EFEKTIFITAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI

EFEKTIFITAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI

Anatomi Muliawan 1 , Carli Caniago 1 1 Bagian Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi

Jln. HR Rasuna Said Kav C-1 Jakarta 12920 anatomi@yahoo.com

Abstract

The criminal act gratuity provided for in article 12 paragraph B (1) letter a reversal of the burden of proof be the basis, but in the formulation of the core offense listed in full implications of mandatory prosecution to prove the offense formulation. This study aims to determine whether the reversal of the burden of proof is the obligation or right of the receiving gratuities. In addition, research was done in order to determine the effectiveness of the application of Article gratification of article 12 paragraph B (1) letter a of Law Number 20 Year 2001 regarding Amendment to Law Number 31 Year 1999 on Eradication of Corruption Criminal Acts. The method I use in this study is to perform normative and empirical legal research. Where the nature of this paper is descriptive. The author uses primary data, secondary data and tertiary data to complement those of the authors. Then from the existing data in the end the authors analyzed the data qualitatively. The conclusions of this study is the first reversal of the burden of proof is the right of receiving gratification as the core offenses in the formulation of article 12 paragraph B (1) of Law 20/2001 included the element "associated with the position and contrary to the obligation or duty". Given these elements it is the duty of prosecutors to prove the elements, but as stipulated in article 37 paragraph (1) Act 20/2001 defendant has the right to prove that he is not committing corruption. second, Article 12 B (1) letter

a of Law 20/2001 was never used by prosecutors in the prosecution because the formulation of the Article imprecise and vague that the prosecutor demanded the matter of gratification to use other passive bribery article because gratuities included type of passive bribery is accepted bribes

Keywords: Gratification, Criminal Act, Proofing

Pendahuluan

artinya dalam keberlakuan norma yang berkenaan Dewasa ini korupsi merupakan bagian

dengan tindak pidana korupsi “berbanding terbalik” yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

dengan wilayah penerapannya. “Semakin banyak manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua

unsur-unsur atau kriterianya, maka semakin sempit serta merupakan salah satu penyakit masyarakat, sa-

wilayah penerapannya, sebaliknya semakin sedikit ma dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian

unsur-unsur atau kriterianya, maka semakin luas wi- yang sudah ada sejak manusia ada di atas bumi ini.

layah penerapannya” (Djoko S, 2009). Masalah utama yang dihadapi adalah korupsi me-

Perbuatan korupsi dilakukan mulai dari ningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Penga-

„mark up‟ pengadaan barang dan jasa, pengadaan laman memperlihatkan bahwa semakin maju pem-

barang dan jasa yang menyalahi prosedur, penyalah- bangunan suatu bangsa semakin meningkat pula ke-

gunaan wewenang, suap, pemberian atau penerima- butuhan hidup dan salah satu dampaknya dapat

an gratifikasi, penyalahgunaan dana yang tidak se- mendorong orang untuk melakukan kejahatan, ter-

suai dengan „posting‟ anggaran dan lain-lain yang masuk korupsi (Djoko S, 2009). Perkembangan dari

semuanya itu mempunyai potensi merugikan ke- pada unsur tindak pidana korupsi sejak tahun 1957

uangan negara dan perekonomian negara (Djoko S, sampai dengan tahun 2006 mengalami pasang surut,

2009). Korupsi di Indonesia sudah merupakan keja- hatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes)

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

dan pasal 33 Undang-Undang Nomor 15 Tahun telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masya-

2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Mo- rakat luas, oleh sebab itu diperlukan penanggu-

ney Loundering) menetapkan bahwa: “… terdakwa langan dari aspek yuridis yang luar biasa (extra or-

wajib membuktikan bahwa harta ke-kayaannya dinary enforcement) dan perangkat hukum yang

bukan merupakan hasil tindak pidana” luar biasa pula (extra ordinary measures). Salah

Dalam tindak pidana korupsi pembalikan satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan

beban pembuktian ini diberlakukan pada tindak dalam sistem peradilan pidana adalah melalui sis-

pidana baru tentang gratifikasi. Definisi gratifikasi tem pembuktian yang lebih memadai yaitu diper-

dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 lukan adanya pembuktian terbalik atau pembalikan

adalah sebagai berikut: Gratifikasi adalah pemberian beban pembuktian (reversal burden of proof/ om-

dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, ba- kering van het bewijslast) (Lilik M, 2007)

rang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bu- Mekanisme pembalikan beban pembuktian

nga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perja- melalui proses kepidanaan telah dilaksanakan di

lanan wisata dan fasilitas lainnya. Gratifikasi terse- Singapura (Section 4 Singapore Confiscation of

but baik diterima di dalam negeri maupun di luar ne- Benefit Act) dan Hongkong (Section 12 A Hongkong

geri dan yang dilakukan dengan menggunakan sara- Prevention Bribery Ordonance 1991) . Penerapan

na elektronik atau tanpa sarana elektronik (Prinst, pembalikan beban pembuktian atau yang lebih dike-

nal dengan pembuktian terbalik sebenarnya meru- Black‟s Law Dictionary memberikan pe- pakan penyimpangan asas umum hukum pidana

ngertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given re- yang menyatakan bahwa siapa yang menuntut, dia-

