Penentuan Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. Strain LSU20 dalam Mendegradasi Dibenzotiofena pada Model Minyak Tetradekana.

(1)

i

PENENTUAN KONDISI PERTUMBUHAN Pseudomonas sp. STRAIN LSU20 DALAM MENDEGRADASI DIBENZOTIOFENA PADA MODEL

MINYAK TETRADEKANA

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana

Oleh: Muhammad Iqbal

1111205013

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN


(2)

ii

Muhammad Iqbal (1111205013). Penentuan Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. Strain LSU20 dalam Mendegradasi Dibenzotiofena pada Model Minyak Tetradekana. Di bawah bimbingan Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D. dan I Wayan Arnata, S.TP., M.Si.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi pertumbuhan

Pseudomonas sp. strain LSU20 sebagai biokatalis pada proses desulfurisasi 200 ppm dibenzotiofena pada 1 mL tetradekana (TD). Bakteri LSU20 diinokulasikan pada media dua fase yaitu MSSF-DBT (fase air 5 mL MSSF dan fase minyak konsentrasi 200 ppm DBT pada 1 mL TD) menggunakan shaker waterbath

dengan kecepatan rotasi 150 rpm selama 96 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam mendesulfurisasi 200 ppm DBT dalam 1 mL TD terbaik pada suhu 37oC, pH media awal 7 dan sumber karbon glukosa, pertumbuhan bakteri LSU20 0,906 (OD660nm) dan mendesulfurisasi 200 ppm DBT dalam 1 mL TD sebesar 76,9%. Kata kunci: LSU20, dibenzotiofena, tetradekana, biodesulfurisasi.


(3)

iii

Muhammad Iqbal (1111205013). Growth condition determined of Pseudomonas sp strain LSU20 for Dibenzothiophene Degradated in Oil Model n-tetradecane. Supervised by Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D. and I Wayan Arnata, S.TP., M.Si.

ABSTRACT

This research were to determined growth condition of Pseudomonas sp. strain LSU20 as biocatalyst for desulfurizated 200 ppm dibenzothiophene (DBT) in 1 mL n-tetradecane (TD).. The bacterium were inoculated in two phase medium MSSF-DBT (water phase 5 ml MSSF broth and oil phase 200 ppm DBT in 1 mL TD). LSU20 were inoculated on waterbath shaker in speed rotation 150 rpm for 96 hours. The result showed that the best growth condition of LSU20 to desulfurized 200 ppm DBT in 1 mL TD is temperature 37oC, pH medium 7 and carbon source glucose, the growth cell of Pseudomonas sp. strain LSU20 showed at 0,906 (OD660nm) and desulfurited 200 ppm DBT in TD with rate 76,9%.


(4)

iv RINGKASAN

Pemanfaatan minyak bumi telah berkembang pesat sejak era industri pada abad ke-19 hingga diawal abad ke-21. Salah satu hasil turunan minyak bumi adalah solar (diesel) dengan kandungan sulfur mencapai 3-5% (Simanzhenkov, 2003). Emisi pembakaran minyak bumi jenis solar ini menghasilkan jenis-jenis polutan di atmosfer diantaranya, Sulfur Oksida ( ), Nitrit Oksida ( ), ammonia, dan hidrokarbon non methan yang menyebabkan hujan asam (Anonim, 1983).

Salah satu cara penurunan kandungan sulfur pada minyak bumi adalah teknik Hidrodesulfurisasi (HDS). Hidroesulfurisasi adalah pengurangan kandungan sulfur pada suhu dan tekanan tinggi (Speight, 2008). Sulfur aromatik seperti benzotiofena, dibenzotiofena dan lain-lain sangat sukar didesulfurisasi pada proses HDS disebabkan senyawa-senyawa tersebut sangat jenuh untuk bereaksi. Tingginya kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan menetapkan kandungan sulfur pada minyak bumi harus memiliki kadar sulfur bawah 200 ppm (Ramirez, 2007).

Teknik biodesulfurisasi (BDS) digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur serendah mungkin. Biodesulfurisasi adalah salah satu bioteknologi yang memanfaatkan bakteri atau enzim sebagai biokatalis untuk mendesulfurisasi sulfur khususnya sulfur aromatik yang sulit terdegradasi (Ramirez, 2007). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari bakteri yang berpotensial dalam mendesulfurisasi sulfur diantaranya Rhodococcus sp. strain IGST8 (Gallagher et al., 1993), Gordonia sp. strain CYSK1 (Rhee et al., 1998) dan Pseudomonas sp. strain LSU20 (Prasetya, 2015). Prasetya (2015) telah berhasil mengisolasi bakteri


(5)

v

dari tanah tercemar minyak bumi selama bertahun-tahun di daerah Langkat, Sumatera Utara. Bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 mampu mendesulfurisasi 200 ppm dibenzotiofena (DBT) dalam tetradekana (TD) pada suhu pertumbuhan 45ºC, pH medial awal 7 dan sumber karbon glukosa. Suhu, pH media awal dan sumber karbon kondisi pertumbuhan terbaik dari bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam mendesulfurisasi DBT sendiri belum pernah diteliti . Para peneliti terdahulu telah melakukan penelitian dengan berbagai variasi pH pada bakteri yang berpotensi dalam mendesulfurisasi sulfur diantaranya Rhodococcus sp.

Strain WU-K2R (Kirimura et all, 2002) pada pH 7, Rhodococcus sp. strain IGST8 (Konishi et al, 1997) pada pH 8, dan Sulfolobus acidocaldarius (Karagi et al,1982). Berbagai jenis sumber kabon digunakan untuk meningkatkan proses desulfirisasi oleh bakteri diantaranya, Escherichia coli (Reichmuth et al, 2000) menggunakan gliserol sebagai sumber karbon, Sulfolobus acidocaldarius ( Ju et al, 1998) memanfaatkan sukrosa sebagai sumber karbon, dan Pseudomonas sp (Leon et al, 1993) mampu memanfaatkan asam sitrat sebagai sumber karbon pertumbuhannya.

Suhu, pH awal media dan sumber karbon adalah komponen penting dalam pertumbuhan bakteri, khususnya bakteri pendegradasi sulfur (Gupta, 2004). Maka dari itu perlu dilakukan penelitian untuk menentukan kondisi pertumbuhan

Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam mendesulfurisasi sulfur dibezotiofena untuk memaksimalkan potensi bakteri tersebut pada proses BDS.

Kultur stock dari bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 diremajakan kembali pada medium tumbuh 5 mL MSSF-CA selama 96 jam pada suhu ruang (±30oC), digojog menggunakan shaker dengan kecepatan gojog 150 rpm, lalu


(6)

vi

diinokulasikan lagi pada volume yang lebih besar yaitu 150 mL MSSF-CA selama 96 jam dengan suhu ruangan menggunakan shaker dengan kecepatan gojog 150 rpm. Setelah itu suspensi sel disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit pada suhu 4ºC untuk memisahkan sel dengan medium cair. Sel murni ditetapakan menjadi OD:5 ( ) sehingga dapat digunakan sebagai kultur kerja.

Kultur kerja diinokulasikan pada medium MSSF-DBT (5 mL MSSF dan 1 mL tetradekana dengan konsentrasi 200 ppm DBT) dengan variasi suhu 33ºC, 37ºC, 41ºC, 45ºC, and 49ºC; variasi pH awal media 5; 5,5; 6; 6,5; 7; 7,5; dan 8; variasi sumber karbon seperti glukosa, sukrosa, asam sitrat, dan gliserol. Waktu inokulasi selama 96 jam dengan kecepatan rotasi 150 rpm menggunakan

waterbath shaker. Hasil inokulasi dipisahkan fase air dan fase minyak. Fase air dianalisis pertumbuhannya dengan menghitung tingkat kekeruhan serta perubahan pH medium sebelum dan setelah inkubasi menggunakan spektofotometer dan pH meter, sedangkan fase minyak dianalisis tingkat degradasi DBT menggunakan gas chromatography dengan detector mass selective.

