PENINGKATAN LITERASI SAINS MELALUI PEMANFAATAN LABORATORIUM IPA DI SMP

PENINGKATAN LITERASI SAINS MELALUI PEMANFAATAN
LABORATORIUM IPA DI SMP
Widha Nur Agastya
Dosen Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Hasyim Asy’ari
Abstrack
This study is a qualitative research library research with triangulation source documents used as
a reference for the discussion. The discussion in this is to increase science literacy through the
use of science laboratories in secondary school. As has been done PISA study in 2015 that
Indonesia in the field of science was ranked 9th from the bottom. Reviews of this study are
expected to contribute to the solution of science that can be used as a reference resource for
future researchers. The position of the science laboratory in the SMP can be used as a tool to
improve science literacy in Indonesia. Increased utilization of laboratory science in junior high,
in terms of governance are as follows: 1) the availability of laboratory, 2) the availability of
SOP (Standard Operating Procedure), 3) the availability of the order of minimum security for
laboratory users. For a school that is not in the lab, the teacher can take advantage of secondhand goods which can be used for simple laboratory, besides that teachers can use virtual
laboratories practice in the learning process.
Keywords: Science Laboratory, Virtual Laboratory, Science Literacy.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hak bagi siswa di Indonesia, penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan merupakan kewajiban bagi penyelenggara pendidikan. Menurut PP No. 32 Tahun

2013 tentang perubahan atas PP nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional Pendidikan,
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sarana dan prasarana pendidikan merupakan rang
belajar, tempat berolahraga, tempat ibadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat
bermain, dan lain-lain yang menunjang proses pembelajaran. Pada PP tersebut dijelaskan bahwa
laboratorium merupakan sarana dan prasarana yang seharusnya ada dalam sebuah sekolah.
Menurut Direktur Pembinaan SMP Bpk. Dr. Supriano, M. Ed. direktorat Pembinaan SMP,
direktorat jenderal dikdasmen kemendikbud.
Berdasarkan data Dapodik bulan Februari 2016 di Indonesia terdapat 37.168 sekolah
tingkat SMP (Negeri dan Swasta), dengan Jumlah Rombel 342.682 dan Jumlah Ruang Kelas
sebanyak 336.959 ruang. Sesuai data, ruang yang mengalami rusak berat adalah 28.394 serta
rusak sedang 20.652. jumlah sekolah yang belum mempunyai ruang perpustakaan 10.213
sekoah, yang belum mempunyai laboratorium IPA 17.392 sekolah. Dan yang belum mempunyai
laboratorium Komputer adalah 21.847 sekolah. Rencana yang dilakukan untuk memenuhi
sarana dan prasarana sekolah pada tahun 2016 tersebut adalah 788 laboratorium IPA. Terdapat
19.776 sekolah tingakt SMP (Negeri dan Swasta) yang sudah mempunyai laboratorium ipa, hal
ini sudah melebihi 50% pemerintah menyediakan laboratorium yang menunjang pembelajaran
siswa tingkat SMP. Menurut studi PISA tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia terletak
pada peringakat ke-9 dari bawah untuk tingkat science nya (Result fromPISA 2015 Indonesia,
OECD 2016: 4), seperti pada tabel 1.1. Hasil PISA 2015 Negara ASEAN.


NEGARA DI ASEAN
SINGAPORE
VIET NAM
THAILAND
INDONESIA

Tabel 1.1 Hasil PISA 2015 Negara ASEAN
SCIENCE (OECD AVERAGE: 493)
556
525
421
403

PERINGKAT KE1
8
54
62

Tabel 1.1 mengingatkan kita bahwa sangat perlunya peningkatan literasi sains pada
siswa Indonesia, agar dapat mengejar ketinggalan dengan negara ASEAN lainnya yang berada

