KORELASI KADAR LAKTAT DAN PCO 2 GAP SEBA

TESIS KORELASI KADAR LAKTAT DAN PCO 2 GAP SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH MARSELINUS WIJAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

TESIS KORELASI KADAR LAKTAT DAN PCO 2 GAP SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH MARSELINUS WIJAYA NIM. 0914108207 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

TESIS KORELASI KADAR LAKTAT DAN PCO 2 GAP SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

MARSELINUS WIJAYA NIM.0914108207 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 24 Desember 2014

Pembimbing I,

Pembimbing II,

dr. I Ketut.Sinardja, SpAn.KIC dr. I.G.P.Sukrana Sidemen, SpAn.KAR NIP. 19550521 198302.1.001

NIP. 19620713 198803.1.004

Mengetahui,

Ketua Program Magister IlmuBiomedik

Direktur

Program PascaSarjana Program PascaSarjana UniversitasUdayana,

UniversitasUdayana,

Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd. FAACS Prof. Dr. dr. A. A. RakaSudewi, SpS (K) NIP. 194612131971071001

NIP. 195902151985102001

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 24 Desember 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 4503/UN.14.4/HK/2014, Tanggal 23 Desember 2014

Ketua

: dr. I Ketut Sinardja, SpAn. KIC

Anggota

1. dr. I.G.P.Sukrana Sidemen, SpAn.KAR

2. Prof.Dr.dr. Made Wiryana,SpAn.KIC. KAO

3. dr. I Made Subagiartha, SpAn.KAKV.SH

4. dr. PutuAgus Surya Panji, SpAn. KIC

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar spesialis di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam- dalamnya, rasa hormat serta penghargaan setinggi-tingginya kepada semua guru, para senior, dan teman-teman sejawat yang telah memberikan masukan, dukungan, dorongan, koreksi dan nasehat terhadap keseluruhan proses pendidikan spesialisasi dan penulisan tesis ini hingga selesai.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa pendidikan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 lmu Anestesi dan Terapi Intensif.

2. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk 2. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk

3. dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV selaku Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.

4. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) program pasca sarjana Universitas Udayana.

5. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC. selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan sebagai guru dan pembimbing dalam penyusunan tesis ini, dengan memberi nasehat dan masukan-masukan berharga kepada penulis serta memberikan pengetahuan dan bimbingan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini.

6. dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi selaku Sekretaris Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, guru dan pembimbing akademik, yang dengan penuh kesabaran memberi nasehat dan masukan-masukan berharga kepada penulis selama mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini.

7. Prof.Dr.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC. selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, dan sebagai guru yang telah memberikan wawasan, pengetahuan dan dorongan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

8. dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingandandorongan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

9. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR selaku guru dan pembimbing kedua, yang dengan sabar telah membimbing dan memberi masukan-masukan berharga kepada penulis selama menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.

10. Semua guru: dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC; dr.I Made Subagiartha, SH, SpAn, KAKV; Dr.dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KMN, KNA; dr.I Gede Budiarta, SpAn, KMN; dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. I Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr.I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr.Pontisomaya Parami, SpAn; dr. I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr.Cynthia Dewi Sinardja, SpAn; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn; dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn. Penulis 10. Semua guru: dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC; dr.I Made Subagiartha, SH, SpAn, KAKV; Dr.dr. I Putu Pramana Suarjaya, SpAn, MKes, KMN, KNA; dr.I Gede Budiarta, SpAn, KMN; dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. I Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr.I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr. I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr.Pontisomaya Parami, SpAn; dr. I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr.Cynthia Dewi Sinardja, SpAn; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn; dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn. Penulis

11. Semua rekan-rekan residen anestesi, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penulis menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

12. Ni Ketut Santi Diliani, SH. dan seluruh staf karyawan di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini.

13. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, yang telah memberikan bimbingan statistik kepada penulis.

14. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi Almarhum Yosep Manek Wijayadan Getrudis Laka yang telah bersusah payah membesarkan, memberikan rasa aman, cinta dan doa restu kepada penulis sejak lahir hingga saat ini, dalam menjalani segala hal.

15. Istri tercinta dr. Linggawati Tawika dan ketiga anakku Fortino Wijaya, Lucius Gery Wijaya dan Dennis Wijaya atas doa dan dorongan semangatnya selama penulis menjalani masa pendidikan.

16. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani pendidikan spesialisasi ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani PPDS-1 Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Denpasar, Desember 2014

Dr. MarselinusWijaya

ABSTRAK KORELASI KADAR LAKTAT DAN PCO 2 GAP SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN SEPSIS DI RUANG TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH

Mortalitas pasien di ruang perawatan intensif atau ICU sangat penting, baik secara klinik maupun administrasi. Oleh sebab itu dikembangkanlah banyak sistem penilaian untuk mengestimasi probabilitas mortalitas. Parameter hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock microcirculation). Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darah diduga dapat dijadikan petanda adanya gangguan/gagal perfusi jaringan atau gagal

sirkulasi . Selain itu pCO 2 gap bisa diperlakukan sebagai suatu keadaanhipoksia

jaringan karena kegagalan sirkulasi sehingga akan terjadi peningkatan kadar CO 2 dijaringan. Hal ini tentu akan mengakibatkan peningkatan perbedaan pCO 2 vena dan arteri dan kecukupan aliran darah vena untuk mengeluarkan total CO 2 yang

diproduksi oleh jaringan perifer. Selain itu pemeriksaan pCO 2 gap lebih murah dan tidak membutuhkan alat yang canggih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai pCO 2 gapmemiliki korelasi dengan kadar laktat sehingga dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis yang dirawat di ruang intensif

Penelitian ini merupakan studi cross sectional, uji korelasi yang dilakukan dari bulan Oktober hingga Desember 2014 di ICU RSUP Sanglah. Penelitian ini melibatkan 51pasien yang eligibel dan dipilih berdasarkan urutan kedatangan.