Hasil penelitian menunjukan bahwa suhu 37ºC, pH awal media 7, dan sumber karbon glukosa dengan kecepatan rotasi waterbath shaker diatur pada kecepatan rotasi 150 rpm. Selama waktu 96 jam inokulasi Pseudomonas sp. strain LSU20 mampu mendegradasi 200 ppm DBT pada 1 mL tetradekana berkurang hingga 76,9% dengan tingkat pertumbuhan yang diamati melalui variabel tingkat kekeruhan medium tumbuh yaitu 0,906 (OD660nm).


(7)

vii

Skripsi ini telah mendapat persetujuan pembimbing

Pembimbing I

Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D. NIP. 19630424 198903 1 003

Pembimbing II

I Wayan Arnata, STP., M.Si. NIP. 19780620 200501 1 002

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Dr. Ir. I Dewa Gede Mayun Permana, MS. NIP. 19591107 198603 1 004


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Iqbal dilahirkan di Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan, Sumatera Utara pada 18 Februari 1993. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Adi Hariyanto dan Rita Ernawati.

Penulis mulai menempuh pendidikan di SD Islam Swasta Ulumul Qur’an Medan tahun 1999 dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Swasta Harapan Mandiri tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 2 Medan dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 Penulis diterima di perguruan tinggi melaluli jalur SNMPTN tertulis dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Selama tercatat sebagai mahasiswa FTP, penulis aktif di keorganisasian baik dalam lingkungan fakultas dan universitas. Penulis aktif dibeberapa kegiatan kemahasiswaan seperti kepanitiaan dan lain sebagainya di lingkungan kampus Universitas Udayana.


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penentuan Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. Strain LSU20 dalam Mendegradasi Dibenzotiofena pada Model Minyak Tetradekana” dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis atas bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D., sebagai dosen pembimbing I dan Bapak I Wayan Arnata, S.TP., M.Si., sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu, membimbing dan mengarahkan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr. Ir. Dewa Gede Mayun Permana, MS., selaku Dekan Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

3. Ibu Ir. Amna Hartiati, MP., selaku Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

4. Segenap staf dosen dan pegawai Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

5. Segenap teknisi Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Laboratorium Bioindustiri Fakultas Teknologi Pertanian, dan Laboratorium Forensik


(10)

x

Polda Bali atas bimbingan, kemudahan dan petunjuk selama penelitian hingga penyusuan skripsi ini selesai.

6. Penyandang dana dari Dikti yang diketuai oleh Bapak Ir. Ida Bagus Wayan Gunam, MP., Ph.D., dalam penelitian Hibah Kompetensi (Hikom) yang telah memberikan dana untuk kelancaran penelitian.

7. Ayah, ibu, adik, dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan motivasi, dukungan dan doa kepada penulis selama masa kuliah, penelitian dan penyusunan skripsi.

8. Teman-teman TIP Angkatan 2011; Panji H., Hendra P., Farhandi S., Novi Dwi, Paramananda J., Gora A., Trisna Budiari, Nita W., K. Juliani, Alfiana A., Chintya A., Kiki V., Dwiyan R., Brahmantara, Dayu Adi, Krisna P., Surya A., dan seluruh teman-teman FTP Angkatan 2011, terima kasih telah banyak membantu dan memberikan kesan tak terlupakan bagi penulis selama masa perkuliahan, pratikum, penelitian dan hingga akhir skripsi ini

9. Teman-teman TIP Angkatan 2010: Bimby Issassam, Putu Setiabudi, Wisma P., Bayu Chandralia, Ninik Indah, dan seluruh angkatan 2010 terima kasih telah banyak membantu selama masa perkuliahan, penelitian dan hingga akhir skripsi ini.

10.Teman-teman SMA: Andi Putra, Yudha Yudhiesta, Yoga Roza, Nico Achadita, Galuh C., Iqbal Pasaribu, Tri Rahayu, Mia Audina, Fadli Miraza, Denny P., Adly Farizan, Khadafi A., Habib A., Farul, Aldi S., Andri P, Riko T, Ismail, Riswan H., Siti Nadhira, dan semua teman-teman yang telah membantu mensupport Penulis hingga akhir skripsi ini.


(11)

xi

Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. membalas semua budi baik ini dengan balasan yang lebih baik. Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bukit Jimbaran, April 2016


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSYARATAN . ... i

ABSTRAK . ... ii

ABSTRACT . ... iii

RINGKASAN . ... iv

HALAMAN PENGESAHAN . ... vii

RIWAYAT HIDUP . ... viii

KATA PENGANTAR . ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Hipotesis ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Bakar Fosil dan Polusi Udara ... 7

2.2. Senyawa Sulfur pada Minyak Bumi ... 9


(13)

xiii

2.3.1. Hidrodesulfurisasi ... 11

2.3.2. Biodesulfurisasi ... 13

2.4. Isolasi Bakteri Pendegradasi Sulfur dari Tanah Tercemar Langkat, Sumatera Utara ... 15

2.5. Pertumbuhan Bakteri (Growth Cells)... 16

2.5.1. Suhu ... 18

2.5.2. Derajat keasaman (pH) ... 19

2.5.3. Sumber Karbon (Cx) ... 20

2.5.3.1. Glukosa ... 21

2.5.3.2. Sukrosa ... 22

2.5.3.3. Gliserol ... 23

2.5.3.4. Asam sitrat ... 24

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 26

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 26

3.2.1. Alat ... 26

3.2.2. Bahan... 26

3.2.2.1. Strain bakteri dan media... 26

3.2.2.2. Bahan lainya ... 27

3.3. Pelaksanaan Penelitian ... 27

3.3.1. Pembuatan media selektif MSSF ... 27

3.3.2. Persiapan kultur kerja ... 28

3.3.3. Penentuan kondisi pertumbuhan ... 28

3.4. Variabel yang Diamati ... 32


(14)

xiv

3.4.2. Pengukuran derajat keasaman (pH) ... 32

3.4.3. Pengukuran kadar DBT ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penentuan Suhu Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. Strain LSU20 ... 34

4.2. Penentuan pH Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LSU20 ... 37

4.3. Penentuan Sumber Karbon Kondisi Pertumbuhan Pseudomonas sp. Strain LSU20 ... 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(15)

xv

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Hasil akhir dari Hidroproses selama pengilangan minyak ... 12 2.2 pH minimum, optimal dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa

spesies bakteri ... 20 4.1 Pertumbuhan, pH, dan degradasi DBT Pseudomonas sp. strain LSU20

pada suhu inkubasi berbeda ... 34 4.2 Pertumbuhan, pH akhir setelah inkubasi, dan degradasi DBT oleh

Pseudomonas sp. Strain LSU20 dengan berbagai pH awal media pertumbuhan. ... 37 4.3 Pertumbuhan, pH akhir setelah inkubasi, dan degradasi DBT oleh

Pseudomonas sp. Strain LSU20 dengan berbagai sumber karbon media pertumbuhan. ... 40


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Sumber polusi udara (Anonim, 2011) ... 9

2.2 Struktur kimia dari sulfur yang terkandung di minyak bumi (Karim et al., 2010) ... 11

2.3 Tipe sulfur yang mengandung komponen organic (Prayuenyong, 2002) .... 11

2.4 Reaksi hidrodesulfurisasi dari beberapa tipe komponen sulfur pada minyak bumi (Speight, 2008) ... 13

2.5 Skema biodesulfurisasi dari degradasi DBT secara oksidasi (Monticello, 2000) ... 15

2.6 Kurva pertumbuhan bakteri (Black, 2012) ... 17

2.7 Tingkat pertumbuhan yang berbeda dari berbagai tipe mikroorganisme pada rangsangan temperatur (Funke et al, 2013) ... 19

