tadulako Palu telah memenuhi syarat. Meski demikian, tetap ada hal yang
menarik perhatian para pakar serta pihak terkait lainnya, dimana seharusnya kegiatan
reklamasi mengacu pada dua aspek sebelum penyusuan ANDAL, yakni aspek teknis dan
aspek hukum.
“Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2009 antara judul izin dan kegiatan harus sama,” kata
Muchlis dari BLH Prov Sulteng.
Dari aspek hukum, Dinas Cipta Karya Perumahan dan Tata Ruang Prov Sulteng
menyandingkan tujuh peraturan, mulai dari undang-undang, peraturan presiden, peraturan
menteri hingga perda baik kota maupun provinsi.
http://palu.aji.or.id/2015/10/05/reklamasi-teluk-palu-untuk-siapa/