EPIDEMIOLOGI FILARIASIS LIMFATIK DI KECAMATAN KOTA BESI, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

  FOKUS UTAMA

EPIDEMIOLOGI FILARIASIS LIMFATIK

DI KECAMATAN KOTA BESI, KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR

PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

  • 1

  

2

  2 Budi Setiawan , Soeyoko , Tri Baskoro T Satoto

Abstract

In Southeast Asia as much as 60% of the population has been infected with

filariasis. In Indonesia, according to Indonesia's health profile, each year occur increase

cases of filariasis. In 2008 as many as 11.699 cases has been reported. Distribution of the

disease tends to spread in rural areas makes epidemiological datas needed to filariasis

elimination program be limited. The research aims to find out filariasis vector species and

their bionomic aspect, to find out the cause of lymphatic filariasis microfilariaee species

and to find out the clinical symtoms of human patients with lymphatic filariasis. This

research conducted from February to June, 2011. This research is a descriptive

observational study, the sample size 386 samples of citizens who are willing to be

respondent and to have blood drawn. Capillary blood sampling did at night by such

sampling loop coils. Collecting mosquitoes did 10 times by people indoor and outdoor as

bait, using light traps and in the morning. 386 peripheral blood samples were examined,

there are 4 people who mikrofilaremia, the average density of microfilariaee in the blood

4.45 and had found filarial species Brugia malayi. Periodicity of microfilariae are periodic

nocturnal with harmonic waves and some are nocturnal sub-periodic with the non

harmonic waves. Mf rate is 1.04%, Acute Disease Rate is 5.44%, while Cronic Disease

Rate is 0%. The five months results of the collecting vector mosquitoes gained as many

as 23.194 heads, most mosquitoes are Mansonia uniformis (25.60%) and then Ma.

Bonneae (20.70%), Culex tritaeniorhynchus (19.41%), An. maculatus (16.75%), An.

balabacensis (15.27%), Ae. albopictus (1.39%), Ae. aegypti (0.88%). The highest density

was caught in June with peak biting activity at 09:00 p.m to 10:00 p.m, however, in this

study found no larva 3 (L3) in the body mosquitoes were examined, so it needs to be done

experiments in laboratory using membrane feeding. Filariasis occurring in Kotabesi are

lymphatic filariasis caused by Brugia malayi, an infection in the evening related to the

behavior of mosquitoes that may act as vectors.

  Key words : Brugia malayi, Lymphatic filariasis, Periodisity, Mansonia uniformis

  1 Center for Tropical Medicine, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

  2 Departement of Parasitology, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University,Yogyakarta Email

LYMPHATIC FILARIASIS EPIDEMIOLOGY

  

IN KOTA BESI SUBDISTRICT, KOTAWARINGIN TIMUR DISTRICT

CENTRAL BORNEO PROVINCE

  Abstrak Di Kawasan Asia Tenggara sebanyak 60% penduduk telah terinfeksi filariasis. Di

  Indonesia, berdasarkan profil kesehatan Indonesia, setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus filariasis. Pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 11.699 kasus. Distribusi penyakit yang cenderung tersebar di wilayah pedalaman menjadikan data

  • – data epidemiologi yang dibutuhkan untuk program eliminasi filariasis menjadi terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesies vektor filariasis beserta aspek bionomiknya, mengetahui spesies mikrofilaria penyebab filariasis limfatik dan mengetahui gambaran klinis manusia penderita filariasis limfatik. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif, jumlah sampel sebanyak 386 sampel warga yang bersedia menjadi responden dan diambil darahnya. Pengambilan darah kapiler dilakukan pada malam hari dengan cara pengambilan sampel seperti lingkaran obat nyamuk bakar. Penangkapan nyamuk dilakukan sebanyak 10 kali menggunakan umpan orang dalam rumah dan luar rumah, menggunakan light trap serta pada pagi hari. Penelitian yang dilakukan dari Februari hingga Juni mendapatkan 386 sampel darah, jumlah ini dibawah target awal karena banyak penduduk yang tidak bersedia diambil darahnya. Dari 386 sampel darah tepi yang diperiksa terdapat 4 orang yang mikrofilaremia, kepadatan rerata mikrofilaria dalam darah sebesar 4,45 dan spesies filaria yang ditemukan adalah Brugia malayi. Periodisitas mikrofilaria berdasarkan analisis Das & Aikat (1976) ada periodik nokturnal dengan sifat gelombang harmonik dan ada pula yang sub-periodik nokturnal dengan sifat gelombang non harmonik. Mf rate sebesar 1,04%, Acute Disease Rate sebesar 5,44%, sedangkan

  

Cronic Disease Rate 0%. Hasil penangkapan vektor selama 5 bulan memperoleh nyamuk

  sebanyak 23.194 ekor, nyamuk paling banyak tertangkap adalah Mansonia uniformis (25,60%) kemudian Ma. Bonneae (20,70%), Culex tritaeniorhynchus (19,41%), An.

  

maculatus (16,75%), An. balabacensis (15,27%), Ae. albopictus (1,39%), Ae. aegypti

  (0,88%). Kepadatan paling tinggi pada bulan Juni dengan puncak aktivitas menggigit pada pukul 21.00

  • – 22.00, namun, dalam penelitian ini tidak ditemukan larva 3 (L3) dalam tubuh nyamuk yang diperiksa, sehingga perlu dilakukan percobaan di labratorium dengan menggunakan membrane feeding. Filariasis yang terjadi di Kotabesi merupakan filariasis limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi, terjadinya infeksi pada malam hari terkait dengan perilaku nyamuk yang kemungkinan berperan sebagai vektor. Kata kunci: Brugia malayi, Filariasis limfatik, Periodisitas, Mansonia uniformis

  PENDAHULUAN

  Filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara seluruh dunia dan 1/5

  1 penduduk dunia atau 1,3 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis .

  Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan utama di kawasan Asia Tenggara karena 60% lebih menginfeksi penduduk dikawasan tersebut, sedangkan 30% lebih

  2 terjadi di kawasan Afrika .

  Data profil kesehatan Indonesia menunjukkan setiap tahun terjadi peningkatan kasus filariasis. Tahun 2008 untuk wilayah Kalimantan, jumlah penderita terbanyak berada di Propinsi Kalimantan Timur (409 kasus), Propinsi Kalimantan Selatan (385 kasus), Propinsi Kalimantan Barat (253 kasus) dan Propinsi Kalimantan Tengah (225

  3 kasus) .

  Propinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari 14 kabupaten, berdasarkan profil kesehatan Propinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007 terdapat 254 kasus. Dari 14 kabupaten tersebut, sebanyak 7 kabupaten dapat ditemukan kasus filariasis. Ketujuh kabupaten yang dapat ditemukan kasus filariasis pada tahun 2007 adalah, Kabupaten Kotawaringin Timur (157 kasus), Kabupaten Kotawaringin Barat (28 Kasus), Kabupaten Seruyan (27 kasus), Kabupaten Kapuas (25 kasus), Kabupaten Barito Selatan (10 Kasus), Kabupaten Gunung Mas (4 kasus), Kabupaten Katingan (2 kasus), dan terakhir

4 Kabupaten Sukamara (1 kasus) . Kecamatan Kota Besi yang merupakan salah satu

  kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan daerah endemis filariasis, yang

  5 ditandai dengan angka microfilaria rate diatas 1% .

  Di Kecamatan Kota Besi, Desa Pamalian merupakan desa yang paling banyak ditemukan kasus filariasis, dari 51 kasus yang ditemukan, 2 kasus diantaranya terjadi pada penduduk golongan umur 6-14 tahun. Hal ini kemungkinan terkait dengan kondisi lingkungan desa tersebut yang merupakan desa terpencil dengan banyak terdapat hutan dan rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman air. Kondisi ini sangat mendukung perkembangbiakan vektor filariasis, khususnya Mansonia sp yang habitatnya di rawa- rawa. Program eliminasi filariasis yang berhasil membutuhkan identifikasi transmisi penularan yang akurat, strategi surveilans yang komprehensif untuk mendeteksi sumber penularan, dan kampanye pengobatan masal melalui pendekatan budaya serta

  6

  pendidikan . Rendahnya minat penelitian penyakit ini menyebabkan banyak daerah- daerah di luar Jawa khususnya di Kalimantan Tengah belum mempunyai data epidemiologi filariasis yang lengkap, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies vektor filariasis beserta aspek bionomiknya, mengetahui spesies mikrofilaria penyebab filariasis limfatik dan mengetahui gambaran klinis manusia penderita filariasis limfatik.

METODE PENELITIAN

  Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif yang dilakukan di Desa Pamalian, Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Propinsi Kalimantan Tengah pada bulan Februari hingga Juni 2011. Sampel penelitian ini sebanyak 500 orang berdasarkan kriteria dari Kementerian Kesehatan RI dengan pengambilan sampel dengan teknik seperti lingkaran obat nyamuk, seluruh penduduk yang berdekatan dengan penderita kronis akan diperiksa, tetapi saat dilapangan hanya diperoleh 386 sampel warga yang bersedia menjadi responden dan diambil darahnya. Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah penduduk dengan menggunakan teknik konvensional (memeriksa darah tepi). Pengambilan darah dilakukan pada pukul 20.00 waktu setempat dan penghitungan periodisitas menggunakan formula Das & Aikat. Penangkapan nyamuk dilakukan sebanyak 10 kali selama 5 bulan penelitian dilapangan. Penangkapan nyamuk dilakukan dengan metode landing collection dan light trap. Koleksi nyamuk dengan menggunakan aspirator di 3 buah rumah, dilakukan oleh 6 orang kolektor nyamuk yang telah dilatih dengan penempatan untuk setiap rumah masing-masing 1 orang menangkap di dalam rumah dan 1 orang lagi menangkap di luar rumah. Kolektor nyamuk saat melakukan penangkapan (di dalam dan di luar) juga berfungsi sebagai umpan. Tiga orang penangkap melakukan penangkapan umpan orang di dalam rumah selama 40 menit, 10 menit melakukan penangkapan nyamuk di dinding, dan 10 menit untuk mengganti paper cup tempat nyamuk sekaligus beristirahat. Tiga orang lainnya melakukan penangkapan umpan orang di luar rumah selama 40 menit, 10 menit untuk menangkap di kandang dan mengganti paper cup. Hal ini dilakukan tiap jam dari pukul

  18.00

  • – 06.00 waktu setempat. Penangkapan nyamuk juga dilakukan pada pagi hari antara pukul 08.00
  • – 10.00 waktu setempat. Identifikasi nyamuk dengan menggunakan kunci identifikasi O’Connor dan Arwati.

HASIL PENELITIAN

  1. Vektor Filariasis Limfatik Hasil penangkapan yang dilakukan selama 5 bulan diperoleh berbagai spesies nyamuk, tetapi dari seluruh nyamuk yang diperiksa tidak ditemukan adanya larva 3 (L3) sehingga belum dapat dikatakan bahwa nyamuk yang tertangkap tersebut sebagai vektor utama filariasis di Desa Pamalian, nyamuk tersebut hanya sebagai vektor potensial.

