Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA dengan Menggunakan Model Cooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT) Siswa Kelas 5 SDN Ngablak 02 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Semester

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

  Teori yang dikaji dalam penelitian ini diantaranya yaitu, pembelajaran ilmu pengetahuan alam, model Cooperative learning tipe Numbered Head Together dan hasil belajar, dimana tiap-tiap teori dikaji secara lebih terperinci didalam pembahasan sebagai berikut.

2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

  IPA atau dalam bahasa Inggrisnya Science berasal dari bahasa latin Scientia yang berarti pengetahuan. Carin (dalam Suasta, 2009) menyatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, yang didalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. IPA tidak bisa semata-mata dengan menggunakan ceramah karena dalam pembelajaran IPA terjadi by doing science (Susanto, 2002). Artinya dalam pembelajaran IPA siswa belajar bukan sebagai pendengar tetapi aktif sejak dini dalam situasi nyata. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar diharapkan mampu memberi berbagai pengalaman pada siswa dengan cara melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan, (Agus. S. Khalimah, 2010). Sehingga pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembanagan lebih lanjut dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

  Pendekatan pembelajaran terpadu mata pelajaran Ilmu pengetahuan Alam (IPA) sering disebut dengan pendekatan interdisipline. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya suatu model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual, maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsi-prinsip secara holistic dan autentik (Depdikbud, 1996:3). Salah satu diantaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari.

  Makna terpadu dalam pembelajaran IPA adalah adanya keterkaitan antara berbagai aspek materi yang tertuang dalam Kompetensi Dasar IPA sehingga melahirkan satu atau beberapa tema pembelajaran. Pembelajaran terpadu juga dapat dikatakan pembelajaran yang memadukan materi beberappa mata pelajaran atau kajian ilmu dalam satu tema. Keterpaduan dalam pembelajaran IPA dimaksudkan agar pembelajaran IPA lebih bermakna, efektif, dan efisien.

  Pembelajaran IPA berorientasi pada kemampuan aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggungjawab terhadap lingkungan sosial dan alam. IPA juga ditunjukkan untuk pengenalan lingkungan biologi dan alam sekitarnya, serta pengenalan berbagai keunggulan wilayah nusantara.

  Menurut kurikulum 2006 sesuai Permendikbud No 22 Th 2006 Mata

  Pelajaran IPA di SD/mi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memperoleh keyakinan terhadap Kebesaran Tuhan YME berdasarkan kebenaran, keindaham dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupa sehari-hari. 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positive dan kesadaran tentang adamaya hubungan yang saling mempengaruh antara IPA, lingkungan, tknologi dan masyarakat. 4) Mengembangkan ketrampilan pross untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. 5) Meningkatkan kesadaranuntuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

  7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

  Ruang lingkup pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, perlu ada materi yang dibahas. Materi dibatasi oleh ruang lingkupnya yang tertera dalam Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi benda cair, padat, dan gas. 3) Energi dan perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya, dan pesawat sederhana. 4) Bumi dan alam semesta meliputi tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. 5) Sains, lingkungan teknologi, dan masyarakat yang merupakan penerapan konsep sains dan saling keterkaitannya dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat melalui pembuatan suatu karya teknologi sederhana termasuk merancang dan membuat.

2.1.2 Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe Numbered Head

  Together (NHT)

2.1.2.1 Model Pembelajaran

  Joyce dan Weil (dalam Syafaruddin dan Irwan Nasution, 2005: 182) menjelaskan model pembelajaran adalah “deskripsi dari lingkungan pembelajaran yang bergerak dari perencanaan kurikulum, mata pelajaran, bagian-bagian dari pelajaran untuk merancang material pembelajaran, buku latihan kerja program pembelajaran”. Aunurrahman (2012: 146) menjelaskan, “model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk tujuan belajar tertentu”. Menurut Udin (dalam Endang Mulyatiningsih, 2012:227) model pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar yang akan diberikan untuk mencapai tujuan tertentu”. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, melukiskan prosedur yang sistematis, di dalamnya berisi segala sesuatu yang mendukung dalam kegiatan belajar mengajar, untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

2.1.2.2 Pembelajaran Kooperatif tipe NHT

  Solihatin, Etin, & Raharjo (2007; 4) menyatakan bahwa cooperative learning mengandung pengertian sebagai sikap atau perilaku bersama dalam belajar dalam membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Panitz (dalam Agus Suprijono, 2009:54) mendefinisikan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentu yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.