2.8 Rantai hidrokarbon glukosa dan fruktosa (Anonim, 2015) ... 22

2.9 Rumus molekul pembentuk sukrosa (Anonim, 2015) ... 23

2.10 Struktur kimia dari gliserol pada Trigelyceride (Labarge, 2008) ... 24

2.11 Struktur kimia asam sitrat (Anonim, 2015)... 25

3.1 Diagram alir persiapan kultur kerja... 28

3.2 Diagram alir penentuan suhu pertumbuhan ... 29

3.3 Diagram alir penentuan pH media awal pertumbuhan ... 30

3.4 Diagram alir penentuan sumber karbon pertumbuhan ... 31

4.1 Pengaruh variasi suhu terhadap aktivitas pertumbuhan dan desulfurisasi Pseudomonas sp. strain LSU20 selama 96 jam Inkubasi ... 36

4.2 Pengaruh variasi pH terhadap aktivitas pertumbuhan dan desulfurisasi Pseudomonas sp. strain LSU20 selama 96 jam Inkubasi ... 39

4.3 Pengaruh variasi Sumber karbon terhadap aktivitas pertumbuhan dan desulfurisasi Pseudomonas sp. strain LSU20 selama 96 jam Inkubasi ... 40


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Tahap preparasi kultur kerja... 49

2. Penentuan suhu kondisi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LSU20 ... 50

3. Penentuan pH kondisi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LSU20 ... 51

4. Penentuan sumber karbon kondisi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LSU20 ... 52

5. Hasil inkubasi 96 jam pada variasi pH media awal dan sumber karbon ... 53

6. Tabel luas are standar dibenzotiofena dan grafik persamaan linier ... 54

7. Tabel data hasil pengamatan pengujian dengan variasi suhu, pH media awal, dan sumber karbon ... 55

8. Cromatogram hasil pengamatan ... 57

8a. Kromatrogram Standart DBT 200 ppm ... 57

8b. Kromatrogram hasil pengamatan pada perlakuan suhu 37ºC ... 58

8c. Kromatrogram hasil pengamatan pada perlakuan pH 7 ... 59


(18)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Minyak bumi adalah salah satu sumber energi yang digunakan untuk proses industri dan transportasi. Penggunaan minyak bumi telah berkembang pesat sejak era industrial pada abad ke-19 hingga diawal abad ke-21. Minyak bumi memiliki kandungan senyawa karbon (84-87%), hidrogen (12-14%), serta oksigen dan nitrogen (1-2%), namun kandungan sulfur pada minyak mentah mencapai 3-5%. Beberapa kandungan minyak bumi ini sangat berpengaruh besar dalam terjadinya berbagai polusi dibumi.

Berbagai emisi pembakaran minyak bumi ini menyebabkan terjadinya hujan asam. Hujan asam sendiri telah menjadi salah satu isu global yang sangat diperhatikan di kalangan pengamat lingkungan. Sebab emisi hasil pembakaran dari industri dan kenderaan bermotor menyebabkan terbentuknya Sulfur Oksida ( ), Nitrit Oksida (( ) dan membentuk endapan asam pada awan (Anonim, 1983). Kendati sumber alami dari polusi sulfur sendiri berasal dari lautan dan erupsi gunung berapi, tidak sampai menimbulkan terjadinya fenomena hujan asam jika dibandingkan polusi yang berasal dari emis pembakaran tersebut (Anonim, 2008).

Menurut Ying-zi et al (2012) hujan asam menyebabkan penurunan durasi elastisitas dan ketahanan pada benda berbahan bebatuan, hal ini terjadi ketika masa korosi selama 15 hari menyebabkan kerusakan pada bahan bebatuan seiring durasi korosi yang semakin lama. Tidak hanya itu, hujan asam juga menimbulkan


(19)

2

beberapa kerugian pada lingkungan, diantaranya penurunan pH tanah menjadi kurang dari pH 5,6, dimana penurunan pH tanah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada ekosistem dan adaptasi dari beberapa tanaman dan pepohonan (Anonim, 2008). Namun beberapa penelitian terdahulu telah mengidentifikasi derajat keasaman yang ada pada beberapa air hujan di beberapa negara, diantaranya Jepang yang telah berada pada pH 4,7 dan China pH 4,1 s.d 5,4 selama fenomena hujan asam diidentifikasi terjadi di negara tersebut (Anonim, 2008). Dengan berkurangnya pH ditanah menyebabkan berbagai makhluk hidup khususnya tumbuhan tidak mampu tumbuh dengan baik dan bahkan menyebabkan kerusakan ekosistem yang sangat mengkhawatirkan.

Turunan minyak bumi seperti solar (diesel) memiliki aturan tersendiri untuk kadar sulfur dan senyawa aromatik untuk legalitas kualitas pada lingkungan (Simanzhenkov, 2003). Salah satu cara pencegahan yang dini dilakukan industri perminyakan adalah dengan pengurangan kandungan sulfur pada minyak bumi melalui teknik Hidrodesulfurisasi (HDS). Namun pada prosesnya HDS tidak selalu mampu mendegradasi senyawa sulfur aromatik heterosiklis yang ditemukan dalam fraksi yang besar. Biaya yang dikeluarkan pada proses HDS sendiri sangat mahal sebab teknik ini membutuhkan suhu dan tekanan yang sangat tinggi (Guerinik dan Muttawah, 2003). Kini dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi serta kesadaran masyarakat khusunya pemerintahan terpusat akan bahayanya hujan asam. Teknik biodesulfurisasi terus disempurnakan untuk mendegradasi kandungan sulfur pada minyak bumi.

Teknik biodesulfurisasi (BDS) adalah pemanfaatan bakteri atau enzim yang dihasilkan sebagai biokatalis pendegradasi sulfur, khusunya sulfur aromatik


(20)

3

yang sulit didegradasi pada teknik HDS (Monticello, 2000). Para peneliti berlomba-lomba mengisolasi mikroorganisme yang mampu mengikat komponen sulfur (Ikatan C-S) tanpa memutus ikatan tanpa sulfur (ikatan C-C) yang berada pada komponen sulfur organic, sehingga energi yang dihasilkan tidak berkurang akibat terputusnya rantai karbon (C) (Van Hamme et al., 2003).

Terlebih lagi regulasi yang dikeluarkan Uni Eropa pada tahun 2011 mengharuskan kandungan sulfur pada bahan bakar diesel berada pada kisaran 50 ppm atau kurang. Dan target selanjutnya yang ingin dicapai para peneliti adalah mengurangi kadungan sulfur hingga 10-15 ppm (Bachmann et al., 2013). Maka penggunaan strain bakteri yang spesifik sebagai biokatalis sangat berperan penting dalam pendegradasian kandungan sulfur aromatik yang terkandung dalam minyak jenis diesel. Penurunan suhu pasca proses HDS hingga proses BDS menjadi salah satu perhatian peneliti, sebab hal ini menyita biaya yang cukup mahal.

Berbagai bakteri pendegradasi sulfur yang telah diteliti mampu tumbuh pada suhu tinggi, diantaranya spesies Gordona strain CYKS1 (Rhee et al., 1998),

G. rubropertinctus strain T08 (Matsui et al., 2001), spesies Rhodococcus erythropolis strain sp. IGTS8 (Watkins et al., 2003), dan spesies Encherichia coli (Reichmuth et al, 2000) mampu mendegradasi sulfur aromatik pada suhu 30˚C - 37˚C. Tidak hanya itu spesies Paenibacillus strain (Konishi et al., 1997) dan

Mycobacterium phlei strain GTIS10 (Keyser et al., 2002) mampu tumbuh optimal pada suhu yang lebih tinggi yaitu 50˚C.

Penelitian ini adalah penelitian lanjutan yang telah dilakukan oleh Prastya (2015). Prasetya (2015), mengisolasi berbagai bakteri yang diperkirakan mampu mendegradasi sulfur yang ditemukan pada sample tanah tercemar minyak bumi


(21)

4

selama bertahun-tahun di daerah Langkat, Sumatera Utara. Pada penelitian dilaporkan bahwa bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 mampu mendegradasi sulfur aromatik dengan taraf tertinggi dari berbagai isolat lainnya. Selama metode isolasi, Prasetya (2015) menggunakan suhu 45°C dan pH 7 dengan variable yang diamati adalah pertumbuhan bakteri (OD_660nm) serta perubahan pH media tumbuh dan tingkat degradasi sulfur aromatik dengan menggunakan gas chromatography. Model minyak yang digunakan pada penelitian ini adalah tetradekana dengan kandungan 200 ppm dibenzothiofena sebagai sumber sulfur (Prasetya, 2015). Penelitian tersebut peneliti belum menetetapkan kondisi petumbuhan dari Pseudomonas sp. strain LSU20 terbaik, baik dari segi suhu, pH, dan sumber karbon yang diaplikasikan dalam penelitian terdahulu dianggap masih belum mampu menimbulkan tingkat degradasi yang signifikan.