  Penangkapan nyamuk dilakukan pada malam hari dan pagi hari. Kepadatan vektor untuk setiap spesies nyamuk yang ditemukan di Desa Pamalian dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

  Tabel 1. Jumlah dan Spesies Nyamuk Yang Tertangkap Dengan Berbagai Cara Penangkapan di Desa Pamalian (Bulan Februari

  • – Juni 2011)

  Species UOD DD UOL KD LT PG Total Ma. Uniformis 1748 851 2727 588

  15 5929 1343 640 2298 500 21 4802

  Ma. Bonneae An. Maculatus 1246 630 1651 328

  32 3887

  An.balabacensis 1146 791 1291 282

  34 3544

  Ae. Albopictus

  67 257 324

  Ae. Aegypti

  36 169 205

  Cx.tritaeniorhynchus 1705 882 1638 237

  41 4503 Total 7188 3794 9605 2038 569 23194

  Keterangan: UOD : Umpan Orang Dalam DD : Dinding Dalam Rumah UOL : Umpan Orang Luar KD : Kandang LT : Light Trap PG : Pagi Hari

  2. Spesies Mikrofilaria Hasil pemeriksaan darah jari pada 386 orang penduduk yang ada di Desa Pamalian, ditemukan Brugia malayi sebagai penyebab filariasis limfatik yang ada di daerah tersebut.

  Di bawah ini merupakan mikrofilaria yang ditemukan pada salah satu penderita filariasis yang ada di Desa Pamalian (Gambar 1).

  Kepala selubung ekor

  Gambar 1. Microfilaria Di Dalam Darah Penduduk Di Desa Pamalian

  

Microfilaria rate (Mf) rate yang didapatkan dari penelitian ini adalah 1,04%. Hasil ini

  menunjukkan bahwa di Desa Pamalian merupakan desa yang endemis filariasis limfatik karena nilai mf rate nya diatas 1%. Penderita yang positif mikrofilaremia pada saat survei darah jari, yang secara sukarela bersedia untuk berpartisipasi dalam pemeriksaan sifat periodisitas sebanyak empat orang dari total empat orang penduduk yang positif mikrofilaremia.

  Pemeriksaan periodisitas hanya dilakukan satu kali, mengingat keterbatasan dana dan tenaga, sehingga dalam penelitian ini tidak dketahui apakah ada perubahan sesudahnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi tidak selalu dijumpai pada setiap waktu pemeriksaan selama 24 jam, tetapi lebih cenderung ditemukan pada malam hari setelah pukul 18.00. Hasil ini juga dapat terlihat pada gambar 2, yang memperlihatkan puncak kepadatan mikrofilaria berada pada sekitar pukul 22.00 waktu setempat.

  Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah mikrofilaria keseluruhan (Y) berturut-turut dari penderita pertama sampai penderita keempat adalah 30 ekor, 16 ekor, 17 ekor, dan 28 ekor. Jumlah mikrofilaria terbanyak adalah pada penderita pertama dan yang terendah adalah penderita kedua. 30

  25 ria a il 20 rof ik Penderita 4 m 15 n ta Penderita 3 da 10 Penderita 2 pa e K 5 Penderita 1

  Pukul Pemeriksaan

  Gambar 2. Fluktuasi Puncak Kepadatan Mikrofilaria (Brugia malayi) Dalam Darah Tepi Selama 12 Kali Pemeriksaan di Desa Pamalian, Tahun 2011

  Analisis statistik (Aikat dan Das, 1976) dapat digunakan untuk menentukan puncak kepadatan mikrofilaria dengan sangat teliti hingga dalam satuan detik serta dapat mengetahui sifat gelombangnya sehingga dapat diketahui apakah bersifat harmonik atau tidak. Pada Tabel 2 berikut di sampaikan hasil perhitungan statisik keempat penderita mikrofilaremia. Tabel 2. Analisis Statistik Hasil Pemeriksaan Periodisitas Mikrofilaria Pada Empat Penderita di Desa Pamalian, Tahun 2011.

  Analisis Penderita Filariasis Statistik

  Penderita 1 Penderita 2 Penderita 3 Penderita 4 Y

  30

  16

  17

  28

2 Y 212

  46 31 128 Y cos 15h 18,722 9,598 3,232 16,928

  Y sin 15h -4,5 -1,232 -1,866 -1,268 m 2,5 1,33 1,42 2,33 b 3,12 1,59 0,54 2,82 c -0,75 -0,21 -0,311 -0,211 a 3,21 1,60 0,62 2,83 K

  24.09′60′′ 24.05′20′′ 24.23′20′′ 24.04′40′′ F 4,08 6,48 -2,41 6,98 D 128,40 120,30 43,66 121,45

  Hasil penghitungan mendapatkan nilai aksis minus dan ordinat plus, dengan demikian puncak kepadatan mikrofilaria (K) berada pada kuadran ke 4. Puncak kepadatan mikrofilaria dapat dihitung dengan menggunakan rumus tan 15Kº = c/b (misal hasilnya disebut x), sehingga didapatkan hasil tan 15 Kº = xº, maka Kº = , dari rumus ini didapatkan puncak kepadatan mikrofilaria pada penderita pertama adalah pada pukul 24.09′60′′ atau 24.10′.00′′. Nilai D menunjukkan nilai > 50 yang berarti periodisitas mikrofilaria tersebut adalah periodik nokturnal, sedangkan nilai F yang kurang dari 5% (4,26 teoritis) menunjukkan sifat gelombang yang non harmonik. Dari tabel 2 terlihat bahwa dari ke empat penderita ada satu penderita yang periodisitasnya subperiodik atau non periodik yaitu penderita ke tiga dengaOn sifat gelombang yang non harmonik. Penderita satu, dua, dan empat menunjukkan periodik nokturnal dengan sifat gelombang yang harmonik pada penderita dua dan empat.

