PENGARUH KOTORAN TERNAK SAPI PADA PROSES

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

ISSN 2086-4604

PENGARUH KOTORAN TERNAK SAPI PADA PROSES
DEKOMPOSISI BERBAGAI JENIS SAMPAH DAUN YANG BERASAL
DARI WILAYAH KAMPUS UNHAS
Nur Indah sari Arbit1, Fahruddin2, Asadi Abdullah2
Fakultas Perikanan, Universitas Cokroaminoto Makassar
Jurusan Biologi,Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Email: adinda.2013@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakuan penelitian “Pengaruh Kotoran Ternak Sapi Pada Proses Dekomposisi Jenis
Sampah Daun Yang Berasal Dari Wilayah Kampus Unhas”. Kotoran ternak sapi digunakan
sebagai bioaktivator pada proses pengomposan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui proses dekomposisi dari jenis sampah daun dengan penggunaan kotoran sapi sebagai
bioaktivator dengan melihat rasio C/N, temperatur, pH, penurunan volume sampah.dan laju
dekomposisi. Penelitian ini menggunakan ki hujan Samanea saman (jacq.) merr., dengan
penambahan kotoran sapi 20% sebagai biokatalisator. Pengamatan dilakukan kurang lebih 30
hari, parameter yang diamati seperti suhu, pH, laju dekomposisi, penurunan volume, dan rasio
c/n. Terdiri dari 6 perlakuan dengan 3 kali ulangan, pada perlakuan penambahan kotoran sapi

20%.. Hasil penelitian menunjukkan feses sapi dapat meningkatkan proses dekomposisi.
Kata Kunci: Dekomposisi, sampah organik, kotoran sapi, bioaktivator

25

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

PENDAHULUAN

Permasalah
an sampah di kotakota besar akhirakhir ini tetap
menjadi persoalan
serius bagi negara
yang
sedang
berkembang
termasuk
Indonesia.
Beberapa
kota

besar di Indonesia
mengalami
masalah
yang
sama, hingga kini
belum
dapat
ditangani
secara
tuntas,
volume
sampah setiap hari
justru
semakin
meningkat, untuk
itu
seluruh
komponen
masyarakat
diharapkan dapat

meningkatkan
partisipasinya
dalam pengelolaan
sampah,
paling
tidak
untuk
mengurangi
volumenya (Nonci,
2009).
Kandunga
n bahan organik
yang tinggi dalam
kompos
sangat
penting
untuk
memperbaiki
kondisi
tanah.

Berdasarkan
hal
tersebut
dikenal
dua
peranan
kompos yakni soil
conditioner
dan
soilameliorator.
Soil
conditioner

ISSN 2086-4604

yaitu
peranan
kompos
dalam
memperbaiki

struktur
tanah,
terutama
tanah
kering. Sedangkan
soil
ameliorator
berfungsi
dalam
memperbaiki
kemampuan tukar
kation dalam tanah
(Prayugo, 2007).
Adanya
aktivitas
mikroorganisme
dan terbentuknya
asam organik pada
proses
dekomposisi

menyebabkan daya
larut unsur N, P, K,
dan Ca menjadi
lebih
tinggi
sehingga
berada
dalam
bentuk
tersedia
bagi
pertumbuhan
tanaman.
Selain
itu,
jika
dibandingkan
dengan
pupuk
anorganik,

kandungan unsur
hara kompos lebih
lengkap
karena
mengandung unsur
hara
makro,
sekaligus
unsur
hara mikro. Unsur
hara mikro sangat
diperlukan dalam
pertumbuhan
tanaman. Berbeda
dengan
pupuk
anorganik
yang
hanya mengandung
beberapa

unsur

hara (Simamora, &
Salundik, 2006).
Umumnya
pengomposan
dilakukan dalam
timbunan.
Di
daerah kering atau
pada masa kering,
pengomposan juga
dilakukan
di
lubang-lubang
yang
teduh.
Kualitas
bahan
baku yang baik dan

penanganan yang
tepat menentukan
kualitas
kompos
yang
dihasilkan.
Dengan
mencampur
mineral-mineral
tambahan,
misalnya
debu
batuan,
fosfat
batuan, pupuk urea
atau
kapur,
kandungan nutrien
dalam
kompos

