FENOMENA MARAKNYA ALIRAN SESAT DI INDONE

FENOMENA MARAKNYA ALIRAN SESAT
DI INDONESIA
Oleh : Galih

---------------------------------------------------------------------------

BAB I
Prinsip ke-Tuhanan dan Paham Keyakinan

Sejak sebelum Republik ini diproklamasikan, para pendahulu dan
pejuang bangsa kita telah sadar akan adanya esensi nilai agama sebagai
landasan negara. Hal tersebut mengacu pada kultur budaya masyarakat
Nusantara yang bisa dikatakan religius, walaupun masih terdapat paham
animisme dan dinamisme.

Jika kita cermati, di dalam Pembukaan UUD 1945 ataupun Pancasila
yang meletakkan nilai keagamaan dalam sila pertama, mengandung arti
bahwa nilai spiritual keagamaan merupakan landasan dasar pemahaman
individu terhadap kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah juga telah memberikan alokasi

khusus mengenai kebebasan memeluk agama yang diakui negara, fasilitasi
kegiatan maupun dukungan pembangunan sarana prasarana peribadatan,
tidak hanya untuk agama Islam sebagai mayoritas, tetapi juga untuk agama
lain yang diakui. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kerangka untuk

2
memberikan

kesejahteraan

batin

bagi

masyarakat,

selain

sebagai


pemenuhan hak azazi dari setiap manusia.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan pola pikir masyarakat
serta pengaruh era globalisasi telah merubah peta spiritual yang ada. Pola
pikir masyarakat yang cenderung kritis, paham baru seperti sekulerisme
maupun atheis serta fenomena global yang melunturkan kaidah-kaidah
agama telah menggerogoti pola hidup keagamaan masyarakat, sehingga hal
tersebut memunculkan paham-paham dan pengertian baru. Paham baru
tersebut bukan hanya merupakans uatu bentuk prinsip dan pandangan
baru bagi kaumnya, akan tetapi juga bentuk-bentuk penumpukkan ataupun
pencapuran berbagai paham yang telah ada, sehingga irisan perbedaan
tersebut menimbulkan banyak pertentangan dan silang pendapat yang
berpotensi tindak kekerasan dan unstabilitas daerah.

Pemerintah

sebagai

pelayan


masyarakat

memang

harus

mengaplikasikan harapan dan pemikiran masyarakat, termasuk dalam hal
pemenuhan kebutuhan batin sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Namun perlu ditegaskan, termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945
bahwa bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sehingga manjadikan agama sebagai dasar negara bukanlah hal yang sesuai.
Sebenarnya dengan keseragamaan agama ataupun pengakuan salah agama
sebagai agama nasional menjadikan efek dan potensi konflik karena
perbedaan keyakinan semakin kecil. Akan tetapi dengan lingkungan
Indonesia yang plural, terdiri dari bermacam suku bangsa, adat, budaya,
ras, golongan maupun keyakinan, tentunya homogenitas semacam itu tidak
dapat dijadikan jalan keluar yang bijak. Sehingga tepat jika secara formal,
pemerintah Republik Indonesia sadar adanya keberagaman keyakinan dan
agama-agama tertentu yang diakui negara. Bahkan ditekankan bahwa
masyarakat bebas menentukan agama dan keyakinannya masing-masing

tanpa campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan negara. Dan

3
mereka diberi hak secara bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama
yang dianut (agama-agama yang diakui negara) sesuai ketentuan agamanya.
Interfensi pihak lain dan pemerintah tidak dibenarkan. Namun secara hakiki
pemerintah menginstruksikan bahwa seluruh warga negara Indonesia wajib
memeluk agama dari salah satu agama yang diakui negara tidak ada
terkecuali. Paham atheis tidak diperkenankan ada di bumi Indonesia.

4

BAB II
Kemunculan Paham Baru

Keyakinan merupakan hal yang paling dasar dalam setiap pemikiran
manusia, demikian juga dengan agama. Banyak sekali aliran dan sekte
dalam sebuah ajaran agama. Tidak hanya agama Islam saja, tetapi agama
yang lain juga terdapat hal yang sama. Hal tersebut didasarkan pada
pemikiran setiap insan dalam mempersepsikan pandangan sebuah ajaran

agama berbeda-beda. Lingkungan, faktor pendidikan dan pengalaman
menjadi sifat penentu seseorang dalam memahami suatu ajaran yang bisa
menghasilkan sudut pandang yang berbeda. Apalagi di dalam kehidupan
demokrasi kita mengenal kebebasan berpendapat, yang juga kebebasan
memaknai ajaran agama, dan memeluk agama.