  3. Hospes (Manusia) Filariasis Limfatik

  Acute disasese rate (ADR) digunakan untuk mengetahui rata-rata angka kesakitan

  akut akibat filaria dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk melihat adanya kelainan klinis akibat filariasis. Hasil observasi mendapatkan 21 orang penduduk yang menderita gejala akut berupa demam dan bengkak yang kadang-kadang muncul dan hilang, serta limfangitis desendes. Tujuh belas orang penduduk mengalami gejala klinis amikrofilaremia. Dari angka tersebut dapat dihitung ADR sebagai berikut

  . Ke-empat penduduk yang mengalami mikrofilaremia mengalami gejala akut berupa demam yang berulang-ulang sebanyak 3

  • – 4 kali dalam sebulan yang disertai limfangitis makin kearah distal makin menghilang. Dua gejala ini merupakan gejala yang paling banyak ditemui pada penduduk di lokasi penelitian, tetapi pada penduduk yang lain juga dapat ditemukan terjadinya abses walaupun hanya sedikit (3 orang responden).

  

Cronic disease rate (CDR), hasil observasi dan wawancara dengan warga serta petugas

  pustu di Desa Pamalian sudah tidak ditemukan lagi warga yang mengalami gejala kronis tersebut. Menurut penuturan warga, warga yang mengalami gejala kronis filariasis sudah meninggal karena lanjut usia, sehingga CDR di Desa Pamalian adalah nol.

  PEMBAHASAN

  1. Vektor Filariasis Limfatik Penyebaran filariasis limfatik sangat ditentukan oleh kepadatan nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit. Dari hasil penelitian ditemukan tujuh spesies nyamuk, spesies nyamuk tersebut adalah Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Anopheles

  

maculatus, Anopheles balabacensis, Aedes albopictus, Aedes aegypti, dan Culex

tritaeniorhynchus. Ditemukannya Aedes sp disebabkan penangkapan yang dilakukan

  pada pagi hari. Penangkapan yang dilakukan selama 10 kali dalam waktu 5 bulan mendapatkan 23.194 ekor nyamuk dengan spesies yang paling banyak ditemukan adalah

  

Mansonia uniformis. Dari tujuh spesies tersebut tidak semua spesies berpotensi untuk

  menjadi vektor filariasis limfatik, hanya Mansonia uniformis dan Mansonia bonneae yang potensial.

  Salah satu faktor yang berhubungan dengan kepotensialan nyamuk tersebut adalah perkembangan gigi sibarial. Apabila gigi sibarial spesies nyamuk tersebut berkembang dengan baik maka mikrofilaria yang melewatinya akan hancur sehingga tidak dapat berkembang menjadi larva infektif (L3). Mansonia uniformis tidak mempunyai gigi

  7

  sibarial dengan IIP 0,32 , sedangkan spesies lain yang didapatkan pada saat penelitian dan tidak mempunyai gigi sibarial adalah Aedes aegypti. Nyamuk yang gigi sibarialnya

  8 berkembang dengan baik dapat membunuh 36% - 96% mikrofilaria yang tertelan .

  Berdasarkan ketidakberadaan gigi sibarial maka yang berpotensial untuk menjadi vektor filariasis limfatik adalah Mansonia uniformis dan Aedes aegypti.

  Aedes sp berdasarkan karekteristik anatominya memang dapat berperan sebagai

  vektor filariasis dan hal ini di buktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan di kawasan pasifik, namun, yang menjadi perbedaan adalah di kawasan pasifik tersebut periodisitas mikrofilarianya cenderung diurnal sehingga sangat memungkinkan Aedes sp yang perilakunya day bitter menjadi vektor di kawasan tersebut. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang sampai saat ini belum ditemukan periodisitas mikrofilaria yang diurnal, sehingga berdasarkan asumsi ini, di lokasi penelitian hanya Mansonia uniformis yang berpotensi sebagai vektor filariasis limfatik.

  Kepadatan vektor juga berhubungan dengan tingkat penyebaran filariasis limfatik. Di lokasi penelitian diantara kedua spesies Mansonia uniformis dan Mansonia bonneae, seperti yang terlihat pada tabel 1, Mansonia uniformis merupakan spesies yang paling banyak ditemukan dibandingkan dengan Mansonia bonneae. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan bahwa Mansonia uniformis sangat berpotensial untuk menjadi vektor filariasis limfatik di lokasi penelitian, namun, dalam penelitian ini tidak ditemukan L3 pada tubuh Mansonia uniformis dan spesies lainnya, sehingga dalam penelitian ini belum dapat membuktikan vektor utama filariasis di lokasi penelitian.

  Kondisi lingkungan di lokasi penelitian yang cenderung masih berupa hutan yang disertai dengan rawa-rawa sangat cocok untuk perkembangan Mansonia sp. Penyebaran nyamuk disuatu daerah berbeda-beda walaupun masih dalam satu genus yang sama.

  

Mansonia bonneae lebih cenderung ditemukan di dalam hutan sedangkan Mansonia

  9

uniformis lebih banyak di perkampungan yang dikelilingi hutan dan rawa-rawa , sehingga

  kemungkinan nyamuk yang menjadi vektor filariasis di lokasi penelitian adalah Mansonia

  

uniformis. Berdasarkan dugaan tersebut maka akan ditampilkan data mengenai Mansonia

uniformis di lokasi penelitian terkait dengan perilaku menghisap darahnya.

  a. Kepadatan nyamuk Mansonia uniformis menggigit di dalam dan diluar rumah/MBR.

  Pengkuran kepadatan nyamuk menggigit di dalam dan luar rumah sangat penting untuk mengetahui perilaku nyamuk mencari darah. Hasil kegiatan ini untuk mendapatkan

  10 informasi mengenai sifat nyamuk lebih senang menggigit di luar atau di dalam rumah .

