IDENTIFIKASI DAN PROGRAM PENGENDALIAN To

IDENTIFIKASI DAN PROGRAM PENGENDALIAN Toxocara vitulorum
PADA TERNAK RUMINANSIA BESAR

Oleh :
Kelompok E1 PPDH 2013/2014
Haddi Wisnu Yudha, SKH
Voni Indah Dwi Susanty, SKH

B94134222
B94134256

Di Bawah Bimbingan :
Dr.Drh. Elok Budi Retnani, MS

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG
Parasit merupakan organisme yang hidupnya tergantung pada organisme
lain (inang), sehingga dapat menimbulkan kerugian pada inangnya. Hubungan
antara parasit dan inangnya disebut parasitisme. Parasitisme dicirikan dengan
ketergantungan fisiologis parasit terhadap inangnya, inang yang terinfeksi berat
akan mati oleh parasit, potensi reproduksi parasit lebih tinggi dibandingkan
dengan inang serta penyebarannya yang sangat besar di dalam tubuh inang.
Parasit dapat hidup di luar tubuh inang (ektoparasit) maupun di dalam tubuh inang
(endoparasit).
Jenis endoparasit yang telah dipelajari, yaitu protozoa dan cacing. Cacing
yang bersifat parasitik dibagi ke dalam dua filum yaitu platyhelminthes (cacing
pipih) dan nemathelminthes (cacing gilik). Ciri-ciri platyhelminthes, yaitu badan
pipih dorsoventral, tidak ada rongga tubuh, bersifat hermaprodit dan sistem
respirasinya berlangsung secara difusi. Filum ini terdiri dari tiga kelas yaitu
Turbellaria, Trematoda dan Cestoda. Ciri-ciri nemathelminthes yaitu badan bulat
memanjang dan kedua ujungnya meruncing, tubuhnya diselubungi oleh lapisan
kutikula, memiliki rongga tubuh palsu, serta dapat dibedakan antara cacing jantan
dan betina.
Salah satu jenis cacing nemathelminthes yaitu Toxocara vitulorum. T.

vitulorum merupakan parasit cacing yang hidup di saluran pencernaan hewan
ruminansia besar seperti sapi dan kerbau. T. vitulorum banyak ditemukan di
daerah tropis maupun subtropis. Cacing ini menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi khususnya pada hewan muda. Kerugian yang
diakibatkan oleh parasit diantaranya penurunan produksi dan berat badan, bersifat
zoonosis bahkan dapat menimbulkan kematian. Pengendalian terhadap T.
vitulorum penting dilakukan untuk menekan tingkat kejadian penyakit akibat T.
vitulorum.

TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mempelajari dan
mengidentifikasi siklus hidup T. vitulorum sehingga dapat dilakukan pengendalian
untuk menekan tingkat kejadian penyakit.

2

PEMBAHASAN

MORFOLOGI
Toxocara vitulorum merupakan salah satu cacing nematoda terbesar yang

memiliki distribusi luas di seluruh dunia, namun keberadaannya paling sering
dijumpai pada negara tropis dan subtropis. Prevalensinya sangat tinggi di daerah
tropis. Hal tersebut sering menyebabkan masalah pada sapi (Bos spp.) dan kerbau
(Babalus spp.) di Asia Tenggara dan Afrika (FAO 1999). Toxocara vitulorum
memiliki permukaan tubuh yang lunak dan tembus pandang. Cacing betina
memiliki panjang 150-400 mm dengan lebar 51-70 mm. Cacing jantan memiliki
ukuran yang lebih kecil, yaitu memiliki panjang 106-275 mm dan lebar 25-41
mm. Cacing dewasa memiliki 3 bibir yang berfungsi dengan baik yan terdapat
pada bagian dorsal dan subventral. Masing-masing bibir dilengkapi dengan
beberapa papilla besar dan kecil (Buzetti 2006).
Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah
Phylum
:
Nemathelminthes
Class
:
Nematoda
Subclass
:
Secernentea