dapat ditingkatkan
(Reijntjes, 1999).
Ki
Hujan
Samanea saman
(Jacq.) Merr.
Ki hujan,
pohon hujan, atau
trembesi Samanea
saman
(Jacq.}
Merr. merupakan
tumbuhan pohon
besar,
tinggi,
dengan tajuk yang
sangat
melebar.
Tumbuhan
ini

pernah
populer
sebagai tumbuhan
peneduh.
Perakarannya yang
26

sangat
meluas
membuatnya
kurang
populer
karena
dapat
merusak jalan dan
bangunan
di
sekitarnya.
Namanya berasal
dari air yang sering
menetes
dari
tajuknya
karena
kemampuannya
menyerap air tanah
yang kuat serta
kotoran
dari
tonggeret
yang
tinggal di pohon
(Wikipedia, 2009).
Bungur
Lagerstromeia
speciosa
Pers.
(Jacq.) Merr.
Pohon,
tinggi
dapat
mencapai 45 m,
umumnya antara
25-30
meter,
bercabang-cabang.
Batang berwarna
cokelat
pucat
sampai
merah
cokelat.
Perbungaan berupa
malai,
berwarna
ungu. Tumbuh di
tanah gersang dan
subur pada hutan
atau
tanaman
pelindung
tepi
jalan pada dataran
1-900
m
dpl.
Kandungan kimia:
Tanin;
Alkaloid;
Saponin; Terpena;
Glukosa
(Wikipedia, 2009).

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

Angsana
Pterocarpus
indicus.
Pohon
yang
terkadang
menjadi
raksasa
rimba,
tinggi
hingga 40m dan
gemang mencapai
350cm.
Batang
sering beralur atau
berbonggol;
biasanya dengan
akar papan (banir).
Tajuk lebat serupa
kubah,
dengan
cabang-cabang
yang
merunduk
hingga dekat tanah.
Pepagan
(kulit
kayu)
abu-abu
kecoklatan,
memecah
atau
serupa sisik halus,
mengeluarkan
getah
bening
kemerahan apabila
dilukai.Daun
majemuk menyirip
gasal, panjang 1230 cm. Anak daun
5-13,
berseling
pada poros daun,
bulat telur hingga
agak jorong, 6-10
× 4-5 cm, dengan
pangkal
bundar
dan
ujung
meruncing, hijau
terang, gundul, dan
tipis (Wikipedia,
2009).
Kotoran ternak
sapi
Kandungan
unsur hara dalam

ISSN 2086-4604

kotoran
ternak
yang penting untuk
tanaman antara lain
unsur nitrogen (N),
fosfor (P) dan
kalium (K). Ketiga
unsur inilah yang
paling
banyak
dibutuhkan
oleh
tanaman. Masingmasing unsur hara
tersebut memiiki
fungsi
yang
berbeda dan saling
melengkapi bagi
tanaman. Dengan
demikian,
pertumbuhan
menjadi
optimal
(Setiawan, 2008).

melalui beberapa
tahap seperti
berikut:
1. Sampah daundaun
kering
yang dominan
tumbuh
di
dalam
lingkungan
kampus Unhas
yakni daun ki
hujan Samanea
saman (jacq.)
merr., angsana
Pterocarpus
indicus,
dan
bungur
Lagerstromeia
speciosa pers
dikumpulkan
dan
dimasukkan ke
dalam karung
atau
wadah
sejenisnya
untuk diangkut
ke
lokasi
pengomposan.
2. Dilakukan
pemilahan pada
bahan-bahan
dedaunan
kemudian
dikeringkan
sampai benarbenar kering.
3. Dilakukan
pencacahan
pada
daundaun
yang
terlalu
besar
atau
kepanjangan
untuk
memperluas
permukaan
sampah
sehingga

