PEMAHAMAN KRITERIA WUJUD AL HILAL DI PD

Volume 20 Nomor 20, September 2015

PEMAHAMAN KRITERIAWUJUD AL-HILAL DI PD PERSIS CIANJUR DALAM
TINJAUANSYAR’I DAN ASTRONOMI
Bashor i Alw i*
Dosen Tetap Fak ultas Syariah & Ekonomi Islam IAI Nurul Jadid

Abstr ak
Sebagai sebuah ormas Islam, Pe rsis mempunyai almanak ata u kalender
tersendiri, yang berisi penanggalan Kamaria h, penang galan masehi dan wak tu
salat, d an dalam penentu an awal bula n kam ariah Persis menggunaka n meto de
Hisab. Menurut informasi dari catatan Dewan Hisab Rukyat Pe rsis, sejak tahun
1960 sampai sekarang Pe rsis pernah 4(empat) kali berg anti kri teria dalam
penentuan awal bula n Kamariah, ant ara lain kriteria Ijtima Qabla al-Gu rub,
kriteria Wujud al-Hilal, krteria MABIMS, dan terakhir kriteria Astronomi
(LAPAN) , tetapi sampai sekarang masih ada sebagian k elompok di Pe rsis yang
masih menggunak an kriteria Wujudu Hilal, yang berkedudukan di PD Pe rsis
Cianjur, wala upu n secara ins titusi Pe rsis sekarang menggun akan kriteria
Astronomi.
Pokok permasalahan penelitian ini mengk aji kriteria Wujud al-Hilal yang masih
digunaka n di PD Persis Cianjur dalam persfe ktif syar’i dan astronomi, sehingga

mere ka masih bertahan menggunakan kriteria ini, p adahal secara instit usi,
Pe rsis sekarang menggu nakan kriteria MABIMS.
Pe nentuan awal b ulan kamaria h pada dasarnya a dalah menentukan
pelaksanaan wakt u ibadah, k hususnya (Ramadha n, I dul Fitri, Dan Idul Adha),
maka harus a da a rgumen teologis (dalil) yang me landasinya, baik i tu berupa
teks Al-Qur’an, Al-Hadits, dan pendapa t-pendapat para ulama fiqh, d an
penentuan awal b ulan kam ariah p ada d asarnya a dalah men tuka n posisi
matahari, bula n dan bumi, maka sebagai refe rensi yang menje laskan hal
tersebut adala h astronomi.
Dalam penelitian ini penulis menggun akan me tode kualitatif (deskriptif
analisis) dengan pendeka tan syar’i dan astro nomi, metode pengumpula n da ta
yang digunakan adalah w awa ncara dan st udi duk umen, di m ana dat a-data
tersebut selanjutnya dia nalisa dengan car a direduksi, disajikan , dive rifikasi,
dan pada akhirnya ditarik kesimpulan.
Dari h asil temuan selama penelitian, d ari sisi syr’i bisa disimpulkan bahwa
kurang tepatnya memaknai kata Ra’a dari hadis-hadis tenta ng r ukyat
mengakibatkan banyak pemasalahan, antara lain pengertian hilal, hisab,
rukyat, sedangka n dari sisi astronomi, kurang tepatnya menempatkan

KOMUNITAS


40

Volume 20 Nomor 20, September 2015

argumen-argumen astrnomi tent ang ufuk, terbenam matahari dan mak na hilal
itu sendiri menuru t astro nomi.
Dari penelitian ini penulis berharap dapat menambah kh asana h keilmuan
yang bermanfaat, dan mudah-mu dahan bisa dijadikan sebagai bahan
pertimbanga n oleh kelompok y ang masih menggunakan kriteria Wujud al-Hial
yang berada di PD Pe rsis Cianjur untuk dijadikan sebagai pijakan dalam
penetuan awal b ulan kam ariah.

Ka ta kunci : Wujud Hilal, Hisab, dan Rukyat

KOMUNITAS

41

Volume 20 Nomor 20, September 2015


PENDAHULUAN
Penentua n awal bulan kamariah dalam skala n asional tid ak terlepas
dari pengaruh or mas-or mas Is lam sepert i NU58 , Muhama diyah 59 , Pers is, dll,
walaupun seb enarnya pemerint ah seb agai fasilitator dalam hal ini diwakili
oleh Badan Hisab Rukyat Kem enterian Agama b erperan ju ga dala m p enentua n
ini60 .
Dalam kaitan d engan hal di atas, P ersis sebagai sebuah or mas Is lam
yang berdiri sejak 1923 M (Dad an,1995:1 0) dik enal seba gai or mas Is lam
pembaharu (Deliar,1982:95-104) , namun d alam mas alah hisab ru’yah baru
mucul sekitar tahun 1960. Dari hasil wawanc ara awal61 dengan salah seor ang
anggota DHR62 , dapat disimpulkan b ahwa Pers is sejak tahun 1960 samp ai
58

Keput usan M u nas Ulama 13-16 Rabi ul Aw al 1404 H/ 18-21 1983 M d i Sit u bond o
Jaw a Timur.
59
M enurut Basit Wahid teori w ujudul hilal digunakan M uham madi ya h se jak t a hu n
1388 H/ 19 69 M . Nam un , m enu r ut Oman Fat hurohman SW kecenderungan
M uhamm adiyah ke arah penggunaan teori w ujudul hilal sudah tam pak sejak M ajelis Tarjih

mengambil kepurusan t ent ang hisab dan rukyat pada t ahun 13 51 H/ 1932 M . Ist ilah yang
digunakan dalam keput usan it u adalah w ujudul hilal. Selengkapnya bacaBasit Wahid. " Putusan
M ajlis Tarjih tentang Aw al dan Akhir Ramadlan", makalah disampaikan pada Workshop Nasional
Met odologi Penet apan Awal Bulan Kamariah Model Muhammadiyah, 19-20 Okt ober 2002 diMSI UMY,
hlm. 3. Lihat juga Oman Fat hurohman SW " Hisab M uhammadiyah: Konsep, Sist em,
M et ode,dan Aplikasinya" , makalah disampaikan pada Workshop Nasional M et odologi Penetapan
Aw al Bulan M odel M uhammadiyah, 19-20 Okt ober 2002 di M SI UM Y him. 6. Perhat ikan pula
Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 291
60
M elalui BHR yang be rada di baw ah Kemen t rian Agama RI, pemerintah telah
menetapkan krite ria yang dipakai dalam me nentukan aw al bulan kamariah, y ang
t ercant um dalam lampiran 1 dan 2
61
Waw acara dilaksanakan t anggal 24 Ok t ober 2014 d i Pesant ren Persis M at raman
Jakarta
62
DHR singk at an dari Dew an Hisab dan Rukyat , dan anggota t ersebut bernama Ust .
Sy arif Ahmad Hakim, sebagai sekertaris DHR.

KOMUNITAS


42

Volume 20 Nomor 20, September 2015

sekarang suda h m engalami pergantian kr iteria p enentu an awal bula n
kamariah 63 sebanyak 4 k ali, antara lain :
A.

Kr iteria Ijtima’Qobla al-Ghurub tahun 1960

B.

Kr iteria Wujud al-Hilal tahu n 1996

C.

Kr iteria MABIMS tahun 200 2

D.