ward or recompense for a service or benefit” yang lah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya

dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian (Mochtar K, 2003)

yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau Apabila dikaji lebih detail teori pembalikan

keuntungan”

baban pembuktian akan bersinggungan dengan Hak Gratifikasi berbeda dengan hadiah dan se- Asasi Manusia (HAM) khususnya implementasi ter-

dekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan ke- hadap ketentuan pasal 66 Kitab Undang-Undang

pentingan untuk memperoleh keputusan tertentu, Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)

tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak

semata. Gratifikasi adalah pemberian untuk mem- dibebani kewajiban pembuktian. Disamping tindak

peroleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang pidana korupsi, terdapat peraturan perundang-un-

dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran dangan di Indonesia yang mengatur tentang pem-

inilah yang menjadi landasan pasal pemidanaan gra- balikan beban pembuktian antara lain pasal 22 Un-

tifikasi.

dang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlin- Dikisahkan pada zaman Nabi Muhammad dungan Konsumen, dimana pelaku usaha wajib

terdapat seorang pejabat penarik zakat di distrik bani membuktikan bahwa dia tidak melakukan perbuatan

sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prak- Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 163 sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prak- Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 163

dengar hal itu, Nabi memberi reaksi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa orang yang

Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 31 telah diangkatnya sebagai pejabat maka jika ia me-

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana nerima sesuatu yang di luar gajinya adalah tindakan

Korupsi (selanjutnya disebut UU 31/1999) menerap- korupsi. Dalam masa modern ini pemberian kepada

kan “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan suatu pihak yang memiliki kekuasaan atau wewe-

berimbang” yakni terdakwa mempunyai hak untuk nang tertentu dapat menjadi hal yang terlarang.

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak Gratifikasi pada awalnya tidak menimbul-

pidana korupsi dan penuntut umum tetap berkewa- kan masalah, namun setelah dikriminalisasi maka

jiban untuk membuktikan dakwaannya, akan tetapi gratifikasi menjadi suatu tindak pidana korupsi.

dalam perkembangannya UU 31/1999 kemudian di- Delik baru ini diperkenalkan dalam pasal 12 B

ubah dengan UU 20/2001. Salah satu aspek menarik Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

dalam UU 20/2001 adalah dianutnya sistem peru- Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

bahan pembalikan beban pembuktian sehingga me- 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

nurut penjelasan umumnya secara tegas disebutkan (selanjutnya disebut UU 20/2001) sebagai berikut:

bahwa:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau “… mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematis dan meluas sehingga tidak hanya meru-

penyelenggara negara dianggap pemberian su- gikan keuanggan negara, tetapi juga telah melanggar

ap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan de-

yang berlawanan dengan kewajiban atau tu- ngan cara yang luar biasa. Dengan demikian, pem-

gasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: berantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara khusus, antara lain penerapan sistem

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibe-

juta rupiah) atau lebih pembuktian bahwa

b ankan pada terdakwa”

gratifikasi tersebut bukan merupakan suap Selanjutnya dalam penjelasan UU 20/2001

dilakukan oleh penerima gratifikasi; lebih lanjut juga dijelaskan pula tentang dimensi,

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00

bahwa:

(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh

“Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31

penuntut umum. Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara “premium

remedium” dan sekaligus mengandung sifat pre- negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

vensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap pe-

adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana nyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pa- pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

ling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana den- Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk

da paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus tidak melakukan tindak pidana korupsi”.

juta rupiah) dan paling banyak Rp

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

Oleh karena itu, dengan ditetapkannya pem- bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Hal balikan beban pembuktian ini, bergeserlah beban

mengenai pembalikan beban pembuktian tersebut pembuktian (shifting of burden proof) dari jaksa pe-

ditegaskan juga dalam penjelasan UU 20/2001 yang nuntut umum kepada terdakwa. Pada hakikatnya

menyatakan pembuktian terbalik diberlakukan pada apabila dibandingkan dengan UU 31/1999,

tindak pidana baru tentang gratifikasi. Disisi lain ketentuan UU 20/2001 tidak menyebabkan terjadi-

dalam pasal 37 ayat (1) UU 20/2001 menyatakan nya penerapan pembalikan beban pembuktian, te-

terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bah- tapi hanya perubahan terhadap beban pembuktian

wa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pasal dalam aspek gratifikasi yang berhubungan dengan

37 ayat (1) UU 20/2001 tidak memberikan penge- suap, harta benda yang belum didakwakan serta har-

cualian terhadap tindak pidana gratifikasi seba- ta benda milik terpidana yang diduga atau patut di-

gaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a duga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum

UU 20/2001 yang mengatur pembuktian gratifikasi dikenakan perampasan untuk negara yang perkara

bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima pokoknya telah memperoleh putusan berkekuatan

gratifikasi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ma- hukum tetap.

ka penulis merumuskan permasalahan sebagai be- Pasal 12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001

rikut:

mengatur …pembuktian gratifikasi bukan merupa-

1. Apakah pembalikan beban pembuktian meru- kan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Pada

pakan kewajiban atau hak bagi penerima gra- dimensi ini maka terdakwa harus membuktian tidak

tifikasi?