METODE
PENELITIAN

1. Pembuatan
Kotak
Pengomposan
Kotak
pengomposan
dibuat
dengan
ukuran panjang 25
cm, lebar 25 cm
dan tinggi 40 cm.
Kotak ini terbuat
dari
kerangka
balok
dan
dipasangkan
dinding dari papan
dengan
dibuat
celah
untuk
sirkulasi
udara.
Kotak
pengomposan
dibuat sebanyak 12
buah.
2. Tahap
Pengomposan
Pembuatan
kompos dengan
27

dengan mudah
dan
cepat
terdekomposisi
.
4. Masing-masing
jenis
bahan
organik daun
yang
telah
dicacah
kemudian
ditimbang dan
dicampur
dengan
bioaktivator
sesuai
kebutuhan
perlakuan.
Selanjutnya
dicampur lalu
dimasukkan
kedalam kotakkotak
pengomposan
dan dibiarkan
terdekomposisi
selama
4
minggu atau 30
hari, dan tiap 5
hari dilakukan
pembalikan
untuk
aerasi
dan membuang
panas
berlebihan.
Pengomposan
dihentikan saat
kompos terlihat
matang dengan
parameter yang
terlihat
dari
warna, tekstur,
bau,
suhu
kompos, dan
pH (Maradhy,
2009).
5. Untuk menjaga
kelembaban,
ditambahkan

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

air ke dalam
timbunan
material
organik, karena
diusahakan
jangan sampai
kering.
6. Waktu
pengamatan
kurang lebih 1
bulan lamanya
dengan melihat
tingkat
kematangan
kompos.
Perlakuan
Penelitian
P01 = Daun ki
hujan
Samanea
saman
P02 =
Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa
P03 =
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus
P1 = Daun ki
hujan
Samanea
saman + Feses sapi
20%
P2 =
Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa + Feses
sapi 20%
P3= Daun angsana
Pterocarpus
indicus + Feses
sapi 20%
3. Analisis Hasil
Pengomposan
Selama
proses
dekomposisi
berlangsung

ISSN 2086-4604

antara 30 - 60oC
menunjukkan
aktivitas
pengomposan
yang
cepat.
Suhu yang lebih
tinggi dari 60oC
akan membunuh
sebagian
mikroba
dan
hanya mikroba
thermofilik saja
yang akan tetap
bertahan hidup.
Suhu
yang
tinggi juga akan
membunuh
mikrobamikroba
patogen
tanaman
dan
benih-benih
gulma
(Isroi,
2008).
c. Pengukuran
Laju
Dekomposisi
Laju
dekomposisi
didefinisikan
sebagai proses
penguraian
suatu
bahan
(cepat/lambat)
menjadi bahan
lain
yang
berbeda berat
maupun volume
dari
bahan
dasarnya. Laju
dekomposisi
sampah organik
dihitung dengan
rumus William
dan
Gray
(Patrianingsih,
2000
dalam

sampai selesainya
pengomposan
dilakukan beberapa
pengukuran pada
tumpukan sampah
organik
yang
dilakukan
pada
setiap 5 hari yang
meliputi
pengukuran suhu
dan
pH.
Pengukuran Laju
dekomposisi dan
penurunan volume
sampah
organik
dilakukan setiap 7
hari,
sedangkan
rasio
C/N
dilakukan
pengukuran pada
akhir
pengomposan.
4. Uji
hasil
Pengomposan

Dalam penelitian
ini pengumpulan
data
dilakukan
terhadap beberapa
parameter, yaitu:
a. Derajat
Keasaman (pH)
Derajat
Keasaman (pH)
bahan
baku
kompos
diharapkan
berkisar 6,5 – 8,
agar penguraian
berlangsung
cepat, pH dalam
tumpukan
kompos tidak
boleh
terlalu
rendah (Suryati,
2009).
b. Temperatur
Temperatur
yang berkisar
28

maradhy, 2009)
sebagai berikut:
Keterangan:
R :
Laju
dekomposisi
Wo
:
Berat
kering
pada
waktu To
W1
:
Berat
Kering
pada
waktu T1
T
:
Waktu
dekomposis
i
d. Penurunan
volume sampah
Aktivitas
mikroorganisme
sangat berperan
dalam
menjadikan
sampah organik
menjadi lebih
halus sehingga
menyebabkan
volume kompos
menurun.
e. Rasio C/N
Rasio
C/N
adalah
perbandingan
jumlah karbon
C
dengan
Nitrogen
N
dalam
satu
bahan.
Rasio
C/N
yang
efektif
untuk
proses
pengomposan
berkisar antara
30:1
hingga
40:1
(Isroi,
2009).
5. Analisis Data

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

Data yang
diperoleh
dari
pengukuran,
dianalisis
menggunakan
UNIANOVA
(Univariate

Analysis
Variance)

of

dengan
metode Rancangan
Acak
Kelompok
(RAK) yang terdiri
dari 6 perlakuan
dengan
3
kali
ulangan
pada
perlakuan
penambahan kotoran
sapi 20%.
HASIL
DAN
PEMBAHASAN