Kr iteria Ast ro nomi tahun 2011
Secara ins tit usi dalam p enentua n aw al bulan k amariah Pers is sekarang

menggunakan Kr iteria Ast ro nomi. Sem entara itu, di P D P ersis Cianjur dalam
penentuan awal bul an k amariah masih m enggunakan kr iteria w ujud al-hilal,
dan keadaan ini sudah berlan gsung sejak sekitar t ahun 1 996 sam pai sekarang,
walau s ecara instit usi kr itr ia w ujud al-hilal sudah ditinggalkan oleh PP Pers is
sendiri dengan berba gai alasan, diantaranya ketid ak sesuaian dengan aspek
astr onomi dan syar’i.
Dari Perbedaan kriter ia antara PP Persis dan PD Pers is Cianjur ters ebut
melahirkan perbedaan pelaksanaa n Saum Ra mada n, idul Fitr i dan idul Adh a
jika ketinggian hilal hasil perhitungan berkis ar kur ang dari 2 d erajat 64 ,
sehingga dari p erbedaan pelaksanaan iba dah-ibadah ters ebut melahirkan
ketidakharmonis an dikalan gan a nggota Pers is sendiri, d an kead aan ters ebut
akan terus berlangsun g, sela ma P D Pers is Cianjur masih b ertahan de nga n
kr iteria wujud al-hilalnya.

63


Perhit ungan menurut pe redaran bula n ( kalender, penanggalan) (DEPDIKNAS,
2008:625)
64
Kasus Idul Fit ri 1432 H, PP Persis yang diw akili oleh DHR me ngumumkan, bahw a
Idul Fit ri 1432 H, jatuh pada hari Rabu, 31 Agust us 2011, sedangkan kelompok t erse but
melaksanakan Idul Fit ri pada hari Selasa, 30 Agust us 2011.

KOMUNITAS

43

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Dari fakta yan g ada di atas apaka h seb enarnya permasala han yang
sangat m endas ar dari p erbedaa n p elaks ana an ib adah ters ebut? apaka h
masalah syar’i, dalam h al ini perbedaan interpretasi dari dalil-dalil tentan g
penentuan awal bulan kamariah , atau p erbedaan m etode p erhitungannya ,
atau ad a h al-hal lain dilu ar kedua masalah ters ebut.
Syarat yang harus dip enuhi d alam kr iteria wujud al-hilal ad alah p ada
tanggal 29 bulan kamariah m atahari terbenam lebih dulu dari bulan setelah

ijtima’, jika sy arat ters ebut t erpenuhi, m aka malam itu da n s elanjutnya suda h
masuk bulan b aru, atau singkatnya pergantian bulan la ma ke bulan baru itu
cukup ditandai d engan ijtim a’ terjadi sebelum m aghrib d an matah ari lebih
dulu terbenam dari bulan. Apakah sese derhana itu d alam m enentukan awal
bulan kam ariah ?
Jika d engan wujudnya hil al merupakan tan da perpind ahan bula n l ama
ke

bula n

b aru,

maka

d alam

m etode

perhitungannya


tid ak

usa h

memperhit ungkan selisih azimut, sudut elon gasi, u fuk ma’i, ilumin asi bulan,
lama hilal di atas u fuk, karena tidak berpengaruh untuk seked ar menentuka n
keberadaan hilal si atas ufuk, buk an untuk dilihat.
Dari pernyataan d i atas, bis a diamb il kesimpulan bahwa d alam
penentuan awal bulan k amariah tidak bisa lepas dari aspek syar’i da n
astr onomi, jika menyimpulk an hilal h arus terlihat seba gai batas dari
perpindahan bulan lama ke bulan baru, m aka metode p eritungannya harus
banyak melib atkan asp ek-aspek ast ro nomi.
Penentua n aw al bulan k amariah tidak bisa lepas dari masala h syar’i dan
astr onomi, dan sebuah kr iteria pene ntuan awal bulan kamariah diturunkan
dari hasil pemaknaan hilal b aik secara syar’i d an astr onomi. Kr iteria wujud al-

KOMUNITAS

44


Volume 20 Nomor 20, September 2015

hilal yang digun akan oleh PD Pers is Cianjur memaknai bahwa p erpindaha n
bulan

lama

ke

bula n

baru

ad alah

d engan

wujudnya

hilal,


tidak

mempermasalahkan hilal terlihat ataupun tidak.
Penentua n aw al bulan k amariah tidak bisa lepas dari masala h syar’i dan
astr onomi, dan sebuah kr iteria pene ntuan awal bulan kamariah diturunkan
dari hasil pemaknaan hilal b aik secara syar’i d an astr onomi. Kr iteria wujud alhilal yang digun akan oleh PD Pers is Cianjur memaknai bahwa p erpindaha n
bulan

lama

ke

bula n

baru

ad alah

d engan

wujudnya

hilal,

tidak

mempermasalahkan hilal terlihat ataupun tidak.
A.

Menentukan Awal Bulan Kamariah
Perhit ungan wakt u (penan ggalan) dalam p enentua n ja dwal iba dah
rit ual seperti wakt u sholat li ma wakt u, Saum Ramadan, Ibadah Haji dan
sebagainya , merupakan m asalah yan g p enting d alam Is lam. Pen entuan
jadwal ibadah d an sist em penanggalan Is lam itu mengacu pada dua
sumber hukum Islam yang utama yaitu Al Qur' an d an Al Hadist. Berikut
penulis ca ntumkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis seb agai d asar hukum
yang berkaitan dengan penentuan awal bulan Kamariah.
1. Sumber al-Qur’an
Berikut beberapa ayat yan g b erkaitan dengan penentuan awal
bulan:

a. Surat al-Baqarah : 185

‫ ﻓ َ َ ﻤ ْ ﻦ َ ﺷ ِ ﻬ َ ﺪ ِ ﻣ ﻨْ ُ ﻜ ُﻢ ا ﻟ ﱠ ﺸ ْ ﻬ َ ﺮ ﻓ ـَ ﻠْ َﻴ ُﺼ ْﻢ‬... ‫َ ﺷ ْ ﻬ ُ ﺮ َ ر َ ﻣ َﻀ ﺎ َ ن‬
Ar tinya : ”Karena itu, barangsiapa di ant ara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bula n itu”. (DEPAG, 29:2 002)

KOMUNITAS

45

Volume 20 Nomor 20, September 2015

b . Surat Yasin : 40

‫َ ﻻ ا ﻟ ﱠ ﺸ ْ ﻤ ُ ﺲ ﻳ َـ ْﻨ َﺒ ﻐِ ﻲ َ َ ﺎ أ َ ْ ن ﺗ ُ ْ ﺪ رِ َ ك ا ﻟ ْ َﻘ َ ﻤ َ ﺮ َ و َ ﻻ ا ﻟ ﻠﱠ ْﻴ ُﻞ َ ﺳ ﺎ ﺑ ِ ُ ﻖ ا ﻟ ﻨﱠ ـ َ ﻬ ﺎ ِر َ و ُ ﻛ ﱞﻞ ِ ﻓ َـ َﻠ ٍ ﻚ ﻳ َ ْ ﺴ َﺒ ُ ﺤ ﻮ َ ن‬
Ar tinya :”Tidaklah mungkin ba gi m atahari m endapatkan bulan
dan malampun tidak d apat me ndahului sian g. Dan masing-masin g
beredar pada garis ed arnya”. (DEPAG, 44 3:2002)
2. Sumber al-Hadis.
a. Hadis Bukhar ī,1407, juz II : 674

‫ُﺻ ﻮ ُ ﻣ اﻮ ْ ﻟ ِ ُﺮ ْ ؤ ﻳ َ ﺘِ ﻪِ َ و أ َ ﻓ ْ ِ ﻄ ُ ﺮ وا ﻟ ِ ُ ﺮ ْ ؤ ﻳ َ ﺘِ ﻪِ ﻓ َ ِﺈ ْ ن ُﻏ ِ َ َﻋ ﻠَ ْﻴ ُ ﻜ ْﻢ ﻓ َ ﺄ َ ْ ﻛ ِ ﻤ ﻠُ ﻮا ْ ﻋِ ﱠ ﺪ َة َ ﺷ ْﻌ َﺒ ﺎ َ ن ﺛ َ َ ﻼ ﺛ ِ ْ َﲔ‬
Artinya :”Saumlah karena ru kyat dan be rbukalah ka rena rukyat ,
maka jika terhalang atas kamu sekalian sempurnakanlah bilangan
bula n Syaban menjadi tiga puluh hari”
b. Hadis Bukharī,1407, juz II : 674

