ASPEK PERPAJAKAN PADA USAHA KECIL DAN ME

1

ASPEK PERPAJAKAN PADA USAHA KECIL DAN MENENGAH

Rani Intan

I.

PENDAHULUAN
Masalah pengangguran dan kemiskinan masih merupakan masalah besar yang

dihadapi bangsa Indonesia. Paradigma pembangunan ekonomi global/makro yang
selama ini dipandang sebagai jalan keluar menuju kesejahteraan, kemajuan dan
kejayaan justru mengalami kebuntuan, terutama dalam mengurangi kemiskinan dan
pengangguran.
Berdasarkan data BPS 2012 tercatat bahwa jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada tahun 2012 sebesar 28,6 juta orang dan jumlah pengangguran sebesar
7,3 juta orang. Disamping itu, angkatan kerja baru terus bertambah 2 juta s/d 3 juta
orang setiap tahun. Oleh karenanya, perlu dikembangkan pembangunan berbasis pada
masyarakat, yang didasarkan pada konsep kewirausahaan yaitu meningkatkan
produktivitas dan nilai tambah usaha ekonomi, mendorong penciptaan lapangan kerja

berkualitas terutama di sektor non-pertanian dan meningkatkan keterkaitan antar
sektor. Disamping itu, aktivitas wirausaha merupakan salah satu sektor strategis
dalam perekonomian nasonal karena mampu menyerap tenaga kerja sebesar 107,6
juta pekerja atau sekitar 97 persen dari jumlah pekerja di Indonesia. Data Badan Pusat
Statistik (2012) menyebutkan bahwa sebagian besar tenaga kerja berada pada usaha
mikro yang mencapai 90 persen.
Namun dari segi rasio antara jumlah pengusaha dengan penduduk, tingkat
wirausaha atau pengusaha di Indonesia tergolong masih rendah bila dibandingkan
dengan negara-negara di kawasan Asia Pacific. Rasio kewirausahaan dibandingkan
penduduk di Indonesia hanya 1:83 sedangkan Filipina 1:66, Jepang 1:25 bahkan
 Dosen Unisma Bekasi

2

Korea kurang dari 20. Berdasarkan rasio secara internasional, rasio unit usaha ideal
adalah 1:20.
Jumlah wirausaha (pengusaha) di Indonesia saat ini 400 ribu jiwa atau kurang
dari 1% populasi penduduk Indonesia yang berkisar 200 juta jiwa. Sedangkan
menurut McClelland (2000), salah satu faktor yang menyebabkan sebuah negara
menjadi maju adalah ketika jumlah wirausahawan (pengusaha) yang terdapat di

negara tersebut berjumlah minimal 2% dari populasi penduduknya. Untuk itu, perlu
upaya pemerintah untuk menggairahkan iklim ekonomi dan usaha sehingga
diharapkan

tumbuh

pengusaha-pengusaha

baru

serta

memantapkan

dan

mengembangkan aktivitas usaha bagi para pengusaha atau wirausahawan yang telah
terjun di dunia bisnis dan usaha.
Wirausaha di Indonesia merupakan pelaku usaha pada sektor usaha mikro,
usaha kecil, dan usaha menengah yang ketiganya merupakan kegiatan yang mampu

memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada
masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam
mewujudkan stabilitas nasional.
Hal ini terbukti dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup stabil
dalam beberapa tahun terakhir ini walaupun di tengah krisis keuangan dan ekonomi
melanda beberapa negara di dunia sejak tahun 2008. Salah satu faktor yang membuat
ekonomi Indonesia tidak terpengaruh dengan krisis ekonomi yang melanda dunia kali
ini adalah karena adanya usaha yang berskala kecil dan menengah menjadi penunjang
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Usaha yang berskala kecil dan menengah
hampir tidak terpengaruh bahkan terus bertumbuh dikala dunia tengah menghadapi
krisis ekonomi.
Menyadari sektor usaha kecil dan menengah ini sebagai penunjang ekonomi
Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan paket-paket kebijakan yang mendorong
pertumbuhan sektor wirausaha. Salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan
pemberian fasilitas (insentif) dibidang perpajakan. Hal ini ditujukan agar semakin

3

banyak masyarakat memulai usahanya tanpa perlu dikhawatirkan dengan kewajiban

pembayaran pajak atas pendapatan dari laba usahanya yang cenderung masih belum
optimal.
II.