Penelitian
ini
mempelajari
tentang
aplikasi
campuran
feses
ternak sapi sebagai
bioaktivator pada
proses
dekomposisi
sampah
organik
yang
bersumber
dari
wilayah
kampus UNHAS.
Proses
dekomposisi
dilakukan selama
30
hari,
dan
dilakukan
pengamatan
karakteristik fisika
kimia seperti suhu
, pH, penurunan
volume kompos,
laju dekomposisi
dan
kandungan
rasio c/n.
1. Suhu
Hasil
penelitian

ISSN 2086-4604

menunjukkan
pada
awal
pengomposan ratarata
suhu
meningkat, lama
kelamaan
suhu
menurun . Pada
awal dekomposisi
atau hari ke-0 ratarata suhu pada
perlakuan A1, B1
dan C1 adalah
o
28,11
C
dan
perlakuan A0, B0
dan C0 memiliki
suhu
rata-rata
27,67 oC. pada hari
ke-5 suhu proses
dekomposisi
meningkat
yang
menandakan
proses
dekomposisi telah
berjalan,
yaitu
sekitar
28-31oC.
Rata-rata
suhu
pada perlakuan A1,
B1 dan C1 adalah
o
30,55
C
dan
perlakuan A0, B0
dan C0 memiliki
suhu
rata-rata
o
28,66 C.
Suhu
tertinggi 31oC pada
perlakuan C1 yaitu
campuran
daun
angsana
dengan
20% feses sapi,
sedangkan
suhu
terendah pada C0
tanpa penambahan
aktivator.
Perubahan
suhu
dengan
pengamatan setiap
lima
hari
selengkapnya
dapat dilihat pada

Lampiran 5 Tabel
5.
Hasil
pengukuran suhu
selama
proses
pengomposan
diperlihatkan pada
Gambar 5.

pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(C0),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus + Feses
sapi 20% (C1).
2. pH

Gambar
5.
Perubahan
suhu
dekomposisi
sampah
organik
dengan perlakuan
Daun ki hujan
Samanea
saman
tanpa pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(A0),
Daun ki hujan
Samanea saman +
Feses sapi 20%
(A1), Daun bungur
Lagerstromeia
speciosa
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(B0),
Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa + Feses
sapi 20% (B1),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus
tanpa
29

Hasil
penelitian
menunjukkan
pada pengomposan
nilai pH lama
kelamaan
akan
berubah mendekati
pH netral sesuai
dengan pH tanah.
Nilai pH pada hari
ke-0 untuk semua
perlakuan A adalah
6
dan
semua
perlakuan dari B
dan C adalah 5.
Perubahan
pH
pada
masingmasing perlakuan
disajikan
pada
Lampiran 6 dan
Tabel 6.
Pada hari
ke-5
proses
dekomposisi
sampah
organik
mengalami
penurunan
pH
pada
proses
pengomposan
perlakuan A1 yaitu
5,33
dan
C0
penurunan pHnya
sebesar
4.
Sedangkan
pada
perlakuan A0 tidak
mengalami
perubahan
pH,
nilai
pHnya
sebesar 6. Dan

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

rata-rata
peningkatan nilai
pH pada perlakuan
B0, B1 dan C1
adalah 5,89.
Nilai
peprubahan pH per
5 hari disajikan
pada Gambar 6.

Gambar
6.
Perubahan
pH
dekomposisi sampah
organik
dengan
perlakuan Daun ki
hujan
Samanea
saman
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol) (A0), Daun
ki hujan Samanea
saman + Feses sapi
20% (A1), Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol) (B0), Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa + Feses
sapi 20% (B1), Daun
angsana Pterocarpus

ISSN 2086-4604

indicus
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol) (C0), Daun
angsana Pterocarpus
indicus + Feses sapi
20% (C1).