Suhu inokulasi Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam proses biodesulfurisasi diharapkan berada pada suhu yang cukup tinggi guna menghemat biaya dan mempersingkat proses pendinginan pasca proses hidrodesulfurisasi. Derajat keasaman (pH) media dapat menjadi titik penentuan efisiensi pengunaan bakteri dalam proses biodesulfurasi, dimana pada titik tertentu beberapa enzim yang dihasilkan oleh bakteri mampu aktif dan bekerja secara efisien (Funke, 2013). Sementara sumber karbon yang digunakan diharapkan mampu meningkatkan aktivitas pertumbuhan bakteri dalam mendegradasi sulfur aromatik. Maka tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kondisi pertumbuhan dari bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam mendegradasi dibenzothiopena pada proses BDS. Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui seberapa besar potensi


(22)

5

bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 dalam mendegradasi dibenzotiofen pada model minyak tetradekana.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Suhu kondisi pertumbuhan berapakah yang memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 ?

2. pH media awal kondisi pertumbuhan berapakah yang memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 ? 3. Sumber karbon kondisi pertumbuhan apakah yang memberikan tingkat

degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20 ?

1.3. HIPOTESIS

1. Pada suhu kondisi pertumbuhan tertentu memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20.

2. Pada pH media awal kondisi pertumbuhan tertentu memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20. 3. Pada sumber karbon kondisi pertumbuhan tertentu memberikan tingkat

degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas sp. strain LSU20.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui suhu kondisi pertumbuhan berapakah yang dapat memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas

sp. strain LSU20.

2. Mengetahui pH media awal pertumbuhan berapakah yang dapat memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas


(23)

6

3. Mengetahui sumber karbon kondisi pertumbuhan apakah yang memberikan tingkat degradasi DBT tertinggi oleh bakteri Pseudomonas

sp. strain LSU20.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini yaitu akan dapat meningkatkan efisien proses desulfurisasi minyak bumi jugasebagai komplementer pada proses pengilangan minyak bumi. Pada proses pengilangan minyak bumi dan hidrodesulfurisasi minyak bumi dilakukan pada suhu tinggi, dengan demikian penurunan kandungan sulfur pada tahap berikutnya melalui proses biodesulfurisasi memerlukan penurunan suhu yang lebih sedikit sehingga dapat menghemat energi untuk menurunkan suhu sampai suhu optimal pertumbuhan bakteri yang digunakan dan manfaat lain pada perkembangan Ilmu Pendidikan dan Teknologi (IPTEK).


(24)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Bakar Fosil dan Polusi Udara

Aktivitas manusia sangat bergantung pada tersedianya energi, baik itu energi yang berasal dari cahaya matahari, panas bumi, dan yang paling banyak dimanfaatakan adalah sumber energi dari konversi bahan bakar fosil yaitu minyak bumi. Selain sumbernya yang mudah ditemukan diberbagai belahan dunia, proses produksi minyak bumi tergolong lebih mudah. Minyak bumi telah menjadi pilihan utama sumber energi yang dimanfaatkan saat ini. Sejarah panjang antara manusia yang memanfaatkan bahan bakar fossil sudah dimulai oleh bangsa Babylonia, yaitu menggunakan minyak bumi sebagai pelapis dinding batu dalam membangun (Simanzhenkov, 2003). Bangsa Yunani menggunakan minyak bumi sebagai senjata untuk berperang. Mereka melumuri panah mereka dengan minyak dan membakarnya ketika berperang, yang terkenal dengan istilah Greek Fire. Sedangkan Industri minyak bumi sendiri sudah dimulai sejak tahun 1859 di Pennsylvenia, Amerika Serikat (Simanzhenkov, 2003).

Revolusi industri di Inggris dan Eropa pada akhir abad ke18 hingga abad ke-19, menjadi pendorong semakin banyaknya penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama segala bentuk aktivitas manusia. Baik dari aspek pabrikan, pertambangan, pertanian, dan yang paling berkembang sangat pesat hingga akhir abad ke-20 adalah industri transportasi dan perminyakan itu sendiri (Anonim, 2015a). Transportasi menggunakan bahan bakar fosil baik jenis bahan bakar gasoline, avtur untuk pesawat dan diesel yang digunakan dalam berbagai jenis industri.


(25)

8

Penggunaan bahan bakar fossil hingga tahun 2015 mencapai 93,7 juta barrel

per hari, dengan peningkatan pertahunnya mencapai 1,9 juta barrel per tahun (Anonim, 2015b). Menurut data yang didapat dacri Kepolisan RI, Indonesia sendiri memiliki jumlah kendaraan bermotor sebanyak 104 juta unit pada tahun 2013 (Anonim, 2015c). Jumlah yang besar ini tentunya masih didominasi jenis kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Emisi-emisi pembakaran yang dihasilkan kendaraan bermotor adalah salah satu agen penyebab polusi udara.

Menurut Likens (2011), emisi pembakaran bahan bakar yang menghasilkan

, , ammonia dan lain-lain ini adalah penyebab utama terbentuknya hujan asam. Siklus terbentuknya hujan asam sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.1. Sulfur dioksida bereaksi dengan oksigen di udara dengan reaksi kimia sebagai berikut ;

+ 

Sulfur dioksida ( ), adalah salah satu agen terbentuknya hujan asam. Hasil pembakaran sempurna hanya menciptakan dan serta . jika pembakaran tersebut tidak sempurna, hasil pembakaran ini menghasilkan partikel-partikel karbon dan hidrokarbon kompleks serta senyawa organik yang teroksidasi sebagian itu akan menjadikan kandungan pada awan menjadi asam (Goubin et al, 2006), dan jika hujan dengan kandungan asam ini turun ke tanah akan mengakibatkan penurunan pH pada tanah dan peningkatan tingkat korosi pada bahan logam. Penurunan pH hingga pH 3,7 mengindikasikan tanah yang tercemar 80 kali lebih asam jika dibandingkan dengan tanah yang tidak tercemar. Dampak dari hujan asam ini juga dapat mengakibatkan kematian pada organisme air, tanaman pertanian, dan kerusakan pada gedung (Gunam et al., 2006).


(26)

9

Gambar 2.1 Sumber polusi udara (Anonim, 2015)

2.2 Senyawa Sulfur Pada Minyak Bumi

Minyak bumi memiliki berbagai kandungan senyawa kimia, diantaranya 86% karbon, 11,8% Hidrogen, Nitrogen dan Oksigen kurang dari 2%. Sadangkan Sulfur sendiri memiliki kandungan hingga 2% pada minyak bumi (Simanzhenkov, 2003). Jumlah sulfur sendiri pada Minyak bumi diantara skala 1000 ppm hingga di atas 30.000 ppm. Tipikal konsentrasi sulfur pada solar (diesel) berada pada kadar 5000 ppm (Monticello, 2000).