menerima sesuatu gratifikasi. Tegasnya, terdakwa

2. Apakah tindak pidana gratifikasi yang diatur membuktikan tentang objek apa yang telah diteri-

dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001 manya. Kemudian, terdakwa juga harus dapat mem-

efektif diterapkan oleh penegak hukum? buktikan bahwa apabila menerima sesuatu, aspek ini bukanlah merupakan suatu gratifikasi atau dapat

Harapan yang ingin dicapai dari penulisan juga terdakwa membuktikan objek yang didakwa-

ini adalah untuk mengetahui apakah pembalikan be- kan bukan terdakwa yang menerimanya, melainkan

ban pembuktian merupakan kewajiban atau hak bagi orang lain. Selanjutnya, apabila terdakwa menerima

penerima gratifikasi. Serta untuk mengetahui apakah sesuatu sebagai gratifikasi, objek yang diterima

tindak pidana gratifikasi yang diatur dalam pasal 12 tersebut harus bukan pemberian yang berhubungan

B ayat (1) huruf a UU 20/2001 efektif diterapkan dengan jabatan (in zijn bedizening) dan bukan pula

oleh penegak hukum.

pemberian tersebut berlawanan dengan kewajiban Bentuk penelitian yang penulis gunakan atau tugasnya (in strijd met zijn plicht)

adalah bentuk penelitian hukum normatif dan pene- (Sumaryanto, 2009)

litian hukum empiris. Penelitian hukum normatif Ketentuan pasal 12 B ayat (1) huruf a UU

(Library Research) adalah penelitian yang dilakukan 20/2001 dipandang sebagai pembalikan beban pem-

dengan cara menelusuri atau menelaah dan meng- buktian, karena dicantumkan dalam pasal 12 B ayat

analisis bahan pustaka dan dokumen siap pakai. Pe- (1) huruf a UU 20/2001 pembuktian gratifikasi

nelitian hukum empiris (Field Research) adalah pe- Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 165

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

ngumpulan materi atau bahan penelitian yang harus diupayakan atau dicari sendiri oleh karena belum tersedia. Penulis secara langsung melakukan ob- servasi ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pem- berantasan Korupsi (KPK). Sifat penelitian yang di- gunakan dalam ini adalah sifat penelitian deskriptif yuridis, yang berusaha memberikan gambaran yang jelas mengenai efektifitas pembalikan beban pem- buktian dalam tindak pidana gratifikasi.

Pembahasan

Korupsi berasal dari bahasa latin yakni cor- ruptio , dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, me- nyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pe- jabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekua- saan publik yang dipercayakan kepada mereka (Krishna, 2006). Sedangkan masyarakat umum me- ngartikan tindak pidana korupsi adalah berkenaan dengan keuangan negara yang dimiliki secara tidak sah (haram). Istilah korupsi disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ialah “perbuatan yang buruk seperti peng-

gelapan uang, penerimaan uang sogok dan se- bagainya” Pengertian korupsi menurut Kamus Hu-

kum adalah: “suatu bentuk tindak pidana dengan memperkaya

diri sendiri dengan melakukan penggelapan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan perekonomian negara; perbuatan mela- wan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau negara” (Marwan, 2009)

Dalam Black ‟s Law Dictionary korupsi me- rupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya un- tuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain (Rohim, 2008). Robert Klitgaard merumuskan tindak pidana korupsi dalam sebuah proposisi matematis, yaitu dengan rumusan sebagai berikut: (C=M+D –A) Corruption = Monopoly Power + Discretion by Official – Accountability

Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu kebijakan), tetapi da- am kondisi tidak adanya akuntabilitas (Rohim, 2008). Secara hukum pengertian korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ke- tentuan peraturan perundang-undangan yang meng- atur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian ko- rupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang me- rugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan. Menurut Andi Hamzah pengertian korupsi secara harfiah itu dapat ditarik kesimpulan bahwa korupsi sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya (A.Hamzah, 2006). Menurut perspektif hukum, pengertian tindak pidana korupsi secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001.

Menurut Krisna Harahap tindak pidana ko- rupsi bisa datang dari dalam maupun dari luar diri si pelaku, secara internal dorongan melakukan tindak pidana korupsi salah satunya adalah muncul karena keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah Menurut Krisna Harahap tindak pidana ko- rupsi bisa datang dari dalam maupun dari luar diri si pelaku, secara internal dorongan melakukan tindak pidana korupsi salah satunya adalah muncul karena keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah

3. Kepolisian

sudah tercukupi, korupsi dilakukan agar dapat hidup

b. Orang yang menerima Gaji atau Upah dari Ke- lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang

uangan Negara. Yang dimaksud keuangan ne- tidak dapat terbeli dengan gaji, oleh karena tingkat

gara adalah seluruh kekayaan negara dalam ke-puasan itu tidak ada batasnya maka sepanjang

bentuk apapun.

ada peluang mereka yang korupsi karena

c. Orang yang menerima Gaji dari Korporasi yang keserakahan akan mengulangi perbuatan itu hingga

Menerima Bantuan dari Keuangan Negara atau pada suatu saat ia harus berhadapan dengan hukum.