Segera setelah dilakukan pengukuran kadar laktat dan pCO 2 gap kemudian dilakukan korelasi antara keduanya diuji dengan Shapiro-Wilk W test. Pada 51 pasien, didapatkan nilai pCO 2 gap berkorelasi positif lemah dengan pCO 2 gap (r = 0,6232; p > 0,05). Meskipun rerata nilai pCO 2 gap dan kadar laktat berdasarkan diagnosis menunjukkan persamaan dalam hal peningkatan rerata yang cukup bermakna pada masing-masing kelompok sepsis. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif lemah

antara nilai pCO 2 gap dengan kadar laktat pada pasien sepsis di ICU. Meski demikian, nilai pCO 2 gap kemungkinan lebih bermakna untuk menilai keberhasilan resusitasi dan kecukupan volume intravaskuler, serta perlu pemeriksaan serial atau kombinasi dengan pemeriksaan lainnya dapat lebih bermanfaat.

Kata kunci: pCO 2 gap, kadar laktat, sepsis, ICU.

ABSTRACT CORRELATION LACTATE LEVELS AND PCO 2 GAP AS A PREDICTOR OF MORTALITY IN SEPSIS PATIENTS IN THE INTENSIVE CARE UNIT OF SANGLAH HOSPITAL

Mortality of patients in the intensive care unit or ICU is very important, both clinically and administrative. Therefore, a lot of scoring system for estimating the probability of mortality are rising. Global hemodynamic parameters often can not

be used as a reference. For that we need a marker to assess tissue perfusion disorders (microcirculation shock). In this state of elevated levels of lactate in the blood could be expected to be used as a marker of impairment / failed of

reperfusion or failing circulation. Additionally PCO 2 gap can be treated as a state of tissue hypoxia due to circulatory failure that would increase tissue’s CO 2

levels. This will certainly lead to an increase in venous and arterial PCO 2 difference and adequacy of venous blood flow to remove the total CO 2 produced by peripheral tissues. In addition, examination of PCO 2 gap is cheaper and doesn’t require sophisticated equipment. The purpose of this study was to determine the value of PCO 2 gap correlated with lactate levels that can be used as a predictor of mortality in septic patients treated in intensive This study is a cross sectional study, the correlation test conducted from October to December 2014 in the ICU Sanglah. The study involved 51 patients who eligible and selected based on the order of arrival. As soon as the measured

levels of lactate and PCO 2 gap then being performed a correlation between that two with the Shapiro-Wilk W test.

In 51 patients, PCO 2 gap positively weak-correlated with lactate level (r = 0.6232; p >0.05). Althoughthe averagevalue ofPCO 2 gapandlactatelevelsbased onsimilaritiesin terms ofdiagnosisshoweda substantialincrease inthe meanin eachgroupsepsis.

From these results it can be concluded that there is a positive weak correlation between the value of PCO 2 gap with lactate levels in septic patients in the ICU. So it can not be compared to the correlation between that two. However, the value of PCO 2 gap may be more useful to assess the success of resuscitation and adequacy of intravascular volume, as well as the need of serial or in combination with other tests can be more useful.

Keywords: PCO 2 gap, lactate levels, sepsis, ICU.

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN o C :

DerajatCelcius ACP

: Antigen Presenting Cells ADP

: Adenosine Diphosphate APACHE :

The Acute Fisiologidan Chronic Health Evaluation ARDS

: Acute Respiratory Distress Syndrome ATP

: Adenosine Triphosphate AUCs

: Area Under Curves CO2

: Carbon Dioxide Cl - :

Ion Cloride CRP

: C-Reactive Protein DIC

: Disseminated Intravascular Coagulation dkk

: dankawan-kawan EGDT

: early goal directed terapy FiO2

: Fraction of Inspired Oxygen

H + : Ion Hidrogen HCO3-

: Bicarbonat ICU

: Intensive Care Unit IMT

: Indeks Massa Tubuh K+

: Ion Kalium kg

: Kilogram

KTP : KartuTandaPenduduk L

: Liter MBL

: Manan Binding Lectin mEq/L

: MilimeterEquivalen Per Liter MELAS

: Mitochondrial Encephalopathy With Lactic Acidosis Stroke mmHg

: Millimeter Merkuri mmol/L

: MilimeterMolekul per Liter ml

: Milliliter Na+

: Ion Natrium NAD + :

NikotinamidaAdeninDinukleotidaOksidasi

NADH : NikotinamidaAdeninDinukleotidaHidrogenase NIBP

: Non-Invasive Blood Pressure PaCO 2 :

TekananParsialKarbonDioksidadarah PAI

: Plasminogen Activation Inhibitor PAF

: Platelet Activating Factor PAMPs

Pathogen Associated Molecular Patterns

PDH : Pyruvate Dehidrogenase RSUP

: RumahSakitUmumPusat ROC

: Receiver Operating Characteristic RTI

: RuangTerapiIntensif SCC

: Surviving Sepsis Campaign SID

: Strong Ion Difference SIG

: Strong Ion Gap

SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndromes SPSS

: Statistical Package for The Social Sciences TFPI

: Tissue Factor Pathway Inhibitor TLRs

: Toll-Like Receptors TM

: thrombomodulin tPA

: tissue Plasminogen Activator UA

: Unmeasured Anion

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 : Surat Keterangan Kelaikan Etik ...........................................