Kandungan sulfur ini termasuk thiol, sulfida, polisulfida, thiopenic, dan alkil-subtitusi isomer dari komponen thiopenic yang juga mengandung berbagai cincin aromatik. Sulfur aromatik heterosiklik seperti thiofene, dibenzotiofena, benzotiofena, dan benzonaphtotiofena yang termasuk kedalam karsiogenik (Karim

et al., 2010). Sulfur telah menjadi salah satu agen utama polusi di udara. Sulfur yang masih terkandung dalam bahan bakar akan mengkontaminasi udara menjadi

Sulfur Oxide ( ). Kebanyakan dari sulfur ini akan mengikat air di udara, baik

Sulfur Dioxide ( ) hingga Sulfur trioxide ( ). Sulfur Dioxide ( ) dalam jumlah besar termasuk dalam gas beracun. World Health Organitation (WHO)


(27)

10

menganjurkan batas kadar Sulfur Dioxide ( ) ini tidak lebih dari 0.5 ppm dalam 24 jam maksimal paparan. Konsentrasi sebesar 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan; 20 ppm menyebabkan iritasi mata; dan 10,000 ppm akan menyebaban iritasi di kulit hanya dalam hitungan menit (Czaplicka et al., 2013). Bahan bakar berupa turunan minyak bumi sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, diantaranya (Simanzhenkov, 2003) :

- Low sulfur Oil ; mengandung tidak lebih dari 0,5% sulfur, bensin kurang dari 0 % dan Solar kurang dari 0,2% sulfur.

- High sulfur petroleum ; Mengandung 2% sulfur baik pada bensin maupun diesel.

Dibenzotiofena (DBT) sendiri adalah salah satu sulfur aromatik yang terkandung di dalam minyak bumi baik berupa bensin dan solar. Dibenzotiofena adalah cincin tiga aromatik poli aromatik heterosiklik (PAH), yang diantaranya 2 cincin aromatik dan 1 cincin penta yang berada ditengah cincin aromatik yang berada di siklopenta. Rumus molekul dari dibenzotiofena dapat dlihat pada Gambar 2.2 Sulfur ini memilki massa kandungan molekul yang tinggi serta dapat ditemukan pada minyak bumi yang belum di proses. Sulfur pada minyak bumi biasanya megandung seri homolog yang berupa kandungan alkyl C1 hingga C3 dari dibenztiofena (Irwin, 1997). Menurut Ulfa et al. (2013), Dibenzotiofena (DBT) bersifat kurang reaktif (sukar di-desulfurisasi), jika DBT dapat di desulfurisasi maka komponen yang lain dapat disingkirkan. Berbagai senyawa sulfur hidrokarbon dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(28)

11

Gambar 2.2 Struktur kimia dari sulfur yang terkandung di minyak bumi (Karim et al., 2010)

Gambar 2.3 Tipe sulfur mengandung komponen organik (Shennan, 1996 dalam Prayuenyong, 2002)

2.3. Penurunan kandungan sulfur 2.3.1 Hidrodesulfurisasi

Bahan bakar sebagai sumber energi pada dasarnya menggunakan proses psikokimia untuk tercipta, seperti destilasi dan katalis kimiawi pada kondisi suhu tinggi dan tekanan yang drastis (Simanzhenkov, 2003). Hidrodesulfurisasi (HDS) adalah teknik konvensional yang digunakan khusus untuk mengurangi sulfur dari solar, bekerja pada suhu 200-450°C dan memakai tekanan skala 150-200 psig

dalam katalis inorganik (Gupta, 2004). Teknik ini dilakukan guna menghasilkan bahan bakar solar yang berada pada takaran LSD atau low sulfur petro diesel


(29)

12

serta polar Oksigen dan nitrogen yang bedampak buruk pada sifat pelumas bahan bakar (Hou dan Shaw, 2008).

Aktivitas HDS sendiri tidak dapat diprediksi hanya dengan menggunakan pengukuran konvensional seperti total sulfur, logam, ataupun kandungan asphaltene-nya saja. Untuk memilih strategi proses yang efektif, dibutuhkan berbagai properti seperti reaksi kritikal yang terdapat di setiap tingkatan (Speight, 2008). Tabel 2.1 menunjukan aspek-aspek yang dikonversi dari proses HDS dan proses Hidrolisis (Hydrotreater) yang lain, selama proses pengilangan minyak bumi.

Tabel 2.1 Hasil akhir dari hidroproses selama pengilangan minyak

Reaksi Bahan Baku Tujuan

Bahan baku katalis reformer Mengurangi katalis yang beracun Bahan bakar Diesel (Solar) Spesifikasi Lingkungan

Destilasi bahan bakar

minyak Spesifikasi Lingkungan

Bahan baku kilang minyak Mengurangi katalis yang beracun Bahan baku batu bara Mengurangi kandungan sulfur pada

batu bara

Minyak pelumas kenderaaan Meningkatkan stabilitas

Bahan baku katalis pemecah Mengurangi katalis yang beracun Bahan baku batu bara Mengurangi katalis yang beracun

Bahan baku katalis pemecah Menghindari disposisi logam Menghindari terciptanya gumpalan Menghindari rusaknya katalis Bahan baku kilang minyak Menghindari disposisi logam

Menghindari terciptanya gumpalan Menghindari rusaknya katalis

Bahan baku katalis pemecah Mengurangi terciptanya gumpalan pada katalis

Residu Mengurangi hasil gumpalan

Minyak berat Mengurangi hasil gumpalan


(30)

13

Selama kondisi proses HDS, senyawa Thiol mengalami reaksi yang menyebabkan terbukanya rantai karbon dan Sulfida Siklik dikonversi menjadi jenuh tergantung dari komponen aromatiknya. Gambar 2.4 menunjukkan reaksi yang terjadi selama proses HDS, yaitu benzotiofenadikonversi menjadi senyawa alkil aromatik, sementara dibenzotiofena biasanya dikonversi menjadi berbagai varian biphenyl (Speight, 2008).

Gambar 2.4 Reaksi hidrodesulfurisasi dari beberapa tipe komponen sulfur pada minyak bumi (Speight, 2008)

2.3.2. Biodesulfurisasi

Desulfurisasi secara biologis mempunyai potensi menjadi pengembangan dari teknologi hilir seperti metode Hidrodesulfurisasi (HDS). Berbagai varian metode dikembangkan untuk menyempurnakan proses HDS berdasarkan mikrobiologis desulfurisasi secara anaerobik dan aeorobik (Gupta, 2004). Katalis biologis bekerja di berbagai jangkauan kondisi. Termasuk penentuan suhu dan tekanan, yang sebelumnya diseleksi secara selektif untuk mengurangi biaya


(31)

14

energi, emisi minimal, dan tidak adanya turunan produk samping yang tidak diinginkan. Serta menyempurnakan teknik HDS yang terlebih dahulu dilakukan pada proses turunan minyak bumi. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa banyak senyawa sulfur aromatik yang tidak terdegradasi pada proses yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi.

Dibenzotiofena (DBT) sudah menjadi model komponen utama pada berbagai penelitian BDS. Berbagai jenis kultur mikroba, termasuk Gram-positif dan Gram-negatif kultur bakteri telah diisolasi bedasarkan kemampuannya untuk memanfaatkan DBT (molekul terkait) sebagai sumber Sulfur (Kilbane, 2006)

Gambar 2.5 menunjukan skema biodesulfurisasi pada pathway 4S, dszC

gene sebagai DBT monooksidase (DszC) katalis yang mengkonversi DBT menjadi DBT sulfone (DBTSO2). Enzim dszA gene sebagai Dibenzothiopena-5,5-dioksida monooksigenase (DszA) katalis yang mengkonversi DBTSO2 menjadi 2-hydroxylbiphenil-2-sulfinate (HBPSi). Serta enzim dszB gene sebagai 2-hydroxylbiphenil-2-sulfinate sulfinolyase (DszB) katalis yang mengkonversi HBPSi menjadi 2-Hydroxybiphenyl (2-HBP) dan Sulfinate. dszABC gene tecatat sebagai operon yang dapat ditemukan dalam plasmid yang besar pada bakteri yang mempunyai kemampuan desulfurisasi (Monticello, 2000).

Enzimologi dari skema desulfurisasi secara oksidasi telah ditetapkan melalui enzim murni dari berbagai sepesies bakteria yang berkompeten dalam proses desulfurisasi dan berbagai hasil analisis genetik (Kilbane, 2006). Hasil penelitian beberapa peneliti menemukan beberapa bakteri yang mempunyai potensi dalam mendegradasi sulfur, diantaranya Rhodococus rhodochorus IGTS8,


(32)

15

Lazarani, 1997). Dan hanya beberapa dari strain mikroba saja yang mampu mendegradasi sulfur pada suhu tinggi, sebab hasil yang diharapkan dari biodesulfurisasi sendiri yaitu biaya yang lebih sedikit untuk menurunkan suhu (energi) tentuya tidak memotong rantai karbon pada bahan bakar itu sendiri.

