Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang T2 942008110 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Kualitas Pendidikan

Kualitas mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian kualitas, dalam hal ini mengacu pada proses

pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu terlibat berbagai input,

seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif (Suryasubroto, 2004).

Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses

pembelajaran. Mutu dalam konteks “hasil pendidikan”

mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu,


(2)

akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas) (Depdiknas, 2004). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.

Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk

mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah „

terutama yang menyangkut aspek kemampuan

akademik atau “kognitif” dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar , misalnya: NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah


(3)

baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya (Mulyono, 2010). Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.

Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut; Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk: (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat (Engkoswara, 2009).

Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggungjawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan


(4)

yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu (Rohiat, 2010). Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu (Suryasubrata, 2004);

1) Pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.

2) Bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang


(5)

ada.

3) Pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.

Untuk melihat pencapaian kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, afektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai siswa dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performa sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.

Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekruitmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesional harus menunjang peningkatan mutu dan penghargaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen


(6)

peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.

Konsekuensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk (Mulyasa, 2004):

1) Mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.

2) Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu. 3) Menyajikan laporan terhadap hasil dan

performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stakeholders).

Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara


(7)

tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.

Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, danstandar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus menyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya untuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.

Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk


(8)

institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut (Hadis, 2010):

1. Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.

2. Melakukan evaluasi diri (self assesment) untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.

Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengelolaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.

Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan


(9)

termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.

Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksanakan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya


(10)

dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan peralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan (Tim Dosen UPI, 2009).

Standar kualitas dalam pendidikan pada dasarnya merupakan suatu paduan antara barang atau jasa termasuk sistem manajemennya yang relatif sesuai dengan kebutuhan (Engkoswara, 2009). Sallis (Engkoswara, 2009) mengemukakan bahwa standar kualitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:

1. Standar produk atau jasa yang ditunjukkan dengan (a) sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan (b) sesuai dengan tujuan

2. Standar yang ditunjukkan dengan adanya kepuasan dari masyarakat


(11)

Sedangkan menurut Baker (Engkoswara, 2009) standar kualitas pendidikan yang bermutu adalah:

1. Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang handal.

2. Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa. 3. Memiliki filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa seluruh anak dapat belajar dengan harapan yang tinggi.

4. Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan terorganisasi baik

5. Suatu sistem penilaian berkelanjutan yang didukung supervisi.

6. Keterlibatan masyarakat yang tinggi

7. Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan mendorong kerjasama kelompok.

8. Menyusun jadwal secara terprogram untuk memberikan pelatihan dalam jabatan dan seminar untuk seluruh staf

9. Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa

10. Komunikasi dengan orangtua dan menyediakan waktu yang cukup untuk dialog

11. Menetapkan dan mengartikulasikan tujuan secara jelas

12. Kerjasama guru dan orangtua untuk menyediakan dukungan pelayanan dalam pemecahan permasalahan siswa


(12)

Jika berpedoman pada standar mutu pendidikan sebagaimana yang tertera dalam standar nasional pendidikan, kriteria minimal pendidikan meliputi (Engkoswara, 2009)

1. Standar kompetensi lulusan

2. Standar isi berkaitan dengan cakupan dan kedalaman materi pelajaran

3. Standar proses berkaitan dengan prosedur dan pengorganisasi pengalaman belajar

4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan, merupakan rasio antara guru dengan siswa dan guru memiliki kualifikasi yang dinyatakan dengan sertifikasi guru.

5. Standar sarana dan prasarana, sarana yang memadai serta mendukung kegiatan pembelajaran. 6. Standar pengelolaan

7. Standar pembiayaan

8. Standar penilaian pendidikan

Upaya untuk meningkatkan kualitas dalam bidang pendidikan menurut Juran (Rohiat, 2010) ada beberapa langkah, yaitu:

1. Membangun kepedulian untuk peningkatan maupun perbaikan

2. Menentukan tujuan-tujuan untuk peningkatan 3. Mengorganisasi untuk mencapai tujuan tersebut 4. Menyelenggarakan pelatihan

5. Mendorong upaya pemecahan masalah 6. Melaporkan perkembangan


(13)

8. Mengkomunikasikan hasil-hasil dengan pihak terkait

9. Evaluasi terhadap kegiatan yang dicapai

Dalam penelitian ini standar kualitas pendidikan yang digunakan adalah sesuai dengan pendapat Engkoswara yang meliputi 8 aspek yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, yaitu: 1) Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi

kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

2) Standar isi, adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 3) Standar proses, adalah standarnasional pendidikan

yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,


(14)

kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik

4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.Standar pendidik dan tenaga kependidikan diuraikan dengan beberapa bagian standar, yakni standar kualifikasi akademik dan kualifikasi guru dijabarkan dengan Permendiknas No. 16 Tahun 2007, Standar Pengawas Sekolah/Madrasah dijabarkan dengan Permendiknas No. 12 Tahun 2007, Standar Kepala Sekolah/Madrasah dijabarkan dengan Permendiknas No. 13 Tahun 2007.

5) Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

6) Standar pengelolaan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Standar


(15)

Pengelolaan dijabarkan dengan Permendiknas No. 19 Tahun 2007.

7) Standar pembiayaan, adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selam satu tahun. Persyaratan minimal tentang biaya investasi: meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Persyaratan minimal tentang biaya personal: meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan

8) Standar penilaian pendidikan, adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Standar Penilaian dijabarkan dengan Permendiknas No. 20 Tahun 2007.

Standar nasional pendidikan ini berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.Juga bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.Salah satu standar diatas yang paling penting untuk diperhatikan yaitu standar pendidik dan kependidikan. Dimana seorang pendidik harus memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran pada


(16)

jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini, yaitu: kompetensi peadagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Ada empat (4) standar kualitas pendidikan dalam urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: guru (teacher), kurikulum (curriculum), atmosfer akademik (academic atmosphere), dan sumber keilmuan (academic resource). Berikut ini uraian dari standar kualitas diatas:

1. Guru (Teacher)

Mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen seorang guru.Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.Oleh karena itu, dengan dirumuskannya jenjang profesionalitas yang jelas, maka kualitas guru-guru dapat dijaga dengan baik.Tentunya hal ini juga berkaitan dengan penghargaan profesionalitas yang didapat dalam setiap jenjang tersebut.

Guru juga harus bertanggung jawab dalam membangun atmosfer akademik di dalam kelas.Atmosfer ini sebenarnya bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif.Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan pengembangan sikap ilmiah dan kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada


(17)

siswanya, dalam membimbing siswa memecahkan suatu persoalan atau juga dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Untuk dapat mengajar secara efektif, maka guru-guru akan ditraining secara kontinyu (bukan hanya sekali saja) dan terutama akan dibekali pengetahuan tentang cara mengajar yang baik dan bagaimana cara menilai yang efektif. Sehingga diharapkan guru tersebut dapat mengembangkan cara mengajarnya sendiri, dapat meningkatkan pengetahuan mereka sendiri dan juga dapat berkolaborasi dengan guru yang lain.

2. Kurikulum (Curriculum)

Kurikulum di sini bukan sekedar kumpulan aktivitas saja, ia harus koheren antara aktivitas yang satu dengan yang lain. Dalam kurikulum, juga harus diperhatikan bagaimana menjaga agar materi-materi yang diberikan dapat menantang siswa sehingga tidak membuat mereka merasa bosan dengan pengulangan-pengulangan materi saja.Tentu saja hal ini bukan berarti mengubah-ubah topik yang ada tetapi lebih kepada penggunaan berbagai alternatif cara pembelajaran untuk memperdalam suatu topik atau mengaplikasikan suatu topik pada berbagai masalah riil yang relevan.

Kurikulum juga harus memuat secara jelas mengenai cara pembelajaran (learning) dan cara penilaian (assesment) yang digunakan di dalam kelas.Cara pembelajaran yang dijalankan harus


(18)

membuat siswa memahami dengan benar mengenai hal-hal yang mendasar.Pemahaman ini bukan hanya berdasarkan hasil dari pengajaran satu arah dari guru ke siswa, tetapi lebih merupakan pemahaman yang muncul dari keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri dengan merangkai pengalaman pembelajaran di kelas dan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya.

3. Atmosfer Akademik (Academic Atmosphere)

Atmosfer akademik bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif.Atmosfer ini dibangun dari interaksi antar siswa, dari interaksi antara siswa dengan guru, interaksi dengan orang tua siswa dan juga suasana lingkungan fisik yang diciptakan.Guru memegang peran sentral dalam membangun atmosfer akademik ini dalam kegiatan pengajarannya di kelas dan berlaku untuk semua yang terlibat dalam sistem pendidikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun sikap ilmiah dan kreatif ini dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-harinya?Untuk ini kita perlu menyadari nilai-nilai inti yang harus ditanamkan ke semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sikap yang menghargai hasil-hasil intelektual baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun orang lain, disamping kritis dalam menerima


(19)

hasil-hasil intelektual tersebut. Sedangkan sikap kreatif disini mempunyai maksud sikap untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan memecahkan soal dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri.