di atas negara kita. Selain itu, studi tersebut menunjukkan bahwa masih kurangnya pemanfaatan
sarana laboratorium IPA yang sudah ada, karena pemanfaatan Laboratorium IPA merupakan
salah satu hal yang dapat mendukung peningkatan literasi sains terutama untuk siswa SMP.
Menurut data yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan SMP maka, menunjukkan
53,2% penyediaan sarana laboratorium IPA di tingkat SMP, berarti pemamfaatan yang kurang
maksimal menjadi kendalanya yang harus dibenahi oleh kita sebagai pendidik. Untuk
menganalisisnya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kekurangmaksimalan pemanfaatan
laboratorium IPA yang terdapat di SMP. Secara garis besar, dapat kita lihat bahwa kurang lebih
pendidik kita kurang memanfaatkan laboratorium yang tersedia di lingkungan sekolah.
Berdasarkan data tersebut dapat kita analisis secara mentah, bahwa pembelajaran hanya
berpusat pada pengetahuandan pemahaman yang ada, perlunya praktikum untuk mengenal dan
menunjang pembelajaran sangat dibutuhkan sedini mungkin. Seperti teori perkembangan
kognitif pada anak yang dicetuskan oleh Piaget, menyatakan bahwa: pada umur 11-dewasa
merupakan tingkat operasional formal, dimana pada periode ini anak timbul operasional baru.
Anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang
lebih kompleks, sehingga pada periode ini anak mempunyai rasa ingin tahu untuk membuktikan
dan menganalisis hal baru (Ratna Wilis, 1989: 155). Bermula dari pemaparan tersebut dan
kaitan kajiannya secara perkembangan kognitif perlunya memberikan fasilitas yang menunjang
untuk pembelajaran sehingga siswa tidak hanya memahami dan mengetahui saja, tetapi dapat
membuktikan dan menganalisis penyebab yang terjadi pada suatu teori itu dimunculkan. Selain

itu, untuk mendukung adanya pembuktian dan analisis pada suatu teori membutuhkan sarana
dan prasarana yang memadahi. Salah satunya adalah laboratorium. Fasilitas laboratorium telah
digunakan pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), penggunaan laboratorium ini dapat
dijadikan untuk mendukung adanya literasi sains pada siswa di Indonesia.
Laboratorium IPA di sekolah
Laboratorium merupakan salah satu alat yang paling mudah untuk memfasilitasi
pembelajaran, sehingga secara historis, pengalaman dalam laboratorium ipa dipandang sebagai
sebuah tempat untuk menggambarkan, menunjukkan, dan memverifikasi konsep dan hukum
yang diketahui (Hofstein & Lunetta, 982; NRC, 2005 dalam Campbell, Todd & Bohn, Chad,
2008: 37).Dengan pengalaman dalam laboratorium dapat meningkatkan pemahaman siswa
dalam bentuk praktis (M.Y. Hamidu, A.I Ibrahim, dan A. Mohammed, 2014: 82). Pemanfaatan
dan peningkatan kualitas laboratorium yang di miliki oleh SMP sangat diperlukan dalam
pembelajaran, sehingga siswa terbiasa untuk berpikir tingkat tinggi.
Pemerintah Indonesia sedang mencanangkan untuk merangsang siswa dengan soal ber
tipe Higher Order Thinking Skills (HOTS). Hal ini dapat digunakan untuk meningkatkan literasi
sains yang terdapat di Indonesia. Literasi sains merupakan salah satu hal yang berpengaruh
terhadap studi PISA yang diikuti oleh 72 negara di dunia. Secara istilah, Menurut Norris dan

Phillips, 2003 dalam dalam Holbrook dan Rannikmae (2009: 276) literasi sainsmengandung
berbagai komponen sebagai berikut: a) Pengetahuan tentang isi substantif ilmu pengetahuan dan