turun
menjadi
7.708,33 cm3.
Penurunan
volume 23750 cm3
terjadi
pada
perlakuan A0 di
minggu II dan A1
menjadi 7.360,41
cm3.
Pada
perlakuan
B0
penurunan
volumenya 8.125
cm3
dan
B1
penurunannya
mencapai 7.562,5
cm3,
sedangkan
perlakuan
C0
penurunannya
mencapai 5.833,33
cm3
dan C1
mencapai 5.416,66
cm3.
Pada
minggu
terakhir
pengomposan,
penurunan volume
sampah
organik
pada perlakuan A0
sebesar 5.000 cm3
dan A1 sebesar
4.854,16
cm3.
Penurunan volume
perlakuan
B0
sebesar 7.291,66
cm3 dan B1 sebesar
6.458,33
cm3,
sedangkan
pada
perlakuan
CO
terjadi penurunan
sebesar 3.125 cm3
dan C1 sebesar
2.916,66
cm3.
Rata-rata
penurunan
berat
awal limbah tiap 7
hari selama
5
minggu
proses
dekomposisi

3. Penurunan
Volume
sampah
organik hasil
dekomposisi
Hasil
penelitian
menunjukkan
terjadinya
penurunan volume
tiap minggu oleh
semua perlakuan.
Volume tumpukan
pada hari ke-0
adalah 25.000 cm3.
Nilai
perubahan
penurunan volume
sampah
organik
per 7 hari disajikan
pada Lampiran 7
Tabel 7.
Pada
minggu
I
perlakuan A0 dan
B0
belum
mengalami
perubahan, volume
tetap 25.000 cm3
sedangkan
pada
perlakuan
A1
terjadi penurunan
volume
menjadi
7.777,08 cm3 dan
B1
menjadi
8.054,16
cm3.
Perlakuan
C0
volume
pada
minggu I yaitu
8.125 cm3 dan C1
30

disajikan
Gambar 7.

pada

Gambar
7.
Perubahan
penurunan volume
sampah
organik
dengan perlakuan
Daun ki hujan
Samanea
saman
tanpa pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(A0),
Daun ki hujan
Samanea saman +
Feses sapi 20%
(A1), Daun bungur
Lagerstromeia
speciosa
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(B0),
Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa + Feses
sapi 20% (B1),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(C0),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus + Feses
sapi 20% (C1).

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

4.
Laju
Dekomposisi
Hasil
penelitian
menunjukkan laju
dekomposisi pada
awal pengomposan
meningkat
lama
kelamaan sampai
akhir
pengomposan laju
dekomposisi
menurun.
Laju
dekomposisi
selama
empat
minggu
dapat
dilihat
pada
Gambar 8. Laju
tertinggi
pada
minggu
pertama
yaitu
pada
perlakuan
C1
mencapai
0,93
g/hari dan laju
terendah
pada
perlakuan B0 yaitu
daun bungur tanpa
penambahan
bioaktivator hanya
0,58 gr/hari. Laju
dekomposisi mulai
berkurang
pada
minggu ke-2 dan
ke-3. Pada akhir
masa dekomposisi
yaitu pada minggu
ke-4 laju terendah
0,12 g/hari pada
B0 dan tertinggi
0,45 g/hari pada
perlakuan
C1.
Penurunan
laju
dekomposisi
disajikan
pada
Lampiran 8 Tabel
8.

ISSN 2086-4604

Hasil akhir
dari
kegiatan
dekomposisi
sampah
organik
adalah terjadinya
penguraian bahanbahan
organik
menjadi karbon (C
organik)
dan
nitrogen
yang
nantinya
untuk
memperoleh nilai
rasio C/N. seperti
pada tabel 7.

juga terlihat pada
perlakuan
C1
sebesar
0,90%,
disusul
dengan
perlakuan C0, A1,
A0, B0 dan B1
yaitu sekitar 0,110,55%.
Nilai rasio
C/N dari hasil
penelitian
ini
menunjukkan pada
perlakuan
A0
sebesar 28,78 dan
Tabel 4. Nilai rasio
A1 sebesar 24,68.
C/N
hasil
Nilai sebesar 37,35
dekomposisi sampah
ditunjukkan oleh
organik
perlakuan B0 dan
Kandungan Bahan
sebesar 30,09 pada
Organikperlakuan
B1.
Perlakuan
Wakley &
Hasil
nilai
rasio
Black
C.N sebesar 20,38
C (%)
ditunjukkan oleh
A0
4,03
A1
3,95
perlakuan C0 dan
B0
5,23
perlakuan
C1
B1
3,31
sebesar 13,87.
C0
11,21
Pembahasan
C1
12,49
Hasil
penelitian
Hasil dari
menunjukkan
penelitian
ini
bahwa dari semua
menunjukkan nilai
perlakuan
kandungan
C
memperlihatkan
organik tertinggi
kemampuan
dari
hasil
dekomposisi yang
penelitian terdapat
berbeda-beda. Pada
pada perlakuan C1
B0 menghasilkan
(12,49%), disusul
kemampuan yang
perlakuan C0, B0,
lebih rendah dari
A0, A1, B1 yaitu
perlakuan lainnya,
sekitar 3,31-11,21
sedangkan
C1
%
dan
paling
dapat
disebut
rendah
terdapat
sebagai
perlakuan
pada perlakuan B1
yang memberikan
(3,31%).
hasil yang lebih
Kandungan
baik berdasarkan
nitrogen tertinggi
parameter
fisika
hasil pengukuran
kimia
dan