PENGUSAHA KECIL PENGELOLA UKM
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau yang lebih dikenal dengan UMKM

merupakan jenis usaha yang mendominasi perekonomian Indonesia. Dengan
banyaknya pelaku UMKM dan cukup besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor
ini, keberadaan UMKM telah menjadi penopang kehidupan ekonomi rakyat.
Pemerintah mengatur secara khusus Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ini melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008.
Berikut ini adalah ketentuan mengenai UMKM berdasarkan Undang-Undang
No. 20 Th. 2008, khususnya pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta pasal 6 ayat (1), (2) dan
(3):
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria:
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus

juta rupiah).
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria:
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

4

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah).
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif milik yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh perorangan dan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil maupun usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan yang

memenuhi kriteria berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah).
Definisi Pengusaha Kecil dalam aspek perpajakan sebagaimana dituangkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 adalah pengusaha yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Jika dikaitkan dengan kriteria pengusaha kecil berdasarkan Undang-Undang
No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, maka yang termasuk
Pengusaha Kecil sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perpajakan adalah
pengusaha yang bergerak dalam usaha berskala mikro, kecil dan menengah.

III. ASPEK PAJAK PADA PENGUSAHA KECIL PENGELOLA UKM

5


Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, tidak sedikit pemilik usaha kecil
dan menengah yang belum sadar dan belum mematuhi dalam melakukan pembayaran
pajak, khususnya pendaftaran untuk mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sampai ke dalam pembayaran pajak terhutang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kesadaran kewajiban pajak
oleh pemilik usaha kecil dan menengah diantaranya adalah rendahnya pendidikan
para pemilik usaha kecil dan menengah, kurangnya sosialisasi peraturan oleh pihak
aparatur pajak dan tingkat kesadaran yang masih rendah dalam melakukan
pembayaran pajak.
Adapun peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum perpajakan untuk
usaha kecil dan menengah adalah sebagai berikut:
1) UU No. 6 tahun 1983 stdtd UU No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
Perpajakan
2) UU No. 7 tahun 1983 stdtd UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
3) UU No. 8 tahun 1983 stdtd UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan
Nilai
4) UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
5) Peraturan pelaksanaan perpajakan yang meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pengusaha pelaku usaha skala kecil dan menengah (UKM) dapat berbentuk
badan usaha dan perorangan yang keduanya merupakan subjek pajak dalam negeri
Indonesia. Bagi pengusaha berbentuk perseorangan (bukan badan), menjadi subjek
pajak dalam negeri Indonesia apabila berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 atau dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sedangkan bagi pengusaha yang
melakukan usaha dengan mendirikan badan (PT, CV, Firma, koperasi, kongsi,dan
lain-lain) dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia apabila didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia.

6

Sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia, maka pengusaha UKM harus
mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Bagi pengusaha UKM yang berbentuk perseorangan (orang pribadi):
Apabila pengusaha orang pribadi telah menerima atau memperoleh penghasilan
diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), maka memiliki kewajiban
perpajakan sebagai berikut:
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau PKP;
UKM yang berbentuk perseorangan setelah memenuhi persyaratan subjektif

dan persyaratan objektif wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya. Syarat-syarat pendaftaran untuk mendapatkan
NPWP bagi UKM berbentuk perseorangan hanya KTP (Kartu Tanda
Penduduk).
b. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pajak
lainnya;
UKM perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, wajib membuat
laporan keuangan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang
terutang. Sedangkan UKM perseorangan yang tidak menyelenggarakan
pembukuan tetapi hanya melakukan pencatatan, maka dalam menghitung PPh
yang terutang cukup berdasarkan peredaran bruto (omzet) yang dicatat
tersebut. UKM perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, dalam
menghitung besarnya PPh terutang sama prinsipnya dengan UKM yang
berbadan usaha yaitu memperhatikan penghasilan, dan biaya-biaya lainnya.
c. Melakukan