Untuk membangun Sikap Ilmiah perlu ditanamkan nilai kejujuran (honesty), dan nilai kekritisan (skeptics).Sedangkan untuk membangun sikap kreatif perlu ditanamkan nilai ketekunan (perseverence), dan nilai keingintahuan (curiosity).

Selanjutnya nilai-nilai inti ini perlu diterjemahkan dalam berbagai kode etik yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-hari, seperti larangan keras mencontek, dorongan untuk mengemukakan pendapat dan bertanya, penghargaan atas perbedaan pendapat, penghargaan atas kerja keras, dorongan untuk memecahkan soal sendiri, keterbukaan untuk dikoreksi dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ini selanjutnya harus dilakukan setiap hari dan terus dipantau perkembangan oleh mereka yang diberi kewenangan penuh.

4. Sumber Keilmuan (Academic Resource)

Sumber Keilmuan disini adalah berupa prasarana dalam kegiatan pengajaran, yaitu buku, alat peraga dan teknologi. Semua hal ini harus dapat dieksploitasi dengan baik untuk mendukung setiap proses pengajaran dan juga dalam membangun atmosfer akademik yang hendak diciptakan. Apalagi pengajaran


(20)

menganut pendekatan yang kongkrit, maka guru harus dapat menggunakan hal-hal yang umum disekitar kita seperti: mata uang dan jam, sebagai alat peraga.

2.2. Pendidikan di Taman Kanak-kanak

Lembaga Taman Kanak-kanak (TK), meskipun sebagai lembaga pendidikan formal, sangat berbeda dengan lembaga pendikan SD, SMP, dan seterusnya.

Dari nama lembaganya, yakni “taman” bukan “sekolah”. Sebutan “Taman” pada Taman Kanak-kanak

mengandung makna “tempat yang aman dan nyaman (safe and comfortable) untuk bermain” sehingga

pelaksanaan pendidikan di TK harus mampu menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman sebagai wahana tumbuh kembang anak (Moeslichatoen, 2009).

Taman Kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non-formal dengan mengutamakan kegiatan bermain sambil belajar. Dalam buku yang diterbitkan oleh Depdiknas (2007) tentang pedoman teknis penyelenggaraan Taman Kanak-kanak dikemukakan bahwa:

Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) pada jalur pendidikan non-formal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun. Bermain bersama sangat bermanfaat bagi seseorang


(21)

anak dari pada bermain sendiri, karena dengan bermain bersama-sama anak bisa mendapatkan berbagai pengetahuan serta anak juga lebih mudah bersosialisasi. Bermain bersama-sama akan mendapatkan sesuatu yang tidak akan mungkin didapat dari bermain sendiri, seperti tenggang rasa, berpandangan positif, belajar menjadi seorang pemberi, pemurah dan berperasaan terhadap orang lain, tolong menolong serta dapat mengeksprerisikan kemampuan dan kebolehannya.

Tujuan kegiatan pendidikan pada Taman Kanak-kanak yang diterbitkan oleh Direktorat PADU (2002)

yaitu “mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk

siap memasuki pendidikan dasar”.

Prinsip-prinsip pendidikan dalam Taman Kanak-kanak 1) Setiap anak itu unik. Mereka tumbuh kembang dari

kemampuan, kebutuhan, keinginan, pengalaman dan latar belakang keluarga yang berbeda.

2) Anak usia 2-6 tahun adalah anak yang senang bermain. Bagi mereka bermain adalah cara mereka belajar.

3) Pendidik yang bertugas dalam kegiatan bermain adalah pendidik yang memiliki kemauan dan kemampuan mendidik, memahami anak, besedia mengembangkan potensi yang dimiliki anak, penuh kasih sayang dan kehangatan serta bersedia bermain dengan anak.