Gambar
8.
Perubahan
laju
dekomposisi
sampah
organik
dengan perlakuan
Daun ki hujan
Samanea
saman
tanpa pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(A0),
Daun ki hujan
Samanea saman +
Feses sapi 20%
(A1), Daun bungur
Lagerstromeia
speciosa
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(B0),
Daun
bungur
Lagerstromeia
speciosa + Feses
sapi 20% (B1),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus
tanpa
pemberian
bioaktivator
(kontrol)
(C0),
Daun
angsana
Pterocarpus
indicus + Feses
sapi 20% (C1).
d. Rasio C/N
31

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

kandungan bahan
organik
hasil
dekomposisi.
Kualitas
kompos
sangat
ditentukan
oleh
tingkat
kematangan
kompos,
di
samping
kandungan logam
beratnya.
Bahan
organik yang tidak
terdekomposisi
secara sempurna
akan menimbulkan
efek
yang
merugikan
pertumbuhan
tanaman.
Penambahan
kompos
yang
belum matang jika
dalam tanah dapat
menyebabkan
terjadinya
persaingan bahan
nutrien
antara
tanaman
dan
mikroorganisme
tanah. Keadaan ini
dapat mengganggu
pertumbuhan
tanaman (Nonci,
2009).
a. Suhu
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa dari semua
perlakuan,
suhu
pada hari pertama
rata-rata berkisar
28,16oC
ini
menandakan awal
dimulainya proses
dekomposisi.

ISSN 2086-4604

Peningkatan suhu
maksimum selama
proses
dekomposisi
mencapai
31oC
terlihat pada hari
ke-5
untuk
prlakuan C1 yaitu
campuran sampah
organik
daun
angsana
dengan
20% feses sapi
Sedangkan
suhu
minimum rata-rata
terlihat
pada
perlakuan kontrol.
Tidak tercapainya
temperatur
yang
tinggi karena pada
kontrol tidak ada
penambahan
aktivator
yang
memicu terjadinya
dekomposisi
(Maradhy, 2009).
Suhu akan
meningkat sejalan
dengan
proses
penguraian bahan
organik,
selama
pengomposan
dicapai
suhu
sekitar 27 – 31oC
dan
dapat
dipertahankan
sampai hari ke-10.
Menurut Isroi &
Yuliarti,
2009
Temperatur yang
berkisar 30 – 50oC
menunjukkan
aktivitas
pengomposan yang
cepat.
Pada
penelitian ini suhu
yang
dicapai
selama

pengomposan
berkisar 27 – 31oC
ini menunjukkan
bahwa
mikroba
yang aktif adalah
mikroba mesofilik,
yaitu mikroba yang
dapat hidup pada
suhu antara 2035oC (Isroi &
Yuliarti,
2009).
Dalam
proses
pengomposan ini
tidak mengalami
masa
termofilik
yaitu masa dimana
bakteri termofilik
dapat hidup pada
suhu yang lebih
tinggi dari 50oC,
ini
disebabkan
penelitian
ini
dilakukan dalam
skala
semi
laboratorium,
sehingga volume
sampah
yang
sedikit tidak dapat
mencapai
suhu
termofilik.
Menurut Rasti, et
al., (2010) dalam
proses
pengomposan hal
yang menentukan
tingginya
suhu
adalah
nisbah
volume timbunan
terhadap
permukaan. Makin
tinggi
volume
timbunan
dibanding
permukaan, makin
besar isolasi panas
dan makin mudah
timbunan menjadi
panas. Timbunan
32