48 Lampiran 2 : Surat Ijin Uji Klinik .............................................................

49 Lampiran 3 : Jadwal Penelitian .................................................................

50 Lampiran 4 : Rincian Informasi .................................................................

51 Lampiran 5 : Lembar Penelitian ................................................................

52 Lampiran 6 : Formulir Persetujuan Tindakan ............................................

53 Lampiran 7 : Lampiran Data Pasien ..........................................................

57 Lampiran 8 : Hasil Analisis Stata ……………………………………….. 60

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sepsis merupakan penyebab kematian ke-10 di Amerika Serikat saat ini. Insiden sepsis akan terus meningkat seiring dengan umur. Kolaborasi upayaEuropean Society ofIntensive CareMedicine(ESICM), the Society of Critical Care Medicine(SCCM), danthe International Sepsis Forum(ISF), perkiraan bahwajumlah kasussepsissaat ini telah mencapai18 jutaper tahun. denganangka kematianmendekati

dianggap sebagaipenyebabutamakematiandi seluruh dunia. Sepsis berat terjadi 1-2% pada semua jenis perawatan pasien di rumah sakit. RS Hasan Sadikin Bandung mencatat angka mortalitas akibat sepsis sebesar 39,58% pada pasien pasca bedah yang di rawat di ruang ICU (Halim dkk., 2009). Insiden dan mortalitas dari sepsis berat selalu tidak mendapat perhatian yang serius, meskipun secara keseluruhan angka kematian rumah sakit adalah 28,6%. Biaya yang dikeluarkan untuk hal ini kurang lebih sebesar 16,7 milyar tiap tahunnya.

sepsismasih

Kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan kedokteran dan teknologi khususnya di bidang perawatan intensif telah menghasilkan temuan-temuan baru yang tujuannya antara lain menjadikan ruang terapi intensif (RTI) sebagai tempat yang efektif dan efisien bagi perawatan pasien kritis yang memiliki harapan hidup baik. Memperkirakan mortalitas pasien dari ruang perawatan intensif atau RTI Kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan kedokteran dan teknologi khususnya di bidang perawatan intensif telah menghasilkan temuan-temuan baru yang tujuannya antara lain menjadikan ruang terapi intensif (RTI) sebagai tempat yang efektif dan efisien bagi perawatan pasien kritis yang memiliki harapan hidup baik. Memperkirakan mortalitas pasien dari ruang perawatan intensif atau RTI

Berbagai cara digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat dalam perawatan intensif. Scoring systemyang umum dipergunakan antara lain Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation (APACHE), Mortality Probability Model (MPM), Simplified Acute Physiology Score (SAPS) dan Sequential Organ Failure Assesment (SOFA). Keempat scoring system ini berdasarkan nilai parameter klinis dan laboratorium. Kendala yang dapat dihadapi dalam menerapkanscoring system tersebut ialah banyaknya parameter laboratorium yang mungkin tidak tersedia di semua ruang terapi intensif (RTI) di Indonesia. Selain itu dengan banyaknya parameter laboratorium yang diperiksa juga meningkatkan pembiayaan bagi pasien-pasien yang dirawat di RTI. Oleh karena itu dibutuhkan parameter lain yang lebih umum diperiksa yang dapat menggantikan scoring system tersebut. Saat ini ada berbagai parameter independen yang telah diteliti untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di RTI seperti pH, defisit basa, laktat, anion gap, strong ion difference (SID) dan strong ion gap (SIG).Salah satu parameter yang sekarang banyak diteliti dan diduga dapat memprediksi mortalitas di RTI adalah kadar laktat dalam darah.

Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis, parameter hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock microcirculation). Pada Pada pasien kritis dalam keadaan sepsis, parameter hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu diperlukan suatu penanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan (shock microcirculation). Pada

Penentuan kadar laktat penting pada pasien dengan syok, sepsis, asma, pasca operasi, cedera otak, gagal hati, cedera paru akut(acute lung injury), dan keracunan (Agrawal dkk., 2004). Kadar laktat tinggi pada pemeriksaan awal secara bermakna berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas.Husein (2003) melaporkan kadar laktatpasien dengan asidosis metabolik laktat setelahdirawat 24 jam di ruang perawatan intensif >2,2mmol/L memiliki persentase mortalitas sampai dengan58%.Kadar laktat yang diukur pada 24 jam setelah masuk rumah sakit mempunyai sensitivitas 55,6% dan spesifisitas 97,2% untuk memperkirakan prognosis pasien sakit berat (Benjamin E, 2000).

Hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Neviere dkk. (2002) memberikan konfirmasi bahwa peningkatan PCO2gap sebagian besar berhubungan dengan penurunan curah jantung dimana akan meningkatkan hipoksia iskemik. Dalam suatu tinjauan ulang terbaru Lamia dkk. (2006)menyatakan bahwa PCO2gap bisa diperlakukan sebagai suatu penanda hipoksia jaringan dan kecukupan aliran darah vena untuk mengeluarkan total CO2 yang diproduksi oleh jaringan perifer.Van der Linden dkk. (1995) menemukan hubungan korelasi yang bermakna antara laktat darah dan PCO2 gap. Selain itu pemeriksaan PCO2 gap lebih murah dan

tidak membutuhkan alat yang canggih.

Tingginya masalah biaya perawatan pasien rawat intensifdan belum adanya penelitian yang akurat mengenai prediktor mortalitas yang dilakukan Tingginya masalah biaya perawatan pasien rawat intensifdan belum adanya penelitian yang akurat mengenai prediktor mortalitas yang dilakukan

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalah penelitian sebagai berikut:

- Apakah terdapatkorelasi antara kadar laktatdan PCO2 gappada pasiensepsis yang dirawat di ruang terapi intensif RSUP Sanglah?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui mekanisme terjadinya PCO2 gap pada pasien sepsis sehingga dapat dipakai sebagai faktor prediktor mortalitas di RTI.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui korelasi antara kadar laktatdan PCO2 gappada pasien sepsis yang dirawat di ruang terapi intensif RSUP Sanglah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

1. Manfaat praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan penjelasan ilmiah mengenai korelasi kadar laktat dan PCO2gap pada pasien sepsis di ruang terapi intensif RSUP Sanglah.