Daerah. Maksudnya korporasi yang menerima Sebaliknya faktor dari luar yang menyebabkan

bantuan keuangan secara langsung maupun tindak pidana korupsi salah satunya adalah aspek

tidak langsung dari negara. peraturan perundang-undangan. Kelemahan yang

d. Orang yang menerima Gaji dari Korporasi yang ada

mempergunakan Modal atau Fasilitas Negara merupakan celah ber-kembangnya tindak pidana

pada pe-raturan

perundang-undangan

atau Masyarakat Korporasi yang mendapat korupsi. Misalnya sanksi yang terlalu ringan dan

modal atau fasilitas negara, contohnya Badan lemahnya bidang evaluasi dan revisi.

Usaha Milik Negara atau fasilitas masyarakat adalah Koperasi.

Subyek Tindak Pidana Korupsi

e. Penyelenggara Negara, adalah pejabat negara Menurut Martiman Prosodjohamidjojo

yang menjalankan fungsi Eksekutif, Legislatif dalam UU 31/1999, subyek tindak pidana korupsi

atau Yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan terbagi dalam dua kelompok, yaitu orang-per-

tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara seorangan dan korporasi. Kedua-duanya jika mela-

negara sesuai dengan ketentuan perundang-un- kukan perbuatan pidana diancam sanksi. Subyek

dangan yang berlaku.

tindak pidana korupsi orang-perseorangan menurut

f. `Pemborong, adalah setiap orang yang peker- UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU

jaannya mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan 20/2001 adalah:

borongan, misalnya membangun jalan, mem-

a. Pegawai Negeri (Undang-Undang Nomor 8 bangun gedung, mengadakan sesuatu barang Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Po-

keperluan seperti persenjataan TNI dan POLRI. kok Kepegawaian) menurut pasal 2 UU 8/1974,

g. Ahli Bangunan, adalah seseorang yang karena pegawai negeri terdiri dari:

pendidikan atau pengalamannya mempunyai ke-

1. Pegawai Negeri Sipil mampuan untuk membuat bangunan.

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat;

h. Orang yang menjalankan Jabatan Umum, adalah

b. Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan seseorang yang bukan pegawai negeri atau pe-

c. Pegawai Negeri Sipil, lain yang ditetapkan nyelenggara negara, tetapi diberi kuasa atau dengan Peraturan Pemerintah seperti pegawai

mandat menjalankan jabatan umum, misalnya Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha

penarik iuran listrik, telepon dan sebagainya. Milik Daerah.

2. Tentara Nasional Indonesia Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 167 2. Tentara Nasional Indonesia Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 167

berikan oleh pemerintah kepada terpidana. dilan, misalnya hakim pada Pengadilan Negeri. j. Advokat, adalah orang yang berprofesi memberi

Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi

jasa hukum, baik didalam maupun diluar pe- Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang ngadilan yang memenuhi persyaratan sesuai ke-

terdapat dalam UU 31/1999 sebagaimana telah diu- tentuan perundang-undangan yang berlaku.

bah dengan UU 20/2001 adalah:

a. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Yang dimaksud dengan subyek tindak pi-

Diri Sendiri, Orang Lain atau Korporasi (pasal dana korupsi korporasi dalam UU 31/1999 adalah

b. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahguna- organisir, baik berupa badan hukum maupun tidak.

kumpulan orang dan atau kekayaan yang ter-

kan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan Badan hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan

atau Kedudukan (pasal 3).

Terbatas (PT), Yayasan dan Koperasi. Sementara

c. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberi- perkumpulan orang dapat berupa Firma dan Com-

kan atau Menjanjikan Sesuatu (pasal 5). manditaire Vennootschap (CV). Selain sanksi pi-

d. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan dana penjara subyek tindak pidana korupsi yang

Advokat (pasal 6).

telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik

e. Korupsi dalam hal Membuat Bangunan dan perseorangan maupun badan hukum juga dapat di-

Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi jatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud da-

dalam hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI lam pasal 18 UU 31/1999 berupa:

dan POLRI (pasal 7).

f. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang atau yang tidak berwujud atau barang yang ti-

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud

dan Surat Berharga (pasal 8). dak bergerak yang digunakan untuk atau yang

g. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Me- diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk

malsu Buku-Buku dan Daftar-Daftar (pasal 9). perusahaan milik terpidana dimana tindak pi-

h. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Me- dana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari

rusakkan Barang, Akta, Surat atau Daftar (pasal barang yang menggantikan barang-barang ter-

sebut;

i. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya Janji yang Berhubungan dengan Kewenangan sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

Jabatan (pasal 11).

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; j. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan atau Hakim dan Advokat Menerima Hadiah atau untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar,

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak ter- Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, tentu atau penghapusan seluruh atau sebagian

Menggunakan Tanah Negara dan Turut Serta dalam Pemborongan (pasal 12).