Gambar 2.5 Skema Biodesulfurisasi dari degradasi DBT secara Oksidasi (Monticello, 2000)

2.4 Isolasi Bakteri Pendegradasi Sulfur Dari Tanah Tercemar Langkat, Sumatera Utara

Bakteri adalah salah satu mikroorganisme yang tersebar luas diberbagai lapisan permukaan di bumi, tidak terkecuali di tanah yang tercemar oleh industry perminyakan. Peran bakteri pada tanah tidak hanya sebagai penyubur serta penyeimbang juga berperan sebagai agen pendegradasi senyawa hidrokarbon dan senyawa organic serta aromatic yang kompleks yang berasal dari tumpahan minyak bumi (Ambarazaitiene et al¸2013). Kemampuan dari berbagai bakteri ini yang nantinya digunakan sebagai dasar dalam penyembpurnaan proses pengilangan minyak guna menghilangkan senyawa sulfur organik ataupun aromatic pada kandungan minyak bumi.


(33)

16

Prastya (2015), telah mengisolasi beberapa bakteri yang berpotensial mendegradasi kandungan sulfur aromatik pada minyak bumi. Bakteri yang diisolasi dari tanah tercemar minyak bumi di Langkat Sumatera Utara mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi dibenzotiofena. Terdapat sepuluh isolat yang berpotensi mendegradasi dibenzotiofena dengan OD660 berkisar dari 0,599-1,137 dan tingkat degradasi berkisar dari 18,66-69,88%. Isolat LSU20 mempunyai kemampuan tertinggi dalam mendegradasi 200 ppm dibenzotiofena dalam tetradekana yaitu sebesar 69,88%. Berdasarkan karakteristik koloni, isolat LSU20 memiliki bentuk tidak beraturan, ukuran sedang, berwarna krem, tepian rata dan elevasi cembung. Berdasarkan uji morfologi sel, isolat LSU20 merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang (bacilli), dengan ukuran sel 2 µm, motil dan berdasarkan uji biokimiawi dengan menggunakan API 20E spesies isolat LSU20 adalah Pseudomonas sp.

2.5 Pertumbuhan Bakteri (Growth Cells)

Bakteri sebagai salah satu makhluk hidup bersel tunggal juga melakukan proses pertumbuhan dengan cara membelah diri. Hal ini ditandai oleh bertambahnya jumlah bakteri yang terbentuk bukan dari besarnya ukuran dari bakteri tersebut. Normalnya pertumbuhan bakteri terbentuk dari proses pembelahan biner (Funke, 2013).

Pembelahan biner (Fission Binery) adalah tahap suatu sel menduplikasi diri menjadi dua sel anak (daughter cell). Kedua sel baru ini memiliki sifat yang sama dengan sel tunggal diawal pembelahan, baik dari segi struktur DNA dan lainya (Funke, 2013).


(34)

17

Pertumbuhan bakteri memiliki beberapa fase (phase) (Funke, 2013), diantaranya: (1) Lag phase, yaitu fase dimana suatu sel berbubah sangat sedikit yang disebabkan suatu sel yang tidak segera bereproduksi dalam medium pertumbuhan yang baru, hal ini berlangsung selama satu jam hingga beberapa hari. (2) Log phase, yaitu fase yang paling aktif dari sebuah sel yang disebabkan pembelahan dari sel yang sedang dalam keadaan terbaiknya dalam menghasilkan metabolic. Bagi kebutuhan industri fase ini adalah fase paling efisien dalam tujuan pemanfaatan suatu bakteri (sel). (3) Stationary phase, yaitu suatu fase bakteri atau sel memiliki angka pertumbuhan dan kematian yang sama yang menyebabkan jumlah sel yang terbentuk tidak lebih tinggi atau setara. (4) Death phase adalah fase yang tingkat kematian sel lebih besar dan sel terus berkurang tanpa ada pembentukan sel baru lagi. Hal ini dapat terjadi selama beberap hari seusai dengan kemampuan bertahan hidup dari sel tersebut. pada Gambar 2.6 dapat dilihat grafik fase pertumbuhan dari sel mikroorganisme.

Gambar 2.6 Kurva pertumbuhan bakteri. (Black, 2012)

Ada beberapa faktor mempengaruhi pertumbuhan sel, diantaranya adalah suhu, pH, dan Nutrisi (Funke, 2013). Berbagai bakteri memiliki sifat-sifat yang berbeda dalam pertumbuhan sel dan waktu pertumbuhannya. Akan dijelaskan


(35)

18

beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sel (Growth Cell) pada bakteri pendegradasi sulfur.

2.5.1. Suhu

Kebanyakan dari mikroorganisme tumbuh pada suhu yang sama dengan suhu tubuh manusia. Namun, beberapa bakteria mampu tumbuh pada suhu yang sangat ekstrim. Tentunya pada suhu ini seluruh organisme eukarotik tidak mampu bertahan atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat dibedakan diklasifikasikan sebagai: psikofil, tumbuh pada pada 0 s.d 30˚C; mesofil, yang tumbuh pada 25 s.d 40˚C; dan termofil, yang tumbuh pada 50˚C atau lebih

(Pelczar, 1986).

Pertumbuhan berbagai spesies bakteri dibagi atas beberapa bagian yaitu pada temperatur minimal, maksimal, dan optimal. Suhu pertumbuhan minimum adalah terletak pada temperatur terendah suatu spesies akan tumbuh. Suhu pertumbuhan optimal adalah temperatur yang paling efisien, yang akan memacu pertumbuhan terbaik suatu spesies. Sedangkan suhu pertumbuhan maksimal adalah temperatur yang paling tinggi dimana pertumbuhan dapat berlangsung. Pada Gambar 2.7 di bawah kita dapat melihat respon antar area suhu dimana suhu pertumbuhan optimal selalu berada paling tinggi dari area. Hal ini disebabkan jika suhu yang terlalu tinggi menghambat aktifnya sistem enzimatis pada sel (Funke et al., 2013)

Penelitian terdahulu telah menemukan berbagai strain bakteri yang berpotensi sebagai biokatalis pada proses biodesulfurisasi. Berbagai strain tersebut memiliki suhu optimal yang beragam diantaranya spesies Gordona strain


(36)

19

CYKS1 (Rhee et al., 1998) dan G. rubropertinctus strain T08 (Matsui et al., 2001) pada suhu 30˚C, spesies R. erythropolis strain sp. IGTS8 pada suhu 35˚C

(Watkins et al., 2003), spesies Encherichia coli pada suhu 37˚C (Reichmuth et al, 2000) , dan spesies Paenibacillus Strain (Konishi et al., 1997) dan Mycobacterium phlei Strain GTIS10 (Keyser et al., 2002) mampu tumbuh optimal pada suhu 50˚C.

Gambar 2.7 Tingkat pertumbuhan yang berbeda dari berbagai tipe mikroorganisme pada ransangan temperatur (Funke et al., 2013) 2.5.2. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman optimal kebanyakan dari bakteria terletak diantara pH 6,5 dan 7,5. Namun beberapa bakteri mampu bertahan kadar pH yang paling rendah atau asam, bakteri ini biasa disebut acidophiles (Funke et al., 2013). Salah satu jenis bakteri yang ditemukan di air limbah yang telah terkontaminasi dari tambang batu bara dan mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfida, mampu bertahan hidup pada pH 1. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH minimum dan maksimum ialah 4 dan 9.


(37)

20

Pada kultivasi bakteri dalam suatu medium yang pH awalnya disesuaikan pada kadar 7, maka kemungkinan pH ini akan berubah akibat adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya. Hal ini menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan suatu organisme untuk seterusnya. Pergeseran pH dapat dihambat dengan menggunakan larutan penyangga yaitu suatu kombinasi garam-garam fosfat seperti dan , digunakan secara luas dalam media bakteriologis untuk tujuan ini (Konishi et al., 1997 ). Tabel 2.2 memperlihatkan beberapa jenis bakteri dan ketahanannya dalam beberapa kadar pH.