Pemungutan


Pajak

Pertambahan

Nilai,

menyetor

dan

melaporkannya (jika ditunjuk sebagai Pengusaha Kena Pajak);
UKM perseorangan yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun
buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan

7

sebagai pengusaha kecil (600 Juta), wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. Dengan
pengukuhan sebagai PKP maka UKM perseorangan terikat pemenuhan

kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, yaitu antara lain memungut PPN dari
setiap Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak yang diserahkan oleh
UKM perseorangan serta menyetor dan melaporkannya setiap bulan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar.
2. Bagi pengusaha UKM yang berbentuk badan
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau PKP.
Pengusaha UKM yang berstatus badan hukum dan sudah memenuhi syarat
subketif dan obyektif sebagai wajib pajak, wajib segera mendaftarkan diri
pada kantor pelayanan pajak setempat (KPP) untuk memperoleh NPWP
paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. NPWP
dipergunakan sebagai identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya yang meliputi; pembayaran pajak, pemotongan
pajak dan pemungutan pajak.
Sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi atau kegiatan usaha,
Pengusaha wajib melaporkan usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Wajib Pajak pengusaha
yang berbentuk Badan yang memenuhi ketentuan sebagai PKP wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak.
Sedangkan pengusaha yang termasuk Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang
selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan
jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000

8

maka tidak dikenakan kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP. Namun
pengusaha tersebut dapat memilih sebagai PKP apabila dikehendaki.
b. Melakukan pemotongan/pemungutan pajak penghasilan (PPh)
UKM yang berbentuk badan usaha wajib melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan dalam undangundang. Kewajiban pemotongan/pemungutan PPh oleh UKM meliputi jenis
pajak sebagai berikut :
1) PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 wajib
dilakukan UKM yang berbadan hukum, setiap dilakukannya pembayaran
penghasilan kepada karyawan atau orang pribadi lainnya dan menyetorkan
PPh hasil pemotongan tersebut ke Bank persepsi atau kantor Pos serta
melaporkannya ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) tempat UKM terdaftar.
2) PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pajak atas penghasilan yang tertentu yang ditetapkan
Menteri Keuangan untuk dipungut Pajak Penghasilannya. UKM yang
bergerak di bidang industri tertentu dapat ditunjuk untuk memungut PPh Pasal
22 atas penjualan hasil pertanian, perkebunan dan perhutanan, perikanan dari
pedagang pengumpul sebesar 0,25% dari harga pembelian (tidak termasuk
PPN). UKM juga dapat ditunjuk sebagai pemungut oleh KPP apabila bergerak
sebagai industri tertentu ataupun sebagai penjual produk tertentu misalnya
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak,
gas, dan pelumas.
3) PPh Pasal 23

9

PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dari modal dan dari jasa tertentu.
Apabila UKM melakukan pembayaran kepada pihak lain yang jenis
penghasilan masuk katagori Objek PPh Pasal 23, maka wajib dilakukan
pemotongan, menyetorkan hasil pemotongan ke Bank Persepsi dan kantor Pos
serta melaporkannya ke KPP atau KP2KP tempat UKM terdaftar. Adapun
objek dan tarif PPh Pasal 23 secara garis besar adalah sebagai berikut :
a)

Dividen, bunga, royalti, hadiah : tarif 15%
b) Sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta yang telah
dikenai PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) : tarif 2%
c) Imbalan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh : tarif 2%.
Untuk yang tidak berNPWP dipotong 100% lebih tinggi atau menjadi 4%.
4) PPh Pasal 4 ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan yang berasal dari sumbersumber tertentu dan pengenaan bersifat final (penghitungan PPh-nya selesai
setelah dibayarkan), misalnya: penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan, penghasilan dari jasa konstruksi dan penghasilan dari hadiah
undian. UKM yang berbadan hukum melakukan pembayaran atas jenis-jenis
penghasilan ini wajib dilakukan pemotongan PPh-nya dan menyetorkan PPhnya ke Bank persepsi atau kantor Pos serta melaporkannya ke kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Pajak (KP2KP) tempat UKM terdaftar. Demikian juga bagi UKM yang
menerima penghasilan dari pengalihan tanah dan atau bangunan atau
menerima penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang
penyewanya tidak ditunjuk sebagai pemotong (misalnya penyewanya orang
pribadi), maka UKM tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2)
tersebut.