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

dekat dengan dirinya. Yang lebih berba-haya (pasal 12 B).

lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau l. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Me-

dicontoh oleh generasi muda Indonesia, maka ngingat Kekuasaan Jabatan (pasal 13).

cita-cita bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur semakit sulit untuk di-

Dari uraian pengertian dan penyebab tindak

capai.

pidana korupsi diatas, dapat disimpulkan timbulnya

4. Hukum tidak lagi dihormati Negara Indonesia beberapa akibat dari tindak pidana korupsi. Evi

merupakan negara hukum dimana segala sesua- Hartanti menguraikan diantaranya adalah sebagai

tu harus didasarkan pada hukum. Tanggung- berikut (Evi H, 2009):

jawab dalam hal ini bukan hanya terletak pada

1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerin- penegak hukum saja, namun juga seluruh warga tah. Apabila pejabat pemerintah melakukan tin-

Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hu- dak pidana korupsi akan mengakibatkan ku-

kum tidak akan terwujud apabila aparat penegak rangnya kepercayaan terhadap pemerintah terse-

hukum melakukan tindakan korupsi sehingga but. Disamping itu, negara lain juga lebih mem-

hukum tidak dapat ditegakkan, ditaati serta ti- percayai negara yang pejabatnya bersih dari

dak diindahkan oleh masyarakat. Dalam kon- korupsi, baik dalam kerjasama di bidang politik,

sideran UU 31/1999 disebutkan alasan diben- ekonomi ataupun dalam bidang lainnya. Hal ini

tuknya undang-undang tentang tindak pidana akan mengakibatkan pembangunan disegala

korupsi karena tindak pidana korupsi sangat bidang akan terhambat khususnya pembangu-

merugikan keuangan negara atau perekonomian nan ekonomi serta mengganggu stabilitas per-

negara dan menghambat pembangunan nasional. ekonomian negara dan stabilitas politik.

Kemudian dalam perkembangannya diadakan

2. Menyusutnya pendapatan negara Penerimaan perubahan atas UU 31/1999 menjadi UU negara untuk pembangunan didapatkan dari dua

20/2001 dengan pertimbangan tindak pidana ko- sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan

rupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, pajak Pendapatan negara dapat berkurang apa-

tetapi juga telah merupakan pelanggaran ter- bila tidak diselamatkan dari penyelundupan dan

hadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah

luas sehingga digolongkan sebagai kejahatan pada sektor-sektor penerimaan negara tersebut.

yang pemberantasannya harus dilakukan secara

3. Perusakan mental pribadi. Seseorang yang se- luar biasa. Sesuai dengan ketentuan pasal 43 UU ring melakukan penyelewengan dan penyalah-

31/1999 dibentuklah Komisi Pemberantasan gunaan wewenang mentalnya akan menjadi ru-

Korupsi sesuai sebagaimana dimaksud dalam sak. Hal ini mengakibatkan segala sesuatu dihi-

UU 31/2002 menimbang bahwa lembaga peme- tung dengan materi dan akan melupakan segala

rintah yang menangani perkara tindak pidana yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan

korupsi belum berfungsi secara efektif dan efi- tindakan atau perbuatan yang bertujuan untuk

sien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 169 sien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 169

Kriminalisasi Gratifikasi

kukan oleh penerima gratifikasi; Gratifikasi adalah perbuatan dimana satu pi-

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 hak memberikan sesuatu kepada pihak lain, dalam

(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa hal ini pihak yang menerima pemberian tersebut

gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh pe- adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.

nuntut umum.

Tindakan memberi sesuatu kepada pihak lain se- (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara benarnya merupakan tindakan yang wajar untuk

negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan, seperti layaknya memberikan hadiah ke-

adalah pidana seumur hidup atau pidana paling pada teman atau sanak saudara sebagai bentuk ke-

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua pedulian dan penghargaan, namun yang menjadi

puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp masalah dalam gratifikasi ini adalah ketika pem-

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan berian tersebut tidak memiliki hubungan kedekatan,

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar selain hubungan formal seperti jabatan. Pemberian

rupiah).

tersebut dianggap memiliki tujuan-tujuan tertentu Contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki pe-

gratifikasi diantaranya adalah sebagai berikut: nerima.

a. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga le- Gratifikasi adalah bentuk tindak pidana korupsi ba-

gislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi ru yang diatur dalam pasal 12 B UU 20/2001.

implementasinya oleh Pengertian gratifikasi adalah pemberian dalam arti

luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat

b. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai (discount) , komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket per-

tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pe-

jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari pe- ngobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gra-

tugas kepolisian (Polisi Lalu Lintas), retri- tifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri

busi (Dinas Pendapatan Daerah), LLAJR maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

dan masyarakat (preman). sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Ru-

c. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 musan tindak pidana gratifikasi menurut pasal 12 B

persen dari nilai proyek. UU 20/2001 sebagai berikut:

d. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tan- (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

pa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pela- penyelenggara negara dianggap pemberian su-

buhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pen- ap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan

dapatan Daerah.

yang berlawanan dengan kewajiban atau tu-

e. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari gasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

pengusaha ke pejabat.

f. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang rupiah) atau lebih pembuktian bahwa gra-

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta

akhir jabatan.