  Pengertian kelompok menurut Chaplin (dalam Agus Suprijono, 2009: 56) mendefinisikan kelompok sebagai “a collection of individuals who have some

  

characteristic in common or who are pursuing a common goal. Two or more

persons who interact in any way constitute a group. It is not necessary, however,

for the members of a gruop to interact directly or in face to face manner”.

  Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa kelompok itu dapat terdiri dari dua orang saja, tetapi juga dapat terdiri dari banyak orang. Chaplin juga mengemukakan bahwa anggota kelompok tidak harus berinteraksi secara langsung yaitu face to face. Adapun seorang ahli dinamika kelompok bernama Shaw memberikan pengertian kelompok “as two or more people who interact

  

with and influence one another”. Menurut Shaw satu ciri yang yang dipunyai oleh

  semua kelompok yaitu anggotanya saling berinteraksi, saling memengaruhi antara satu dengan yang lain.

  Agus Suprijono (2009:61) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama dan

  

reward nya. Struktur tugas berhubungan bagaimana tugas di organisir. Struktur

  tujuan dan reward mengacu pada derajat kerja sama atau kompetisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan maupun reward.

  Roger dan David Johnson (dalam Agus Suprijono, 2009: 58) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah :

  1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif)

  2. Personal responsibility (tanggung jawab perorangan)

  3. Face to face promotive interaction (interaksi promotif)

  4. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota)

  5. Group processing (pemrosesan kelompok) Prinsip-prinsip model pembelajaran kooperatif menurut Jumanta Hamdayama

  (2014: 64) terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif;

  1. Prinsip ketergantungan positif Untuk tercipta kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing- masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin diselesaikan manakala ada anggota yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerjasama yang baik dari masing-masing anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya.

  2. Tanggung jawab perseorangan Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggota, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab yang sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, tetapi penilaian kelompok harus

  3. Interaksi tatap muka Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota dan mengisi kekurangan masing-masing.

  4. Partisipasi dan komunikasi Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, cara menyatakan ketidak setujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna.

  Menurut Jumanta hamdayama (2014: 65) prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu:

  1. Penjelasan materi Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini, guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai, yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok. Pada tahap ini, guru menggunakan metode ceramah, curah pendapat, dan tanya jawab, bahkan kalau perlu guru juga dapat menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat menarik siswa.

  2. Belajar dalam kelompok Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-

  3. Penilaian Penilaian dalam model pembelajaran kooperatif bisa dilakukan dengan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan, baik secara individual maupun kelompok. Tes individual setiap siswa, dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.

  4. Pengakuan kelompok Pengakuan kelompok adalah penetapa kelompok mana yang dianggap paling menonjol atau kelompok mana yang paling berprestasi yang layak diberikan hadiah atau reward. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi kelompok untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi kelompok lain untuk lebih mampu meningkatkan prastasi mereka.

  Adapun sintaks model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari 6 fase (Agus Suprijono, 2009: 65):

  1. Fase 1 : Present goal and set Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar.

  2. Fase 2 : Present information Guru menmpresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal.

  3. Fase 3 : Organize students into learning teams

  Guru memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien.

  4. Fase 4 : Assist team work and study Guru membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya.

  5. Fase 5 : Test on the materials

  Guru menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

  6. Fase 6 : Provide recognition

  Guru mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok.

  Manfaat pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim 2000: 18-19 (dalam Jumanta Hamdayama 2014: 177), pembelajaran kooperatif sebagai sebuah pola atau rancangan yang disebut strategi pembelajaran, maka model pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaannya dikelas memiliki manfaat sebagai berikut;

  1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas

  2. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi

  3. Angka putus sekolah menjadi rendah

  4. Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar

  5. Memperbaiki kehadiran

  6. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil

  7. Konflik antar pribadi berkurang

  8. Sikap apatis berkurang

  9. Pemahaman yang lebih mendalam

  10.Motivasi lebih besar

  11.Hasil belajar lebih tinggi 12.Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.