ِ
ِ
ُ ‫ﻻ َ ﺗ َ ُﺼ ْ ﻮ ُ ﻣ اﻮ ْ َ ﺣ ﱠ ﺗـ َ َ ﺮ او ا ﻼ َ َ ل َ و ﻻ َ ﺗ ُـ ْ ﻔ ﻄ ُ ﺮ وا َ ﺣ ﱠ ﺗ َـ َ ﺮ ْ و ُ ﻓ َ ِﺈ ْ ن ُﻏ ﱠﻢ َﻋ ﻠَ ﻴ ْ ُ ﻜ ْﻢ ﻓ َ ﺎ ﻗ ْ ُ ﺪ ُ ر وا ﻟ َ ﻪ‬
Artinya : “Janganlah kamu sekalian memulai shaum ,sehingga melihat
hilal, dan janganlah kamu sekalian berbuka sehin gga meliha t hilal,
maka jika terhala ng atas kamu sekalian, maka takdirkanlah”
Dan b eberapa ayat atau h adits yang lain yang b erkaitan d engan
penentuan awal bulan.
3. Rumus-Rumus Perhitugan P ene ntuan Aw al Bul an kam ariah 65
a. Menentukan k apan terjadi ijtima’66 .
65

Rumus- rumus t ersebu t diad opsi da ri mode l perhit ungan aw al bu lan dengan

menggunakan dat a Ephemerish(Khazin, 2004:155-160)

KOMUNITAS

46

Volume 20 Nomor 20, September 2015

1. FIB (Fraction Illumination Bulan)
Mencari data Fraction Illumination Bulan (derajat, m enit, dan
detik) terkecil di d ata Ephem eris pada tanggal yang dimaksud,
dalam s atuan jam menurut waktu GMT.
2. ELM (Ecliptic Lon gitude Matahari)
Mencari dat a Ecliptic Longitude Matahari (deraj at, m enit, dan
detik) di d ata Ephem eris pada tanggal yang dimaksud, dalam
satuan jam menurut waktu GMT
3. ALB (Apparent Longitude Bulan)
Mencari data Apparent Lon gitude Bulan (d erajat, menit, dan
detik) di d ata Ephem eris pada tanggal yang dimaksud, dalam
satuan jam menurut waktu GMT
4. Sabaq Matah ari (SM)
Mencari kecep atan gerak Matah ari pada Ecliptic Lon gitude
Matahari perjam dengan satuan derajat, menit dan detik
5. Sabaq Bulan (SB)
Mencari kecep atan gerak Bulan pad a Apparent Longitude Bulan
perjam de ngan satuan derajat, menit dan detik
6. Rumus menen ukan sa at terjadi ijtim a'
= Jam FIB (GMT) + ( ELM - ALB ) + 7.00 (WIB)
SB - SM
b. Menenentuka n kap an matahari terben am

66

Ijt imâ‘ at au konjungsi bula n dan mat a hari didefinisikan dengan “ the moon is in
conju nct ion w ith the sun w hen t he tw o bodies nave t he same celest ial
longitu de” (Bak er,1953:127)

KOMUNITAS

47

Volume 20 Nomor 20, September 2015

1. Rumus : 12 – eo + (t o / 15) – KWD
2. Tinggi matahari : h m = 0 o – SD – Ref – Dip
3. Sudut wakt u matah ari : cos t = - t an p tan δ m + sin h m / cos p /
cos δ m
4. Menentukan Azimut Matahari : Cotan A = - sin p / tan t o + cos p
tan δ / sin t o
5. KWD ad alah s elisih wakt u antara waktu lokal da n wakt u wilayah
c. Menentukan Pos isi Bulan
1. Menentukan Sudut Wakt u Bulan ( t b ) Rumus t b = ARm – ARb + t m
2. Tinggi Hakiki Bulan Sin hb = sin p sin δ b + cos p cos δ b cos t b
3. Tinggi Hilal li hat Rumus : h' b = h b – Par + SD + Re f + Dip
4. Ho rizo ntal Parallax bulan (Hp b ) : cos h b x Hp b
5. Lama Hilal di atas Ufuq (LHUc) = h ’b x 0o 4’
6. Menentukan Azimut Bulan : Cotan A = - sin p / t an t b + cos f t an
δ b / sin t b
B.

Kr iteria Wujud al-Hilal di PD Persis Cia njur.
Pembah asan kr iteria Wujud al-Hilal di PD Pers is Cianjur secara
umum tidak bisa lepas dari kr iteria Wujud al-Hilal Muhamm adiyah,
karena satu-satunya or mas yang m asih bert ahan samp ai sekaran g masih

KOMUNITAS

48

Volume 20 Nomor 20, September 2015

menggunakan kr ieria in i adalah Muha mmadiya h 67 , dan yang p aling
pertama mengun akannya kemudian diikuti oleh Pers is 68 .
Wujud al-Hilal ad alah sebuah kr iteria p enentu an awal b ulan
kamariah, d engan m endasark an pada hasil p erhitungan hisab se mata,
dimana dalam rumusa nnya m enentukan posis i bulan (hilal) seba gai
penentu awal bulan k amariah, tidak untuk dilihat, tapi cukup dianggap
ada, wal aupun h anya sedikit, atau Wujud al-Hilal adala h kr iteria
penentuan awal bulan kam ariah d engan menggun akan d ua syarat :
Ijtima’ telah terjadi s ebelum Matahari terben am, d an Bulan terbenam

67

Krite ria w u jud al-hilal sebagai krite ria t erakhir yang dipil ih o leh M uhammadiyah
sejak Ramadan 1388 H/ 1968M mengalami pe rkembangan. Semula yang dimak sud dengan
w ujud al -hilal itu adalah mat ahar i t erbenam lebih dahulu da ripada b ulan, yang berart i
ukuran yang di jadikan pembat as t erbe nam it u adalah uf uk mar’i. Sekarang yang dimak sud
dengan w uju d al-hilal itu a dalah apabila pada saat mat ahar i t erbenam it u bu lan (hila l)
berada di at as u fuk hakiki. Namun demikian, bukan bera rti k r ite ria w u jud al- hilal dengan
pat okan ufuk hakiki sudah t idak memiliki persoalan. Jika yang dimak sud w ujud a l-hila l
adalah mat ahari t erbenam lebi h da hulu daripada bulan set elah t erjadi nya ijt ima‘,
bukankah seharusnya “ ufuk ma r’i” lah yang har us di jadikan pa t okan, karena paralaks bulan
pada posisi bu lan dengan ufuk relat if besar? Bisa t erjadi berdasarkan pat okan ufuk hakiki
hilal sudah posit if di a t as ufuk ( w uju d), padahal bulan lebih dahul u t erbenam dari
mat ahari karena fen omena t erbe nam acuan nya adalah ufuk ma r’i. Unt uk itu, kr iter ia
w ujud al-h ilal dengan pat okan hila l posit if di at as uf uk hakiki me nsyaratkan dua hal: 1)
ijt imâ‘ t erjad i sebel um mat ahar i t erbenam; dan 2) posisi bu lan pada saat mat ahar i
t erbenam sudah be rada di at as uf uk hakiki. Dengan kat a lai n, kri t eria w u jud al-h ilal it u
mensyaratkan t erjad inya ijt imâ‘ plus posisi b ulan posi t if di at as ufuk hakiki pada saat
mat ahari t erbenam. Hal ini sebagai yang dit egaskan oleh Dja rnaw i Hadikusum o dengan
pernyat aannya: “ .. . lebih t epat dan p rakt is pe doman yang digu nakan unt uk me netapkan
t anggal 1 ialah w uj ud a l-hila l, dan yang leb ih obyekt if pula. Bagaimanapun, k eliha t an a t au
t idak, apabila hilal sudah w ujud past i saat it u sudah masuk t anggal sat u bulan
baru” (Sarifu din, 2006)
68
Hasil w aw ancara dengan Ust . Iqbal Sant oso (Ketua Dewan Hisab dan Ruky at
periode 2010-2015)