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

anggaran untuk pembangunan tempat iba- Gratifikasi dikriminalisasi sebagai salah sa- dah dimana anggaran tersebut harus diper-

tu bentuk korupsi sebagaimana diatur dalam pasal gunakan sesuai dengan pos anggaran dan

12 B UU 20/2001. Secara etimologis kriminalisasi keperluan tambahan dana dapat mengguna-

berasal dari kata dalam bahasa inggris, yaitu crimi- kan kotak amal).

nalization . Kriminalisasi (criminalization) adalah

h. Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS bagian dari upaya pencegahan kejahatan dengan yang melewati batas kewajaran.

menggunakan sarana hukum pidana (penal). Kri-

i. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "diper- minalisasi adalah suatu proses untuk menjadikan cepat" dengan uang tambahan.

suatu perbuatan sabagai kejahatan, sehingga bisa j. Mensponsori konferensi internasional tanpa

dituntut dan kemudian bagaimana sanksinya (Yenti, menyebutkan biaya perjalanan yang trans-

2003). Menurut Andi Hamzah kriminalisasi adalah paran dan kegunaannya, adanya penerimaan

menjadikan sesuatu perbuatan menjadi dapat di ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.

pidana (yang sebelumnya tidak demikian) (Andi Hamzah, 1986). Kriminalisasi dapat pula diartikan

Menurut UU 20/2001, sesungguhnya pene- sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang rimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan

sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa

diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dima- dilihat dari rumusan pasal 12 C ayat (1) UU

na perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi beru- 20/2001 yang berbunyi; ketentuan sebagaimana

pa pidana (Sudarto, 1981). Kriminalisasi bertujuan dimaksud pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 tidak

agar perbuatan yang dicegah atau ditanggulangi berlaku, jika penerima gratifikasi melaporkan

dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi

yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang Pemberantasan Korup-si. Penerima gratifikasi

mendatangkan kerugian bagi masyarakat (Yenti, masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan

2003). Tujuan kriminalisasi suatu perbuatan sebagai kepada Komisi Pemberan-tasan Korupsi (Pasal 12 C

tindak pidana korupsi adalah untuk menciptakan ayat (2) UU 20/2001). Pasal 12 C ayat (1) dan ayat

sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (2) UU 20/2001 meng-hapus ketentuan pemidanaan

serta mengeliminasi penyalahgunaan jabatan dan gratifikasi sebagai-mana dimaksud dalam pasal 12

wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara

B ayat (1) UU 20/ 2001. Ini berarti, penerimaan

(Salman, 1998).

gratifikasi tidak oto-matis menjadi tindak pidana Yang menjadi dasar pembenaran untuk karena UU 20/2001 masih memberikan kesempatan

melakukan kriminalisasi suatu perbuatan menurut untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan

perspektif moral adalah perbuatan tersebut berten- Korupsi. Lalu, Ko-misi Pemberantasan Korupsi

tangan dengan nilai-nilai moral dan mengganggu dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan

perasaan moral yang hidup dalam masyarakat gratifikasi wajib menetap-kan gratifikasi dapat

(Salman, 1998). Tindakan kriminalisasi terhadap Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 171 (Salman, 1998). Tindakan kriminalisasi terhadap Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 171

tingan masyarakat banyak. Penindakan terhadap kri-

1. Perbuatan yang akan dikriminalisasi adalah per- minalisasi gratifikasi dan memperdagangkan penga- buatan yang tidak disukai, perbuatan yang di-

ruh tidak hanya dapat dilihat sebagai langkah hu- benci dan perbuatan tercela dalam masyarakat

kum, tetapi juga sebagai usaha perubahan radikal yang bersangkutan.

terhadap kebiasaan dan moralitas dari hal yang se-

2. Penetapan kriminalisasi harus mempertim- mula dianggap halal dan wajar kearah suatu sikap bangkan kemampuan sumber daya manusia,

sebagai perbuatan yang tercela dan melanggar khususnya sumber daya manusia penegak hu-

hukum.

kum yang menjalankan sistem peradilan pidana.

3. Dalam melakukan kriminalisasi harus dida-

Pembuktian Menurut Kuhap

sarkan kalkulasi biaya dan hasil yang akan di- Pembuktian tentang benar tidaknya terdak- capai.

wa melakukan perbuatan yang didakwakan, meru-

4. Penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan pakan bagian terpenting acara pidana. Dalam hal ini pidana harus sesuai dengan perasaan hukum

pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana yang hidup dimasyarakat.

akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan

5. Upaya kriminalisasi harus sesuai dengan fungsi terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan hukum pidana sebagai senjata pamungkas (ulti-

berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan mum remedium).

hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hu-

6. Kriminalisasi harus menunjang pencapaian cita- kum acara pidana bertujuan untuk mencari ke- cita masyarakat dalam pembangunan nasional.

benaran materiil, berbeda dengan hukum acara per-

7. Kriminalisasi harus mempertimbangkan sikap data yang cukup puas dengan kebenaran formal moral masyarakat.

(Andi, 2008)

8. Kriminalisasi harus mempertimbangkan efek Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang yang akan timbul, baik terhadap pelaku, korban

berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang dan akibatnya terhadap masyarakat jika perbua-

cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal tan itu tidak di kriminalisasikan.

(peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan

9. Perbuatan yang dikriminalisasikan adalah perbua- membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi tan yang dapat diproses oleh peradilan pidana

(memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai (Salman, 1998).

kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksi- kan dan meyakinkan (Lilik, 2007). Menurut M.