Ordo
:
Ascaridida
Family
:
Ascarididae
Genus
:
Toxocara
Species
:
Toxocara vitulorum

Gambar 1. Morfologi cacing jantan dan betina Toxora vitulorum

Toxocariasis yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum pada induk jantan
lebih sering terjadi daripada induk betina karena pada induk betina yang
terinfeksi, larva kedua (L2) tidak berkembang menjadi L3 tetapi akan mengalami
dormansi dan tetap tinggal di dalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang pada
saat induk betina bunting, dan pada masa menjelang kelahiran akan terjadi

transplacental infection atau transmamary infection. Selain itu, cacing tersebut
juga menyerang ruminansia pada segala umur, namun sapi atau kerbau umur
muda lebih rentan dari sapi atau kerbau dewasa. Stadium dewasa cacing T.

3

vitulorum banyak dijumpai pada anak sapi atau kerbau (pedet) (Estuningsih
2005).
Telur cacing Toxocara vitulorum memiliki warna kekuning-kuningan.
Bentuknya agak bulat dan memiliki dinding yang tebal. Dinding tersebut sebagai
pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai
termakan oleh inang. Telur tersebut dapat ditemukan setelah melakukan
pemeriksaan tinja (Rahman dan Ashmawy 2013).

Gambar 2. Telur Toxocara vitulorum

SIKLUS HIDUP
Toxocara vitulorum biasanya lebih sering ditemukan pada kandangkandang sudah tercemar oleh parasit tersebut. Peternakan ruminansia yang sudah
tercemar biasanya tidak segera dapat dibebaskan karena sulitnya memutus mata
rantai daur hidup cacing tersebut. Hal ini disebabkan karena tebalnya dinding telur

cacing Toxocara vitulorum. Daur hidup T. vitulorum salah satunya dapat melalui
kolostrum. Cacing dewasa hidup di bagian depan usus halus dan sanggup
membebaskan telur dalam jumlah banyak. Seekor cacing betina mampu bertelur
sebanyak 200.000 telur/hari. Telur dibebaskan bersama tinja dan sangat tahan
terhadap udara dingin, panas dan kekeringan.
Telur Toxocara vitularum mampu bertahan hidup di alam selama 5 tahun.
Di tempat yang lembab dan hangat telur mengalami embrionase hingga terbentuk
larva stadium kesatu, kedua dan ketiga. Stadium terakhir tersebut yang dicapai
dalam beberapa minggu bersifat infektif dan dapat menyebabkan hospes lain
tertular. Larva jarang menetas di luar telur dan yang paling umum adalah
penetasan setelah telur infektif tertelan bersama makanan atau air minum. Setelah
telur menetas di dalam usus halus, larva yang bebas bermigrasi dengan jalan
menembus dinding usus, yang selanjutnya mencapai vena porta hepatitis, hati, dan
dengan mengikuti aliran darah sampai di bronchus, paru-paru, tenggorokan dan
kemudian pindah ke pharynx. Selain itu, larva cacing juga akan bermigrasi ke
kelenjar susu. Dengan ikut makanan, air minum atau saliva akan sampai di usus
halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan oleh larva
dalam mencapai hati biasanya lebih kurang 24 jam sejak telur infektif tertelan, dan

4


untuk mencapai usus diperlukan waktu 3-4 minggu. Untuk menjadi dewasa
sampai bertelur dibutuhkan waktu lebih kurang 5 minggu. Jadi, bila dihitung sejak
infestasi pertama sampai mampu bertelur diperlukan waktu lebih kurang 8-9
minggu. Pedet memperoleh larva T. vitulorum induknya melalui kolostrum,
hingga pada umur 10 hari telah mengandung cacing dewasa, sedangkan telur
cacing dapat ditemukan pada umur 2-3 minggu. Waktu pedet umur 5 bulan cacing
dewasa mungkin dikeluarkan secara spontan (Subronto, 2004). Beberapa hasil
penelitian dari Buzetti et al. (2001), telur T. vitulorum sudah tidak ditemukan Lagi
di di dalam feses kerbau antara hari ke 30-120 setelah infeksi yang bertepatan
dengan turunnya level antibodi dalam serum dan diduga pada saat itu cacing
dewasa te!ah keluar dari usus.