KOMUNITAS

49

Volume 20 Nomor 20, September 2015

setelah Matahari terbenam maka p ada petan g hari ters ebut dinyatakan
sebagai awal kamar iah, tan pa m elihat berap apun s udut ketin ggian Bulan
saat Matahari terbenam.
Wujud al-Hilal yan g dipakai oleh Pers is, m enamb ahkan syarat
“Seluruh Indonesi a” d an men ggun akan ufuk m ar’i. Jadi lengkapnya ad alah
kr iteria Wujud al-Hilal Seluruh Indonesia 69 dengan Ufuk Mar’i.
Di lihat da n s egi bah asa dalam beb erapa hadis yan g memer intahkan
memulai dan mengakhir i saum (l dul-Fitr i) menggunakan kata : Raa-Yar ā
menurut kaidah b ahasa Arab, kata itu termasuk lap adz musytarak
(mempunyai beberap a art i), da n huruf "Lam " d alam hadis tersebut di at as
adalah "Litt a'kid" bukan " Litta'lil” (Syaukany, tt : IV : 202) .
Selanjutnya ap a yang diseb ut dengan hilal?, “Orang-or ang bertanya
kepadamu (Muhamm ad) te ntang hilal-hilal. Jawabla h olehmu, hilal-hilal
itu adalah mawāqit (pert anda wakt u) u ntuk kepent ingan m anusia dan
ibadah haji”.(QS.al-Baqarah:189) . Mawāqit jama dari k ata "Miqot” yang
artinya batas waktu, at au Hilal itu pertanda wakt u (awal) bula n (Sayis i, tt
: I :99)
Dipilihnya ufuk mar' i seb aga i miqat makani d alam p enetapan
awal bulan kamariah didas arkan pada :

a. Kesepakatan para ahli hisab bahwa matah ari dinyatakan telah
terbenam, ap abila titik pusatnya sudah memasuki daerah civil twilight
minimal 1° di bawah ufuq mar’i. Ufuk ters ebut batas awalnya ad alah
69

Jika di w ilay ah Indonesia pal ing Timu r h ilal su dah w u jud( posit if), maka dianggap
seluruh w ilayah Indo nesia sudah w uj ud, jadi sebagai penen t unya adalah w ilay ah Indonesia
paling Timur.

KOMUNITAS

50

Volume 20 Nomor 20, September 2015

ufuq mar' i dan sa at mulai tibanya sh alat m agrib.

b. Ketinggian hilal di atas ufuq hakiki dikor eksi dengan kerend ahan
ufuq(Dip),

dengan

pembiasan

cahaya

(Re faks i),

dengan

semidiameter, dan d engan p aralaks .
Rukyat, dalam pengertian melihat hilal d engan mata telanjan g bukan
ibadah mah dah, seb ab c ara rukyat tid ak diatur oleh syara', rukyat
merupakan salah satu up aya p embuktian dari his ab, dalam pe ngertian
melihat hilal dengan ilmu , apakah hilal terlih at ata u tid ak. Jika hilal sudah
wujud, walaupun tidak terlihat d engan m ata telanjang, mak a hilal itu
tetap wujud.
Mengenai hadis tentan g rukyat (Bukhārī,1407 ,juz II:674) Ali Ghazaly
berpendapat, bukan

perintah m elakukan

rukyat, tetapi perintah

melakukan shau m dan berbuka (b erhari raya) setelah

diketahui

kemunculan hilal seba gai p ertanda telah masuknya awal b ulan. Had is
ters ebut s usunannya sama de nga n Firma n All ah SWT (Q.S, al-Is ra’ : 78)
“Dirikanlah olehm u (Muh ammad ) s halat p ada wakt u telah terg elincir nya
matahari samp ai malam gelap

dan dirikan pula shalat shubuh,

sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan”.
Ayat di at as m erupakan perintah mesti mendirikan shalat wajib yang
lima wakt u, mulai d ari dzuhur, yaitu setelah tergelincir nya m atahari,
bukan perintah m esti menggeser-geser m atahari atau men ggelincirk an
matahar.
Dengan b erlandaskan pada Firman Allah SWT (Q.S, Yunus : 5)
Sutr isno Muliawan Syah berpend apat b ahwa : ayat ini lebih tegas
memberi hikmah dari ketentua n manjilah-m anjilah dar i Allah SWT, yakni

KOMUNITAS

51

Volume 20 Nomor 20, September 2015

untuk mengetahui bilangan tahun dan hisab, bahkan kita seh arusnya
merasa m alu bila kita bersikukuh untuk memaksakan penggun aan
metoda rukyat, man akala metoda hisab telah d apat kita gun akan.
Tidak dianggap keluar d ari kor idor bahasa, manak ala m emah ami
sabda Rasul (Bukhārī,1407, juz II : 674), bahwa kata rukyat bukan hanya
terbatas melih at d engan mata telanjan g saja dalam mengamati k ehadiran
bulan/ hilal. Namun men gam ati dengan pikiran (ilmu ) itu pun rukyat.
Bahkan m erukyat bil ’ilmi (Hisab) merupaka n b agia n d ari rukyat itu
sendiri, sert a in ilah esensi sesun gguhnva dari sabd a Rasulullah SAW 70 .
Sukandi, S., (1985:14 ) 71 mengatakan : “Melihat itu dengan mat a atau
dengan akal, j adi melih at dengan akal d alam ur usan ini dinam akan hisab.
Begitu pula d engan kalim at ”syahida ” d alam ayat yan g m emerintah
melihat p enanggalan bulan, ya ng b erarti bersaksi. Menyaksikan it u tidak
selamanya dengan mata , bole h d engan akal atau dengan keyakinan
sepert i kita bersaksi tentang adanya All ah. Bahkan ketika mendu ng, Nabi
SAW memerintahkan untuk menghitung seba gaim ana mestinya”.
C.

Rumusan P enentu an Aw al Bula n

Qam ariah Menurut

Syar’i Dan

Ast ro nomi
1.

