INDUSTRIALISASI POLITIK DAN REKAYASA CIT
INDUSTRIALISASI POLITIK DAN REKAYASA CITRA
Salim Alatas
Program Studi Digital Communication, Surya University
Jl. Boulevard Scientia Blok U/7, Summarecon Serpong
e-mail: salim.alatas@surya.ac.id
blog : salimalatas.wordpress.com
Industrialisasi politik merupakan suatu hal yang baru bagi proses politik
dinegeri ini. Khususnya ketika menjelang Pemilihan Umum (pemilu) 2004, berbagai
partai politik dan aktor-aktornya mulai menggelar berbagai langkah, manuver dan
strategi politik dalam rangka meraih kemenangan politik. Hal ini dilakukan untuk
mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang di
tawarkan agar bersedia bergabung dan mendukungnya dalam pemilu. Mereka, para
kontestan pemilu, menyadari bahwa personalisasi politik begitu penting untuk
menjaring suara dalam pemilu, karena saat ini kita sedang melangkah pada sistem
politik yang dianggap lebih modern, berkualitas dan rasional.
Indikasi dari industrialisasi politik ini adalah dengan pemanfaatan konsultan
kampanye (electioneer) profesional untuk mengemas atau merekayasa citra. Para
electioneer i i tidak ha ya direkrut dari dala
egeri, ba yak partai politik ge uk
yang menggunakan konsultan dari mancanegara. Kita tidak bisa menafikan bahwa
Model kampanye seperti inilah yang kini sedang dikembangkan di Indonesia di masa
reformasi. Yaitu sebuah model kampanye yang lebih menekankan pada citra dan
simulasi ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih
penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai. Menurut Dedy Nur
Hidayat, ketua program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia, dalam
Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu (2004), kelompok electioneer profesional
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 1
inilah yang sebenarnya berperan sebagai elit kekuasaan baru dalam proses
mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di tanah air.
Apa yang dikahawatirkan dari maraknya industrialisasi politik ini adalah
munculnya hiper-realitas dalam politik, yang merujuk pada realitas artifisial yang telah
terdistorsi. Istilah hiper-realitas pertama kali digunakan oleh Jean Baudrillard, seorang
sosiolog Prancis, dalam bukunya In the Shadow of the Silent Majorities (1983), untuk
menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Yasraf Amir Pilliang, dalam bukunya Transpolitika (2005), menyebut hiperrealitas sebagai penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia
nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua (second hand
reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri. Hiper-realitas, menurut Pilliang,
tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial, yaitu
realitas yang diciptakan lewat tekhnologi simulasi, sehingga, pada tingkat tertentu, ia
tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Political marketing – setidaknya dalam konteks transisi demokrasi – seringkali
dimaknai sebagai rekayasa citra. Hal ini pada akhirnya menimbulkan aspek-aspek yang
berdampak pada rekayasa citra yang dilakukan para aktor politik untuk mengemas
politisi busuk . De ga political marketing, para politisi busuk bisa dipasarka dala
kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan
asa ki i. De ga
bantuan
kata lai , seora g politisi ya g dikategorika
electioneer
profesional,
dapat
menyembunyikan
busuk , de ga
kebenaran
yang
sesungguhnya.
Sebaliknya, mereka merekayasa citra diri dengan menampilkan pesona yang
menghanyutkan, yang dapat menggerakkan
massa untuk dengan
sukarela
mengangkatnya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara.
“ehi gga kita tidak bisa lagi
e bedaka
a tara politisi busuk ya g telah
menggerogoti keuangan negara untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya, dan
pahlawan yang telah mengorbankan dirinya dan kelompoknya untuk bangsa dan
negara.
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 2
Sebagaimana yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa (incumbent).
Menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para pejabat pemerintah
berlomba memasarkan keberhasila
ereka
elalui ikla , baik di media cetak
ataupun elektronik. Seolah mereka ingin merekayasa citra diri (atau simulasi) sebagai
pejabat publik yang telah berhasil memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Meskipun, lagi-lagi, dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.
Dengan melihat fenomena tersebut, setidaknya ada empat dampak negatif
ya g disebabka
oleh
i dustrialisasi politik
bagi perke ba ga
de okrasi di
Indonesia. Pertama, industrialisasi politik telah mereduksi makna demokrasi dengan
kepalsua , da i i
e buka pelua g aktor-aktor politik yang hanya menjadikan
lembaga politik sebagai tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan
kepentingan pribadi atau kelompok. Kedua, dalam industrialisasi politik, para
kontestan cederung lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas,
dimana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada platform dan
isu yang diperjuangkan partai. Karena dengan bantuan electioneer profesional, mereka
dapat dengan mudah merekayasa citra agar citra para kontestan melekat kuat dalam
memori dan imaji serta alam bawah sadar (subsconscious) para calon pemilih. Ketiga,
melemahkan kesadaran politik masyarakat. Terutama dalam konteks masyarakat yang
sedang mengembangkan demokrasi, ketika masyarakat harus belajar bagaimana
memilih para pemimpin secara bertanggung jawab. Keempat, penggunaan political
marketing dalam proses demokrasi hanya akan menjadikan pemilihan umum sebagai
sebuah transaksi u tu g-rugi ya g
e jadika keu tu ga sebagai orie tasi uta a
kekuasaan (profit oriented). Terlebih ketika keu tu ga
ya g diperoleh
elalui ua g
rakyat.