Tabel 2.2 pH minimum, optimal, dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri.

Bakteri

Kisaran pH untuk Pertumbuhan

Batas bawah Optimal Batas atas

Thiobacillus thiooxidans 0,5 2,0-3,5 6,0

Acetobacter aceti 4,0-4,5 5,4-6,3 7,0-8,0

Stophylococcus aureus 4,2 7,0-7,5 9,3

Azotobacter sp. 5,5 7,0-7,5 8,5

Chlorobium limicola 6,0 6,8 7,0

Thermus aquaticus 6,0 7,5-7,8 9,5

Sumber: Konishi et al. (1997)

Beberapa bakteri pendegradasi sulfur yang telah ditemukan memiliki pH media awal optimal pada kisaran pH 6,5 – 7. Berbagai bakteri tersebut antara lain,

Sphingomonas Subarctica T7b (Gunam et al, 2006), Isolat strain KWN5 (Supatha

et al, 2010) dan isolat strain RIPI-22 (Rashtchi, 2004).

2.5.3. Sumber Carbon ( )

Kebanyakan dari bakteri menggunakan karbon sebagai sumber energinya, dan banyak juga yang memanfaatkan karbon sebagai salah satu pembangun


(38)

21

komponen untuk mensintesa sel (Black, 2012). Energi ini terbentuk dari proses glikolisis, fermentasi, dan siklus krebs yang terjadi selama pertumbuhan sel (Black, 2012). Berikut akan dijelaskan beberapa sumber karbon yang banyak digunakan beberapa peneliti untuk mengoptimalkan pertumbuhan dari berbagai bakeri pendegradasi sulfur yang telah berhasil ditemukannya.

2.5.3.1. Glukosa

Salah satu sumber karbon sebagai energi adalah glukosa. Glukosa adalah salah satu senywa yanang membentuk karbohidrat termasuk golongan monosakarida, yang hanya mengadung satu pasang kelompok aldehida atau keton (Myers, 2003). Formula molekul dari glukosa adalan C6H12O6, juga digunakan sebagai sintesis asam amino dan komponen pembentuk dari makhluk hidup (Laberge, 2008).

Glukosa juga disebut dextrosa yang banyak juga terdapat di sirup jagung. Sebagai salah satu senyawa utama yang dibutuhkan makhluk hidup untuk sumber energi, glukosa dapat ditemukan dalam getah tumbuhan dan aliran darah manusia (Anonim, 2015d). Pada bakteri, gukosa berperan sebagai salah satu reaksi biokimia yang sangat kompleks, dimana terjadi reaksi oksidasi yaitu :

Reaksi di atas menciptakan energi dari oksidasi glukosa pada makhluk hidup. Pada Gambar 2.8 menunjukan rantai kimia dari glukosa dan fruktosa. Glukosa berperan penting dalam pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur Strain

Paenibacillus (Ishi et al, 1997) dan bakteri strain Sphingomonas (White et al, 1996), mampu memanfaatkan dengan baik glukosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya.


(39)

22

2.5.3.2. Sukrosa

Sukrosa adalah salah satu jenis gula yang jangkauan distribusi terluas dan mudah diproduksi dengan kuantitas yang sangat besar. Sembilan puluh simbilan persen sukrosa berasal dari gula tebu (Saccharum offcinarum,). Dari beberapa wilayah yang berbeda, sukrosa juga didapatkan dari berbagai tipe tanaman (~1% dari seluruh produksi), seperti tanaman kurma (Phoenix sylvestris), tanaman kelapa (Cocos nucifera), tanaman lontar (Borassus flabellifera), dan lain-lain (ICMSF, 2005).

Gambar 2.8 Rantai Hidrokarbon glukosa dan fruktosa (Anonim, 2015) Rumus molekul dari sukrosa sendiri adalah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.9 Berat molekul yang dimiliki sukrosa adalah sebesar 342.29648 g/mol dan titik didih berada pada suhu 187,5°C dengan bentuk berwarna putih dan berupa padatan (anonnim, 2015). Sulfolobus acidocaldarius

diketahui mampu tumbuh baik dan memiliki aktivitas desulfurisasi yang cukup tinggi dengan sukrosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya (Ju dan Padmesh, 1998).


(40)

23

2.5.3.3. Gliserol

Gliserol adalah senyawa kimia yang terbuntuk dari tiga molekul karbon dengan 3 alkohol fungsional grup yang terdapat juga di triglycerides. Gliserol termasuk juga komponen pokok dari seluruh asam lemak yang ada pada makanan dan tubuh. Asam lemak sendiri mengandung panjang rantai karbon sebanyak 12 s.d 24 karbon atom. (Labarge, 2008). Struktur kimia dari gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.10 Gliserol pertama kali ditemukan oleh Scheele pada tahun 1779, dengan memanaskan campuran minyak zaitun (olive oil) dan litharge, kemudian membilasnya dengan air. Bilasan dengan air tersebut, menghasilkan suatu larutan berasa manis, yang disebutnya sebagai “the sweet principle of fats”. Sejak 1784,

Scheele membuktikan bahwa substansi yang sama dapat diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewan seperti lard dan butter. Pada tahun 1811, Chevreul memberi nama hasil temuan ini dengan sebutan gliserin, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu glyceros, yang berarti manis. Kemudian pada 1823, Chevreul mendapatkan paten untuk pertama kalinya atas manufaktur gliserin, yang kemudian berkembang menjadi industri lemak dan sabun (Swern, 2000).


(41)

24

Gliserol telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai sumber karbon pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur dalam proses BDS. Bakteri-bakteri yang mampu memanfaatkan gliserol untuk tumbuh dan mendegradasi sulfur aromatik jenis DBT diantaranya, bakter Rhodococcus sp. strain MUT23 (Etemadifar et al., 2008) dan bakteri Rhodococcus sp. strain X7B (Ping et al., 2002).

2.5.3.4 Asam sitrat

Asam sitrat atau citric acid berasal dari bahasa latin citrus, pohon sitrus, dengan buah yang dihasilkan adalah lemon. Asam yang pertama kali dihasilkan dari isolasi dari perasan lemon oleh seorang peneliti dari swedia, Carl Scheele pada tahun 1784. Konsep dari pengaruh pembuatan asam sitrat sebagai produksi yang berguna berasal dari penelitian yang dilakukan Pasteur tentang fermentasi. Berbagai stari atau mikroorganisme yang mampu menghasilkan asam sitrat antara lain Aspergillus sp., Acremonium sp., dan lain-lain (Kristiansen, 2002).

Gambar 2.10 Struktur kimia dari Gliserol pada Triglyceride (Labarge, 2008) Asam sitrat banyak digunakan pada bahan tambahan makanan dan minuman. Penggunaanya tergantung tiga jenis kegunaan yaitu: keasaman, rasa, dan pembentuk garam. Struktur kimia dari asam sitrat sendiri adalah


(42)

2-hydroxy-25

1,2,3-propanetricarboxylic acid. Asam sitrat juga membentuk dari jajaran garam logam termasuk copper, iron, magnesium, manganese, dan kandungan lain yang sangat complex (Kristiansen, 2002). Struktur kimia dari As. Sitrat bias dilihat pada Gambar.2.11.

Gambar 2.11 Struktur kimia Asam Sitrat (sumber: Anonim, 2015)

Beberapa bakteri menghasilkan asam sitrat sebagai hasil fermentasi juga mampu memanfaatkan asam sitrat sebagai sumber karbon. Menurut Siddik et al

(2008), bakteri Bacillus subtilis B112 mampu memanfaatkan berbagai jenis asam organik pada media pertumbuhan starin tersebut yang salah satunya adalah asam sitrat.