2. Manfaat akademik Hasil penelitian ini diharapkan PCO2gap menggantikan nilai kadar laktat sebagai penanda mortalitas untuk kasus-kasus pasien sepsis yang dirawat di RTI terutama untuk RS di daerah yang tidak memiliki fasilitas memadai.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sepsis

Menurut the American College of Chest Physician and the Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM), infeksi didefinisikan sebagai proses inflamasi yang terjadi akibat mikroorganisme atau invasi dari mikroorganisme tersebut kedalam bagian tubuh yang steril. Respon tubuh terhadap infeksi atau respon inflamasi sistemik dapat dikenali sebagai Systemic Inflammatory Response Syndromes (SIRS), yang meliputi 2 atau lebih tanda sebagai berikut: suhu tubuh >

38 o C atau hipotermia (suhu < 36 C), takikardia (denyut jantung > 90 denyutan/menit), takipnea (respirasi > 20 kali/menit atau PaCO 2 < 32mmHg atau

memakai ventilator) dan leukositosis (leukosit > 12.000/µ L) atau leukopenia (leukosit < 4.000/µL) atau > 10% bentuk sel muda (band form).

SIRS tidak hanya dapat disebabkan oleh adanya infeksi, tetapi juga oleh sebab lain seperti trauma, luka bakar, atau proses peradangan steril seperti pankreatitis akut. ACCP/ SCCM juga mendefinisikan sepsis sebagai SIRS disertai bukti adanya infeksi dan sepsis berat sebagai sepsis dengan tanda-tanda gangguan fungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi. Disebut syok septik bila sepsis disertai dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat. Definisi hipotensi adalah tekanan darah sistolik

<90mmHg atau penurunan tekanan sistolik > 40mmHg tanpa ada penyebab sebelumnya.

Definisi tersebut diatas juga sekaligus digunakan sebagai alat diagnosis pada tingkat klinik. Bila diamati secara seksama, jelas sekali terlihat adanya spektrum sepanjang SIRS, sepsis, sepsis berat and syok septik, dimana seorang penderita dengan syok septik biasanya diawali oleh infeksi yang kemudian disertai dengan (SIRS). Syok septik yang berkepanjangan dan tidak tertangani dengan baik sering kali berakhir dengan gagal berbagai organ dan kematian.

2.1.1 Patofisiologi Sepsis

2.1.1.1 Respon inflamasi sistemik

Bukti adanya infeksi adalah kunci utama dalam patogenesis syok septik. Namun demikian, hanya 30% kasus dengan syok septik menunjukan biakan darah positif. Hal ini membuktikan bahwa bakteriemia tidaklah mutlak mencetuskan sekuens patogenesis syok septik, oleh karena respon tubuh terhadap infeksi juga mampu berperan serupa. Perjalanan alamiah syok septik biasanya diawali dengan berkembangnya mikroorganisme di fokus infeksi, lalu mikroorganisme tersebut atau produknya masuk ke dalam pembuluh darah dan melepaskan mediator- mediator pro-inflamasi (Gambar 1).

Produk-produk mikroorganisme dikenali oleh tubuh melalui Antigen Presenting Cells (APC). APC disini bisa berupa sel monosit, neutrofil atau makrofag. APC selanjutnya akan mencerna produk tersebut menjadi peptida dan Produk-produk mikroorganisme dikenali oleh tubuh melalui Antigen Presenting Cells (APC). APC disini bisa berupa sel monosit, neutrofil atau makrofag. APC selanjutnya akan mencerna produk tersebut menjadi peptida dan

1) dan Tumor Necrosis Factor alfa (TNFα). Berbagai macam produk mikroorganisme yang menginduksi APC disebut

dengan Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs). Contoh PAMPs antara lain asam teikoat, peptidoglikan dan lipopolisakarida (LPS). 7 Dalam proses

pengenalan PAMPs oleh APC, PAMPs akan berikatan dengan Pattern Recognition Reseptors (PRRs) yang terdapat pada permukaan APC. Ada berberapa jenis PRR yang sudah diidentifikasi seperti scavenger reseptors dari makrofag, Manan Binding Lectin (MBL) dan Toll-Like Receptors (TLRs). Ada 10 jenis TLRs yang sudah ditemukan namun hanya TLR2, 4, 6 dan 9 yang baru diketahui fungsinya. Masing-masing TLR berikatan dengan produk mikroorganisme yang berbeda-beda. Sebagai contoh, TLR-2 dan TLR-6 berikatan dengan peptidoglikan bakteri gram positif, TLR-4 berikatan dengan LPS bakteri gram negatif dan TLR-5 berikatan dengan flagellin.

Gambar 1.Genetic polymorphisms in sepsis and septic shock. (Chest

2003;124:1103-15) .

Sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh APC memiliki peranan yang sangat penting dalam reaksi awal pada patogenesis syok septik. IL- 1 dan TNFα akan mengaktifkan sel adhesi leukosit pada endotel permukaan dan protease (enzim pospolipase A2). Enzim posfolipase A2 selanjutnya memecah pospolipid dari membran sel mikroorganisme menjadi produk-produk asam arakidonat seperti tromboksan A2, prostaglandin, leukotrin dan Platelet Activating Factor (PAF). Substrat tersebut akan menyebabkan vasodilatasi sistemik, pengaktifan Sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh APC memiliki peranan yang sangat penting dalam reaksi awal pada patogenesis syok septik. IL- 1 dan TNFα akan mengaktifkan sel adhesi leukosit pada endotel permukaan dan protease (enzim pospolipase A2). Enzim posfolipase A2 selanjutnya memecah pospolipid dari membran sel mikroorganisme menjadi produk-produk asam arakidonat seperti tromboksan A2, prostaglandin, leukotrin dan Platelet Activating Factor (PAF). Substrat tersebut akan menyebabkan vasodilatasi sistemik, pengaktifan

Pada umumnya, infeksi yang disebabkan oleh bakteri selain mengaktifkan mediator pro-inflamasi juga menginduksi pelepasan mediator anti-inflamasi seperti interleukin 10 (IL-10) dan IL-1 receptor antagonist. Tetapi pada syok septik, keseimbangan antara produksi mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi terganggu, dimana mediator pro-inflamasi dominan. Hal inilah yang mejadi dasar patofisiologi syok septic.