His ab dan rukyat.
His ab dan rukyat memiliki kedudukan yang sama, masingmasing berdiri sendiri bisa dijadikan dasar penetapan ABK, t ermasuk

70

Supaya benarlah seseorang menghi t ung iddah nya, kapan mulai shaum Ramadan,
kapan harus be rhar i raya, kapan harus mengel uakan zak at simpanannya, dan sebagainya.
71

Buku Fiqh Islam be rbahasa Sunda

KOMUNITAS

52

Volume 20 Nomor 20, September 2015

di dalamnya wakt u-wakt u ibadah. Namun persoalannya di sini,
bukan hanya sekedar akurat, tepat dan sesuai dengan fakt a,
melainkan lebih dari itu menyangkut sah atau tidaknya suatu
peribadatan yang st andarnya adalah hukum syari‘i. Apakah hisab,
memiliki dasar hukum dan argumen-argumen syar‘i sebagaimana
rukyat.
Hasil hisab mungkin berbeda dengan hasil rukyat, yang
sebenarnya tak lain hanyalah pengakuan or ang melihat atau tidak
melihat hilal, tetapi mest i sesuai dengan fakt a alam yang terjadi,
karena hisab (ilmu falak/ astr onomi) dirumuskan berdasark an hasil
pengamatan (observasi) semenjak ratus an tahun yang lalu72, yang
tingkat kesalahannya terus diperbaiki sampai sekarang dengan
menambahkan kor eksi-kor eksi, dan dari pengalaman pengamatan
ters ebut dis usun secara sist ematis sehingga menjadi sebuah disiplin
ilmu yaitu Ilmu Falak (Astr onomi)
Jika dilihat dari segi epist emologi ilmu, bahwa pengetahuan
hisab

didapat

dari

pengalaman-pengalaman

pengamatan

yang

beratus-ratus tahun lamanya lewat metode ilmiah sehingga menjadi
sebuah ilmu his ab (asr tonomi).
Berkaitan dengan hal ters ebut, Suriasumantri, J.,(1982:119)
meyatakan bahwa metode ilmiah, merupakan pros edur dalam

72

Pernyat aan mengenai h ilal dalam naskah kun o Hind u t erdapat dalam SuryaSiddahanta dan Pancha-Sidd hantika of Varaha M ihira t ahun 500 M . Kedua kit ab Hindu ini
secara agak terpe rin ci me ngemukak an pengamat an Hilal dan perhit u ngannya. Jarak busu r
yang disyarat kan 48 menit at au 12°.(I lyas, 1984:83)

KOMUNITAS

53

Volume 20 Nomor 20, September 2015

mendapatkan pengetahuan yang disebut dengan ilmu. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu, sebab ilmu merupakan
cara medapatkanya harus memenuhi syarat-syara tert entu. Syaratsyarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
degan ilmu, tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metoda
ilmiah. Metoda menurut Senn, merupakan suatu pros edur atau cara
mengetahui

sesuatu,

yang

mempunyai

langkah-langkah

yang

sist ematis. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian
dalam memepelajari peraturan-peraturan yang terdapat

dalam

metode ters ebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metode ini
secara falsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epist emologi.
Epistemologi merupakan suatu pembahasan mengenai bagaimana
kita

mendapatkan

pengetahuan?

apakah

pengetahuan

:

apakah

hakikat, jangkauan

dan

sumber -sumber
ruang

ingkup

pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk medapatkan
pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia.
Perlu diketahui juga keberadaan hisab dan rukyat ibarat dua
sisi mata uang, yang saling melengkapi. His ab sebagai pengontrol
rukyat, karena untuk kondisi sekarang untuk melaksanakan rukyat
harus diperhit ungkan dulu posis i hilal dengan cara menghisab posis i
hilal untuk memprediksi posis i dan wakt u kemunculan hilal, berbeda

KOMUNITAS

54

Volume 20 Nomor 20, September 2015

dengan kondisi jaman Nabi, ketika datang seor ang ‘Arobiyun73
kepada Nabi melaporkan, bahwa dia melihat hilal, dan Nabi
mengklarifikasi cukup

dengan sumpah (Syahadat), setelah

itu

diumumkan bahwa besoknya mulai pelaks anaan shaum Ramadan,
tapi untuk kondisi sekarang apakah cukup hanya dengan sumpah
saja.
Untuk kondisi sekarang sumpah saja tidak cukup mengingat
banyak laporan-laporan mengenai hilal s angat kont ro ver si walaupun
sipelapor yang melihat hilal ters ebut s udah disumpah, maka peranan
hisab disini sangat penting sekali sebagai penguat klarifikasi data
mengenai keberadaan hilal.
Sebenarnya, apa yang dijadikan rujukan hisab, secara umum
dapat dikatakan sama dengan yang dijadikan rujukan rukyat.
Perbedaannya y ang pokok terletak pada pemahaman dan penafsir an
terhadap sumber atau dalil hukum, yakni al-Quran dan al-Hadis.
Akan tetapi dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan yang cukup
menarik . Ru`yat disebut-sebut secara eksplisit dalam as-Sunnah,
tetapi tidak disebut-sebut dalam al-Quran. Sebaliknya hisab secara
eksplisit disebut-sebut dalam al-Qur’an tetapi tidak dalam Sunnah.
Har us diakui bahwa hisab bukan bagian dari masalah ibadah
(syar’i) tapi bersipat keduniaan, karena sebelum Is lam hadir ilmu
hisab sudah ada, terbukti dengan

adanya data-data

tentang

keterlihatan hilal (Ilyas,1984:83), yang dirumuskan dalam bentuk
73

’ Arobiyy un dit er jemahkan sebagai arab badui at au arab kampung(M unaw ir,

1992:912)

KOMUNITAS

55

Volume 20 Nomor 20, September 2015

rumusan matematis. Maka ketika ada pernyataan dari Nabi tentang
umatnya pada wakt u itu, Dia bersabda ”Sesungguhnya umatku
keadaannya Ummi, yaitu tidak bisa menulis dan membaca”. Dari
pernyataan Nabi ters ebut, bisa disimpulkan bahwa Nabi sudah
mengetahui

tentang

keberadaan

perhitungan

(hisab)

untuk

menentukan ABK, tapi dikarenakan pada wakt u itu ummatnya
banyak yang tidak bisa menulis dan menghitung, maka yang dipakai
sebagai sar ana untuk menentukan ABK adalah rukyat karena rukyat
lebih praktis dan mudah, t erbukt i dengan lapor an seor ang ‘arābiyy un
(badui) yang melihat hilal, dan laporannya diterima oleh Nabi setelah
disumpah. Jika pada wakt u itu umat Nabi Muhammad sudah bisa
menulis dan menghitung, ada kemungkinan menggunakan hisab
sebagai sar ana nntuk menentukan ABK.
Untuk kondisi sekarang sudah banyak umat muslim yang bisa
menghitung secara akurat 74 mengenai penentuan ABK, maka hisab
sudah bisa digunakan, dengan s yar at memperhit ungkan posis i bulan
supaya bisa dilihat, bukan hanya memperhit ungkan keberadaannya,
karena asal dari penentuan ABK adalah rukyat, dan arti asal dari
rukyat dengan bentuk tungalnya adalah “Raâ” yang mempunyai art i :
1) melihat, 2) dapat dilihat, 3) mengerti, 4) menyangka, 4) menduga,
5) mengira, 6) bermimpi(Warson, 1985:460), kalaupun ada pendapat
bahwa “Raā” diartikan melihat dengan ilmu, maks udnya adalah hisab

74

M acam-macam perhit ungan hisab mulai dari h isab u rfiy samapai ke hisab

kont empore r at au softw a re yang sudah ja di, sepert i WINHISAB, Accurat e Time, dll