  Gambar 3. Kepadatan Mansonia uniformis Menggigit Orang di Dalam dan di Luar Rumah per Bulan di Desa Pamalian (Februari

  • – Juni 2011)
Kepadatan Mansonia uniformis menggigit orang cenderung lebih banyak di luar rumah dibandingkan di dalam rumah, gambaran grafik ini menunjukkan peningkatan pada bulan maret kemudian terjadi penurunan di bulan april, selanjutnya terjadi kenaikan aktivitas menggigit pada bulan mei dan juni, bulan juni merupakan puncak kepadatan tertinggi diantara bulan februari sampai juni.

  b. Kepadatan nyamuk Mansonia uniformis menggigit di dalam dan diluar rumah per jam. Aktivitas menggigit Mansonia uniformis dikaitkan dengan waktu menggigitnya dapat dilihat pada gambar berikut.

  Gambar 4. Fluktuasi Aktivitas Menggigit Mansonia uniformis perjam di Desa Pamalian (Februari

  • – Juni 2011) Gambar 4 menunjukkan aktivitas menggigit Mansonia uniformis, dapat terlihat puncak aktivitas menggigitnya pada pukul 21.00
  • – 22.00, kemudian untuk outdoor terjadi penurunan aktivitas dari pukul 2>– 24.00, hal ini berbeda dengan indoor, penurunan aktivitas hanya dari pukul 22.00
  • – 23.00, pada pukul 23.00 – 24.00 terjadi peningkatan aktivitas lagi untuk indoor. Pada pukul 2
  • – 06.00 terjadi penurunan aktivitas secara bertahap untuk kedua metode penangkapan. Data ini sangat penting terkait dengan periodisitas mikrofilaria yang akan di bahas pada bagian berikutnya.

  Agar terjadi penularan filariasis limfatik, kepadatan optimal mikrofilaria dalam

  3

  darah penderita 1 . Bila jumlah mikrofilaria terlalu sedikit maka hanya sebagian

  • – 3 mf/mm kecil nyamuk yang dapat menghisap mikrofilaria, sebaliknya jika jumlah mikrofilaria terlalu

  11

  banyak maka 1/3 nyamuk yang menghisap darah tersebut akan mati . Nyamuk yang mengandung mikrofilaria terlalu banyak dapat menyebabkan perkembangan mikrofilaria

  11

  menjadi L3 lambat atau terhambat sama sekali . Tidak semua mikrofilaria yang masuk ke dalam lambung nyamuk dapat melangsungkan kehidupannya, kurang lebih 40% akan

  11

  mati di dalam lambung nyamuk . Hal ini mengakibatkan tidak ada satu spesies nyamuk pun dilokasi penelitian yang ditemukan L3 di dalam tubuhnya.

  Lingkungan di lokasi penelitian yang berawa-rawa dan masih banyak di jumpai hutan yang cukup lebat dan masih memungkinkan untuk di jumpai kera, lutung dan kucing liar secara teoritis seharusnya dapat menyebabkan penularan filariasis tetap terjadi dan terjaga dengan baik walaupun penderita (manusia) di obati, tetapi saat dilakukan penangkapan tidak ditemukan L3 filaria satu ekor pun. Seharusnya, untuk membuktikan apakah memang benar Mansonia uniformis sebagai vektor utama filariasis di lokasi penelitian dilakukan penelitian dengan menggunakan membrane feeding, dengan cara menangkap nyamuk dilokasi penelitian kemudian diberi makan darah penduduk yang positif mikrofilaria yang dilakukan di laboratorium, sehingga dapat diketahui secara pasti perkembangan L3 di dalam tubuh vektor.

  2. Agent Filariasis Limfatik Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan seperti yang ditunjukkan pada gambar

  1, yang menjadi agent parasit filariasis limfatik adalah Brugia malayi. Pada gambar tersebut dapat dilihat luas perbandingan ruang kepala antara panjang 2x lebar kemudian mempunyai selubung dan terdapat 2 inti yang terpisah pada ujung ekornya yang merupakan ciri khas Brugia malayi. Distribusi Brugia malayi sebagian besar berada di wilayah tropis walaupun dapat ditemukan pula di kawasan sub-tropis. Penyebaran parasit ini berada di timur jauh (kawasan asia tenggara) antara 75º BT - 140º BT dan sebagian

  12

  besar ditemukan di kawasan rural . Lokasi penelitian yang terletak di Kabupaten Kotawaringin Timur berada pada 107º15′30′′ BT - 110º29′30′′ BT sehingga penelitian yang dilakukan Edeson tersebut dapat didukung oleh penelitian yang dilakukan ini. Keadaan alam secara umum di Kotawaringin Timur terdiri dari dataran rendah berupa rawa, hutan belantara serta daerah perbukitan dan pantai. Kondisi ini mendukung perkembangan

  Brugia malayi.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan sifat mikrofilaria di lokasi penelitian ada yang berperiodisitas periodik nokturnal dan subperiodik nokturnal. Periodisitas mikrofilaria sampai saat ini mekanismenya belum jelas diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme tersebut, seperti adaptasi mikrofilaria dengan kebiasaan mencari makan nyamuk, perbedaan tekanan O antara darah vena dan arteri,

  2

  11

  serta aktivitas hospes . Selain pendapat tersebut terdapat pendapat lain yang mempengaruhi periodisitas mikrofilaria yaitu berhubungan dengan hormon melatonin

  13 pada host .

  Hormon melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine), adalah yang terletak di dal Proses sintesis dan pelepasan melatonin distimulus oleh kegelapan dan produksinya ditekan oleh cahaya. Hal ini memperlihatkan

  13 peranan melatonin dalam ritme circadian (ritme alami tubuh) .