(22)

Anak yang dapat ditampung di TK adalah usia 4 – 6 tahun dengan lama Pendidikan 1 atau 2 tahun. Dan, pendidikan dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok A bagi anak usia 4 – 5 tahun dan kelompok B untuk anak usia 5 – 6 tahun. Pengelompokan ini bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik. Dengan kata lain, bahwa setiap anak didik dapat berada selama 1 (satu) tahun pada Kelompok A atau Kelompok B, atau selama 2 (dua) tahun pada Kelompok A dan Kelompok B (Moeslichatoen, 2009).

Tujuan Pendidikan TK pada dasarnya adalah (Moeslichatoen, 2009):

1. Membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal 1.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);

2. Mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);

3. Membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990).


(23)

Berdasarkan Surat Edaran Mandikdasmen Depdiknas Nomor 1839/C.C2/TU/2009, Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Bermain merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri.

Melalui pendekatan bermain, anak-anak dapat mengembangkan aspek psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni. Pada prinsipnya bermain mengandung makna yang menyenangkan, mengasikkan, tanpa ada paksaan dari luar diri anak, dan lebih mementingkan proses mengeksplorasi potensi diri daripada hasil akhir. Pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain (unsur belajar mulai dominan). Dengan demikian anak didik tidak merasa canggung menghadapi pendekatan pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya.


(1)

membuat siswa memahami dengan benar mengenai hal-hal yang mendasar.Pemahaman ini bukan hanya berdasarkan hasil dari pengajaran satu arah dari guru ke siswa, tetapi lebih merupakan pemahaman yang muncul dari keaktifan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri dengan merangkai pengalaman pembelajaran di kelas dan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya.

3. Atmosfer Akademik (Academic Atmosphere) Atmosfer akademik bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif.Atmosfer ini dibangun dari interaksi antar siswa, dari interaksi antara siswa dengan guru, interaksi dengan orang tua siswa dan juga suasana lingkungan fisik yang diciptakan.Guru memegang peran sentral dalam membangun atmosfer akademik ini dalam kegiatan pengajarannya di kelas dan berlaku untuk semua yang terlibat dalam sistem pendidikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun sikap ilmiah dan kreatif ini dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-harinya?Untuk ini kita perlu menyadari nilai-nilai inti yang harus ditanamkan ke semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sikap yang menghargai hasil-hasil intelektual baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun orang lain, disamping kritis dalam menerima


(2)

hasil-hasil intelektual tersebut. Sedangkan sikap kreatif disini mempunyai maksud sikap untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan memecahkan soal dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri.

Untuk membangun Sikap Ilmiah perlu ditanamkan nilai kejujuran (honesty), dan nilai kekritisan (skeptics).Sedangkan untuk membangun sikap kreatif perlu ditanamkan nilai ketekunan (perseverence), dan nilai keingintahuan (curiosity).

Selanjutnya nilai-nilai inti ini perlu diterjemahkan dalam berbagai kode etik yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-hari, seperti larangan keras mencontek, dorongan untuk mengemukakan pendapat dan bertanya, penghargaan atas perbedaan pendapat, penghargaan atas kerja keras, dorongan untuk memecahkan soal sendiri, keterbukaan untuk dikoreksi dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ini selanjutnya harus dilakukan setiap hari dan terus dipantau perkembangan oleh mereka yang diberi kewenangan penuh.

4. Sumber Keilmuan (Academic Resource)

Sumber Keilmuan disini adalah berupa prasarana dalam kegiatan pengajaran, yaitu buku, alat peraga dan teknologi. Semua hal ini harus dapat dieksploitasi dengan baik untuk mendukung setiap proses pengajaran dan juga dalam membangun atmosfer akademik yang hendak diciptakan. Apalagi pengajaran


(3)

menganut pendekatan yang kongkrit, maka guru harus dapat menggunakan hal-hal yang umum disekitar kita seperti: mata uang dan jam, sebagai alat peraga.

2.2. Pendidikan di Taman Kanak-kanak

Lembaga Taman Kanak-kanak (TK), meskipun sebagai lembaga pendidikan formal, sangat berbeda dengan lembaga pendikan SD, SMP, dan seterusnya. Dari nama lembaganya, yakni “taman” bukan

“sekolah”. Sebutan “Taman” pada Taman Kanak-kanak

mengandung makna “tempat yang aman dan nyaman (safe and comfortable) untuk bermain” sehingga pelaksanaan pendidikan di TK harus mampu menciptakan lingkungan bermain yang aman dan nyaman sebagai wahana tumbuh kembang anak (Moeslichatoen, 2009).