2.1.1.2 Aktivasi jalur inflamasi dan koagulasi

Komplemen adalah kumpulan protein plasma yang dapat saling mengaktivasi dan memegang peranan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh dan proses inflamasi. Dalam patogenesis syok septik, kaskade komplemen dapat diaktifkan melalui tiga jalur utama yaitu jalur klasik, alternatif dan MBL.

Seperti kita ketahui bahwa pengaktifan kaskade komplemen yang berlebihan dapat berakibat fatal. Efek pengaktifan komplemen yang berperanan pada syok septik antara lain Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), produksi vasoaktif amin dan PAF oleh sel mast dan basofil serta provokasi reaksi syok. Selain ketiga jalur tersebut, kaskade komplemen juga dapat diaktifkan oleh C-Reactive Protein (CRP), substrat yang dihasilkan oleh hati pada reaksi inflamasi akut dan infeksi.

Reaksi inflamasi sistemik yang terjadi juga mengaktifkan faktor jaringan yang terdapat pada permukaan endotel pembuluh darah, trombin, faktor VII dan Reaksi inflamasi sistemik yang terjadi juga mengaktifkan faktor jaringan yang terdapat pada permukaan endotel pembuluh darah, trombin, faktor VII dan

Pengaktifan faktor jaringan bersama-sama dengan disfungsi endotel mengaktivasi Plasminogen Activation Inhibitor (PAI), yaitu substrat penghambat kerja fibrinolitik alami, tissue Plasminogen Activator (tPA). Akibatnya, terjadi gangguan fungsi fibrinolisis yang memperparah gangguan perfusi jaringan.

Seperti halnya efek anti-inflamasi, tubuh juga memiliki mekanisme anti- koagulan alami seperti Tissue Factor Pathway Inhibitor (TFPI), antitrombin III, thrombomodulin (TM) dan mekanisme protein C/S. Hanya saja, semua mekanisme tersebut tidak mampu untuk mengembalikan fungsi fibrinolisis. Begitu sekuens patogenesis syok septik teraktivasi, maka sumbatan fibrin akan terbentuk terutama pada pembuluh darah kecil, mengakibatkan hipoperfusi, hipoksia, kematian jaringan dan gagal fungsi berbagai organ.

2.2 Fisiologi Laktat

Pada individual sehat terdapat siklus berkelanjutan dari metabolisme dan produksi laktat sehingga kadar laktat dalam darah rendah dalam keadaan normal. Kadar laktat tinggi ketika produksi lebih tinggi dari eliminasi, ketika kapasitas eliminasimenurun atau lebih sering keduanya terjadi secara bersamaan. Kadar laktat normal pada individual sehat 1± 0.5 mmol/L(Malmir dkk., 2014)

Glukosa dibentuk dari bagian gliserol lemak dan senyawa glukogenik yang dapat digolongkan ke dalam dua katagori yaitu (1) senyawa yang meliputi Glukosa dibentuk dari bagian gliserol lemak dan senyawa glukogenik yang dapat digolongkan ke dalam dua katagori yaitu (1) senyawa yang meliputi

Pada dalam keadaan hipoksia, maka glikogen akan diubah menjadi glukosa, selanjutnya glukosa akan diubah laktat. Laktat melalui aliran darah masuk ke hati. Di dalam hati, laktat akan diubah kembali menjadi glukosa. Glukosa kembali masuk ke dalam darah yang selanjutnya akan digunakan di dalam otot. Di dalam otot, glukosa diubah kembali menjadi glikogen.Hal tersebut dikenal dengan siklus asam laktat atau siklus Cori (Lubis., 2006 Vernon., 2010).

Gambar 2. Siklus asam laktat atau siklus Cori (Essensial of Exercise Physiology 1994)

Glikogen awal putus menjadi unit-unit glukosa 1-fosfat dan masing- masing unit dibagi menjadi dua fragmen 3-karbon.Produk akhir dari perombakan glukosa adalah asam piruvat.

Energi yang bermanfaat dari glikolisis adalah 3-Adenosine Diphosphate (ADP) dan mengalami fosforilasi kembali untuk menghasilkan 3-Adenosine Triphosphate (ATP), dan 4 ion hidrogen (H+) per molekul glukosa 1-fosfat yang di putus dari glikogen. Pada kondisi anaerobik, ion hidrogen dilepaskan dalam glikolisis, tetapi siklus asam trikarboksilat atau siklus Krebs tidak dapat menggabungkannya dengan oksigen pada kecepatan yang cukup sehingga cenderung berakumulasi dalam otot.Kelebihan ion hidrogen ini, kemudian digunakan untuk mengkonversi asam piruvat menjadi asam laktat. Pada kondisi aerobik, ion-ion tersebut diterima oleh senyawa pembawa H+, nikotinamida adenin dinukleotida bentuk oksidasi (NAD+) dan mentransportasikan H+ ke dalam mitokondria untuk fosforilasi kembali sehingga menghasilkan 4 molekul ATP. Selanjutnya asam piruvat memasuki siklus Krebs dan dirombak menjadi karbondioksida dan ion hidrogen.Karbondioksida kemudian berdifusi memasuki peredaran darah sebagai hasil sisa, sedangkan ion hidrogen diterima oleh NAD+ untuk membentuk senyawa NADH (NAD dalam bentuk reduksi).Produk-produk perombakan dari asam lemak dan protein, juga memasuki siklus Krebs dan dikonversi menjadi energi (Van der Beek, 2001)

2.2.1 Mekanisme produksi dan eliminasi laktat

Asam laktat atau laktat merupakan hasil akhir dari proses metabolisme. Sebanyak kurang lebih 1400 mmol/L asam laktat diproduksi setiap hari.Semua jaringan dapat memproduksi laktat dan asam piruvat dari glukosa. Jalur metabolisme glikolisis merupakan langkah awal metabolisme glukosa dan terjadi pada sitoplasma sel. Produk akhir dari proses ini adalah piruvat, yang selanjutnya berdifusi ke dalam mitokondria dan dimetabolisme menjadi karbondioksida melalui siklus kreb. Metabolismeglukosa menjadi piruvat juga terjadi sebagai akibat reduksi dari kofaktor enzim yang mengoksigenasi bentuk NAD+ menjadi NADH, bentuk tereduksi (Lubis, 2006).