Kebebasan berpendapat tersebut memunculkan berbagai paham baru
yang berkembang. Hal ini merupakan buah dari keanekaragaman yang ada
di Indonesia, konsekuensi sebuah negara yang terdiri dari beragam kultur
dan budaya pasti membuahkan perbedaan empati maupun simpati dalam
menelaah sebuah ajaran. Perang keyakinan telah ada sejak jaman dahulu,
bahkan yang terjadi dalam sebuah syiar agama adalah sebuah fenomena
mempertahankan keyakinan.

Akan tetapi perlu diingat bahwa kebebasan berpendapat harus sesuai
dengan koridor yang ada. Demikian pula halnya dengan kebebasan beropini
dan memeluk suatu agama. Memeluk agama adalah wajib bagi warga negara
Indonesia, sedangkan pemaknaan ajaran agama merupakan sebuah telaah
yang perlu disikapi secara bijak, baik secara prinsip nurani maupun secara
logis terhadap norma hukum dan susila yang ada. Dan yang tidak kalah

penting adalah tidak merusak suatu paham yang sudah diyakini ada, dan

5
tidak menghasut dan merugikan orang, serta mengganggu stabilitas norma
hukum maupun norma kemasyarakatan lainnya.

Kebijakan pemerintah yang secara tegas menolak atheis memang perlu
terus ditegakkan. Disamping itu ketentuan bahwa setiap warga negara wajib
memeluk agama merupakan sesuatu ketentuan yang benar. Hal ini disadari
bahwa keberadaan manusia merupakan kehendak-Nya dan keyakinan yang
melandasi iman dan taqwa seseorang merupakan modal utama yang
berguna bagi pembangunan. Seperti diketahui bahwa ilmu pengetahuan saja
tidak cukup diandalkan untuk melaksanakan pembangunan. Jika hanya
ilmu pengetahuan belaka, maka keterarahan implementasi manusia sangat
diragukan, sisi baik dan buruk akan saling mempengaruhi, tergantung dari
karakter masing-masing individu. Oleh karena itu, iman dan taqwa sangat
dibutuhkan guna mengarahkan sikap dan perbuatan manusia, apalagi
dalam melaksanakan pembangunan dan kegiatan kemasyarakatan yang
mengikat kebutuhan dan kehidupan orang banyak.


Namun, adanya asumsi yang beredar dari regulasi pemerintah yang
menjamin kebebasan masyarakat untuk menganut suatu keyakinan bisa
menimbulkan suatu bias tak terpecahkan. Hal tersebut dapat dimaknai
sebagai kebebasan memilih dan mengungkapkan pendapat masing-masing
individu. Dengan demikian, timbulnya berbagai paham maupun aliran
keyakinan baru tentu saja mendapatkan tempat di hati masyarakat. Lampu
hijau telah dinyalakan pemerintah. Sebagian akan berpendapat bahwa yang
terpenting adalah menganut suatu keyakinan atau agama untuk menjadi
warga negara yang baik. Akan tetapi, bentuk dan prinsip keyakinan yang
ada dan akan dianut belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Bahkan tidak terkecuali bisa menginjak, mengiris, menyinggung dan
melecehkan

paham

lain

yang

kebetulan


bertentangan.

Memang

keberagaman perlu dihormati dan toleransi tetap ditegakkan, akan tetapi
perlu diingat bahwa pencatutan agama dan paham lain bukanlah hal etis.

6

Diterbitkannya SKB antara Departemen Agama, Departemen Dalam
Negeri dan Departemen Hukum dan HAM tentang keberadaan Ahmadiyah
memang banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Hal tersebut
karena pendapat yang berlainan dari masing-masing pihak. Satu pihak
berpendapat bahwa Ahmadiyah melecehkan agama Islam dengan mengambil
nama dan ajaran yang ada didalamnya, kemudian diubah dengan bentuk
baru. Sedangkan pihak lain menghargai pendapat adanya Ahmadiyah
sebagai

implementasi


dari

adanya

kebebasan

memeluk

agama

dan

menganut keyakinan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal
tersebut perlu ditelaah dari berbagai sisi secara naluri dengan melibatkan
hati dan pikiran yang jernih.