(1)

Pada kultivasi bakteri dalam suatu medium yang pH awalnya disesuaikan pada kadar 7, maka kemungkinan pH ini akan berubah akibat adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya. Hal ini menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan suatu organisme untuk seterusnya. Pergeseran pH dapat dihambat dengan menggunakan larutan penyangga yaitu suatu kombinasi garam-garam fosfat seperti dan , digunakan secara luas dalam media bakteriologis untuk tujuan ini (Konishi et al., 1997 ). Tabel 2.2 memperlihatkan beberapa jenis bakteri dan ketahanannya dalam beberapa kadar pH.

Tabel 2.2 pH minimum, optimal, dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri.

Bakteri

Kisaran pH untuk Pertumbuhan

Batas bawah Optimal Batas atas

Thiobacillus thiooxidans 0,5 2,0-3,5 6,0

Acetobacter aceti 4,0-4,5 5,4-6,3 7,0-8,0

Stophylococcus aureus 4,2 7,0-7,5 9,3

Azotobacter sp. 5,5 7,0-7,5 8,5

Chlorobium limicola 6,0 6,8 7,0

Thermus aquaticus 6,0 7,5-7,8 9,5

Sumber: Konishi et al. (1997)

Beberapa bakteri pendegradasi sulfur yang telah ditemukan memiliki pH media awal optimal pada kisaran pH 6,5 – 7. Berbagai bakteri tersebut antara lain, Sphingomonas Subarctica T7b (Gunam et al, 2006), Isolat strain KWN5 (Supatha et al, 2010) dan isolat strain RIPI-22 (Rashtchi, 2004).

2.5.3. Sumber Carbon ( )

Kebanyakan dari bakteri menggunakan karbon sebagai sumber energinya, dan banyak juga yang memanfaatkan karbon sebagai salah satu pembangun


(2)

komponen untuk mensintesa sel (Black, 2012). Energi ini terbentuk dari proses glikolisis, fermentasi, dan siklus krebs yang terjadi selama pertumbuhan sel (Black, 2012). Berikut akan dijelaskan beberapa sumber karbon yang banyak digunakan beberapa peneliti untuk mengoptimalkan pertumbuhan dari berbagai bakeri pendegradasi sulfur yang telah berhasil ditemukannya.

2.5.3.1. Glukosa

Salah satu sumber karbon sebagai energi adalah glukosa. Glukosa adalah salah satu senywa yanang membentuk karbohidrat termasuk golongan monosakarida, yang hanya mengadung satu pasang kelompok aldehida atau keton (Myers, 2003). Formula molekul dari glukosa adalan C6H12O6, juga digunakan

sebagai sintesis asam amino dan komponen pembentuk dari makhluk hidup (Laberge, 2008).

Glukosa juga disebut dextrosa yang banyak juga terdapat di sirup jagung. Sebagai salah satu senyawa utama yang dibutuhkan makhluk hidup untuk sumber energi, glukosa dapat ditemukan dalam getah tumbuhan dan aliran darah manusia (Anonim, 2015d). Pada bakteri, gukosa berperan sebagai salah satu reaksi biokimia yang sangat kompleks, dimana terjadi reaksi oksidasi yaitu :

Reaksi di atas menciptakan energi dari oksidasi glukosa pada makhluk hidup. Pada Gambar 2.8 menunjukan rantai kimia dari glukosa dan fruktosa. Glukosa berperan penting dalam pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur Strain Paenibacillus (Ishi et al, 1997) dan bakteri strain Sphingomonas (White et al, 1996), mampu memanfaatkan dengan baik glukosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya.


(3)

2.5.3.2. Sukrosa

Sukrosa adalah salah satu jenis gula yang jangkauan distribusi terluas dan mudah diproduksi dengan kuantitas yang sangat besar. Sembilan puluh simbilan persen sukrosa berasal dari gula tebu (Saccharum offcinarum,). Dari beberapa wilayah yang berbeda, sukrosa juga didapatkan dari berbagai tipe tanaman (~1% dari seluruh produksi), seperti tanaman kurma (Phoenix sylvestris), tanaman kelapa (Cocos nucifera), tanaman lontar (Borassus flabellifera), dan lain-lain (ICMSF, 2005).

Gambar 2.8 Rantai Hidrokarbon glukosa dan fruktosa (Anonim, 2015) Rumus molekul dari sukrosa sendiri adalah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.9 Berat molekul yang dimiliki sukrosa adalah sebesar 342.29648 g/mol dan titik didih berada pada suhu 187,5°C dengan bentuk berwarna putih dan berupa padatan (anonnim, 2015). Sulfolobus acidocaldarius diketahui mampu tumbuh baik dan memiliki aktivitas desulfurisasi yang cukup tinggi dengan sukrosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya (Ju dan Padmesh, 1998).


(4)

2.5.3.3. Gliserol

Gliserol adalah senyawa kimia yang terbuntuk dari tiga molekul karbon dengan 3 alkohol fungsional grup yang terdapat juga di triglycerides. Gliserol termasuk juga komponen pokok dari seluruh asam lemak yang ada pada makanan dan tubuh. Asam lemak sendiri mengandung panjang rantai karbon sebanyak 12 s.d 24 karbon atom. (Labarge, 2008). Struktur kimia dari gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.10 Gliserol pertama kali ditemukan oleh Scheele pada tahun 1779, dengan memanaskan campuran minyak zaitun (olive oil) dan litharge, kemudian membilasnya dengan air. Bilasan dengan air tersebut, menghasilkan suatu larutan

berasa manis, yang disebutnya sebagai “the sweet principle of fats”. Sejak 1784, Scheele membuktikan bahwa substansi yang sama dapat diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewan seperti lard dan butter. Pada tahun 1811, Chevreul memberi nama hasil temuan ini dengan sebutan gliserin, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu glyceros, yang berarti manis. Kemudian pada 1823, Chevreul mendapatkan paten untuk pertama kalinya atas manufaktur gliserin, yang kemudian berkembang menjadi industri lemak dan sabun (Swern, 2000).


(5)

Gliserol telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai sumber karbon pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur dalam proses BDS. Bakteri-bakteri yang mampu memanfaatkan gliserol untuk tumbuh dan mendegradasi sulfur aromatik jenis DBT diantaranya, bakter Rhodococcus sp. strain MUT23 (Etemadifar et al., 2008) dan bakteri Rhodococcus sp. strain X7B (Ping et al., 2002).

2.5.3.4 Asam sitrat

Asam sitrat atau citric acid berasal dari bahasa latin citrus, pohon sitrus, dengan buah yang dihasilkan adalah lemon. Asam yang pertama kali dihasilkan dari isolasi dari perasan lemon oleh seorang peneliti dari swedia, Carl Scheele pada tahun 1784. Konsep dari pengaruh pembuatan asam sitrat sebagai produksi yang berguna berasal dari penelitian yang dilakukan Pasteur tentang fermentasi. Berbagai stari atau mikroorganisme yang mampu menghasilkan asam sitrat antara lain Aspergillus sp., Acremonium sp., dan lain-lain (Kristiansen, 2002).

Gambar 2.10 Struktur kimia dari Gliserol pada Triglyceride (Labarge, 2008) Asam sitrat banyak digunakan pada bahan tambahan makanan dan minuman. Penggunaanya tergantung tiga jenis kegunaan yaitu: keasaman, rasa, dan pembentuk garam. Struktur kimia dari asam sitrat sendiri adalah


(6)

2-hydroxy-1,2,3-propanetricarboxylic acid. Asam sitrat juga membentuk dari jajaran garam logam termasuk copper, iron, magnesium, manganese, dan kandungan lain yang sangat complex (Kristiansen, 2002). Struktur kimia dari As. Sitrat bias dilihat pada Gambar.2.11.

Gambar 2.11 Struktur kimia Asam Sitrat (sumber: Anonim, 2015)

Beberapa bakteri menghasilkan asam sitrat sebagai hasil fermentasi juga mampu memanfaatkan asam sitrat sebagai sumber karbon. Menurut Siddik et al (2008), bakteri Bacillus subtilis B112 mampu memanfaatkan berbagai jenis asam organik pada media pertumbuhan starin tersebut yang salah satunya adalah asam sitrat.