  Dalam pembelajaran Kooperatif terdapat beberapa variasi, yaitu STAD, JIGSAW, TGT, dan struktural yang meliputi Think Pair Share dan Numbered Heads Together.

  Numbered Heads Together pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagen

  (1993) dan juga oleh Russ Frank untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.

  Menurut La Iru dan La Ode Safiun Arihi 2012: 59 (dalam Jumanta Hamdayama, 2014: 175) model pembelajaran Number Heads Together (NHT) adalah bagian dari model pembelajaran koopeatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa.

  (NHT) atau penomoran berpikir bersama adalah

  Numbered heads together

  merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap sumber struktur kelas tradisional, Jumanta Hamdayama (2014: 175)

  Langkah – langkah NHT menurut Kagan (dalam Kunandar, 2007: 368), guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT, yaitu : Fase 1: Penomoran (Numbering) Dalam fase ini, guru membagi siswa dalam kelompok 3-5 orang dan memberikan nomor kepada setiap siswa, sehingga setiap siswa dalam kelompok tersebut memiliki nomor yang berbeda. Fase 2: Pengajuan pertanyaan (Questioning) Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum. Fase 3: Berpikir bersama (Head Together) Siswa berpikir bersama untuk menyelesaikan tugas, dan meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok mengetahui jawaban tersebut. Fase 4: Pemberian Jawaban (Answering) Guru memanggil suatu nomor tertentu kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk disampaikan kepada seluruh siswa di kelas.

  Penerapan model pembelajaran Kooperative tipe Numbered Head Together (NHT) ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk menumbuh kembangkan rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab yang perlu dimiliki oleh siswa, baik dalam kegiatan pembelajaran maupun diluar pembelajaran. Dalam pembelajaran, rasa tanggung jawab sangat diperlukan kaetika bekerja dalam kelompok. Dengan demikian, rasa tanggung jawab yang dimiliki siswa akan membuat masalah- masalah yang dimiliki siswa dapat terselesaikan sesuai dengan tuntutan. Sesuai dengan teori Hamsa (2009) tentang kelebihan model pembelajaran Kooperative tanggung jawab perorangan siswa untuk meningkatkan kerja sama, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagi ide-ide dan pertimbangan jawaban yang tepat. Disamping rasa tanggung jawab dimiliki oleh siswa, penerapan model pembelajaran kooperative tipe Numbered Heads Together (NHT) juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Sebelum penerapan model pembelajaran kooperative tipe Numbered Heads Together (NHT), siswa ragu dan takut menyampaikan pendapat. Setelah model pembelajaran kooperative tipe Numbered heads Together (NHT) diterapkan, ketika guru memanggil siswa secara acak, diharapkan siswa tidak lagi ragu dan takut salah untuk menyampaikan pendapat.

  Pembelajaran kooperatif tipe NHT ini juga memiliki kekurangan serta kelebihan, (Jumanta Hamdayama, 2014: 177), sebagai berikut; Kelebihan Numbered Heads Together (NHT)

  1. Melatih siswa untuk dapat bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain

  2. Melatih siswa untuk bisa menjadi tutor sebaya

  3. Memupuk rasa kebersamaan

  4. Membuat siswa menjadi terbiasa dengan perbedaan Kekurangan Numbered Heads Together (NHT) 1. siswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit kewalahan 2. guru harus bisa memfasilitasi siswa 3. tidak semua mendapat giliran

2.1.3 Hasil belajar

  Pengertian belajar menurut W.S Winkel (dalam Susanto, 2013: 4) adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. Kesimpulan dari pengertian belajar tersebut menurut Susanto (2013:4) bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa maupun dalam bertindak.

  Hasil belajar merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya suatu proses pembelajaran dapat dilihat melalui hasil belajar setelah dilakukan evaluasi. Pengertian hasil belajar itu sendiri menurut Nana Sudjana (2010:22) adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart Kinggsley dalam buku Nana Sudjana, (2010:22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1) Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan, (3) Sikap dan cita-cita.