KOMUNITAS

56

Volume 20 Nomor 20, September 2015

itu sendiri, tetapi dalam praktek perhitungannya, memperhit ungkan
posis i hilal supaya bisa dilihat, bukan hanya keberadaannya saja.
Berbeda dengan rukyat yang banyak disebutkan dalam alHadis, dilihat dari redaksinya menunjukan kalimat perintah, dimana
dalam

kaidah

ushul

fiqh “asal

dalam

perintah

menunjukan

wajib”(Hakim,t.th:15), atau larangan dimana dalam k aidah ushul fiqh
“asal dalam lar angan menunjukan haram” (Hakim,t.th:30),
Jika melihat redaksi sebagian hadis-hadis tentang rukyat yang
disebutkan di atas, yang menjadikan wajib bukan rukyatnya tetapi
shaumnya, tapi jika melihat kaidah “Tidak sempurna suatu kewajiban
kecuali dengan yang lain, maka yang lain ters ebut menjadi wajib”,
maka jika dikaitkan dengan hadis-hadis rukyat ters ebut, shaum itu
wajib tetapi shaum tidak bisa dilaks anakan jika tidak mengetahui
kapan w aktu memulai dan mengakhiri shaum ters ebut, maka rukyat
merupakan sarana untuk menentukan awal dan akhir shaum,
hukumnya menjadi wajib.
Selanjutnya, yang dimasud dengan
menentukan

kapan

memulai

dan

rukyat adalah untuk

mangakhiri

shaum,yang

dilaks anakan pada tanggal 29 bulan berjalan, pada saat matahari
terbenam, jika dalam rukyat itu hilal terlihat maka besoknya shaum
atau berhari raya, tetapi jika hilal tidak terlihat/ terhalang, maka
genapkan/ sempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari, berarti
melaksanakan shaum atau berhari raya pada hari selanjutya.
Seandainya pada hari ke 30 hilal tidak terlihat/ terhalang, t idak mest i
digenapkan/ atau disempurnakan lagi sehingga umur bulan menjadi

KOMUNITAS

57

Volume 20 Nomor 20, September 2015

31 hari, karena umur 1 bulan itu 29 hari dan 30 hari(Muslim,t.th: juz
II : 759).
2.

Hilal
Dalam pemb ahasan selanjutnya, tentan g pe nentuan ABK perlu
juga dijelaskan men genai de finisi tenta ng h ilal, karena hilal
merupakan objek yang utama dalam pelaksanaan p enentu an ABK.

a. Dalam Lisān al-'Arabī dijelaskan yang dimaksud hilal adalah bulan sabit
pada hari pertama dan kedua bulan kamariah, atau dua malam akhir
bulan kamariah (Ibn Manzhur, t.th : XIII:227-230).

b. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,m enurut kamus ini, kata hilal berarti
bulan sabit atau bulan yang terbit pada tanggal satu bulan kamariah
(DEPDIKNAS, 1995:307)

c. As-Şabunī dalam tafsirnya menjelaskan tafsir ayat tersebut sebaga berikut:
"Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad tentang hilal mengapa ia
tampak lembut semisal benang selanjutnya membesar dan terus membulat
kemudian menyusut dan melembut sehingga kembali seperti keadaan
semula ?"( as-Şabūnī, t.th, I:125)

d. Sementara itu Sayyid Qutb terkait dengan ayat tersebut menjelaskan
sebagai

berikut: "Maka m ereka b ertanya tentang ahillah,

bagaimana ke adaa n ahillah ? Mengapa kead aan bula n ta mpak
menjadi hilal lalu membesar sehingga bulat m enjadi purnam a
selanjutnya berangsur menyus ut sehingga ke mbali m enjadi h ilal
lagi dan kemudia menghilan g tidak tamp ak untuk s elanjutnya
menamp akkan diri m enjadi hilal (bulan b aru) ?"(Sayyid Quthb,
I:256)

KOMUNITAS

58

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Dari berbagai literatur yang telah disebutkan di atas, arti dari
hilal ad alah bulan sabit p ertama, bulan yang terlihat pa da awal bulan,
atau goresan cah aya yang san gat tipis, dan tid ak ada satupu n yang
menjelaskan arti hilal seba gai wujud, d alam artian ad a tapi tidak
terlihat. Maka bisa kita p ahami subst ansi arti dari hilal itu ad alah
keterlihatannnya,

dan

bukan

m enjelaskan

posis i

atau

keberadaan nya.
Penemp atan kata bulan d alam bah asa Indonesia tidak
terlalalu berpengaruh, k arena dalam b ahasa Indon esia hanya ada satu
istilah bulan, yaitu bulan itu sen diri, seb agai perbandin gan d alam
bahasa In ggris , untuk m enyatakan bulan seba gai pertanda wakt u
ditulis month, dan bulan seb agai fisik/ bend a ditulis moon. Namun di
dalam b ahasa Ar ab ad a 4( empat) maca m arti bulan, d iantaranya
Qamar, Badr, Hilāl , Syahr. Jika diterjemah masin g-masing ked alam
bahasa Indon esia a dalah
1)

Qam ar diart ikan seb agai fisik/ b enda lan git atau bulan sebagai
satelit dari bumi, dan jam aknya ad alah Aqmar.(Warson,t.t h : 1154)

2)

Ba dr diartikan sebag ai bulan purnam a.(Warson, t.th : 57)

3)

Hilāl diartikan sebagai bula n sabit , bulan yang terlihat pada awal
bula n.(Warson, t.th : 1516

4)

Syahr diarikan sebagai tanggal bula n, bulan

bagia n dari

tahun.( Warson,t.th : 693)
Keempat istilah bula n yang disebutkan di atas, berbed a
penggunaa nnya, di dalam al-Qur’an, lap adz Qamar diartikan seba gai
bulan bend a langit a da di dalam (QS.Yunus : 5) QS. Ar -Ra’du) (QS.

KOMUNITAS

59

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Luqman : 29) ( QS. Yāsīn : 39) (QS. Yāsīn : 40 ) (QS. Al-An' âm : 96) (QS.
Az-Zumar : 5) (QS. Al-Anbiya : 3 3), lapa dz Syahr seba gai ukur an w aktu
(QS. Al-Baqarah : 185 ) (QS. Al-Baqarah : 197) (QS. At -Taubah : 36),
sedangkan lap adz Badr dan lapadz Hilal, lebih tepat digun akan u ntuk
mejelaskan fase-fase bulan atau b entuk-bentuk bulan yan g terlihat
dari Bumi, sep erti gamb ar berik ut.
Berbagai literatur dan komentar -komentar yang dis ebutkan
di at as, b isa disimpulkan bahwa yan g disebut hilal itu ad alah
penamp akan bulan palin g awal yan g terlihat dari b umi, yang
diakibatkan ol eh pantulan sinar matahar i, berar ti subsatansi dari hilal
itu adalah keterlihatan nya, buka n keb eradaannya.
Jika deimikian adanya, maka bisa disimpulkan bahwa kriter ia
wujud al-hilal tidak sesuai s ecara syar’i d an astr onomi, karena hilal
merupakan salah satu fase bula n atau bentuk bula n yang pertama
sekali terlihat dari Bumi. Kalaupun t etap mau dipaks aka n bahwa
keterlihatan h ilal bukan seb ab dari pergantian bulan, maka n ama
kr iteria yang lebih tepat yang lebih tepat ad alah KRITERIA WUJUD ALQAMAR, sebab pada dasarnya q amar itu tidak terlihat, k arena qamar
sebagai fisik bulan tidak m empunyai ca haya sendiri, tapi ketika bulan
terlihat akibat dari p antulan sinar matah ari, mak a nama bulan itu
sendiri berubah n amanya sesuai dengan fase-fasenya.
3.

Ufuk (Hor izon).
Pembah asan u fuk da n t erbenam Mata hari san gat p enting s ekali
dalam melaksan akan p enentu an ABK, karen a u fuk atau disebut ju ga
hor izon, adalah temp at yang dijadika n tempat pengamatan, untuk

KOMUNITAS

60

Volume 20 Nomor 20, September 2015

menentukan posis i hilal, b egitu ju ga terbenam Mata hari m erupakan
wakt u yang pas s ekali untuk melih at hilal. Mengenai ufuk yang t elah
dijelaskan di bab II, bahwa ufuk itu ada tiga macam ; 1) u fuk h akiki 2)
ufuk hissi 3) ufuk mar’i.