Diagram 1. Siklus hidup Toxocara vitulorum

Larva T. vitulorum akan ditemukan di dalam air susu antara 2-18 hari
setelah sapi melahirkan dan 90% akan ditemukan pada hari ke-11 setelah
kelahiran. Pada kerbau, larva T. vitulorum ditemukan dalam kolostrum 1-5 hari
setelah kelahiran dan 99% larva tersebut berada dalam kolostrum selama 8 hari
Namun, pada hari ke-11 sudah tidak ditemukan lagi di dalam susu.


CARA PENULARAN
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain
memakan telur dan tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus serta
lewat kolustrum pada waktu menyusu (intramamaria) dengan induknya
(Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

5

INANG RENTAN DAN INANG DEFENITIF
Toxocara vitulorum sering menyerang sapi dan kerbau, terutama pedet
yang baru lahir. Selain itu, cacing tersebut lebih sering menyerang induk jantan
sapi atau kerbau. Sapi dan kerbau merupakan inang defenitif dari Toxocara
vitulorum. Sapi dan kerbau disebut sebagai inang defenitif karena siklus hidup
cacing saat dewasa ada di tubuh hewan tersebut dan menjadi vektor utama dalam
penyebaran penyakit toxocariasis.
Adapun inang rentan dari Toxocara vitulorum adalah manusia.
Toxocariasis pada manusia, berdasarkan gejala klinisnya dapat diklasifikasikan
menjadi visceral toxocariasis dan ocular toxocariasis. Hal ini disebabkan karena
adanya migrasi larva dalam perut dan migrasi larva pada mata. Disamping itu,

larva dapat mencapai otak dan dapat menimbulkan gangguan yang sangat berat
pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Kebutaan kemungkinan bisa juga
terjadi pada manusia apabila tidak cepat ditangani. Inang rentan adalah inang
tempat berkembang dan bermigrasinya larva pada tubuh inang, tanpa disertai
dengan perkembangan larva menjadi cacing dewasa (Agustina et al. 2013). Anakanak memiliki potensi yang lebih besar untuk terinfeksi Toxocara karena
kebiasaan bermain mereka dan kecenderungan untuk memasukkan tangan ke
dalam mulut, terutama anak-anak yang memiliki sifat geophagia (Tolan 2007).
Selain itu, meminum susu mentah tanpa proses pemasakan juga akan
mempercepat penularan cacing Toxocara vitulorum.

GEJALA KLINIS
Pneumonia akan terlihat pada pedet yang terinfeksi Toxocara vitulorum
karena adanya migrasi larva ke paru-paru. Selain itu, pada pedet juga akan terjadi
diare dan kekurusan akibat turunnya berat badan dan tidak mau makan.
Estuningsih (2005) melaporkan bahwa migrasi larva T. vitulorum pada anak sapi
bisa menyebabkan kerusakan pada hati dan paru-paru. Selanjutnya, keberadaan
cacing dewasa pada usus kecil akan menyebabkan diare dan turunnya berat badan,
serta dalam keadaan infeksi berat akan terjadi kematian sekitar 35-40%. Anak sapi
yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan. Infeksi Toxocara pada
pedet digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu, infeksi ringan dengan 5.000 epg,

infeksi sedang 5.000-10.000 epg, dan infeksi berat lebih dari 10.000 epg. Jika
kejadian toxocariasis di lapangan tidak tekontrol dengan baik maka prevalensi
penyakit ini bisa mencapai 100% dengan mortalitasnya mencapai 80%. Dari
beberapa literatur disebutkan bahwa infeksi toxocariasis pada anak kerbau lebih
berat daripada anak sapi, akan tetapi keberadaan penyakitnya tidak jelas dan
tingkat kematiannya paling banyak terjadi pada anak sapi.