  Sementara menurut Lindgren dalam Agus Suprijono, (2011:7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Agus Suprijono, (2011:5-6) bahwa hasil belajar itu berupa informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Sedangkan menurut Nawawi dalam Susanto (2013: 5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu. Secara sederhana yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar.

  Hasil belajar menurut Susanto (2013: 6) meliputi pemahaman konsep (aspek kognitif), keterampilan proses (aspek psikomotor), dan sikap siswa (aspek afektif) dapat diuraikan sebagai berikut;

  1. Pemahaman konsep Menurut Bloom (dalam Susanto 2013: 6) diartikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman menurut Bloom ini adalah seberapa besar siswa mampu menerima, menyerap, dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa, atau sejauh mana siswa dapat memahami serta mengerti apa yang ia baca, yang dilihat, yang dialami, atau yang

  Adapun kriteria-kriteria pemahaman konsep menurut Susanto, (2013: 7) sebagai berikut; a. Pemahaman merupakan kemampuan untuk menerangkan dan menginterpretasikan sesuatu; ini berarti bahwa seseorang yang telah memahami sesuatu atau telah memperoleh pemahaman akan mampu menerangkan atau menjelaskan kembali apa yang telah ia terima.

  b. Pemahaman bukan sekedar mengetahui, yang biasanya hanya sebatas mengingat kembali pengalaman dan memproduksi apa yang pernah dipelajari.

  Bagi orang yang benar-benar telah paham ia akan mampu memberikan gambaran, contoh, dan penjelasan yang lebih luas dan memadai.

  c. Pemahaman lebih dari sekedar mengetahui, karena pemahaman melibatkan proses mental yang dinamis.

  d. Pemahaman merupakan suatu proses bertahap yang masing-masing tahap mempunyai kemampuan tersendiri, seperti menerjemahkan, menginterpretasikan, ekstrapolasi, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  Untuk mengukur hasil belajar siswa yang berupa pemahaman konsep, guru dapat melakukan evaluasi produk. W.S Winkel (dalam Susanto 2013: 8) menyatakan bahwa melalui produk dapat diselidiki apakah dan sampai berapa jauh suatu tujuan intruksional telah tercapai; semua tujuan itu merupakan hasil belajar yang seharusnya diperoleh siswa.

  2. Keterampilan proses Menurut Usman dan Setiwati (dalam Susanto 2013: 9) mengemukakan bahwa keterampilan proses merupakan keterampilan yang mengarah kepada pembangunan kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa. Keterampilan berarti kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu hasil tertentu termasuk kreativitasnya. Dalam melatih keterampilan proses, secara bersamaan dikembangkan pula sikap-sikap yang dikehendaki, seperti kreativitas, kerja sama, bertanggung jawab, dan berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan. Sedangkan merupakan keseluruhan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognitif maupun psikomotor) yang dapat digunakan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip atau teori untuk mengembangkan konsep yang telah ada sebelumnya, atau untuk melakukan penyangkalan terhadap suatu penemuan (falsifikasi). Selanjutnya Indrawati juga menyebutkan ada enam aspek keterampilan proses, yang meliputi : observasi, klasifikasi, pengukuran, mengkomunikasikan, memberikan penjelasan terhadap suatu pengamatan, dan melakukan eksperimen. Kemudian Indrawati membagi keterampilan proses menjadi dua tingkatan, yaitu; keterampilan proses tingkat dasar (meliputi observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi, dan inference) dan keterampilan proses terpadu (meliputi menentukan, variabel, menyusun tabel data, menyusun grafik, memberi hubungan variabel, memproses data, menganalisis penyelidikan, menyusun hipotesis, menentukan variabel secara operasional, merencanakan penyelidikan, dan melakukan eksperimen).

  3. Sikap Menurut Lange (dalam Susanto 2013: 10), sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata, melainkan mencakup pula aspek respons fisik. Jadi, sikap ini harus ada kekompakan antara mental dan fisik secara serempak. Jika mental saja yang dimunculkan, maka belum tampak secara jelas sikap seseorang yang ditunjukkannya.