  Untuk mempertahankan eksistensi tersebut, cacing filaria perlu menjaga agar kepadatan mikrofilaria dalam darah tepi tetap tinggi dengan cara 1) memproduksi mikrofilaria sebanyak mungkin, sehingga kepadatan dalam darah keseluruhan meningkat dikombinasikan dengan 2) adaptasi perilaku mikrofilaria terhadap perilaku menggigit

  9 (biting habit) nyamuk vektor .

  Hasil penangkapan nyamuk menunjukkan bahwa Mansonia uniformis menggigit dari pukul 21.00

  • – 22.00 waktu setempat kemudian menurun dan meningkat lagi pada pukul 23.00
  • – 24.00 waktu setempat. Kepadatan menusuk dan menghisap darah tersebut dilakukan dengan umpan orang dalam, sedangkan untuk umpan orang luar puncak menusuk dan menghisap darah adalah pada pukul 2
  • – 22.00 waktu setempat kemudian mengalami penurunan aktivitas secara bertahap. Dari hasil ini bisa diasumsikan bahwa penularan mungkin saja terjadi pada malam hari di dalam rumah ketika penduduk sudah tertidur.

  3. Hospes (manusia) Filariasis Limfatik Penelitian yang dilakukan memperoleh hasil sebagian besar responden masih dalam usia produktif. Apabila dilihat dari sudut pandang umur berisiko, yaitu diatas 45

  14

  tahun maka hanya 67 orang responden yang memiliki kriteria tersebut sedangkan 319 responden lainnya belum berisiko. Ke empat penduduk yang mikrofilaremia berumur sekitar 50 tahun, 47 tahun, 49 tahun dan 44 tahun. Usia merupakan salah satu faktor terjadinya filariasis, penduduk yang berusia diatas 45 tahun berisiko terinfeksi 6,83 kali

  14

  lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang berusia dibawah 45 tahun . Penelitian ini memperkuat hasil penelitian yang hanya menemukan sedikit sekali penduduk yang mengalami mikrofilaremia. Terkait dengan penelitian Rahayu tersebut maka responden dalam penelitian ini tidak berisiko terinfeksi filariasis yang ditunjukkan dengan rendahnya mikrofilaremia penduduk. Dengan bertambahnya usia, mikrofilaremia cenderung

  9 meningkat, diikuti oleh kenaikan kepadatan mikrofilaria .

  Terdapat beberapa kemungkinan mengapa terjadi penurunan angka mikrofilaremia dan cronic disease rate di Desa Pamalian. Tidak ditemukannya penderita yang mengalami gejala kronis filariasis limfatik menurut pemaparan penduduk bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, hal ini dapat terjadi mengingat untuk terjadinya gejala kronis memerlukan proses yang cukup panjang. Setelah infeksi terjadi, yaitu ketika larva infektif telah masuk kedalam tubuh penderita, tidak secara langsung keberadaan

  9 mikrofilaria dapat dideteksi pada pemeriksaan darah .

  Infeksi Brugia malayi memerlukan waktu bertahun-tahun sehingga tampak gambaran elephantiasis, tetapi di daerah endemis filariasis (Sampit merupakan daerah endemis filariasis) munculnya gejala-gejala klinis kronis bervariasi, ada yang cepat ada pula yang lambat, bahkan ada pula yang tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria. Penduduk yang berasal dari luar daerah endemis biasanya menunjukkan gejala yang lebih tampak/serius dibandingkan

  15

  dengan penduduk yang berada di daerah endemis . Gejala yang dinamakan elephantiasis ini relatif jarang terjadi dan merupakan komplikasi lanjut dari filariasis. Hal ini

  11,16 menunjukkan bahwa tidak semua filariasis malayi di akhiri dengan elephantiasis .

  Gejala yang timbul disebabkan terutama oleh reaksi radang terhadap cacing dewasa di kelenjar limfe maupun di saluran limfe. Reaksi radang ini juga dipengaruhi oleh reaksi

  17 imunologik seluler maupun humoral .

  Kemungkinan yang kedua yang mengakibatkan rendahnya kepadatan rata-rata mikrofilaria dalam darah dan sedikitnya penduduk mengalami mikrofilaremia adalah karena suksesnya pengendalian filariasis di daerah tersebut. Prinsip pengendalian filariasis limfatik adalah dengan cara mengurangi atau menghentikan penularan penyakit (transmission control) dan mengurangi penderitaan karena penyakit (morbidity control). Untuk memutus penularan penyakit dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) mengurangi atau menghilangkan sumber mikrofilaria melalui pengobatan terhadap manusia; 2) mengurangi kontak manusia dengan vektor; 3) mengkombinasikan 2 cara

  18

  tersebut . Pengobatan massal dan dikombinasikan dengan pengobatan selektif menggunakan diethylcarbamazine mampu menurunkan bahkan menghilangkan mikrofilaremia pada penduduk di Republik Korea, walaupun memerlukan waktu yang tidak

  19 sebentar (dari tahun 1950 - 2006) .