Ufuk hissi dan ufuk h akiki tidak bisa

dibuktikan, karena kedua ufuk ters ebut bersifat im ajiner yan g ada
dalam t eori saja, se dangk an u fuk mar’i ad alah ufuk yang nyata yang
digunakan dalam pengamatan hilal, dan perbeda an d engan ufuk
hakiki adalah m enamb ahkan k or eksi-kor eksi, s etelah dipero leh nilai
ketinggian hilal d ari ufuk hakiki, dan kor eksi-kor eks i ters ebut
adalah: Dip, Refraksi, Semidia meter,dan Parall aks.
Dalam m enentukan ABK, Kr iteria Wujud al-Hilal PD P ersis
Cianjur men ggun akan u fuk mar’i seba gai d asar men gukur ketinggan
hilal, pada wakt u terben am matah ari, d an argumen t ersebut
didasarkan pad a kemunculan hila i di at as ufuk mar' i, m erupakan
pertanda waktu m enurut syar' i dimulainya awal bulan kamariah .
Sesungguhnya k alau dian alisa s ecara b enar, akan terlihat
kerancuan dalam argume n-argumennya , sebab kr iteria wujud alhilal, mem punyai keyakinan b ahwa keterlihatan hilal bukan
subst ansi, tapi yang menja di subst ansi dari p enentua n ABK ad alah
keberadaan hilal itu sendiri(krit eria non penampak an), tet api dalam
perhitungan untuk men entukan ketinggian hilal men ggun akan ufuk
mar’i, yan g secara notab ene b ahwa ufuk mar’i adalah temp at yang
dijadikan seb agai tem pat p engukur an ketingian hilal untuk d ilihat,
karena m enamb ahkan unsur -unsur Dip, Semidiameter, Refraks i d an
Paralaks.

KOMUNITAS

61

Volume 20 Nomor 20, September 2015

a. Ter benam Matah ari.
Waktu yang di p akai untuk m enghitung ketinggian hilal
adalah ketika terbenam Matah ari, seb etulnya ba nyak alasan
kenapa h arus wakt u matahari terbenam, diantaranya karen a
wakt u Matahari terbenam m erupakan wakt u p erpindaha n hari
menurut kalend er kamariah, tetapi alasan ters ebut tidak ad a
argumen yan g rasional atau menguatkan , baik dari sisi syar’i75
ataupun astr onomi.
Ada alasan yan g lebih rasional ke napa wakt u terbenam
matahari

dip akai

sebagai

wakt u

u ntuk

men entukan

posis i/ ketinggian hilal (hisab) atau untuk melakuka n rukyat,
untuk melihat hilal:
1)

Ketinggian Matahari, wakt u terben am sebesar (-1 o ) atau 1 o di
bawah ufuk dan dirumus d ari h = -(SD+R+D)

2)

Ter benam matah ari merupak an wakt u perpind ahan dari
siang ke malam, yang berarti perpind ahan dari teran g k e
gelap , dan dikatakan terbenam apabila m enurut panda nga n
mata pir in gan atas matahari bersinggu nga n d engan u fuk
(Khazin, 2004:91)

75

Belum ada kesepakat an y ang jelas megenai perp indahan hari menu rut syar’i. Ada
yang menyebutkan bahw a hari dimula i dari M at ahari t erbe nam(maghrib) sampai
t erbenam ma t ahari ber ikut nya. M alam mendahulu i siang berlan daskan dari ay at al-Qur’an
(QS. Yāsīn : 40), t api ada juga yang menyebutkan dari t erbit fajar(sh ubuh), pendapat ini
mengambil pengert ian dari pe rintah d imulai nya berpuasa secara harian, sebagaimana
firman Al lah (QS. Al-Baqarah, 87) (DEPAG,1994:8-14)

KOMUNITAS

62

Volume 20 Nomor 20, September 2015

3)

Tidak mungkin melakuka n p engamatan hilal pada sia ng hari
atau ketika matah ari masih berad a diatas ufuk, karen a
intensitas cah aya h ilal sangat red up sehingga sinarnya aka n
terkalahkan oleh cahaya Matahari ya ng sangat terang.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari fokus masalah yang dian gkat dalam penelitian ini
maka d apat diambil b eberap a kesimpulan dalam penelitian in i :
A.

Pemah aman kr iteria w ujud al-hilal di PD Pers is Cianjur baik s ecara syar’i
dan astr onomis dianggap kurang tepat untuk dijadik an s ebagai alat untuk
menentukan awal bulan kamariah , h al t ersebut dilatar belakangi kur ang
tepatnya memakn ai kata Ra’a d ari hadis-hadis tentang rukyat, sehingga
mengakib atkan banyak p emasalahan, b aik dari sisi syar’i maupun
astr onomi, antara lain :
1.

Penger tian hilal, dimana d alam mem ahami hilal, bahwa keterlihatan
hilal buk an subst ansi dalam penentuan awal bulan kamariah , d an
yang m enjadi subst ansi dalam pene ntuan awal bulan ka mariah
adalah cukup dengan keberada an hilal di atas ufuk, seberapapun
tinggi hilal.

2.

Penger tian hisab, di man a pen gert ian hisab diambil dari pe mahaman
bahwa melihat itu tid ak harus dengan m ata lan gsung, t api bisa
dengan ilmu , d an m elihat d engan ilmu it u dinam akan dengan hisab,
dicontohkan dengan mempercayai ad anya Allah, tidak harus melihat,
cukup dengan ilm u.

KOMUNITAS

63

Volume 20 Nomor 20, September 2015

3.

Penger ian rukyat, bahwa rukyat bukan bagian dari ib adah, s ebab
yang menjadi ibadah ad alah m elaks anak an saumnya, se hingga
keberadaan rukyat tidak dipeluk an dalam p enentu an awal b ulan
kamariah.

4.

Sedangkan dari sisi astr onomi, kur ang tep atnya m ene mpatkan
argumen-argumen astr nomi tentang u fuk, terbenam matah ari dan
makna h ilal itu sendiri menurut astr onomi, walaupun secara t eori
argumen-argumen itu benar tet api salah m enemp atkannya.

B.

Jawaban kedua d ari fokus p enelitian ini a dalah ba gaim ana merumusk an
penentuan awal bulan kam ariah yan g sesua i dengan syar’i dan ast ro nomi,
bisa disimpulkan sebagai b erikut :
1.

Menentukan awal bulan kam ariah, terutama bulan Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah m erupakan b agia n dari ibadah, karen a terkait dengan
pelaks ana an saum, idul fitri, idul adha dan pelaksaan haji, b erarti
dalam p elaks ana annya h arus mengacu kepad a kaid ah-kaidah syar’i
tentang ib adah .

2.

Menentukan awal bulan kam ariah secara astr onomi, p ada dasarnya
adalah m enentuka n pos isi bulan untuk dilihat pada tanggal 29 b ulan
kamariah setelah m atahari terbenam , apakah bulan terlihat atau
tidak, dan jika bulan terlihat m aka itulah yan g dinam akan dengan
hilal, dan untuk men entukan keterlihatan hilal bayak aspek-aspek
astr onomi yang harus dip erhitungkan.