Beberapa alasan yang menyebabkan timbulnya isme baru di kalangan
masyarakat, selain karena faktor internal karakter dan keyakinan pribadi,
juga karena pengaruh eksternal sebagai akibat dari (1) kurangnya nilai

spiritual yang mantap dalam sistem kemasyarakatan, (2) kurang intensnya
syiar agama dalam masyarakat, (3) melemahnya nilai toleransi dan interaksi
antar masyarakat, (4) kesalahan tafsir kebebasan demokrasi bahwa bebas
itu bisa apa saja, tetapi tidak memandang suatu ikatan nilai tertentu, (5)
desakan arus global, serta (6) kemungkinan intervensi kepentingan politis
tertentu.
Ajaran Lia Eden, maupun Ahmadiyah, Salamullah, Isa Bugis, Baha’i,
Al Qur’an Suci dan yang baru-baru ini merebak Al Qidayah Al Islamiyah,
yang disebut sebagai paham menyimpang, merupakan suatu fenomena yang
patut diwaspadai. Fatwa MUI yang telah menerbitkan aturan dan garis-garis
besar definisi paham yang menyimpang sebagai salah satu bentuk
kepedulian umat terhadap perpecahan yang mungkin timbul akibat
penyelewengan agama, memang sebuah langkah maju menegaskan kembali
regulasi yang berlaku di masyarakat, walaupun pemerintah sendiri belum

7
secara jelas dan tegas menerbitkan aturan mengenai hal tersebut. Karena
kekurangtegasan dan kurang adanya dasar regulasi yang ada, pemerintah
hanya dapat bertindak dalam koridor hukum, yaitu apabila terjadi
keresahan sosial seperti klaim atas penghinaan dan penyimpangan ajaran

agama yang ada, gangguan ketertiban maupun tindakan kriminal akibat
munculnya paham baru, sedangkan masalah teologi secara khusus adalah
keahlian dari masing-masing organisasi keagamaan.

8

BAB III
Kisi-Kisi Kebijakan

Dalam setiap perbedaan ideologi tentu saja akan menghasilkan suatu
ekses/dampak. Demikian pula halnya suatu pandangan teologi. Berbagai
perbedaan pendapat dapat menimbulkan suatu disintegritas, kekacauan
maupun tindak kriminal. Apalagi jika intervensi pihak asing turut mewarnai
kehidupan spiritual umat dengan tujuan politis tertentu, seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, Ketua Umum IKADI
(Ikatan Da’i Indonesia).
Regulasi yang telah dibentuk pemerintah ternyata masih banyak
belum bisa mengantisipasi dan mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul dari adanya paham-paham baru yang mengganggu paham yang telah
eksis, sehingga menimbulkan pertentangan, bahkan celah-celah yang bisa
menggerogoti eksistensi dan kredibilitas negara sebagai penyelenggara
pelayanan

pemerintah

serta

pembangunan,

terutama

pembangunan

spiritual. Berbagai kajian dan seminar telah diselenggarakan sebagai upaya
menyadarkan pemerintah tentang pentingnya kejelasan dan ketegasan
regulasi. Namun demikian, langkah bijak yang ditempuh pemerintah masih
jauh dari yang diharapkan masyarakat, bahkan kebijakan baru yang
aspiratif terhadap pendapat masyarakat belum terrealisasi.

Efektif atau tidaknya kebijakan pemerintah mengenai kebebasan
masyarakat menganut paham dan kepercayaan sendiri-sendiri tampak dari
banyaknya celah dan koridor yang terdapad dalam sebuah regulasi. Bahkan
kekurangcepatan

pemerintah

dalam menangani tindak penyimpangan

agama belum sepenuhnya menunjukkan efektifnya pengaturan pemerintah
akan agama dan keyakinan. Hal tersebut sebenarnya bukan menjadi suatu

9
masalah besar jikalau pemerintah mampu membentuk suatu persepsi baru
dan keseragaman persepsi mengenai toleransi beragama. Disamping itu,
ketegasan dan kejelasan yang menyebutkan penyimpangan bentuk agama
lain, ataupun pengalihan ajaran dan keyakinan, serta mengatasnamakan
agama tertentu dengan syariat yang berbeda dan menyimpang adalah salah
dan suatu tindakan melanggar hukum yang bisa dijatuhi sanksi. Dengan
upaya tegas tersebut pemerintah sebenarnya bisa mengendalikan maraknya
keyakinan semu dan pembajakan ajaran agama yang ada di masyarakat.
Keyakinan pribadi sesungguhnya hak pribadi yang tabu untuk disebarkan
kepada publik. Dikawatirkan hal tersebut dapat pula mempengaruhi dan
membujuk publik, sehingga menimbulkan kelompok-kelompok baru yang
saling bertentangan.