Laktat diproduksi melalui proses glikolisis dan bentuk didalam sitosol yang dikatalisasi oleh enzim lactate dehidrogenase. NADH/NAD+ merupakan kofaktor pertukaran atom hidrogen yang dilepaskan atau yang dipakai.Oleh karena itu, rasio laktat/piruvat selalu sebanding dengan rasio NADH/NAD+ di sitosol.Konsentrasi laktat yang tinggi juga disertai konsentrasi yang tinggi dari piruvat atau NADH disitosol, atau keduanya.Ini merupakan reaksi reversibel yang membantu sintesis laktat dengan rasio normal laktat menjadi piruvat adalah 25:1.Sintesis laktat meningkat bila pembentukan piruvat di sitosol melebihi penggunaannya oleh mitokondria.Ini terjadi bila didapati peningkatan metabolik yang cepat atau bila hantaran oksigen ke mitokondria menurun, seperti pada keadaan hipoksia jaringan.Sintesis laktat juga dapat terjadi bila metabolisme glukosa melebihi kapasitas oksidatif mitokondria(Gunnerson, dkk., 2006).

Laktat berdifusi keluar dari sel dan dikonversi menjadi piruvat dan selanjutnya dimetabolisme secara aerobmenjadi karbondioksida dan ATP. Jantung, hati, dan ginjal menggunakan laktat dengan cara ini. Sebagai alternatif, jaringan hati dan ginjal dapat menggunakan laktat untuk menghasilkan glukosa melalui jalur glukoneogenesis(Lubis, 2006).

Eritrosit berperan dalam membawa hasil glikolisis; meskipun demikian sel ini tidak mempunyai mitokondria dan tidak dapat menggunakan oksigen untuk memproduksi ATP, oleh karena itu sel darah merah menghasilkan asam laktat melalui regenerasi ATP selama glikolisis anaerob tetapi tidak dapat menggunakan asam laktat. Semua jaringan lain dapat menggunakan asam laktat untuk memproduksi acetyl-CoA melalui pyruvate dehidrogenase (PDH)(Romy W, 2012).

Konsentrasi laktat di arteri tergantung pada produksinya dan penggunaannya oleh berbagai organ.Konsentrasi laktat di darah secara normal dipertahankan <2 mmol/L. Laktat diproduksi oleh otot skelet, otak, usus, dan eritrosit.Laktat dimetabolisme oleh hati, ginjal, dan jantung. Bila kadar laktat di darah melebihi 4 mmol/L, otot skelet dapat menjadi satu jaringan pengguna laktat (Lubis, 2006). Konsentrasi laktat dalam darah dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada kondisi istirahat konsentrasi laktat dalam darah 1 mmol/L, meningkat kira-kira 18 mmol/L pada akhir perlombaan pada pelari dengan jarak 400 m, dan meningkat 23 mmol/L pada atlet yang luar biasa. Selanjutnya pada atlet yang berlari dengan waktu 10 detik sampai 10 menit Konsentrasi laktat di arteri tergantung pada produksinya dan penggunaannya oleh berbagai organ.Konsentrasi laktat di darah secara normal dipertahankan <2 mmol/L. Laktat diproduksi oleh otot skelet, otak, usus, dan eritrosit.Laktat dimetabolisme oleh hati, ginjal, dan jantung. Bila kadar laktat di darah melebihi 4 mmol/L, otot skelet dapat menjadi satu jaringan pengguna laktat (Lubis, 2006). Konsentrasi laktat dalam darah dapat dilihat pada Gambar 2.2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada kondisi istirahat konsentrasi laktat dalam darah 1 mmol/L, meningkat kira-kira 18 mmol/L pada akhir perlombaan pada pelari dengan jarak 400 m, dan meningkat 23 mmol/L pada atlet yang luar biasa. Selanjutnya pada atlet yang berlari dengan waktu 10 detik sampai 10 menit

Penurunan transport oksigen di sel menyebabkan lebih banyak ambilan oksigen dari kapiler darah. Cara ini meredistribusi cardiac output ke organ-organ sesuai dengan kemampuan organ tersebut untuk menerima darah kapiler. Pada keadaan dengan penurunan transport oksigen yang berat, terjadi peningkatan kompensasi ambilan oksigen untuk menyokong metabolisme aerob. Oleh karena itu sel harus berkerja secara anaerob untuk menghasilkan ATP, yang mengakibatkan pembentukan laktat dan H+(Lubis, 2006).

Gambar 3.Skematik gambaran produksi laktat (Med Sci Sports Exercise 1986)

2.3 Hiperlaktatemia

Peningkatan laktat dalam darah (hiperlaktatemia) merupakan respon fisiologis tubuh dalam keadaan beraktivitas berat tetapi peningkatan kadar laktat saat istirahat merupakan masalah serius yang ditemukan pada pasien rawat RTI. Peningkatan kadar laktat yang berhubungan dengan penurunan pH darah akan mengarah pada keadaan asidosis laktat. Asidosis laktat didefinisikan sebagai keadaan asidosis metabolik dengan kadar laktat ≥5 mmol/L dan pH arteri <7.35. Hiperlaktatemia terjadi pada pasien dengan kadar laktat >2 mmol/L. Pada pasien kritis asidosis laktat biasanya memiliki angka mortalitas yang tinggi pula, pada konsentrasi >8 mmol/L memprediksi kematian. Studi prospektif baru tentang kadar laktat melaporkan kematian mencapai 83% pada pasien dengan kadar laktat >10 mmol/L. Tetapi pada setiap individu, prognosis sangat tergantung kepada penyakit dasar, dengan asidosis laktat sebagai indikator beratnya keadaan syok, dan responnya terhadap terapi(Andersen dkk., 2013 Nichol dkk., 2011).