  Untuk menjelaskan dari ketiga aspek tersebut, Bany dan Johnson dalam Susanto (2013: 11) mengungkapkan berbagai model yang dapat mencakup ketiga aspek tersebut, yaitu; a. Tehnik pelaporan diri sendiri (self-report technique) Tehnik ini berbentuk respon seseorang terhadap sejumlah pertanyaan.

  Respons ini mungkin berupa “ya” atau “tidak”, atau mungkin pula dinyatakan dalam bentuk skala yang menunjukkan derajat respon negatif atau positif terhadap perangsang yang bersangkutan dengan suatu objek sikap.

  b. Observasi terhadap perilaku yang tampak (observation of behaviour) Dengan model ini, sikap dapat ditafsirkan dari perilaku seseorang yang tampak, dengan memerhatikan tiga dimensi, yaitu arah perilaku, kadar atau derajat sekali, dan intensitas atau kekuatan sikap tersebut untuk menentukan kemunculannya dalam perilaku.

  c. Sikap yang disimpulkan dari perilaku orang yang bersangkutan, dalam hal ini sikap diperkirakan berdasarkan tafsiran terhadap perkataan, tindakan, dan tanda- tanda nonverbal, seperti gerakan muka atau badan seseorang.

  Sementara menurut Sardiman (dalam Susanto, 2013: 11), sikap merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu dengan cara, metode, pola, dan tehnik tertentu terhadap dunia sekitarnya baik berupa individu-individu maupun objek- objek tertentu. Sikap merujuk pada perbuatan, perilaku, atau tindakan seseorang. Hubungan nya dengan hasil belajar siswa yaitu pemahaman konsep, maka domain yang sangat berperan adalah domain kognitif.

  Wasliman (dalam Susanto, 2013; 12) mengemukakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang memengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal.

  a. Faktor internal Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik, yang memengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi, kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.

  b. Faktor Eksternal Faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang memengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

  Selanjutnya dikemukakan oleh Wasliman (dalam Susanto, 2013: 13) bahwa sekolah merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan hasil belajar siswa. Semakin tinggi kemampuan belajar siswa dan kualitas pengajaran disekolah, maka semakin tinggi pula hasil belajar siswa.

  Menurut Dunkin (dalam Susanto, 2013; 13), terdapat sejumlah aspek yang dapat memengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru, yaitu:

a. Teacher formative experience

  Yang meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup guru yang menjadi

  b. Teacher training experience

  Meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru.

  c. Teacher properties

  Segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, misalnya sikap guru terhadap profesinya, sikap guru terhadap siswa, kemampuan dan intelegensi guru, motivasi dan kemampuan mereka bail kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran termasuk didalamnya kemampuan dalam merencanakan evaluasi pembelajaran maupun kemampuan dalam penguasaan materi.

  Rusffendi (dalam Susanto, 2013: 14) mengidentifikasikan faktor-faktor yang memegaruhi hasil belajar ke dalam sepuluh macam, yaitu kecerdasan, kesiapan anak, bakat anak, kemauan belajar, minat anak, model penyajian materi, pribadi dan sikap guru, suasana belajar, kompetensi guru, dan kondisi masyrakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sudjana (dalam Susanto, 2013; 15), bahwa hasil belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi olh dua faktor utama, yakni faktor dalam siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.

  1. Kecerdasan anak Kemampuan intelegensi seseorang sangat memengaruhi terhadap cepat dan lambatnya penerimaan informasi serta terpecahkan atau tidaknya suatu permasalahan. Kecerdasan siswa sangat membantu pengajar untuk menentukan apakah siswa itu mampu mengikuti pelajaran yang diberikan dan untuk meramalkan keberhasilan siswa setelah mengikuti pelajaran yang diberikan meskipun tidak akan terlepas dari faktor lainnya.

  2. Kesiapan atau kematangan Tingkat perkembangan dimana individu atau organ-organ sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap upaya belajar akan lebih berhasil jika dilakukan bersamaan dengan tingkat kematanagn individu, karena kematangan ini erat hubungannya dengan masalah minta dan kebutuhan anak.

  Menurut Chaplin, yang dimaksud dengan bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.