kemampuan untuk membedakan antara sains dan non-sains. b) ilmu untuk memahami dan
aplikasi. c) pengetahuan tentang apa yang dianggap sebagai ilmu. d) Kemerdekaan dalam
mempelajari ilmu. e) kemampuan untuk berpikir ilmiah. f) kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan ilmiah dalam memecahkan masalah. g) pengetahuan yang dibutuhkan untuk
partisipasi cerdas dalam masalah berbasis ilmu pengetahuan. h) memahami hakikat ilmu,
termasuk hubungannya dengan budaya. i) apresiasi dan kenyamanan dengan ilmu pengetahuan,
termasuk heran dan rasa ingin tahu. j) pengetahuan tentang resiko dan manfaat dari ilmu
pengetahuan.
Beberapa komponen tersebut sangat mendukung dan relevan dengan adanya
laboratorium IPA di sekolah. Untuk memajukan pendidikan di Indonesia, salah satunya perlu
pemanfaatan laboratorium di SMP hal ini untuk merangsang daya berpikir anak. Sebuah teori
yang ada dan teori yang belum ditemukan sangat berpotensi untuk dibahas sebagai
perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak menutup kemungkinan bahwa anak SMP lah yang
menemukan teori baru tentang ilmu pengetahuan.
Laboratorium yang terdapat di SMP biasanya masih sederhana, tetapi dapat digunakan
untuk merangsang berpikir tingkat tinggi pada anak. Laboratorium IPA di sekolah, sangat
diperlukan untuk menunjang karya tulis imiah siswa, sehingga merangsang siswa untuk berpikir
lebih kreatif. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka banyak pelatihan pengelolaan
laboratorium IPA sekolah, dilingkungan dinas pendidikan daerah. Untuk calon guru IPA,
banyak perguruan tinggi di Indonesia yang telah berhasil meluluskan mahasiswa nya untuk

menjadi calon guru. Perguruan tinggi yang membuka program studi pendidikan IPA seharusnya
mampu membekali mahasiswanya untuk terampil mengelola laboratorium. Untuk mengetahui
keberhasilan mahasiswa dalam memperoleh perkuliahan tentang tata kelola laboratorium /
organisasi laboratorium tidak hanya mengandalkan dari nilai akhir yang diperoleh mahasiswa
tetapi berdampak pada kompetensi lulusan sebagai calon guru IPA. Hal ini dapat diketahui dari
studi lacak alumni yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mengingat sangat pentingnya
kegunaan laboratorium di SMP, maka pemanfaatan sarana dan prasarana perlu ditingkatkan
lagi.
Terdapat beberapa ulasan dalam paper Toplis dan Allen (2012:3-5) menjelaskan
pentingnya Laboratorium, yaitu: a)motivational reasons, pembelajaran menggunakan
laboratorium dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar terhadap sains. b) practical work
aids learning of theory, pembelajaran melalui praktek kerja (praktikum) dapat membantu
menjelaskan terhadap teori yang telah diajarkan. Tetapi alangkah baiknya siswa membangun
pemahaman terhadap suatu teori menggunakan praktikum, sehingga siswa dapat memahami
secara utuh suatu konsep dari sains. c) practical work teaches students to act like real scientist,
keterampilan siswa dalam menggunakan peralatan laboratorium, seperti seorang ilmuwan yang
benar-benar bekerja untuk menemukan sebuah teori, sehingga siswa sangat memerlukan untuk
membangun pengetahuan. d) teaching “practical skills”, secara tidak langsung pembelajaran di
laboratorium akan memberikan siswa bekal keterampilan untuk praktek. Setelah melakukan
praktek diharapkan siswa dapat menemukan konsep, sehingga pembelajaran dilaboratprium berasaskan “I do and I understand, but not I understand and I do”.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Subamia, Artawan dan Wahyuni (2014: 446),
menghasilkan bahwa terdapat keterbatasan ruang dan fasilitas laboratorium, keterbatasan alatalat dan bahan-bahan praktikum, ketidaktersediaan tenaga laboran, belum ada SOP tata kelola

dan tata laksana laboratorium, ketidakmampuan guru mengelola pembelajaran sesuai dengan
ketersediaan waktu efektif, hambatan psikologis guru yang belum merasa puas jika tidak banyak
berceramah, dan keterbatasan laboratorium SMP. Kebanyakan guru masih menggunakan
praktikum yang sudah tertera di dalam buku teks IPA SMP. Dan buku itu masih digunakan
untuk tahun sebelum dan sesudahnya, sehingga perkembangan materi dalam praktikum tidak
signifikan. Seharusnya guru membuat panduan praktikum sendiri, sehingga setiap tahun dapar
direvisi untuk dilakukan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan yang ada.
Dari penelitian tersebut menggambarkan bahwa kualitas penggunaan laboratorium
sebagai sarana penunjang pembelajaran belum dapat diandalkan. Seharusnya Standar
Operasional Prosedur (SOP) dimiliki oleh sekolah ketika mengadakan Laboratorium IPA Di
sekolahnya. SOP minimal yang harus dirancang sebagai rambu-rambu umum untuk
dilaksanakan dan ditaati oleh pengguna laboratorium. Faktor keamanan yang perlu diperhatikan
karena siswa SMP mempunyai rasa ingin tahu yang lebih besar, karena baginya peralatan
laboratorium merupakan hal baru.
Metodologi Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan analisis deskriptif. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library

research). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang relevan pada
penelitian yang dikaji. Sumber data yang digunakan sebagai teori tersebut adalah buku, jurnal
ilmiah, website, serat sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawaban kebenarannya.
Objek Penelitian yang digunakan adalah laboratorium IPA di SMP. Data yang
dikumpulkan merupakan pustaka dan dokumen. Analisis data yang digunakan adalah triangulasi
data dari berbagai sumber data yang telah di ulas sebelumnya, triangulasi data dalam qualitative
research methods meliputi interviews, surveys and reflective journals atau catatan lapangan.
Tetapi karena studi ini dilakukan secara kepustakaan maka teknik analisis data nya
menggunakan sumber dokumen yang ada (Oliver-Hoyo, Maria and Allen, DeeDee, 2006: 43).
Pembahasan
Pentingnya sarana dan prasarana sekolah, khususnya dapat merangsang anak agar
tertarik kerja ilmiah dilaboratorium. Pemberian sarana dan prasarana berupa laboratorium
sangat dibutuhkan di tingkat pendidikan dasar. Laboratorium sekolah dapat mendampingi
program terealisasinya peningkatan literasi sains di Indonesia.Terdapat beberapa hal yang perlu
ditingkatkan untuk pemanfaantan laboratorium sekolah,bagi sekolah yang sudah mempunyai
fasilitas laboratorium, jika dilihat dari segi tata kelola laboratorium: 1) tersedianya laboran pada
laboratorium sekolah. Laboran ini bertugas untuk menjaga dan merawat laboratorium, mulai
dari pelaporan kebersihan peralatan laboratorium, pelaporan data bahan yang tersedia
dilaboratorium, laporan pemakaian laboratorium. Semua yang terdapat dalam laboratorium
menjadi tanggung jawab laboran tersebut. 2) tersedianya SOP (Standar Operasional

Prosedure).SOP digunakan sebagai aturan umum penggunaan alat dan bahan, serta
penyimpangan kembali setelah alat tersebut digunakan dan dibersihkan. 3) tersedianya tata
tertib keamanan bagi pengguna laboratorium. Setiap laboratorium harus mempunyai standar
keamanan minimum. Seperti disyaratkan bagi yang memasuki laboratorium mengggunakan jas
laboratorium, kaos tangan lateks, kacamata laboratorium (jika diperlukan), masker sekali pakai
(jika diperlukan). Semua yang meliputi tata kelola laboratorium, terlebih dahulu harus
dikenalkan kepada siswa sebelum memasuki laboratorium. Karena laboratorium ini terdapat

pada sekolah menengah pertama, maka pendampingan dan pengawasan guru masih sangat
diperlukan.
Pembelajaran di laboratorium (praktikum), sangat berguna untuk membangun
pengetahuan anak dalam memahami suatu konsep. Seperti teori belajar konstruktivisme, siswa
dirangsang untuk memahami suatu konsep melalui beberapa contoh yang mereka sebutkan
sendiri atau guru dapat memberikan contohnya. Sebaiknya guru memberikan kesempatan bagi
siswa untuk belajar di laboratorium, sedangkan pembelajaran tersebut bersifat menganalisis,
mengevaluasi, dan mengkreasikan. Jika pembelajaran masih bersifat membuktikan dan
memahami, serta mengetahui saja, maka kemampuan siswa untuk membangun pengetahuan
masih sangat kurang. Kebanyakan guru, masih menggunakan tema praktikum yang tertera di
buku teks, tanpa memodifikasi nya. Sedangkan praktikum yang terdapat didalam buku teks
masih bersifat mengetahui dan memahami. Alangkah baiknya jika seorang guru memberikan