Taman Kanak-kanak merupakan salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non-formal dengan mengutamakan kegiatan bermain sambil belajar. Dalam buku yang diterbitkan oleh Depdiknas (2007) tentang pedoman teknis penyelenggaraan Taman Kanak-kanak dikemukakan bahwa:

Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) pada jalur pendidikan non-formal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun. Bermain bersama sangat bermanfaat bagi seseorang


(4)

anak dari pada bermain sendiri, karena dengan bermain bersama-sama anak bisa mendapatkan berbagai pengetahuan serta anak juga lebih mudah bersosialisasi. Bermain bersama-sama akan mendapatkan sesuatu yang tidak akan mungkin didapat dari bermain sendiri, seperti tenggang rasa, berpandangan positif, belajar menjadi seorang pemberi, pemurah dan berperasaan terhadap orang lain, tolong menolong serta dapat mengeksprerisikan kemampuan dan kebolehannya.

Tujuan kegiatan pendidikan pada Taman Kanak-kanak yang diterbitkan oleh Direktorat PADU (2002) yaitu “mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk siap memasuki pendidikan dasar”.

Prinsip-prinsip pendidikan dalam Taman Kanak-kanak 1) Setiap anak itu unik. Mereka tumbuh kembang dari

kemampuan, kebutuhan, keinginan, pengalaman dan latar belakang keluarga yang berbeda.

2) Anak usia 2-6 tahun adalah anak yang senang bermain. Bagi mereka bermain adalah cara mereka belajar.

3) Pendidik yang bertugas dalam kegiatan bermain adalah pendidik yang memiliki kemauan dan kemampuan mendidik, memahami anak, besedia mengembangkan potensi yang dimiliki anak, penuh kasih sayang dan kehangatan serta bersedia bermain dengan anak.


(5)

Anak yang dapat ditampung di TK adalah usia 4 – 6 tahun dengan lama Pendidikan 1 atau 2 tahun. Dan, pendidikan dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok A bagi anak usia 4 – 5 tahun dan kelompok B untuk anak usia 5 – 6 tahun. Pengelompokan ini bukan merupakan jenjang yang harus diikuti oleh setiap anak didik. Dengan kata lain, bahwa setiap anak didik dapat berada selama 1 (satu) tahun pada Kelompok A atau Kelompok B, atau selama 2 (dua) tahun pada Kelompok A dan Kelompok B (Moeslichatoen, 2009).

Tujuan Pendidikan TK pada dasarnya adalah (Moeslichatoen, 2009):

1. Membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal 1.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);

2. Mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003);

3. Membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990).


(6)

Berdasarkan Surat Edaran Mandikdasmen Depdiknas Nomor 1839/C.C2/TU/2009, Pelaksanaan pendidikan di TK menganut prinsip: ”Bermain sambil Belajar dan Belajar seraya Bermain”. Bermain merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi anak didik. Sebelum bersekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri.

Melalui pendekatan bermain, anak-anak dapat mengembangkan aspek psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni. Pada prinsipnya bermain mengandung makna yang menyenangkan, mengasikkan, tanpa ada paksaan dari luar diri anak, dan lebih mementingkan proses mengeksplorasi potensi diri daripada hasil akhir. Pendekatan bermain sebagai metode pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan anak didik, yaitu secara berangsur-angsur dikembangkan dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih dominan) menjadi belajar seraya bermain (unsur belajar mulai dominan). Dengan demikian anak didik tidak merasa canggung menghadapi pendekatan pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Derajat Pelaksanaan Kewirausahaan Kepala Sekoalh Taman Kanak-Kanak di Dinas Pendidikan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung T2 942011076 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Derajat Pelaksanaan Kewirausahaan Kepala Sekoalh Taman Kanak-Kanak di Dinas Pendidikan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung T2 942011076 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Derajat Pelaksanaan Kewirausahaan Kepala Sekoalh Taman Kanak-Kanak di Dinas Pendidikan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung T2 942011076 BAB IV

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Derajat Pelaksanaan Kewirausahaan Kepala Sekoalh Taman Kanak-Kanak di Dinas Pendidikan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung T2 942011076 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang T2 942008110 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang T2 942008110 BAB IV

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang T2 942008110 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Standar Kualitas Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang

0 1 8

Pendidikan Taman Kanak Kanak

0 0 6