  4. Kemauan belajar Salah satu tugas guru yang kerap sukar dilaksanakan ialah membuat anak menjadi mau belajar atau menjadi giat untuk belajar. Keengganan siswa untuk belajar mungkim disebabkan karena ia belum mengerti bahwa belajar sangat penting untuk kehidupannya kelak. Kemauan belajar yang tinggi disertai dengan rasa tanggung jawab yang besar tentunya berpengaruh positif terhadap hasil belajar yang diraihnya. Karena kemauan belajar menjadi salah satu penentu dalam mencapai keberhasilan belajar.

  5. Minat Minat berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap pelajaran akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya.

  6. Model penyajian materi pelajaran Keberhasilan siswa dlam belajar tergantung pula pada model penyajian materi.

  Model penyajian materi yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan mudah dimengerti oleh para siswa tentunya berpengaruh secara positif terhadap keberhasilan belajar.

  7. Pribadi dan sikap guru Siswa, begitu juga manusia pada umumnya dalam melakukan belajar tidak hanya melalui bacaan atau melalui guru saja, tetapi bisa juga melalui contoh- contoh yang baik dari sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Kepribadian dan sikap guru yang kreatif dan penuh inovatif dalam perilakunya, maka siswa akan meniru gurunya yang aktif dan kreatif ini.

  8. Suasana pengajaran Suasana pengajaran yang tenang, terjadinya dialog yang kritis antara siswa dengan guru, dan menumbuhkan suasana yang aktif di antara siswa tentunya akan memberikan nilai lebih pada proses pengajaran.

  Guru yang profesional memiliki kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diperlukan dalam membantu siswa dalam belajar. Keberhasilan siswa belajar akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan guru yang profesional.

  10.Masyarakat Dalam masyarakat terdapat berbagai macam tingkah laku manusia dan berbagai macam latar belakang pendidikannya. Oleh karena itu, pantaslah dalam dunia pendidikan lingkungan masyrakat pun ini juga memengaruhi kepribadian siswa. Kehidupan modern dengan keterbukaan serta kondisi yang luas banyak dipengaruhi dan dibentuk oleh kondisi masyarakat ketimbang oleh keluarga dan sekolah.

  Menurut Nana Sudjana (2013: 113) setelah sasaran penilaian ditetapkan maka langkah kedua bagi guru ialah menetapkan alat penilaian yang paling tepat untuk menilai sasaran tersebut. Pada umumnya alat evaluasi dibedakan menjadi dua jenis, yakni: Tes dan Non tes.

  a. Tes Tes ada yang sudah di standardisasi, artinya tes tersebut telah mengalami proses validasi (ketetapan) dan reliabilitas (ketetapan) untuk suatu tujuan tertentu dan untuk sekelompok siswa tertentu. Sebagai contoh, penyusunan THB (Tes Hasil Belajar) merupakan usaha penyusunan tes yang sudah di standardisasi.

  Disamping itu yang banyak ditemukan ialah tes buatan guru sendiri. Tes ini belum distandardisasi, sebab dibuat oleh guru untuk tujuan tertentu dan untuk siswa tertentu pula. Meskipun demikian, tes buatan guru harus pula mempertimbangkan faktor validitas dan reliabilitasnya. Tes ini terdiri dari tiga bentuk yakni, Tes lisan, tes tertulis, dan tes tindakan. Jenis tes tersebut biasanya digunakan untuk menilai isi pendidikan, misalnya aspek pengetahuan, kecakapan, keterampilan, dan pemahaman pelajaran.

  b. Non tes Untuk menilai aspek tingkah laku, jenis non tes lebih sesuai digunakan sebagai alat evaluasi. Seperti menilai aspek sikap, minat, perhatian, karakteristik,

  • Observasi, yakni pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi tertentu.
  • Wawancara, yakni komunikasi langsung antara yang mewawancarai dengan yang diwawancarai.
  • Studi kasus, yakni mempelajari individu dalam periode tertentu secara terus menerus untuk melihat perkembangannya.
  • Rating scale, merupakan salah satu alat penilaian yang menggunakan skala yag telah disusun dari ujung yang negatif sampai kepada ujung yang positif, sehingga pada skala tersebut si penilai tinggal membubuhi tanda cek (√) saja.
  • Check list, hampir menyerupai rating scale, hanya pada check list tidak perlu disusun kriteria atau skala dari yang negatif sampai kepada yang positif cukup dengan kemungkinan jawaban yang akan di minta dari yang dievaluasi.
  • Inventory, daftar pertanyaan yang disertai alternatif jawaban diantara setuju, kurang setuju, dan tidak setuju.