KOMUNITAS

64

Volume 20 Nomor 20, September 2015

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ibn Hanbal Abu ‘Abdullâh al-Šayb ānī, t .th, Musnad al-Imām Ahmad ibn
Hanbal, Mesir : Dār al-Qurtubat.
Ahmad ibn Syuayb Abu `Abd al-Rahman al-Nasa'i, 1991, Al-Sunan al-Kubra,
Bayr ūt: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.
Ahmad ibn Syuayb Abu `Abd al-Rahman al-Nasa'i, 1986, Al-Mujtaba min alSunan, Halab: Makt ab al-Mathbu`at al-Is lamiyah.
Ahmad ibn al-Hus ayn ibn `Ali ibn Mus a Abu al-Bakr al-Bayhaqi, 1994, Sunan
al-Bayhaqi al-Kubra, Makkah al-Mukarr amah : Makt abah Dar al-Baz.
Ali ibn `Umar Abu al-Hasan al-Daruqut nī al-Baghdadi, 1996, Sunan alDaruqut nī, Bayr ūt : Dar al-Ma`rifah.
As-Şabūnī.,A, t.th, Rawā’i’u al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān.
Bayr ūt : Dar el-Fikr .
Arifin Zainul, 2000. Analisis Terhadap Pendapat al-Qalyiibi tentang Imkan ar-Rukyat
DalamPenentuan Awal Bulan Qamariyah, skripsi sarjana tidak diterbitkan,
Yogyakarta: 1A1N Sunan Kalijaga,
Azhari, Susiknan. ,"Saadoe'din Djambek dan Pemikirannya tentang Hisab", Jurnal alJami'ah. No.61,thn 1998
Azhari, Susiknan.,"Revitalisasi Studi Hisab di Indonesia", Jurnal al-Jami'ah. No. .6 5 /
VI/ 2000.
Badan

His ab & Ru'y ah, 1981, Almanak His ab Ru'y ah, Jakart a: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.

Basit, Wahid., "Putusan Majlis Tar jih tentang Aw al dan Akhir Ramadlan",
makalah disampaikan pada Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan
Qamariyah Model Muhammadiyah, 19-20 Oktober 2002 di MSI UMY

KOMUNITAS

65

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Bisr i, Cik Hasan., 2003, Model Pen elitian Fiqh Jilid I, Paradigma Penelitian Fiqh
dan Fiqh Penetian, Jakarta :Prenada Media.
Br uin, F, 1977, The first Vis ibility of The Lunar Crescent, t. tp : Vis tas in
Ast ro nomi.
Cresw ell, John W.,1994, Research Design Kualitative
Approaches, Jakarta : KIK Press

and

Kuantitative

Departemen Agam a RI, 2008. Kebijakan Pem erintah Dalam Penetap an Aw al
Bulan Qamariy ah di Indonesia, , Jak arta,Dirjen Bimmas Direktor at
Urais dan Pembiaan Syar iah
Departemen Agam a RI, 1994, Pedom an P erhitungan Aw al Bul an Qamariyah
Dengan Ilmu Ukur Bola, Jak arta. Pr oyek Pembina an Bad an Perad ilan
Agama Is lam.
DEPDIKNAS, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakart a: Pusat Bahasa,
Dinas Hidr o-Oseanografi, 1996, Alman ak Nautika, Jakart a
Djamaluddin, T., 2005, Men gga gas Fikih Ast ro nomi; Telaah Hisab Ru'yah da n
Pencarian Solusi Perbedaa n Har i Raya, Bandun g: Kaki Langit .
Fatoohi, L.F., Stephenson. F.R.,Shetha, S.D., 1998, The Danjon Limit of Firs t
Vis ibility of The Lunar Crescent,Department o f Phys ics, Universit y of
Durham.
Fatwa MUI No. 2 th 2004, 2008. P eneta pan Aw al Ram adan , Sawal, da n
Zulhijjah, Jakart a, Depart emen Agama RI, Dirjen Bimmas Direktor at
Urais dan Pembiaan Syar iah,
Ibn Majah, al-Hafidz Abi Abdillah Muhamad bin Yazid al-Qozwin, as-Sunan Ibn
Majah, Juz II, t.th

KOMUNITAS

66

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Ily as, Mohammad, 1984, A Modern Guide to Ast ro nomical Calculation of
Is lamic Calendar, Times & Qibla, Kuala Lumpur : Berit a Publising
SDN. BHD.
Izzuddin, Ahmad., Kapan 1 Ramad an 1418 H jatuh ? Suar a Um mat, Vol 1 No 2 ,
Desember 1997.
Juniar, Muadz., 200 7, Kajian Tentan g Penent uan Aw al Bulan Qamariyah
Menurut Pers is, Yogyakart a, UIN Sun an Kalijaga : Skripsi tidak
diterbitk an
Kartt unen, H. et al, 1987,Fund amental Astr onomy, Berlin : Springer
Keputusan Mun as Ulama 13-16 Rabiul Aw al 1404 H/ 18-21 1983 M d i
Situbondo Jawa Timur
Khafid, P emro graman Komp uter dalam His ab Dan Rukyat, Kuliah Umu m
Komputerisasi Program His ab dan Rukyat
Khafid,

Pe ran Kem ajuan Teknolog i sebagai solusi sekaligus pemicu
permasalah an baru , Pusat P emeta an Dasar Kelauta n d an
Kedirgantaraan

Khazin, M., 2004, Ilmu Falak Teor i dan Praktik, Yogyakart a : Buana Pustaka.
Manzur, I., 1999, Lisān al-Ar ab, Bayr ūt : Dar Ehia al-To urath al-Ar abi.
Meeus, Jean, 1991, Astr nomical Algorit hms, Vir ginia:Willm ann-Bell, Inc.
Moleong, Lexy J, 2005, Metodologi Penelitian Kualitarif, Bandung: Remaja
Rosdakaya.
Muarif, Is mail., 200 5, Kr iteria Pen entuan Aw al Bulan Ramad an Dan Sawal
Menurut Muhamm adiyah Dan Pers atuan Is lam, Yogyakart a, UIN
Sunan Kalija ga : Skr ipsi tidak d iterbit kan

KOMUNITAS

67

Volume 20 Nomor 20, September 2015

Noer, Deliar, 198 2, Gerakan Modern Is lam di Indonesia 1900 – 1942, Jakart a :
PT. Pustaka LP3 ES.
Oman Fathurohman SW "Hisab Muhammadiyah: Konsep, Sistem, Metode,dan
Aplikasinya", makalah disampaikan pada Workshop Nasional Metodologi
Penetapan Awal Bulan Model Muhammadiyah, 19-20 Oktober 2002 di
MSI UMY
Romadhoni Ali., 2006, Konsep Pem aduan His ab Dan Rukyat Dala m
Menentukan Aw al Bul an Ka mariah (Studi Atas Pand angan Ormas
Muhammadiyah dan NU) . Yo gyakarta, UIN Sun an Kalijaga : Skripsi
tidak diterbit kan.
Ruskanda, S. Farid, 1995, Rukyah Den gan Teknolo gi, Up aya Mencari
Kesamaan Pandangan t entang P enentu an Aw al Ram adha n d an
Syawal, Jakart a : Gema Insani Press .
Sudarmono, 2008,Analisis Terhadap Penetapan Awal Bu lan Qam ariyah
Menurut Persatuan Islam ,Semarang : IAIN Walisongo , Tesis tidak
diterbitk an.
Taufik, M.,2006, Analisis Terhadap Penentuan Awal Bulan Qam ariyah Menurut
Muhamm adiyah
Dalam
Perspektif
Hisab
Rukyah
Di
In donesia,Semarang, IAIN Walisongo, Tesis tid ak diterbitk an
Warson Munawair , A., 1997, Al-Munaww ir Kamus Ar ab Indonesia, Surabaya :
Pustaka Progresif.
Zakaria, A, 1988, al-Hidāyah fī mas āil fiq hiyah muta ’āridoh, Garut : Ibn Azka.
Zakaria, A, 2005, Metodologi Is tinbāt Hukum Dewan His bah Persatuan Is lam,

KOMUNITAS

68