DIAGNOSIS
Infeksi paten T. vitulorum pada anak sapi dan kerbau dapat didiagnosa
secara tentatif mulai dari tanda-tanda klinis yang terlihat dan umur dari hewanhewan tersebut. Konfirmasi diagnosis harus dikuatkan dengan sejarah penyakit,

6

adanya pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara dalam feses . Telur
Toxocara berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya berbintik-bintik
dan dinding luarnya sangat tebal. Pemeriksaan feses dengan uji apung merupakan
salah satu metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing. Dengan uji apung
tersebut, telur cacing akan mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat
dihitung di dalam kotak hitung. Uji apung untuk pemeriksaan telur Toxocara
spesifitasnya adalah 51%, sedangkan sensitivitasnya 100%. Pemeriksaan dengan

uji apung tersebut hanya bisa digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi paten,
sedangkan untuk mendiagnosa adanya infeksi prepaten bisa dilakukan dengan uji
serologi. Uji serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
untuk deteksi antibodi T. vitulorum pada kerbau atau sapi dengan menggunakan
antigen Excretory/Secretory (ES) dari larva yang infektif telah dikembangkan oleh
Buzetti et al. (2001). Uji serologi juga telah diterapkan untuk melakukan
penelitian seroepidemiologi toxocariasis pada manusia (Sadjjadi et al. 2000).

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Toxocara vitulorum menyebabkan kematian yang tinggi pada hewan muda
dibandingkan pada hewan dewasa dan bersifat zoonosis. Oleh karena itu,
pencegahan dan pengendalian terhadap T. vitulorum perlu dilakukan untuk
menekan pertumbuhan dan infeksi cacing tersebut. Pencegahan terhadap T.
vitulorum dapat dilakukan dengan atau tanpa bahan-bahan kimiawi.
Tingkat kematian akibat infeksi T. Vitulorum lebih tinggi pada hewan muda
dibandingkan hewan dewasa. Infeksi pada hewan muda dapat terjadi pada saat
baru lahir melalui induknya, oleh karena itu pencegahan yang paling efektif yaitu
mencegah infeksi pada induknya. Telur T. Vitulorum dikeluarkan oleh hewan
muda saat di padang rumput kemudian mengkontaminasi padang rumput yang
menyebabkan resiko tinggi terhadap infeksi T. vitulorum. Pencegahan yang
dilakukan yaitu membuang manur sehingga dapat mengurangi kontaminasi
terhadap telur T. vitulorum. Jika hewan tidak dapat dijauhkan dari padang rumput
yang terkontaminasi, maka harus dilakukan pencegahan terhadap hewan tersebut
dengan pemberian anthelmentik serta desinfeksi kandang (Junquera 2014).
Pengendalian yang disarankan untuk menekan tingkat kejadian penyakit
akibat T. vitulorum diantaranya manajemen penggembalaan dan kesehatan hewan
yang baik. Manajemen penggembalaan yang baik pada hewan ternak dapat
menekan tingkat pertumbuhan T. vitulorum. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu
mengistirahatkan padang rumput selama beberapa bulan. Hal ini dilakukan agar
larva T. vitulorum menjadi inaktif karena larva T. vitulorum rentan terhadap sinar
matahari dan lingkungan yang kering. Rotasi penggembalaan juga dapat menekan
jumlah T. vitulorum. Rotasi penggembalaan dilakukan dengan membagi jumlah
ternak ke dalam beberapa petak padang rumput kemudian digembalakan secara
bergiliran pada setiap area dengan memperpendek waktu penggembalaan dan
memperpanjang waktu istirahat (Junquera 2014).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terinfeksi T.
vitulorumyaitu menghindari kepadatan ternak yang berlebihan di padang rumput,
mengganti tempat istirahat di malam hari secara periodik, rotasi penggembalaan,
dan menghindari ternak dari lingkungan yang terlalu lembab. Adapun kontrol