2.2 Penelitian Yang Relevan

  Penelitian tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbentuk skripsi, yang dilakukan oleh Rima Chandra Novitasari (2011) yang berjudul “Upaya meningkatkan Hasil Belajar Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Mata Pelajaran IPA Pokok Bahasan Perubahan Lingkungan Pada Siswa Kelas IV SDN Tegalrejo 05 Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2010/2011.” Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nampak ada peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 65,6% sebelum siklus, meningkat menjadi 71,8% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Terjadi peningkatan rata-rata kelas dari 66,25 sebelum tindakan meningkat menjadi 70,31 pada siklus I dan menjadi 82,18% pada siklus II. Peningkatan skor minimal dari 40 sebelum siklus, menjadi 50 pada siklus I, dan menjadi 70 pada siklus II.

  Peningkatan skor maksimal dari 90 sebelum tindakan, tetap pada siklus II sebesar 100 dan menjadi 100 pada siklus II. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe NHT pada mata pelajaran IPA pokok bahasan Perubahan Lingkungan bagi siswa kelas IV semester II SDN

  Tegalrejo 05 Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga tahun ajaran 2010/2011 dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV.

  Penelitian lain juga dilakukan oleh Alustina Isyuniarsih, berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan afektif pada mata Pelajaran IPA Melalui Penerapan Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) pada Siswa kelas V SD Negeri 03 Ngumbul Kecamatan Todanan Kabupaten Blora Tahun

  Pelajaran 2011/2012. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan kelas yang dilakukan melalui dua siklus dengan masing-masing siklus 3 kali pertemuan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD N 03 Ngumbul Kecamatan todanan Kabupaten Blora sejumlah 24 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu deskriptif komparatif dengan instrumen pengumpulan data berupa lembar observasi, butir soal tes, dan angket keaktifan siswa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan hasil belajar kognitif siswa dan hasil belajar afektif siswa (keaktifan belajar) untuk mata pelajaran IPA kelas V semester II tahun pelajaran 2011/2012 dengan kompetensi dasar proses pembentukan tanah karena pelapukan. Peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa pada kondisi awal, pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 yaitu terjadi peningkatan hasil belajar siswa. Pada kondisi awal siswa yang tuntas 8 orang (33,33%) dan yang tidak tuntas 16 (66,67%) orang. Pada siklus 1 siswa yang tuntas 22 orang 991,67%) dan yang tidak tuntas 2 orang (8,33%). Sedangkan pada siklus 2, semua siswa yang terdiri dari 24 orang tersebut sudah memenuhi KKM atau dapat dikatakan tuntas 100% dari 24 siswa. Untuk peningkatan hasil belajar afektif (keaktifan belajar siswa) pada kondisi awal, pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 yaitu pada kondisi awal keaktifan siswa berada pada kategori kurang aktif (41,67%), pada siklus 1 menjadi cukup aktif (45,83%), dan pada siklus 2 menjadi aktif (58%). Keaktifan siswa mengalami peningkatan pada kategori aktif dari kondisi awal (25%) meningkat pada pembelajaran siklus 1 (33,33%) dan pada pembelajaran siklus 2 (58%). Dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dapat meningkatkan hasil belajar kognitif dan afektif siswa kelas V SD N 03 Ngumbul Kecamatan Todanan