praktikum terlebih dahulu sebelum memberikan teori, agar siswa dapat membangun konsep nya
secara mandiri pada saat praktikum. Contoh, Tabel 1.2. praktikum kromatografi sederhana pada
pelajaran IPA SMP.
Tabel 1.2 Praktikum Kromatografi Sederhana pada Pelajaran IPA SMP
Praktikum Kromatografi
Tujuan:
1) Untuk mengetahui susunan suatu warna dasar dan warna campuran
2) Untuk mengetahui teknik pemisahan warna yang tepat
3) Untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan dalam pemisahan warna
Alat:
Bahan:
a) Gelas beker ukuran 50 ml
a) Spidol 12 warna
b) Lidi atau kawat
b) Minyak goreng 50 ml
c) Isolasi
c)
Air
d) Kertas saring
d) Alkohol (antiseptik)

e) Kertas buram
f)
Kertas HVS
g) Kertas karton
h) Gunting
Cara Kerja:
1.
Siapkan gelas beker pada meja kerja, kemudian isilah dengan minyak goreng 20 ml
2.
Rangkaikan kertas saring yang dipotong memanjang pada lidi, kemudian tempelkan dengan isolasi
3.
Berikan 1 titik spidol pada ujung kertas, kemudian gantungkan kertas ke dalam gelas beker, usahakan ujung kertas
yang terkena spidol menempel pada larutan yang terdapat dalam gelas beker.
4.
Amatilah apa yang akan terjadi, catatlah!
5.
Gantilah dengan semua variasi kertas, dan larutan yang sudah ada
6.
Analisislah dan simpulkan apa yang terjadi
7.
Diskusikan dengan teman yang berbeda kelompok.

Sumber: doc. Pribadi.
Contoh tersebut dapat digunakan pada praktikum anak SMP, setelah diberikan praktikum, maka
guru mengklarifikasi dengan teori yang sudah ada. Peran guru dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk diaplikasikan dalam praktikum sangatlah penting, sehingga dari tahun ke
tahun ilmu akan terus diperbaharui. Hal inilah yang dapat digunakan untuk meningkatkan
literasi sains pada siswa SMP, karena pada taraf ini siswa diajak dan dirangsang agar
menggunakan pemikiran ilmiahnya untuk memecahkan masalah yang terdapat disekitar kita.
Kebiasaan yang diterapkan oleh guru ketika memberikan pembelajaran dengan
merangsang tingkat kognitif analyze, evaluate, dan create. Ketiga tingkat kognitif itulah yang
dapat merangsang higher order thinking skill pada siswa. Agar menjadi kebiasaan maka guru
hendaknya melakukan dari hal kecil yaitu melalui intruksi cara kerja dan pembahasan dalam