10

Penghasilan yang diterima UKM yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2)
tersebut diatas, termasuk penghasilan dari bunga tabungan/deposito/ diskonto
SBI, penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan
atau dilaporkan perdagangannya di Bursa Efek, penghasilan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek yang PPh-nya dipotong oleh pihak pemberi
penghasilan, wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh dari UKM tersebut.
c. Menghitung PPh Badan Yang Terutang, Menyetorkan Pajak Masih Terutang dan
Melaporkan Pajak Penghasilan Baik Dari Pemotongan/Pemungutan Maupun Yang
Dibayar sendiri.
UKM yang berbadan usaha wajib membuat laporan keuangan untuk menghitung
besarnya PPh yang terutang. Dalam menghitung PPh yang terutang, yang perlu
diperhatikan UKM ada 2 (dua) bagian utama, yaitu:
1) Penghasilan yang merupakan objek PPh dan bukan objek PPh yang diterima
dan/atau diperoleh UKM
2) Biaya-biaya yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Berdasarkan Pasal 31 (E) UU PPh, UKM sebagai Wajib Pajak badan yang
peredaran brutonya sampai Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) maka
mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib
Pajak badan atau menjadi 12,5% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
d. Melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menyetor dan
melaporkannya jika ditunjuk sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jika UKM melakukan penyerahan BKP maupun JKP dengan peredaran brutonya
(omzet) setahun melebihi Rp 600.000.000, maka UKM memiliki kewajiban
melakukan pemungutan PPN sebesar 10% serta menyetorkan dan melaporkan
PPN yang terhutang setiap bulan. Apabila pengusaha kecil pelaku UKM sudah
menjadi PKP ternyata jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya

11

menurun dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditetapkan, maka
dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP kepada
Kepala KPP tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat satu bulan
sejak berakhirnya tahun buku. Berhubungan pengusaha kecil bukan PKP maka
Pengusaha Kecil dilarang membuat faktur pajak dan tidak membuat/memasukkan
SPT Masa PPN. Pengusaha kecil diwajibkan membuat pencatatan atau tidak
wajib menyelenggarakan pembukuan.
Sanksi tidak melapor sebagai PKP jika batas usaha kecilnya sudah terlampaui
adalah apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya
kewajiban perpajakan untuk melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP tidak
dipenuhi Pengusaha, Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan Pengusaha
sebagai PKP secara jabatan dan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP
(Surat Keterangan Pajak) dan/atau STP (Surat Tagihan Pajak) untuk Masa Pajak
sebelum Pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP terhitung sejak saat
jumlah peredaraan bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000
(enam ratus juta rupiah).
Mekanisme perhitungan PPN adalah sebagai berikut:
-

Pajak Keluaran
(10% x nilai DPP atas penjualan)
Pajak Masukan
(10% x nilai DPP atas penjualan)
PPN yang kurang (lebih) bayar

Rp xxxx
Rp yyyy (-/-)
Rp zzzz

Perhitungan tersebut dilaporkan dalam SPT Masa PPN setiap bulan dengan
menggunakan formulir 1111, formulir 1111DM (bagi PKP omset tertentu atau
kegiatan usaha tertentu) atau menggunakan E-SPT DJP yaitu program SPT Masa
PPN yang dibagikan secara gratis oleh DJP.
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau PKP
UKM yang berbentuk perseorangan setelah memenuhi persyaratan subjektif dan
persyaratan objektif wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP. Nomor Pokok