Pada tahun 1926, Cohen dan Woods mencoba untuk membagi penyebab peningkatan laktat dihubungkan dengan adanya keadaan hipoksia jaringan pada tipe A dan tipe B. Klasifikasi asidosis laktat dibagi menjadi:

A. Keadaan sekunder yang berhubungan dengan hipoksia jaringan (tipe A):

1. Syok

2. Anemia berat

3. Hipoksemia berat

4. Hipoperfusi regional

5. Keracunan karbon monoksida

B. Keadaan sekunder oleh suatu mekanisme lain (tipe B):

1. Berhubungan dengan penyakit tertentu (tipe B1) Sepsis, gagal hepar, defisiensi tiamin; suatu kofaktor enzim yang berperan

dalam metabolisme laktat; keganasan tertentu, misal: limfoma, kanker paru, kanker payudara, feokromositoma, diabetes.

2. Akibat obat atau racun tertentu (tipe B2) Obat anti diabetik golongan biguanid (fenformin, metformin), biasanya

pada keadaan insufisiensi renal; golongan alkohol (ethanol, methanol), glikol (etilen glikol, propilen glikol), merupakan pelarut obat-obat parenteral ; obat simpatomimetik (epinefrin, terbutalin, ritodrin) ; overdosis asetaminofen dan asam salisilat; antiretrovirus; sorbitol dan silitol; sianida (metabolit natrium nitroprusida) ; isoniazid ; fruktosa.

3. Suatu kelainan kongenital (tipe B3) Penyakit von Gierke (penyakit gangguan penyimpanan glikogen tipe I);

intoleransi fruktosa bawaan; defisiensi karboksilase piruvat; defisiensi 1.6 bifosfat fruktosa; gangguan fosforilasi oksidasi bawaan; defisiensi dehidrogenase piruvat; sindrom Kearns-Sayre; sindrom mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke(MELAS).

Penegakkan diagnosis asidosis laktat secara klinis tidak spesifik. Manifestasi klinis tidak memiliki tanda dan gejala yang khusus, hanya riwayat penyakit dan penemuan fisik saja yang dapat menggambarkan penyebab yang mendasarinya. Pernapasan Kussmaul mungkin tampak bila sudah terjadi asidemia yang bermakna serta tanda-tanda gangguan perfusi seperti hipotensi, oliguria, gangguan sensorium dan akral dingin. Diagnosis laboratorium yang digunakan untuk menegakkan asidosis laktat adalah analisis gas darah atau menghitung anion gap serum serta mengukur langsung kadar laktat (Van der Beek, 2001).

Keadaan lain yang menjelaskan keadaan asidosis metabolik selain produksi laktat yang meningkat pada intraorgan perifer, adalah penurunan ambilan oleh hepar dan penurunan eliminasi oleh ginjal (Lubis, 2006).

2.4Pemantauan Kadar Laktat Pada Pasien Kritis

Hubungan patogenik antar hipoksia global jaringan, morbiditas dan mortalitas khususnya pada pasien sepsis telah lama diketahui. Walaupun mekanismenya komplek, hipoksia global yang disertai sepsis dan syok septik secara independen menyebabkan respon inflamasi sistemik seperti aktivasi endotel, vasodilatasi, pelepasan mediator inflamasi dan modulasi sistem koagulasi, yang keseluruhan dapat menyebabkan disfungsi organ multipel dan kematian (Ellis dkk., 2005 Bateman dkk., 2005). Kadar laktat dapat dijadikan sebagai surrogate marker hipoksia jaringan dan keparahan penyakit, tidak bergantung pada tekanan darah. Peningkatan kadar laktat yang persisten lebih baik dibandingkan variabel transportasi oksigen (hantaran oksigen, konsumsi Hubungan patogenik antar hipoksia global jaringan, morbiditas dan mortalitas khususnya pada pasien sepsis telah lama diketahui. Walaupun mekanismenya komplek, hipoksia global yang disertai sepsis dan syok septik secara independen menyebabkan respon inflamasi sistemik seperti aktivasi endotel, vasodilatasi, pelepasan mediator inflamasi dan modulasi sistem koagulasi, yang keseluruhan dapat menyebabkan disfungsi organ multipel dan kematian (Ellis dkk., 2005 Bateman dkk., 2005). Kadar laktat dapat dijadikan sebagai surrogate marker hipoksia jaringan dan keparahan penyakit, tidak bergantung pada tekanan darah. Peningkatan kadar laktat yang persisten lebih baik dibandingkan variabel transportasi oksigen (hantaran oksigen, konsumsi

2.5Perbedaan kadar PCO2 antara vena dan arteri (PCO2 gap)

Resusitasi pada pasien kritis diarahkan dengan berbagai kombinasi nilai laboratorium standar, alat monitoring invasif dan tanda-tanda klinis, akan tetapi hasil akhir dari resusitasi yang adekuat masih dipertanyakan. Penanda ideal dari resusitasi yang adekuat harus bisa mengambarkan keadaan hipoksia jaringan dan memprediksi mortalitas serta prognosis pasien.