  Pengobatan massal yang telah lama dilakukan di Indonesia, khususnya di Sampit, memberikan hasil yang positif terhadap angka mikrofilaremia. Perlu diketahui bahwa sebelum dilakukan penelitian, pada akhir tahun 2010 di Kecamatan Kota Besi telah melakukan pengobatan massal tahap ke lima (pengobatan telah berlangsung selama 5 tahun), sehingga sangat wajar apabila hanya empat orang penduduk saja yang positif mikrofilaremia karena efek obat tersebut yang sangat efektif membunuh stadium mikrofilaria di dalam darah. Keempat penduduk ini mungkin saja tidak memakan obat yang telah diberikan karena efeknya yang tidak mengenakkan atau karena takut mengkonsumsi obat filariasis diakibatkan terjadinya kasus kematian saat pengobatan massal di daerah Tanggerang pada tahun 2010 lalu, tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan wawancara secara mendalam. Kemungkinan yang lain adalah keempat penduduk ini selalu terinfeksi karena sumber penularan lainnya tetap ada. Sumber penularan yang dimaksud adalah adanya kucing hutan, kera dan lutung yang masih dapat ditemukan di perkebunan warga.

  Penelitian tentang efek DEC sudah banyak dilakukan seperti yang dilakukan di Haiti yang menunjukkan dari 3.781 penduduk yang mengkonsumsi DEC, 8% penduduk mengalami efek dari pengobatan tersebut, 36% mengalami sakit kepala, 28% mengeluh

  20

  terjadinya masalah gastrointestinal . Reaksi obat DEC cenderung ringan dan tidak berakibat fatal, tetapi apabila tidak ditunjang dengan memberikan penjelasan yang cukup mengenai efek yang akan ditimbulkan dari obat ini kepada masyarakat maka banyak

  21

  penduduk yang tidak akan memakan DEC . Pengobatan massal dengan menggunakan albendazole dan diethilcarbamazine sangat efektif untuk menurunkan prevalensi filariasis. Penelitian yang dilakukan di Vanuatu pada tahun 2002 menyatakan pengobatan massal dengan kombinasi dua obat tersebut dapat mengurangi prevalensi filariasis berdasarkan antigen sebesar 63% (prevalensi dari 22% berkurang menjadi 0,8%) sedangkan

  22 prevalensi filariasis berdasarkan prevalensi mikrofilaremia berkurang sebesar 93% .

  Metode pengobatan yang lain yang dapat mendukung program eliminasi filariasis adalah dengan menggunakan garam yang telah dicampur dengan DEC dan iodine. Garam tersebut dicampur dengan 0,25% DEC dan 25ppm iodine untuk konsumsi selama satu tahun. Penelitian yang dilakukan di Miton, Haiti, mendapatkan hasil penurunan prevalensi dan intensitas mikrofilaria lebih dari 95% dan tingkat antigenemia berkurang sebesar 60% selama satu tahun konsumsi garam tersebut. Cacing dewasa pun berkurang walaupun tidak signifikan. Berdasarkan penelitian tersebut sangat sedikit masyarakat

  23 yang melaporkan efek samping penggunaan garam ber iodine dan DEC .

  Kemungkinan ketiga yang mengakibatkan menurunnya mf rate, ADR, CDR, dan kepadatan rata-rata mikrofilaria dalam darah di Desa Pamalian adalah semakin baiknya perilaku masyarakat setempat. Derajat kesehatan seseorang menurut teori H.L Blum dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan herediter. Perilaku merupakan suatu faktor yang penting dalam menentukan keadaan sakit atau sehat seseorang. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap individu. Adanya stimulus berupa pengetahuan akan membentuk sikap individu yang akan tercermin kedalam perilakunya. Walaupun, pada beberapa kasus hal ini berbeda, pengetahuannya baik tetapi perilakunya mencerminkan hal yang sebaliknya. Secara garis besar perilaku ini dibagi menjadi 3 faktor utama yaitu, faktor pembawa, faktor pendukung dan faktor pendorong. Ketiga faktor ini saling berinteraksi membentuk perilaku individu, dengan kata lain perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dari orang tua atau masyarakat itu sendiri. Disamping itu keterbatasan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan

  24 juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku .

  Keberhasilan suatu program merupakan interaksi dari berbagai faktor yang saling melengkapi sebagai satu kesatuan. Baiknya perilaku masyarakat di Desa Pamalian, pengobatan yang baik tidak akan dapat menunjukkan hasil yang optimal tanpa dukungan faktor yang lain, seperti lingkungan. Lingkungan fisik yang kurang baik di Desa Pamalian merupakan ancaman yang selalu ada sebagai media penularan filariasis limfatik. Masih banyaknya rumah yang tidak mosquito proof di Desa Pamalian merupakan salah satu faktor risiko penularan penyakit ini. Faktor penentu dalam keberhasilan program eliminasi di suatu daerah/Negara dipengaruhi oleh 1) tingkat endemisitas awal daerah filariasis limfatik; 2) efektivitas vektor (nyamuk); 3) aturan/prosedur pengobatan massal; 4)

  25

  kepatuhan penduduk . Perlu dilihat lebih jauh lagi dengan penelitian yang lain, apakah 2 atau 3 tahun lagi, mf rate, ACD, CDR, dan kepadatan mikrofilaria dalam darah penduduk di Desa Pamalian masih akan menunjukkan angka yang rendah pada tahun

  • – tahun berikutnya. Selama faktor lingkungan tidak dimodifikasi untuk mengurangi risiko infeksi filaria, maka di desa ini mikrofilaremia masih akan tetap ditemukan.

  PENUTUP Kesimpulan

  Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Spesies nyamuk yang diduga menjadi vektor filariasis belum ditemukan karena tidak ditemukannya L3 pada seluruh spesies yang diperiksa, sehingga intensitas infeksi filaria berdasarkan vektor adalah nol, tetapi berdasarkan teori vektor potensial filarial adalah Mansonia uniformis.

  2. Puncak kepadatan Mansonia uniformis menggigit orang (MBR) adalah pada bulan Juni (108,42/ekor/orang), dengan kepadatan menggigit orang di dalam rumah pada bulan Juni sebanyak 84,5/ekor/orang dan mengigit orang di luar rumah 132,33/ekor/orang. Puncak aktivitas menggigit Mansonia uniformis (Man Hour

  Density) di dalam rumah adalah pada pukul 21.00

  • – 22.00 (7,57/ekor/orang/perjam), sedangkan di luar rumah juga pada waktu yang sama (12,7/ekor/orang/perjam).