panduan praktikum IPA yang mengajak siswa untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.
Dengan demikian, guru akan sangat mudah mengembangkannya dalam model pembelajaran dan
dalam instrumen penilaian yang di berikan kepada siswa.
Jika sekolah tempat seorang guru mengabdi belum terdapat laboratorium, maka dapat
menggunakan alat-alat sederhana yang dapat digunakan untuk menunjang pembelajaran
praktikum. Alat-alat IPA yang dapat digunakan untuk praktikum dapat berupa pemanfaatan
barang-barang bekas, seperti yang terbuat dari plastik yang dapat didaur ulang ketika selesai
menggunakan untuk praktikum. Namun penggunaan barang bekas yang berupa plastic tidak
dapat digunakan untuk zat / bahan yang bersifat pekat, karena dapat bereaksi dengan tempat
yang digunakan. Keterbatasan ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan peralatan
lain.Sebagai solusi yang memungkinkan dapat digunakan laboratorium virtual, seperti penelitian
yang dilakukan oleh George dan Kolobe (2014: 113) untuk mensuport pembelajaran siswa
dapat menggunakan program tanpa mengurangi kualitas, yaitu dengan menggunakan simulasi
computer dan video demonstrasi untuk mengetahui fenomena abstrak sebuah ilmu pengetahuan.
laboratorium virtual ini dapat menggunakan program animasi macromedia flash. Seorang guru
dapat merancang praktikumnya melalui animasi tersebut. Mulai dari perubahan warna, bahan
dan alat dapat dibuat dalam animasi tersebut. Jika guru tidak menguasai pembuatannya maka
dapat memesan untuk dibuatkan dengan konsep yang telah disusun oleh guru yang mengampu
pelajaran IPA. Semua bentuk pengganti yang digunakan guru untuk mengembangkan
pembelajaran dapat digunakan untuk meningkatkan literasi sains yang terdapat di Indonesia.
Penutup
Untuk memanfaatkan laboratorium IPA yang terdapat di SMP, seorang guru harus
mampu mengembangkan beberapa praktikum yang kreatif. Kreatif disini dapat berupa dari segi
pengembangan materi dan alat yang digunakan agar ilmu pengetahuan dari tahun ke tahunnya
selalu di perbaharui. Literasi sains di tingkat SMP perlu di tingkatkan agar tingkat pemahaman
terhadap sains selalu bertambah. Modifikasi materi pada praktikum IPA yang perlu
dikembangkan adalah dari segi bioteknologi.
Tidak ada alasan untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan dengan alasan
pemerintah. Tetapi dengan adanya beberapa program yang dapat digunakan sebagai pengganti,
tidak selamanya mencukupi kebutuhan suatu sekolah. Semua program tersebut hanya
membantu, agar siswa dapat kreatif untuk membangun pengetahuannya maka pemerintah harus
memberikan sarana dan prasarana yang menunjang kebutuhan siswa agar dapar meningkatkan
literasi sains di Indonesia untuk studi PISA selanjutnya.
Daftar Pustaka
Campbell, Todd and Bohn, Chad. 2008. Science Laboratory Experiences of High School
Student Across One State in The U.S.: Descriptive Research from The Classroom.
Science Educator. Spring 2008, Vol.17, No. 1.
George, Mostho J and Kolobe, Mamontsi. 2014. Exploration of the Potential of Using a Virtual
Laboratory for Chemistry Teaching at Secondary School Level in Lesotho. A. Afr. J.
Chem., 2014, 67, 113-117. http://journals.sabinet.co.za/sajchem/.
Holbrook, Jack and Rannikmae Miia. 2009. The Meaning of ScientificLiteracy. International
Journal of Environmental and Science Education Vol.4, No. 3, Juli 2009, 275-288.

Indira, syahda sukma. 2016. Informasi ini disampaikan oleh direktur Pembinaan SMP. Dr.
Supriano, M.Ed dalam acara pembukaan workshop Sosialisasi dan Penandatanganan
Surat Perjanjian Pemberian Bantuan (SPPB) Program Pembangunan RKB, Perpustakaan,
Laboratorium IPA dan Rehabilitasi ruang belajar pada tanggal 1 sd 3 Mei 2016 di
Jakarta. Diakses secara online pada tanggal 2 Februari 2017 di
http://ditpsmp.kemdikbud.go.id/home/news/9.
M.Y, Hamidu dkk. 2014. The Use of Laboratory Method in Teaching Secondary School
Student: a key to Improving the Quality of Education. International Journal of Scientific
& Engineering Research, Volume 5, Issue 9, September-2014.
Oliver-Hoyo, Maria and Allen, DeeDee. 2006. The Useof Triangulation Methods in Qualitative
Educational Research. Journal Of College science teaching. January/February 2006,
Page: 42-47.
PP No 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Programme for International Student Assessment (PISA) Result from PISA 2015. Diakses
secara online dihttps://www.oecd.org/pisa/PISA-2015-Indonesia.pdf pada tanggal 6
Februari 2017.
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-teori Belajar: Jakarta: Erlangga
Subamia, I Dewa Putu, dkk. 2014. Analisis Kebutuhan Tata Kelola Tata Laksana Laboratorium
IPA di SMP di Kabupaten Buleleng. Jurnal Pendidikan Indonesia. Vol. 3, No. 2, Oktober
2014.
Toplis, Rob and Allen, Michael. 2012. ‘I do and I understand?’ Practical Work and Laboratory
Use in United Kingdom Schools. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education, 2012, 8 (1), 3-9.