Fungsi utama mikrosirkulasi adalah mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Bertujuan untuk mentransport oksigen dan zat nutrisi ke jaringan dan sel, untuk memastikan fungsi imunologis yang adekuat dan mengirim obat ke sel target. Mekanisme regulasi pengontrolan perfusi mikrosirkulasi dibagi menjadi

miogenic (tekanan dan regangan), metabolik (O +

2 , CO 2 , laktat dan H ) dan neurohumoral. Sistem kontrol ini menggunakan interaksi parakrin dan autokrin dalam meregulasi aliran darah mikrosirkulasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Autoregulasi ini juga mengalami kerusakan berat pada sepsis dan 2 , CO 2 , laktat dan H ) dan neurohumoral. Sistem kontrol ini menggunakan interaksi parakrin dan autokrin dalam meregulasi aliran darah mikrosirkulasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Autoregulasi ini juga mengalami kerusakan berat pada sepsis dan

Dalam pemantauan pasien kritis di RTI parameter hemodinamik global tidak selalu sensitif untuk menilai gangguan perfusi jaringan. Seringkali pasien dianggap stabil (normotensi) tetapi sebenarnya ia dalam keadaan ‘syok’, yang membutuhkan resusitasi adekuat untuk menghindari risiko disfungsi organ yang irreversibel. Trzeciak dan Rivers (2005) menemukan suatu model yang menggambarkan parameter mikrosirkulasi yang dapat digunakan untuk menilai gangguan perfusi jaringan. Terdapat 7 parameter mikrosirkulasi yaitu saturasi mixed vein, pH intramukosa lambung, tekanan parsial CO2sublingual, mediator, defisit basa, perbedaan kadar CO2 arteri-vena dan kadar laktat (Palazzo, 2003).

Secara umum kembalinya nilai normal dari tanda-tanda vital seperti, tekanan darah, jumlah urin, dan laju jantung digunakan sebagai titik akhir dari resusitasi. Tetapi beberapa ahli telah mengemukakan tidak adekuatnya menggunakan tanda-tanda vital ini pada pasien dengan sakit kritis. Penanda yang paling sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi adalah kadar laktat dan PCO2 gap.Pada umumnya diasumsikan tidak adekuatnya hantaran oksigen akan mengakibatkan hipoksia jaringan karena kegagalan sirkulasi sehingga akan Secara umum kembalinya nilai normal dari tanda-tanda vital seperti, tekanan darah, jumlah urin, dan laju jantung digunakan sebagai titik akhir dari resusitasi. Tetapi beberapa ahli telah mengemukakan tidak adekuatnya menggunakan tanda-tanda vital ini pada pasien dengan sakit kritis. Penanda yang paling sering digunakan untuk menilai keberhasilan resusitasi adalah kadar laktat dan PCO2 gap.Pada umumnya diasumsikan tidak adekuatnya hantaran oksigen akan mengakibatkan hipoksia jaringan karena kegagalan sirkulasi sehingga akan

EGDT memfokuskan pada tercapainya target untuk parameter hemodinamik yang global dan pengukuran variabel oksigen (disebut sebagai upstream titik akhir resusitasi) dan juga dalam mencari beberapa perubahan yang disebabkan langsung oleh perfusi jaringan seperti parameter asam basa (defisit basa) dan pH mukosa gaster (pHi), pCO2 sublingual (PslCO2) (disebut sebagai penanda downstream resusitasi yang efektif). Jaringan mikrosirkulasi yang intak merupakan penghubung yang kritikal antara sistem kardiovaskular dan oksigenasi jaringan yang efektif, atau dengan kata lain sebagai jembatan antara parameter upstream dan downstream (lihat gbr 1).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Silva dkk (2011) yang membandingkan hubungan antara PCO2 gap dengan hasil outcome yang buruk, didapatkan nilai PCO2 gap berdasarkan kurva pada ROC pada titik potong 5,0 mmHg antara titik potong PCO2 gap yang sempit dan yang lebar dengan sensitivitas 93,3% dan spesifitas 50,2 %. Dimana didapatkan pasien dengan kadar PCO2 gap ≥5mmHg mempunyai angka mortalitas yang tinggi dan insiden komplikasi yang lebih besar selama periode post operasi terutama syok sirkulasi, gagal ginjal dan infeksi RTI.

Parameter Hemodinamik

Parameter DO2

Titik akhir resusitasi

 Preload (CAVP,

 Afterload (MAP,

 CO

SVR)  Kontraktilitas (SV)

 Denyut jantung  

Penanda “Down stream” resusitasi yang efektif

SEL

DEFISIT BASA

MEDIATOR

(a-v)CO 2

PslCO 2 pHi

Gambar4. Peranan mikrosirkulasi pada Goal-directed therapy (Clinical manifestation of disordered perfusion in severe sepsis 2005)

Suatu sistem penilaian yang baik dapat memperkirakan prognosis pasien yang akurat, dan akan membantu klinisi dalam melakukan triase atau pemilahan pasien dan mengambil keputusan kelanjutan terapi pasien, apakah akan dihentikan terapinya (withdrawing) atau tidak akan ditingkatkan terapinya (withholding) atau terapi akan tetap diteruskan.

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Pada pasien kritis, parameter hemodinamik global seringkali tidak dapat digunakan sebagai acuan. Untuk itu diperlukan suatu petanda untuk menilai gangguan perfusi jaringan. Pada keadaan ini peningkatan kadar laktat dalam darahdiduga dapat dijadikan petanda adanya gangguan perfusi jaringan atau gagal sirkulasi.Hiperlaktasemia diakibatkan oleh peningkatan produksi laktat, gangguan eliminasi dan utilisasi laktat. Hiperlaktasemia merupakan parameter independen yang berhubungan dengan mortalitas di RTI.

Kadar laktat yang tinggi pada awal dan akhir fase syok berhubungan erat dengan mortalitas. Oleh karena itu pengukuran laktat serial lebih bermakna karena; pertama, konsentrasi laktat dalam darah merefleksikan interaksi antara produksi dan eliminasi laktat. Kedua, peningkatan kadar laktat mengindikasikan terdapat mekanisme lain selain hipoksia sel seperti aktivitas up-regulation Na/K- ATP yang distimulasi oleh epinefrin di otot rangka dan inhibisi metabolisme piruvat atau peningkatan produksi laktat.