2.3 Kerangka Berpikir

  Proses pembelajaran yang selama ini berlangsung seringkali masih didominasi oleh guru, menjadikan kebanyakan siswa masih kurang aktif dalam pembelajaran dan masih merasa ragu untuk mengungkapkan pendapatnya sehingga pembelajaran masih terkesan pasif. Padahal dalam karakteristik IPA itu sendiri, pembelajaran IPA seharusnya tidak hanya berupa penguasaan pengetahuan seperti fakta, konsep, atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dengan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan. Kondisi ini berimbas pada hasil belajar siswa yang memperoleh hasil belajar dengan skor di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal yaitu 68. Perubahan paradigma pembelajaran menuntut siswa aktif, agar kompetensi yang diharapkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006) ini dapat tercapai. Suatu pembelajaran akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri secara langsung dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan dapat menemukan sendiri atau memahami sendiri konsep yang telah diajarkan yaitu dengan terbiasa untuk selalu ingin tahu, berpikir kritis, kreatif, dan analitis terhadap materi yang sedang dipelajari. Dari beberapa masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu kiranya diterapkan sebuah alternatif sebagai solusi pemecahan masalah yang selama ini sering terjadi dalam kegiatan pembelajaran khususnya pada pembelajaran mata pelajaran IPA.

  Alternatif pemecahan masalah yang sering terjadi ini dapat diatasi melalui pelaksanaan penelitian tindakan kelas. Dengan adanya sebuah penelitian, maka akan membantu para guru khususnya dalam mencari solusi yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui penggunaan pembelajaran yang inovatif. Hal ini dimaksudkan agar siswadapat merasa tertantang dan tertarik mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga siswa dapat lebih memahami pembelajaran yang diberikan karena siswa mengalami atau menemukan sendiri pengetahuan yang mereka pelajari.

  Pembelajaran inovatif yang digunakan untuk penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA adalah model Cooperative learning tipe Numbered Heads Together. Model cooperative Learning tipe Numbered tugas dan memahami tugas yang diberikan. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran ini adalah untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah/memahami materi melalui pemecahan masalah yang ditugaskan guru dan berusaha untuk menggunakan cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu permasalahan tersebut. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai adalah mengembangkan aspek kreativitas seperti mengembangkan atau mengelaborasi suatu gagasan/pendapat yang benar dari permasalahan yang ditugaskan. Model

  

Cooperative learning ini juga memiliki kelebihan diantara nya: (a) membantu

  siswa belajar berpikir berdasarkan sudut pandang suatu subyek bahasan dengan memberikan kebebasan siswa dalam praktik berpikir, (b) membantu siswa mengevaluasi logika dan bukti-bukti bagi posisi dirinya atau posisi yang lain, (c) memberikan kesempatan pada siswa untuk memformulasikan penerapan suatu prinsip, (d) membantu siswa mengenali adanya suatu masalah dan memformulasikannya dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari bacaan atau ceramah, (e) menggunakan bahan-bahan dari anggota lain dalam kelompoknya, dan (f) mengembangkan motivasi untuk belajar yang lebih baik.

2.4 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “Penggunaan model Cooperative Learning tipe Numbered heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SDN Ngablak 02 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang".

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan lokasi penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Cooperative Learning Tipe TGT terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD N Ngrombo 3 Ke

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Cooperative Learning Tipe TGT terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD N Ngrombo 3 Kecamatan Tangen Kabupaten Sragen Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Cooperative Learning Tipe TGT terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD N Ngrombo 3 Kecamatan Tangen Kabupaten Sragen Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 67

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemanfaatan Teknologi Augmented Reality untuk Promosi Tempat Wisata di Pulau Ambon pada Platform Android

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Siswa Berprestasi Menggunakan Metode SMART (Simple Multi Attribute Rating Technique): Studi Kasus SMA Negeri 3 Salatiga

0 6 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPS di SD - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Kreativitas Belajar IPS Melalui Pendekatan Problem Based Learning Siswa Kelas 4 SDN Pringapus Kecamatan N

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Kreativitas Belajar IPS Melalui Pendekatan Problem Based Learning Siswa Kelas 4 SDN Pringapus Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Kreativitas Belajar IPS Melalui Pendekatan Problem Based Learning Siswa Kelas 4 SDN Pringapus Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 31

UPAYA PENINGKATAN KREATIVITAS BELAJAR IPS MELALUI PENDEKATAN PROBLEM BASED LEARNING SISWA KELAS 4 SDN PRINGAPUS KECAMATAN NGADIREJO KABUPATEN TEMANGGUNG SEMESTER 2 TAHUN PELAJARAN 20142015

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Kreativitas Belajar IPS Melalui Pendekatan Problem Based Learning Siswa Kelas 4 SDN Pringapus Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung Semester 2 Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75