  3. Spesies filaria di Desa Pamalian adalah Brugia malayi dengan ciri-ciri mempunyai selubung dan perbandingan luas ruang kepala panjang 2x lebar. Ke-empat penduduk yang diperiksa memiliki periodisitas yang berbeda. Tiga orang penduduk (penduduk 1, 2, dan 4) menunjukkan periodik nokturnal dengan sifat gelombang yang harmonik. Penduduk ke-3 menunjukkan subperiodik nokturnal dengan sifat gelombang non harmonik dengan Microfilaria rate di Desa Pamalian adalah 1,04% dan kepadatan

  

3

  rerata mikrofilaria dalam darah (20 mm ) adalah 4,45. Acute diseases rate sebesar 5,44% sedangkan cronic diseases rate nol persen.

  Saran

  Saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Kepada masyarakat agar berusaha memperbaiki rumah agar tidak terjadi penularan saat di dalam rumah, menggunakan repellent ketika keluar rumah pada malam hari, serta menggunakan kelambu yang terpasang dengan baik ketika tidur pada malam hari.

  2. Kepada pemerintah agar memperhatikan sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan yang ada di lokasi penelitian.

  3. Kepada peneliti lain agar melakukan penelitian lebih lanjut tentang: a. Penemuan vektor utama filariasis limfatik dan memetakannya.

  b. Menemukan mikrofilaria di dalam hewan yang habitatnya berdekatan dengan pemukiman.

  c. Deteksi mikrofilaria dengan cara yang efektif dan aplikatif untuk penerapan di lapangan.

  d. Membandingkan efektivitas pengobatan DEC dengan garam DEC serta meneliti tentang kesulitan dalam pendistribusian garam DEC tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  1. World Helath Organization (2010), The Regional Strategic Plan for Elimination of Lymphatic Filariasis 2010-2015. Regional Office for South-East Asia.

  th

  2. Gill, Geoff., Beeching, Nick (2004). Lecture Note: Tropical Medicine, 6 Ed, Wiley- Blackwell, West Sussex.

  3. Depkes RI, (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.

  4. Dinkes Kalimantan Tengah (2007). Profil Kesehatan Kalimantan Tengah Tahun 2007.

  5. Mastur (2010). Angka Minum Obat Filariasis di Kotim di Bawah Standar: 6. Joseph, Hayley Melissa (2010). “Lymphatic Filariasis Elimination: Residual Endemicity, Spasial Clustering and Future Surveillance Using The New Filariasis Celisa Diagnostic Assay” Ph.D Thesis in The School of Public Health, Tropical Medicine and Rehabilitation Sciences, James Cook University of North Queensland, Australia

  7. Haryati, Sri (2000). Kerentanan Berbagai Spesies Nyamuk di Daerah Non-Endemis Filariasis Terhadap Infeksi Percobaan Brugia malayi Non-Periodik. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

  8. McGreevy, P.B., Bryan, J.H., Oothuman, P., and Kolstrup, N (1978). The Lethal Effects of The Cibarial and Pharyngeal Armatures of Mosquitoes on Microfilariae.

  Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 72(4): 361 – 368.

9. Sudjadi, F.A., (1996). “Filariasis di Beberapa Daerah Endemik di Kalimantan Timur:

  Kajian Infraspesifik Brugia malayi Penyebab Penyakit dan Beberapa Segi Epidemiologinya”, Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

  10. Ramadhani, Tri, (2008). Studi Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kota Pekalongan (Penekanan Pada Aspek Entomologi), Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

  11. Soeyoko, (1998).

  “Filariasis Malayi di Wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah (beberapa faktor yang mempengaruhi penularannya)”, Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Gadjah mada University Press, Yogyakarta.

  12. Edeson, MD (1962). The Epidemiology and Treatment of Infection Due to Brugia

  malayi. Bull. Wld Hlth Org. 27: 529 – 541.

  13. Challet, E. (2007). Minireview: Entrainment of the Suprachiasmatic Clockwork in Diurnal and Nocturnal Mammals. Endocrinology 148 (12): 5648

  • –55

  14. Rahayu, Nita (2008). Faktor Yang Berhubungan Dengan Penularan Filariasis di Puskesmas Lasung Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Tesis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

  15. Partono, F & Purnomo, (1987). Periodicity Study of Brugia malayi in Indonesia: Recent Findings and Modified Classification of the Parasite. Trop. Med.Hyg. 81: 657 – 662.

  th 16. Markell, E.K., M. Voge., and D.T. John., (1986). Medical Parasitology. 6 Edition. W.B.

  Saunders Company. Philadelphia

  17. Kurniawan, Liliana (1990). Beberapa Aspek Imunologi dan Bioteknologi Dalam Penanggulangan Masalah Filariasis. Cermin Dunia Kedokteran. No. 64.

  18. Ottesen, E.A., B.O.L. Duke., M.Karam., and K. Behbehani (1997). Strategies and Tools For The Control / Elimination of Lymphatic Filariasis. Bulletin of WHO. 75 (6): 491 – 503.

  19. Cheung, Hyeng-Il., Kong, Yoon., Cho, Shin-Hyeong., Lee, Jong-Soo., Chai, Jong-Yil., Lee, Joo-Shil., Lee, Jong-Koo., Kim-Tong-

  Soo, (2009). “Successful Control of Lymphatic Filariasis in the Republic of Korea

  ”, Korean J Parasitol, Vol. 47, No. 4: 323- 335.