yang
terlalu
dangkal
akan
kehilangan panas
dengan
cepat,
karena bahan tidak
cukup
untuk
menahan panas dan
menghindari
pelepasannya.
Pada tahap
selanjutnya suhu
akan kembali turun
secara
bertahap
mendekati
suhu
awal
pengomposan.
Fase ini disebut
juga
fase
pemasakan
kompos, dimana
bahan organik akan
menjadi senyawa
yang stabil.
Metabolism
e mikroorganisme
dalam tumpukan
menimbulkan
energi
dalam
bentuk
panas.
Panas
yang
ditimbulkan
sebagian
akan
tersimpan didalam
tumpukan
dan
sebagian
lagi
terlepas
pada
proses penguapan
atau aerasi. Panas
yang terperangkap
di dalam tumpukan
akan meningkatkan
temperature
tumpukan.
Pada
saat ini terjadi
dekomposisi/pengu
raian
bahan
organik
yang
sangat
aktif.

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

Mikroba-mikroba
di dalam kompos
dengan
menggunakan
oksigen
akan
menguaraikan
bahan
organik
menjadi CO2, uap
air dan panas.
Setelah sebagian
besar bahan telah
terurai, maka suhu
akan
berangsurangsur mengalami
penurunan. Pada
saat ini terjadi
pematangan
kompos
tingkat
lanjut
yaitu
pembentukan
komplek
liat
humus (Maradhy,
2009).
b. pH
Hasil
pengamatan pada
pH menunjukkan
bahwa hari ke-0
perlakuan
A
pHnya sebesar 6
dan perlakuan B
dan C yaitu sebesar
5 sedangkan pada
hari
ke-5
mengalami
penurunan pH. Ini
disebabkan
oleh
proses pelepasan
asam,
secara
temporer
atau
lokal, yang akan
menyebabkan
penurunan
pH
(keasaman).
Selama
tahaptahap awal proses
dekomposisi,
oksigen
dan

ISSN 2086-4604

senyawa-senyawa
yang
mudah
terdegradasi akan
segera
dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik.
Pada hari
ke-10 keadaan pH
meningkat sampai
akhir
pengomposan
keadaan pH lama
kelamaan menjadi
netral
ini
disebabkan
mikroba
menggunakan
asam organik yang
akan menyebabkan
pH menjadi naik
kembali,
selanjutnya asam
organik digunakan
mikroba jenis lain
hingga
derajat
keasaman kembali
netral
(Santoso,
2008
dalam
Maradhy, 2009).
Proses
pengomposan
dapat terjadi pada
kisaran pH yang
lebar. pH kotoran
ternak umumnya
berkisar antara 6,87,4.
Proses
pengomposan akan
menyebabkan
terjadinya
perubahan
pada
bahan organik dan
pHnya. Produksi
amonia
dari
senyawa-senyawa
yang mengandung
nitrogen
akan
meningkatkan pH

pada fase awal
pengomposan. pH
kompos
yang
sudah
matang
biasanya
mendekati netral
(Isroi & Yuliarti,
2009).
c. Penurunan
volume
sampah
organik daun.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
telah
terjadi penyusutan
dari tinggi awal
sampah organik.
Tinggi tumpukan
minggu
ke-I
sekitrar 2.3125 –
25.000
cm3.
Minggu
ke-II
penyusutan
tertinggi
terjadi
pada perlakuan C1
yang
menyusut
sampai
setinggi
1.6250 cm3 dan
penyusutan
terendah
terjadi
pada perlakuan B0
yang
menyusut
sampai
setinggi
2.4375 cm3 ini
disebabkan karena
adanya
proses
pencernaan
oleh
mikroorganisme.
Pada
perlakuan A1, B1,
C1
dengan
penambahan
aktivator
menunjukkan
penurunan volume
sampah
organik
33

lebih
tinggi
dibandingkan
perlakuan A0, B0
dan
C0
yang
merupakan
kontrol,
ini
disebabkan
aktivator
berupa
feses sapi terdapat
banyak
mikroorganisme
yang
dapat
mempercepat
dekomposisi.
Menurut
isroi,
2009
aktivator
pengomposan yang
berbahan
aktif
mikroba,
seperti
bakteri,
actinomicetes dan
kapang
atau
cendawan terbukri
dapat menguraikan
bahan
organik
dengan cepat.
d. Laju
dekomposisi
Hasil
penelitian
menunjukkan pada
minggu
ke-I
perlakuan A1, B1,
dan
C1
laju
dekomposisinya
0,63 – 0,93 gr/hari
sedangkan
pada
perlakuan A0, B0
dan
C0
laju
dekomposisinya
0,58-0,75 gr/hari.
Ini menunjukkan
bahwa
laju
dekomposisi
meningkat dengan
adanya
penambahan
bioaktivator dari