Secara politik sangat disadari, agama memiliki peran yang besar.
Bahkan sebagian percaturan politik di Indonesia didominasi oleh kalangan
agama. Tokoh agama – tokoh agama banyak yang melimpah kedudukan dan
jabatannya sebagai tokoh politik. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
Indonesia sangat menghargai keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga ceramah maupun saran dan masukan yang dilontarkan tokoh
agama

sangat

berpengaruh

terhadap

opini,

pendapat,

dan

persepsi

masyarakat. Tokoh agama juga merupakan tokoh masyarakat yang memiliki
kekuatan untuk membentuk dan mengubah karakter publik, serta sebagai
pemimpin yang mampu menggerakan massa. Sehingga pengikut para tokoh
agama ini berpeluang menentukan posisi politik sebuah ideologi yang
mengemudikan roda bangsa.

Sebaliknya, setitik kesenjangan yang timbul akibat pembentukan opini
publik yang keliru dapat menimbulkan pertentangan dan pergolakan yang
menambah buruknya kondisi stabilitas daerah. Apalagi prinsip merupakan
hal yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk mempertahankannya.
Kondisi yang demikian tidak kita harapkan bersama, karena selain dapat

10
menjadi wahana untuk mengkotak-kotakkan persatuan bangsa, tetapi juga
melemahkan kondusivitas wilayah.

Semua agama memandang hidup sebagai sebuah anugerah dan tugas
dalam mengisi kehidupan dengan perbuatan mulia yang diyakini sebagai
suatu hal yang wajib dan harus dilakukan. Dalam melaksanakan tugas di
muka

bumi ini, para

pemeluk agama

tentunya

memerlukan

suatu

kelengkapan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan ekonomi, walaupun
ada suatu pandangan bahwa ekonomi yang dipergunakan untuk menjalani
kehidupan hanya berupa cakupan finansial seadanya, tidak lebih dari kata
sederhana. Namun antara keyakinan dan ekonomi tidak ada benang merah
yang

tebal,

paling

tidak

hanya

berupa

tuntunan-tuntunan

dalam

menyelenggarakan roda perekonomian berbasis syariat agama.

Sedangkan di sisi lain, keberadaan pluralitas agama tentunya
memberikan
pelayanan.

konsekuensi
Satu

pintu

bagi
untuk

pemerintah
satu

untuk

agama.

menambah

Masing-masing

loket
agama

mempunyai keyakinan dan kecenderungan aturan yang berbeda-beda,
dengan demikian diperlukan suatu mekanisme yang berbeda pula dalam
melegitimasi dan mengelola informasi, data serta fasilitasi kebutuhan
menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing. Pernikahan, perceraian,
harta

waris, dan

upaya

pendidikan

agama

merupakan

sekian

dari

bermacam-macam sektor yang harus dipenuhi pemerintah untuk semua
agama yang diakui. Disamping itu, akulturasi dari perpaduan ajaran agama
tersebut juga perlu ditegaskan. Pernikahan silang antar pemeluk agama,
ataupun hal lainnya sebagai contoh keadaan yang menuntut adanya fungsi
pelayanan publik yang harus lebih sempurna dari pemerintah. Selain hal
tersebut, upaya administratif untuk mengakui adanya keyakinan dan ajaran
agama baru perlu juga ditegaskan dan dituangkan dalam bentuk regulasi.
Diharapakan keteraturan akan terjaga melalui kejelasan mekanisme dan
akuntabilitas administrasi.

11

Mengakomodir

kompleksitas

permasalahan

tersebut

diatas,

pemerintah hendaknya mampu memberikan suatu sarana advokasi dan
fasilitasi yang melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh agama dari segala
sekte guna menyatukan pendapat, opini dan persepsi mengenai berbagai hal
yang perlu diatur. Kapasitas dan kredibilitas masing-masing pemuka publik
diharapkan membentuk suatu solusi bagi pemenuhan kebutuhan spiritual
masyarakat. Dengan mufakat yang dicapai dari semua kalangan agamawan
yang

ada,

kebijakan

pemerintah

dapat

dibentuk

untuk

memenuhi

kebutuhan masing-masing umat agama, sekaligus juga memberikan jalan
keluar adanya kejadian sebagai akibat dari asimilasi dan akulturasi budaya
agama yang ada.