Gratifikasi dikriminalisasi menjadi tindak Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-keten- pidana karena pemberian tersebut dapat mempe-

tuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang ngaruhi orang-orang yang bertugas sebagai pelayan

cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk publik (pegawai negeri dan penyelenggara negara).

membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Sehingga suatu pemberian yang tidak sepatutnya

terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan diterima dapat mempengaruhi perbuatannya dalam

yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan un-

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

ta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka

akhirnya menyatakan kesalahan atau ketidaksalahan hati dan semena-mena membuktikan kesalahan

terdakwa tersebut dalam vonisnya. Penuntut umum terdakwa.

maupun terdakwa atau penasehat hukum melakukan Proses pembuktian hakikatnya memang le-

kegiatan pembuktian juga hanya saja perspektif bih dominan pada sidang pengadilan guna mene-

penuntut umum membuktikan keterlibatan dan ke- mukan kebenaran materil akan peristiwa yang ter-

salahan terdakwa dalam melakukan suatu tindak jadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang

pidana akan tetapi dari perspektif terdakwa atau pe- kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan

nasehat hukum berbanding tebalik dengan apa yang putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian

dilakukan jaksa penuntut umum. ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa

Pada dasarnya, apabila dianalisis, mengapa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan

perbedaan penafsiran dan sudut pandang tersebut kebenaran materiil melalui tahap pembuktian, alat-

dapat terjadi padahal kasus dan fakta yang dihadapi alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-

sama. Karena itu menurut Mr. Trapmann aspek ini aspek sebagai berikut:

bergantung pada sikap, titik tolak dan pandangan

1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap ter- para pihak dalam perkara pidana yaitu: bukti.

1. Pandangan terdakwa atau penasehat hukum ter-

2. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah dakwa sebagai pandangan subyektif dari posisi atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan ke-

yang subyektif.

padanya.

2. Pandangan jaksa penuntut umum dalah pan-

3. Delik apakah yang dilakukan sehubungan de- dangan subyektif dari posisi yang obyektif; dan. ngan perbuatan-perbuatan itu.

3. Pandangan

hakim

dinyatakan sebagai

4. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada pandangan obyektif dari sisi obyektif pula terdakwa (Lilik, 2007).

(Lilik, 2007).

Pembuktian merupakan interaksi antara pe- Pada hakikatnya secara teoritis dikenal de- meriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim da-

ngan adanya 3 (tiga) teori tentang sistem pem- lam menangani perkara tersebut dengan dibantu

buktian. Pertama yaitu sistem pembuktian menurut oleh seorang panitera pengganti, kemudian jaksa

undang-undang secara positif (positief wettelijke penuntut umum yang melakukan penuntutan dan

bewijs theorie) menurut teori ini, pembuktian ber- adanya terdakwa atau beserta penasehat hukumnya.

gantung kepada alat-alat bukti sebagaimana disebut Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam

secara limitatif dalam undang-undang. Dalam aspek melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan de-

ini hakim terikat pada adagium kalau alat-alat bukti rajat pembuktian yang dilakukan sedikit ada per-

tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang- bedaan. Pada majelis hakim melalui kegiatan me-

undang, hakim mesti menentukan terdakwa ber- meriksa perkara melakukan kegiatan pembuktian

salah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebe- Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 173 salah, walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebe- Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 173

lazim disebut dengan terminologi asas mini- kan keyakinan hakim (conviction intime / conviction

mum pembuktian. Asas minimum pembuktian raisonnee) pada sistem ini hakim dapat

ini lahir dari acuan kalimat sekurang-kurangnya menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka

dua alat bukti yang sah haruslah berorientasi dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot

kepada 2 (dua) alat bukti sebagaimana ditentu- gemoedelijke overtuiging, conviction intime) , tetapi

kan limitatif oleh pasal 184 ayat (1) KUHAP penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan

yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, secara selektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi

petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila ha- dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan

nya ada 1 (satu) alat bukti saja, dengan demi- rasional dalam mengambil keputusan. Ketiga yaitu

kian asas minimum pembuktian tidak tercapai sistem pembuktian menurut undang-undang secara

sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana. negatif (negatief wetteljike bewijs theorie). Sistem

2. Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut pembuk-tian ini menentukan bahwa hakim boleh

hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pi- menja-tuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat

dana tersebut memang benar-benar terjadi dan bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh

terdakwalah pelakunya.

undang-undang dan didukung pula oleh adanya Dari aspek ini dapat disimpulkan bahwa keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat

adanya dua alat bukti yang sah tersebut adalah be- bukti ter-sebut. Pada hakikatnya pembuktian

lum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana menurut un-dang-undang secara negatif merupakan

terhadap terdakwa apabila hakim tidak memperoleh gabungan antara pembuktian menurut undang-

keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang undang secara positif dan sistem pembuktian

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah ber- menurut keyakinan hakim. Sistem pembuktian

salah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya, menurut KUHAP menganut sistem pembuktian

apabila keyakinan hakim saja adalah tidak cukup secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).

jikalau keyakinan itu tidak ditimbulkan oleh se- Hal ini tampak pada pasal 183 KUHAP yang

kurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. menyatakan bahwa:

Selain itu pula, eksistensi keyakinan hakim “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

tentang kesalahan terdakwa baru baru timbul setelah seseorang, kecuali dengan sekurangkurangnya dua

adanya alat-alat bukti yang sah menurut undang- alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa undang. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

sebagai berikut:

“pada lazimnya, jika kesalahan telah benar-benar Dengan titik tolak pasal 183 KUHAP ini, terbukti menurut ketentuan cara lewat alat-alat bukti

untuk menentukan bersalah tidaknya seorang ter- yang sah menurut undang-undang, keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong

dakwa, hakim harus memperhatikan aspek-aspek: hati nurani hakim untuk meyakini kesalahan ter-

1. Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan dakwa. Apalagi bagi seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan bermoral baik, tidak mungkin

sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang keyakinan yang muncul ke permukaan mendahului

sah. keterbuktian kesalahan terdakwa. Mungkin pada

Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010

na yang didakwakan, melainkan terdakwa atau pe- tetapi, bagi seorang hakim yang jujur dan waspada,

prasangkanya baru semakin membentuk suatu nasehat hukum justru mempunyai hak untuk mem- keyakinan, apabila hal yang diprasangkainya itu

buktikan sebaliknya, atau menolak dengan mem- benar-benar terbukti di persidangan berdasarkan

ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah buktikan sebaliknya. Bagaimana cara jaksa penuntut menurut undang-undang ” (Lilik, 2007).

umum membuktikan apa yang harus dibuktikan,

standar bukti apa yang harus dipenuhi untuk menya- Sistem pembuktian menurut undang-undang

takan terbukti, semuanya telah diatur secara sem- secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)

purna dalam KUHAP.

yang dianut KUHAP sebaiknya dipertahankan ber-

dasarkan dua alasan, pertama memang sudah sela- yaknya harus ada keyakinan hakim tentang ke-

Efektifitas Pembalikan Beban Pembuktian

salahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu

Dalam Tindak Pidana Gratifikasi

hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa me- Perkara tindak pidana korupsi selalu men- midana orang sedangkan hakim tidak yakin atas ke-

jadi sorotan masyarakat luas, terutama pada kasus salahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada

kasus gratifikasi dan penyuapan kepada pegawai aturan yang mengikat hakim dalam menyusun ke-

negeri maupun penyelenggara negara. Salah satu yakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang

dari permasalahan yang sulit dihadapi oleh penuntut harus diturut oleh hakim dalam melakukan

umum adalah membuktikan ketika melakukan pe- peradilan (A.Hamzah, 2006).

nuntutan kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu diberlakukan sistem pembalikan

Beban Pembuktian Menurut Kuhap

beban pembuktian agar dapat menuntut para pelaku Dasar pijakan sistem beban pembuktian bia-

tindak pidana korupsi.

sa atau menurut KUHAP ialah pada prinsip “siapa yang mendakwakan maka dialah yang dibebani

untuk membuktikan apayang didakwakan itu

Kewajiban Pembalikan Beban Pembuktian

benar”. Prinsip ini timbul akibat dari berlakunya

Penerima Gratifikasi

asas presumption of innocence yang dijunjung Tindak pidana gratifikasi diperkenalkan da- tinggi dalam hukum acara pidana. Asas ini tertuang

lam UU 20/2001 beserta dengan pembuktiannya, dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

yaitu pembuktian terbalik atau pembalikan beban 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setiap orang

pembuktian. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu

UU 20/2001 yang menyatakan bahwa pembuktian dibuktikan dengan suatu putusan pengadilan yang

terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam

tentang gratifikasi.

pelaksanaan kewajiban negara membuktikan kesa- Alasan pemberlakuan pembalikan beban lahan terdakwa, negara diwakili oleh jaksa penuntut

pembuktian menurut mantan Menteri Kehakiman umum. Dalam sistem ini, terdakwa atau penasehat

dan Hak Asasi Manusia, Baharuddin Lopa karena hukum tidak dibebani kewajiban untuk membuk-

sistem pembuktian biasa dirasakan tidak efektif dan Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 175 sistem pembuktian biasa dirasakan tidak efektif dan Lex Jurnalica Vol. 7 No.2, April 2010 175

tem ini adalah kebalikan dari asas presumption of kesalahan terdakwa. Dirasa memberatkan karena

innocence . Sedangkan dalam pasal 12 B ayat (1) terdakwa sudah sangat cerdik dalam menyem-

huruf b UU 20/2001 menerapkan sistem pembuktian bunyikan kekayaan yang dikorupsinya (Seno Adji,

biasa (KUHAP), maksudnya untuk membuktikan 2006). Menurut Indriyanto Seno Adji korupsi meru-

tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukan- pakan perkara yang sangat sulit, karena melibatkan

nya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut umum. pelaku kejahatan ekonomi kelas atas dan birokrasi

Pembalikan beban pembuktian pada tindak kalangan atas yang sangat memahami lingkungan

pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam pasal kerja dan format untuk menghindari terjadinya pela-

12 B ayat (1) huruf a UU 20/2001, seharusnya ter- cakan terhadap kejahatan korupsi (Seno Adji,

dakwa dibebani kewajiban (bukan hak) untuk mem- 2006). Rumusan tindak pidana gratifikasi menurut