12

Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Syarat-syarat pendaftaran untuk mendapatkan NPWP bagi UKM berbentuk
perseorangan hanya KTP (Kartu Tanda Penduduk).
UKM perseorangan yang sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku
seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai
pengusaha kecil (600 Juta), wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya. Dengan pengukuhan sebagai PKP
maka UKM perseorangan terikat pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai,
antara lain memungut PPN dari setiap Barang Kena Pajak dan atau Jasa kena Pajak
yang diserahkan oleh UKM perseorangan serta menyetor dan melaporkannya setiap
bulan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar.
b. Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Pajak
lainnya
UKM perseorangan yang menyelenggarakan pembukuan, wajib membuat laporan
keuangan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Sedangkan
UKM perseorangan yang tidak menyelenggarakan pembukuan tetapi hanya
penyelenggarakan pencatatan, maka dalam menghitung PPh yang terutang cukup
berdasarkan peredaran bruto (omzet) yang dicatat tersebut. UKM perseorangan yang
menyelenggarakan pembukuan, dalam menghitung besarnya PPh terutang sama
prinsipnya dengan Koperasi atau UKM yang berbadan usaha yaitu memperhatikan
penghasilan, dan biaya-biaya lainnya. UKM perseorangan yang menyelenggarakan
pencatatan, cara penghitungan besarnya PPh :
Penghasilan netto (Penghasilan bruto setahun x norma*)

Rp AAA

Pengurangnya:
PTKP (sesuai keadaan orang pribadi tersebut)

(Rp BBB)

13

Penghasilan Kena Pajak

Rp CCC

Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 200.000.000,00, maka perhitungan pajak terhutangnya :
Rp. 200.000.000 x 25% = Rp. 50.000.000
UKM perseorang wajib menyetor PPh Pasal 25 (angsuran PPh) setiap bulannya dan
melaporkannya ke KPP atau KP2KP tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar.
Dasar angsuran PPh Pasal 25 adalah 1/12 dari PPh yang terhutang tahun sebelumnya,
misalnya PPh terutang UKM perseorangan tahun 2010 sebesar Rp. 2.400.000, maka
angsuran PPh Pasal 25 nya adalah 1/12 x Rp. 2.400.000 = Rp. 200.000,Selain wajib mengangsur PPh (PPh Pasal 25), UKM perseorangan juga wajib
menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan apabila UKM menerima penghasilan tersebut. Demikian juga
dengan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima UKM
perseorangan (penyewa bukan pemotong), wajib disetor sendiri.
c. Melakukan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, menyetor dan melaporkannya
(jika ditunjuk sebagai Pengusaha Kena Pajak)
Jika UKM perseorangan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak maupun Jasa
Kena Pajak dengan peredaran brutonya (omzet) setahun melebihi Rp600.000.000,(enam ratus juta rupiah), maka koperasi memiliki kewajiban melakukan pemungutan
PPN sebesar 10%, serta menyetorkan dan melaporkan PPN yang terhutang setiap
bulan. Ketentuan pemungutan PPN untuk UKM perseorangan sama dengan
pemungutan PPN untuk Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha.


PERLAKUAN

KHUSUS

DAN

INSENTIF

PERPAJAKAN

BAGI

KOPERASI DAN UKM
1. Perlakuan Khusus Perpajakan Untuk Koperasi dan UKM
UU Perpajakan khususnya UU PPh yang terakhir dirubah (UU No.36 tahun 2008
tentang perubahan Keempat UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan) banyak

14

memberikan perlakukan khusus untuk Wajib Pajak Koperasi dan UKM. Perlakukan
khusus tersebut adalah :
1.

Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi yang besarnya tidak melebihi dari Rp.
240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan tidak dikenakan tarif
PPh atau 0% (nol persen) dan bersifat final;

2.

Sedangkan penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi yang besarnya melebihi dari Rp.
240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan dikenakan tarif PPh
sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final;

3.

Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan koperasi kepada para anggotanya
tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23.

4.