Fenomena aliran baru bukan sesuatu hal yang gampang dimengerti.
Ini adalah fenomena yang halus, tapi rumit. Makanya, ketika ada protes
menentang aliran baru dan diikuti aksi main hakim sendiri, sangat jelas hal
itu mengisyaratkan bahwa orang Indonesia pada umumnya sangat peduli
pada masalah etis, seperti berbagai masalah yang menjadi topik nasional
yang biasanya berkaitan dengan agama, nilai masyarakat, adat, maupun
harga diri.

Mengingat hal itu, kriteria politik menjadi suatu pandangan yang
penting untuk lebih diperhatikan. Kondisi pluralitas dan kebhinnekaan yang
ada di tubuh NKRI sangat berpotensi menjadi sebuah

chaos yang

merugikan, bahkan mengancam integrasi bangsa. Untuk itu, stabilitas dan
kondusivitas menjadi titik penting tujuan pembangunan spiritual melalui
pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam menganut dan menjalankan
ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.

Untuk itu, nilai-nilai Tri kerukunan Hidup Umat Beragama dan Forum
Kerukunan Umat Beragama menjadi sebuah solusi awal yang penting dan

12
perlu lebih digalakkan. Solidaritas sosial dapat mengikis dampak negatif
munculnya berbagai paham yang menyimpang, yang saling merugikan dan
menimbulkan perpecahan, selain sebagai wahana memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa. Yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita
menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada tersebut secara arif, bukan
sebuah selisih, akan tetapi menghargainya sebagai ruas jalan yang berbeda
dalam menggapai satu impian yang sama.

Agama kita adalah agama terbaik bagi kita, belum tentu bagi yang
lainnya. Masalah pluralitas memang sering menggerus keutuhan negeri ini,
bahkan kadang-kadang berada pada level yang sangat mengerikan. Oleh
karena itu, hendaknya keberagaman itu bukan harus dirayakan, tapi suka
atau tidak suka, itu adalah takdir yang menjadi tanggung jawab bersama
ketika kita berbagi dalam sebuah negara.

Kesampingan perbedaan dan selisih yanga ada, hal lain yang justru
lebih penting adalah memaknai perbedaan sebagai potensi yang mendukung
pembangunan. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui pembuatan
kebijakan-kebijakan

yang

lebih

penting

bagi

pencapaian

tujuan

pembangunan masyarakat yang madani, termasuk dalam segi pemenuhan
kebutuhan spiritual masyarakat dengan dititikberatkan pada :
(1) Meningkatkan fungsi dan peran lembaga keagamaan di bidang sosial dan
kemasyarakatan.

Dalam

hal

ini,

bahwa

selain

kiprah

organisasi

keagamaan di bidang sosial kemasyarakatan seperti kegiatan ekonomi
dan pembangunan, pemerintah juga berharap agar lembaga keagamaan
juga secara berkesinambungan melakukan koreksi, keteladanan, dan
monitoring terhadap berbagai kemajuan spiritual masya-rakat, termasuk
dalam pengawasan terhadap berkembangnya organisasi dan ajaran
keagamaan yang baru. Selain itu juga terbentuknya Forum Kerukunan
Umat Beragama merupakan langkah tepat mewadahi berbagai organisasi

13
keagamaan dalam suatu hubungan interaksi yang harmonis guna
mewujudkan cita - cita bersama, menyejahterakan masyarakat;
(2) Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan formal dan informal
keagamaan, hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh
pendidikan agama, sehingga kedepannya kualitas spiritual masyarakat
bertambah tebal, secara internal lebih sadar akan arti penting agama
dan pengaruh pola – pola yang merusak agama, serta secara ekternal
tidak mudah goyah oleh berbagai pengaruh baru yang muncul.

Mengenai berbagai bentuk paham baru yang telah berkembang dalam
masyarakat, terlepas dari segala bentuk penyebabnya, tentu saja kita tidak
dapat membenarkan apa yang dilakukan oleh penganut aliran yang sedang
naik daun, tetapi menolaknya dalam hal ini bukan berarti mematikan
demokrasi dalam menghargai pendapat orang. Jika hal tersebut hanya
berupa wacana, berarti itu adalah sebuah opini yang harus kita hargai,
karena berbicara tentang kepercayaan adalah sesuatu yang sangat khusyuk
dan Ilahi sehingga keragaman memahami Tuhan memang sangat mungkin
terjadi. Bahkan, bagi banyak orang, memahami kebenaran adalah sebuah
proses pencarian tiada henti, bukan sebuah status quo yang stagnan. Akan
tetapi jika hal tersebut telah berkembang menjadi sebuah organisasi
ataupun kegiatan yang bisa meresahkan masyarakat, menyelewengkan nilainilai susila dan hukum, serta mengatasnamakan agama lain itu adalah
suatu hal yang harus ditindak secara tegas.