7

biologis terhadap cacing gilik lainnya yaitu Duddingtonia flagrans. D.flagrans
merupakan cendawan alami yang berada di tanah dan sangat berguna untuk
ternak. Spora D. flagrans diberikan pada ternak dalam bentuk pakan namun
sporanya tidak dicerna dan tidak mati saluran di saluran cerna hewan ternak.
Spora D. flagrans resisten terhadap asam lambung dan enzim-enzim pencernaan
kemudian keluar melalu feses. Spora yang berada di dalam usus ternak akan
tumbuh pada feses akan menghasilkan miselium sehingga larva cacing terjerat di
dalamnya dan termakan oleh jamur tersebut (Terry 2013).
Pencegahan dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik.
Anthelmentik berspektrum luas efektif terhadap cacing dewasa dan larva di
saluran pencernaan seperti benzimidazole (albendazole, febantel, fenbendazole,
oxfendazole dll), levamisole dan beberapa golongan makrosiklik lakton
(abamectin, doramectin, eprinomectin, ivermectin, moxidectin). Tidak semua
anthelmentik efektif terhadap larvae migrans dan larva yang menetap pada
jaringan. Sejauh ini, T. vitulorum resisten terhadap anthelmentik yang umum
seperti benzimidazole, makrosiklik lakton, levamisole dan tetrahydropyrimidine.
Satrija et al. (2011) melaporkan bahwa piperazine dapat mengurangi ekskresi
telur T. vitulorum sebanyak 93% dalam waktu 7 hari setelah pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina KK, Dharmayudha AAGO,dan Wirata IW. 2013. Prevalensi Toxocara
vitulorum pada Induk dan Anak Sapi Bali di Wilayah Bali Timur. Buletin
Veteriner Udayana. 5(1): 1-6.
Buzetti WA, Machado RZ and Zocollerseno MC. 2001. An enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) for Detection of Antibodies Against
Toxocara vitulorum in Water Buffaloes . Vet . Parasitol . 97 : 55-64.
Buzetti WA. 2006. Toxocara vitulorum in Livestock. Vet . Parasitol. 260-272.
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya pada Manusia.
WARTAZOA. 15(3): 136-142.
FAO, 1999. Management of vertisols in Sub-Saharan Africa - Proceedings of a
Conference
[internet]
http://www.fao.org/wairdocs/ILRI/x5492E/x5492e04.htm#2.3.1%20introdu
ction [Diunduh pada 2014 Oktober 8]
Junquera P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle : Biology,
prevention
and
control.
Neoascaris
vitulorum.
[internet]
http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=2
638&Itemid=2916. [Diunduh pada 2014 Oktober 8].
Kania
U.
2012.
Nematoda
Usus
[internet]
http://ulfahkania.wordpress.com/2012/12/26/nematoda-usus/ [Diunduh pada
2014 Oktober 8].
Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh
Prof. Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Rahman MAM dan Ashmawy WRE. 2013. Toxocara vitulorum in Faeces, Serum,
and Milk of Buffaloes in Giza Governorate. IJLR. 3(2): 89-99.

8

Sadjjadi SM, Khosravi M, Mehrabani D and Orya A. 2000. Seroprevalence of
Toxocara Infection in School Children in Shiraz, Southern Iran . J . Trop.
Pediatr. 46(6) : 327-30.
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2011. Efficacy of Piperazine
Dihydrochllorideagainst Toxocara vitulorum in Buffalo Calves. Jurnal
Veteriner. 12(2): 77 – 82.
Terry JA. 2013. The Use Of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal Parasitic
Nematode Control In Feces Of Exotic Artiodactylids At Disney’s Animal
Kingdom®. [Thesis]. Lousiana (US): Louisana State University.

9