Bagi Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha, tarif PPh badan
menjadi tarif tunggal yaitu 25% dan apabila memenuhi syarat (peredaran bruto
setahun

tidak

melebih

Rp50.000.000.000)

mendapat

fasilitas

berupa

pengurangan tarif sebesar 50% dari 25% atau menjadi 12.5% yang dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,-;


Insentif Pajak Bagi Koperasi dan UKM

Dalam UU Perpajakan terdapat beberapa ketentuan yang dapat dimanfaatkan
Koperasi dan UKM untuk mengembangkan kegiatan usahanya.
a. Insentif PPh
1.

Harta hibahan yang diterima oleh koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil (Pasal 4 ayat (3) huruf a.2 UU PPh jo.
Peraturan Menteri keuangan Nomor : 245/PMK.03/2008) bukan merupakan
objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian, apabila Koperasi dan UKM yang
memenuhi syarat menerima harta hibahan tidak dikenakan PPh;

15

2.

Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh koperasi dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat, deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan (Pasal
4 ayat 3 huruf f UU PPh) bukan merupakan objek PPh. Dengan demikian,
apabila Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha menanamkan modal
pada badan usaha lainnya di Indonesia dan menerima dividen dari badan usaha
tersebut, maka atas dividen yang diterima tidak dikenakan PPh

b. Insentif PPN
1.

Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usaha Import dan penyerahan di
dalam negeri berupa Barang hasil makanan ternak,unggas dan ikan dan atau
bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan, bibit dan atau
benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran,
atau perikanan, serta barang hasil peternakan, PPN nya dibebaskan. Dengan
demikian, apabila Koperasi dan UKM membeli jenis barang tersebut, tidak akan
dikenakan PPN (Peraturan Pemerintah Nomor : 12 Tahun 2001 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor : 31 Tahun 2007).

2.

Koperasi dan UKM yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak melakukan
kegiatan menyerahkan minyak goreng sawit curah dan minyak goreng kemasan
sederhana dengan Merek MINYAKKITA, PPNnya ditanggung oleh Pemerintah;

3.

Koperasi dan UKM melakukan kegiatan usaha (melakukan penyerahan barang
dagangan atau jasa) di Batam, Bintan dan Karimun di bebaskan dari pengenaan PPN

termasuk apabila melakukan import barang dari luar daerah tersebut, juga
dibebaskan dari PPN, PPh Pasal 22 import dan cukai (Peraturan pemerintah
Nomor 2 tahun 2009);
c. Stimulus Bagi Koperasi dan UKM
Pemerintah memberikan stimulus kepada dunia usaha dan pekerja dalam meringkan
beban pajak berupa PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah (DTP) hanya

16

diberikan kepada pekerja (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009)
dengan syarat:
1.

Jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 5 juta dalam satu bulan;

2.

Bekerja pada pemberi kerja yang berusaha kategori usaha tertentu, yaitu:
• Pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan;
• Perikanan; dan
• Industri pengolahan.
PENUTUP



Koperasi dan UKM sejak memperoleh status badan hukum, sudah memenuhi syarat
subketif dan obyektif sebagai wajib pajak oleh karena itu sejak adanya pengesahan
badan hukum baik koperasi dan UKM yang bersangkutan harus segera mendaftrakan
diri pada kantor pelayanan pajak setempat (KPP) untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP).
Demikian juga Koperasi dan UKM yang bergerak dibidang penjualan dan jasa
apabila telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Undang-Undang PPN, sebaiknya
juga segera mendaftarkan diri di KPP setempat untuk memperoleh Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). NPWP merupakan identitas sebagai wajib
pajak.
Setelah memiliki NPWP dan NPPKP Koperasi dan UKM mempunyai kewajiban
Perpajakan yaitu :
1.

menghitung sendiri pajak terhutang,

2.

memotong atau memungut PPh dan PPN terutang

3.

menyetor sendiri pajak ditempat yang telah ditentukan,

4.

kemudian melaporkan sendiri melalui media surat pemberitahuan (SPT),
jumlah pajak yang telah dibayar sendiri, jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut dari pihak lain, dan jumlah pajak yang harus dibayar atau lebih bayar
pada akhir tahun sesuai dengan azas self assessment.

17

Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha
tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25