Jurnal Alam dan Lingkungan, Vol.5 (10) Agustus 2014

feses sapi. Selama
proses
pengomposan laju
dekomposisi lama
kelamaan
mengalami
penurunan sampai
masa
akhir
pengomposan.
Pada minggu ke-4
laju dekomposisi
pada
perlakuan
A1, B1, dan C1
yaitu
0,27-0,45
gr/hari sedangkan
perlakuan A0, B0
dan
C0
laju
dekomposisinya
0,12-0,39 gr/hari,
ini
menandakan
bahwa penguraian
bahan organik juga
mulai berkurang.
Menurut Saunder,
1980
dalam
Maradhy,
2009
proses
dekomposisi bahan
organik
secara
alami
akan
berhenti
bila
faktor-faktor
pembatasnya tidak
tersedia atau telah
dihabiskan dalam
proses
dekomposisi
itu
sendiri.
Selama
proses
dekomposisi akan
terjadi penyusutan
volume
bahan.
Pengurangan
ini
dapat
mencapai
30-40%
dari
volume
awal
bahan.

ISSN 2086-4604

Laju
dekomposisi
umumnya diukur
secara
tidak
langsung melalui
kehilangan berat
atau pengurangan
konsentrasi
tiap
waktu
seperti
kehilangan karbon
radioaktif
(Saunder, 1980).
e. Rasio C/N
Nisabah
C/N
merupakan
faktor
kimia
pembentukan
kecepatan
dekomposisi dan
mineralisasi
nitrogen. Penyebab
pembusukan pada
bahan
organik
diakibatkan adanya
karbon
dan
nitrogen.
Rasio
C/N
digunakan
untuk
mendapatkan
degradasi biologis
dari bahan-bahan
organik
yaitu
samapah tersebut
baik atau tidak
untuk
dijadikan
kompos,
serta
untuk
menunjukkan
kematangan
kompos.
Hasil
penelitian
menunjukkan nilai
rasio C/N masingmasing perlakuan
sekitar 13,8737,35.
Menurut
Isroi, 2009 selama

proses
pengomposan rasio
C/N akan terus
menurun. Kompos
yang telah matang
memiliki rasio C/N
kurang dari 20.
Hasil
analisis rasio C/N
pada
tabel
7
memperlihatkan
karakter masingmasing
kompos.
Kematangan
kompos
dapat
dilihat
dari
kandungan karbon
dan
nitrogen
melalui
rasio
C/Nnya.
Prinsip
pengomposan
adalah
menurunkan rasio
C/N bahan organik
hingga
sama
dengan C/N tanah
yaitu
10-12,
kompos
yang
memiliki rasio C/N
mendekati
rasio
C/N tanah lebih
dianjurkan untuk
digunakan (Isroi,
2009). Sementara
menurut SNI 197030-2004 kompos
matang memiliki
rasio C/N sebesar
10-20, pada tabel 7
ditunjukkan bahwa
rasio C/N kompos
terendah terdapat
pada perlakuan C1
sebesar
13,87,
bahan
organik
yang
memiliki
rasio C/N sama
dengan
tanah
34

memungkinkan
bahan
tersebut
dapat diserap oleh
tanaman sehingga
lebih
layak
digunakan untuk
pemupukan karena
memiliki rasio C/N
yang
mendekati
rasio C/N tanah.
Hasil
uji
UNIANOVA
(Univariate
Analysis
of
Variance)
menunjukkan
bahwa bahwa feses
sapi
sangat
berpengaruh
terhadap
ketiga
jenis daun
ini
dapat dilihat nilai F
hitung
sebesar
6.225 dengan nilai
Sig sebesar 0,028
artinya Ho ditolak.
Jenis Daun tanpa
pemberian
feses
sapi
(kontrol)
memiliki rata-rata
(P

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25