Sebagai umat yang baik, hal termanis yang harus dilakukan adalah
membimbing dan meluruskan mereka yang tersesat, bukan menghakimi dan
menghukum, karena hukuman biasanya hanya bisa meluruskan tindakan,
dan kurang membenahi apa yang ada di dalam hati. Membimbing itu butuh
tenaga, otak, dan hati. Tetapi untuk meluruskan zat yang selembut dan
serumit hati, kita memang tidak punya banyak pilihan.

Partisipasi

masyarakat dalam memberikan screening sosial sangat diperlukan, sedang

14
tindak

keresahan

yang

sudah

mengacu

pada

perpecahan

adalah

kewenangan aparat kepolisian untuk menindaklanjuti.

Selain itu, upaya yang paling penting juga adalah diterbitkannya
aturan baku yang jelas dan tegas mengatur tentang agama yang ada di
Indonesia,

mengatur

bagaimana

menghargai,

bertoleransi,

kriteria

akulturasi, pengakuan keyakinan baru, dan pelanggaran norma agama.

15

BAB IV
Sikap positif

Urusan teologi, memang sudah sepantasnya menjadi urusan pihak
organisasi keagamaan seperti Muhammadiyyah, MUI, NU, PHDI, WALUBI,
dsb untuk berkecimpung secara mendalam membina umat dan mengamati
apa yang berkembang di masyarakat. Bersamaan dengan itu, informasi dari
masyarakat dan peran pengawasan pemerintah melalui Kanwil Depag
hendaknya

juga

lebih

diintensifkan.

Hal

demikian

dapat

mencegah

terjadinya pengartian bebas menganut keyakinan dan memeluk serta
memaknai agama, sehubungan dengan meluasnya perkembangan paham
baru yang menyimpang. Untuk itu pengawasan secara terus menerus dan
sikap preventif dalam menyebarluaskan kemaslahatan spiritual, hendaknya
lebih ditingkatkan. Demikian pula dengan bimbingan yang diberikan secara
terus

menerus

serta

monitoring

juga

perlu

diintensifkan,

karena

berdayaguna untuk menjauhkan munculnya paham yang menyimpang dari
pakem.

Selain hal tersebut, Berbagai kegiatan agama yang telah ada lebih
ditingkatkan dan dire-adjustment mengikuti perkembangan paradigma di
masyarakt. Pengelolaan sistem syiar agama yang komunikatif dan dialogis
hendaknya lebih ditekankan, sehingga dapat mengurangi kekurangtahuan
masyarakat dan rasa penasaran masyarakat mengenai ajaran agama.
Karena selama ini banyak syiar agama yang hanya berupa dakwah satu
arah, yang tanpa kita sadari akan memendam sikap kritis dan peran
masyarakat, sehingga tidak diketahui aspirasi dan perkembangan pola pikir
masyarakat secara pasti.

16
Hal kedua yang perlu ditekankan adalah kedekatan tokoh agama
dengan masyarakat. Apalagi didalam perkembangan dunia global yang
membawa banyak pilihan, masyarakat sangat memerlukan suatu rujukan
yang logis dan religius. Selain sebagai pembentuk public opinion, tokoh
agama menduduki peran yang penting dalam hal integrasi bangsa.
Kedekatan tokoh agama dengan masyarakat inilah yang berperan sebagai
tonggak persatuan. Karena kesadaran toleransi dan keuletan religius
berdayaguna sebagai modal bangsa untuk melanjutkan pembangunan dan
mengikis riak-riak disintegritas.

Hubungan

yang

selaras

antara

tokoh

agama

dan

masyarakat

disamping untuk menjembatani aspirasi rakyat untuk sampai kepada
pemerintah, sekaligus juga secara internal menjadi indikator perkembangan
keagamaan yang ada dalam masyarakat.

Dengan harmonisasi interaksi yang erat, penyimpangan ajaran bisa
ditekan, Tri Kerukunan Umat Beragama terpelihara, serta stabilitas wilayah
akan terwujud dengan kondusif. Iklim yang demikian merupakan sarana
utama

melanjutkan

pembangunan

dan

daya

tarik

investasi

yang

kesemuannya dapat menjadi wahana akselerasi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat lahir dan batin. (G/*)

***