Inilah
yang
harusnya
menjadi
pemikiran
kita
semua,
bagaimana
mengembalikan arah transisi demokrasi pada posisi semula. Yaitu menjadikan
demokrasi sebagai alat – bukan tujuan – untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
*Artikel, dimuat dalam Harian Lampung Post, 02 Maret 2010
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 3
Salim Alatas
Program Studi Digital Communication, Surya University
Jl. Boulevard Scientia Blok U/7, Summarecon Serpong
e-mail: salim.alatas@surya.ac.id
blog : salimalatas.wordpress.com
Industrialisasi politik merupakan suatu hal yang baru bagi proses politik
dinegeri ini. Khususnya ketika menjelang Pemilihan Umum (pemilu) 2004, berbagai
partai politik dan aktor-aktornya mulai menggelar berbagai langkah, manuver dan
strategi politik dalam rangka meraih kemenangan politik. Hal ini dilakukan untuk
mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang di
tawarkan agar bersedia bergabung dan mendukungnya dalam pemilu. Mereka, para
kontestan pemilu, menyadari bahwa personalisasi politik begitu penting untuk
menjaring suara dalam pemilu, karena saat ini kita sedang melangkah pada sistem
politik yang dianggap lebih modern, berkualitas dan rasional.
Indikasi dari industrialisasi politik ini adalah dengan pemanfaatan konsultan
kampanye (electioneer) profesional untuk mengemas atau merekayasa citra. Para
electioneer i i tidak ha ya direkrut dari dala
egeri, ba yak partai politik ge uk
yang menggunakan konsultan dari mancanegara. Kita tidak bisa menafikan bahwa
Model kampanye seperti inilah yang kini sedang dikembangkan di Indonesia di masa
reformasi. Yaitu sebuah model kampanye yang lebih menekankan pada citra dan
simulasi ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih
penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai. Menurut Dedy Nur
Hidayat, ketua program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia, dalam
Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu (2004), kelompok electioneer profesional
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 1
inilah yang sebenarnya berperan sebagai elit kekuasaan baru dalam proses
mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di tanah air.
Apa yang dikahawatirkan dari maraknya industrialisasi politik ini adalah
munculnya hiper-realitas dalam politik, yang merujuk pada realitas artifisial yang telah
terdistorsi. Istilah hiper-realitas pertama kali digunakan oleh Jean Baudrillard, seorang
sosiolog Prancis, dalam bukunya In the Shadow of the Silent Majorities (1983), untuk
menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Yasraf Amir Pilliang, dalam bukunya Transpolitika (2005), menyebut hiperrealitas sebagai penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia
nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua (second hand
reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri. Hiper-realitas, menurut Pilliang,
tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial, yaitu
realitas yang diciptakan lewat tekhnologi simulasi, sehingga, pada tingkat tertentu, ia
tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Political marketing – setidaknya dalam konteks transisi demokrasi – seringkali
dimaknai sebagai rekayasa citra. Hal ini pada akhirnya menimbulkan aspek-aspek yang
berdampak pada rekayasa citra yang dilakukan para aktor politik untuk mengemas
politisi busuk . De ga political marketing, para politisi busuk bisa dipasarka dala
kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan
asa ki i. De ga
bantuan
kata lai , seora g politisi ya g dikategorika
electioneer
profesional,
dapat
menyembunyikan
busuk , de ga
kebenaran
yang
sesungguhnya.
Sebaliknya, mereka merekayasa citra diri dengan menampilkan pesona yang
menghanyutkan, yang dapat menggerakkan
massa untuk dengan
sukarela
mengangkatnya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara.
“ehi gga kita tidak bisa lagi
e bedaka
a tara politisi busuk ya g telah
menggerogoti keuangan negara untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya, dan
pahlawan yang telah mengorbankan dirinya dan kelompoknya untuk bangsa dan
negara.
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 2
Sebagaimana yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa (incumbent).
Menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para pejabat pemerintah
berlomba memasarkan keberhasila
ereka
elalui ikla , baik di media cetak
ataupun elektronik. Seolah mereka ingin merekayasa citra diri (atau simulasi) sebagai
pejabat publik yang telah berhasil memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Meskipun, lagi-lagi, dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.
Dengan melihat fenomena tersebut, setidaknya ada empat dampak negatif
ya g disebabka
oleh
i dustrialisasi politik
bagi perke ba ga
de okrasi di
Indonesia. Pertama, industrialisasi politik telah mereduksi makna demokrasi dengan
kepalsua , da i i
e buka pelua g aktor-aktor politik yang hanya menjadikan
lembaga politik sebagai tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan
kepentingan pribadi atau kelompok. Kedua, dalam industrialisasi politik, para
kontestan cederung lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas,
dimana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada platform dan
isu yang diperjuangkan partai. Karena dengan bantuan electioneer profesional, mereka
dapat dengan mudah merekayasa citra agar citra para kontestan melekat kuat dalam
memori dan imaji serta alam bawah sadar (subsconscious) para calon pemilih. Ketiga,
melemahkan kesadaran politik masyarakat. Terutama dalam konteks masyarakat yang
sedang mengembangkan demokrasi, ketika masyarakat harus belajar bagaimana
memilih para pemimpin secara bertanggung jawab. Keempat, penggunaan political
marketing dalam proses demokrasi hanya akan menjadikan pemilihan umum sebagai
sebuah transaksi u tu g-rugi ya g
e jadika keu tu ga sebagai orie tasi uta a
kekuasaan (profit oriented). Terlebih ketika keu tu ga
ya g diperoleh
elalui ua g
rakyat.
Inilah
yang
harusnya
menjadi
pemikiran
kita
semua,
bagaimana
mengembalikan arah transisi demokrasi pada posisi semula. Yaitu menjadikan
demokrasi sebagai alat – bukan tujuan – untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
*Artikel, dimuat dalam Harian Lampung Post, 02 Maret 2010
Salim Alatas – Industrialisasi Politik dan Rekayasa Citra
Page 3