STUDI ALQURAN DAN INTEGRASI KEILMUAN STU

STUDI ALQURAN DAN INTEGRASI KEILMUAN:
STUDI KASUS UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Syahrullah
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. A.H. Nasution 105 Cibiru, Bandung 40614, Indonesia.
E-mail: syahrullah_iskandar@yahoo.com

__________________________
Abstract
Quranic studies constitute a basis for developing Islamic studies. Quranic studies support the concept of integration
of knowledge by accommodating the scientific findings into the revealed Qur’anic dimension. This article
investigates the role of Qur’anic studies in the process of knowledge integration and its application at Ushuluddin
Faculty, State Islamic University, Bandung. This article shows that in term of curricula and methods of learning,
Ushuluddin Faculty provides accommodative response to the knowledge integration model. Some notes to be
considered, however, is to include dynamic and progressive method of understanding the Qur’an in relation to
current situation in reality. Thus, an approach ‘from reality to the text’ in studying the Qur’an is required to
accommodate the concept of knowledge integration.
Keywords:
Qur’anic studies; knowledge integration; reality; text
__________________________
Abstrak

Studi Alquran merupakan pijakan dasar dari pengembangan studi keislaman. Studi Alquran dapat mendukung upaya
integrasi keilmuan dengan cara akomodasi penemuan ilmiah yang sistematis dengan tetap mengacu pada basis
kewahyuan Alquran. Tulisan ini memaparkan tentang studi Alquran dan integrasi keilmuan yang diterapkan pada
Fakultas Ushuluddin Univessitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan ini menyimpulkan bahwa
Fakultas Ushuluddin pada tataran kurikulum dan sistem pembelajaran sudah menunjukkan upaya akomodatif
terhadap integrasi keilmuan tersebut. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah membuka peluang bagi
metodologi yang lebih terbuka dengan memperhatikan perkembangan zaman untuk memicu penelitian yang berbasis
realitas. Dengan demikian, pendekatan dari realitas ke teks dalam studi Alquran menjadi sebuah keniscayaan
dalam upaya integrasi keilmuan.
Kata Kunci:
Studi Alquran; integrasi keilmuan; realitas; teks

__________________________

A. PENDAHULUAN
Islam sebagai objek studi merupakan topik
yang atraktif dibincangkan di kalangan
ilmuwan. Gejala pada agama yang dapat
dijadikan objek studi semisal scripture,
penganut dan/atau pemuka agama, ritus,

lembaga, atau ibadat-ibadat, alat-alat seperti
masjid, dan organisasi keagamaan1 adalah
‘lahan empuk’ yang selalu ‘seksi’ untuk
diselami
secara
ilmiah.
Bahkan,
pengembangan keilmuan Islam dapat diulas
dalam varian perspektif untuk menghasilkan
1

Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
cet. V, 13-14.

ilmu yang aktual. Ciri pembeda dari kajian
keislaman
ini
adalah
pada

rambu
dogmatiknya, khususnya pada dimensi
sakralitas yang integratif oleh Islam itu
sendiri. Dengan tetap memerhatikan dimensi
sakralitasnya, studi Islam menjadi tantangan
tersendiri bagi seorang akademisi untuk
memosisikan sebuah paradigma dan kerangka
teoretis, serta menjalani metodologi yang tepat
dalam menggali hakikat Islam sebagai objek
studi. Thus, topik integrasi keilmuan
menemukan momentum performatifnya untuk
diurai, terutama dalam kaitannya dengan studi
Alquran, khususnya di lingkungan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati (UIN SGD), Bandung.

Syahrullah

Studi Alquran merupakan mata kuliah
pokok di perguruan tinggi Islam di semua

fakultas dan jurusan. Untuk lingkup Fakultas
Ushuluddin, studi Alquran tersaji dalam varian
mata kuliah seperti Ulumul Qur’an dan Tafsir.
Kesemua mata kuliah tersebut tersaji di semua
jurusan di lingkungan Fakultas Ushuluddin.
Penyajian mata kuliah ini terbilang penting
mengingat objek pembahasannya adalah
Alquran yang merupakan dasar dan pokok
studi keislaman. Konsekuensi dari pengkajian
terhadap Alquran telah melahirkan varian
disiplin
keilmuan
yang
mengalami
perkembangan sesuai konteks spasialtemporal. Salah satu aspek interaktif dari
pengkajian studi Alquran adalah ketika
mengaitkannya dengan pengembangan konsep
integrasi keilmuan.
A. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Konsep Integrasi Keilmuan

Secara leksikal, term ‘integrasi’ berasal dari
kata Inggris integration dari kata kerja
integrate yang berarti menggabungkan,
menyatupadukan,
mempersatukan,
atau
mengintegrasikan. Makna leksikal dari kata
integrasi ini dapat diartikan sebagai
penggabungan atau penyatuan beberapa hal
menjadi satu kesatuan yang solid dan utuh
dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara
konsep keilmuan, tidak ada pemisahan antara
satu disiplin keilmuan dengan disiplin
keilmuan lainnya. Semuanya berjalan menurut
konteksnya dan saling melengkapi satu sama
lain dan memberi manfaat dalam kehidupan
manusia.
Jika ditinjau historisitasnya, konsep
integrasi keilmuan bukanlah barang baru,
karena telah didiskusikan oleh ulama-ulama

klasik Islam. Sebagai contoh, al-Syafi’i dalam
karya monumentalnya al-Umm, mendasari
uraian master piece-nya itu dengan
memosisikan Alquran dan Hadis sebagai
sumber utama keilmuan. Kedua pedoman
tersebut menetapkan prinsip dasar dan
petunjuk bagi manusia untuk meraih
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Senada dengannya, ulama klasik Islam lainnya
memadukan tiga aspek dalam upaya integrasi

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

keilmuan: spiritual, intelektual, dan moral.
Keterkaitan ketiga aspek tersebut disejajarkan
dengan eratnya kepaduan antara akidah,
syariah, dan akhlak. Dalam format serupa, alGhazali mendeskripsikan kepaduan tiga aspek,

yaitu qalb (hati), ‘aql (intelektualitas), dan
nafs (nafsu). Dan, tidak kalah menariknya
adalah ketika Ibn Khaldun menjelaskan bahwa
keilmuan manusia merupakan fenomena alami
manusia yang disumberkan dari dua rujukan
utama, yaitu wahyu (revelation) dan alam (the
universe).2 Ulasan ini menjadi dalil tak
terbantahkan bahwa perbincangan tentang
integrasi keilmuan juga telah lebih dulu hadir
sebelum diwacanakan beberapa dasawarsa
terakhir. Bahkan, wacana integrasi ilmu oleh
ulama klasik sudah membincang tentang
kelanjutan dari konsep itu, yang dapat disebut
‘melampaui konteks zamannya’.
Istilah yang sering dipadankan dengannya
“integrasi keilmuan” adalah “islamisasi
pengetahuan” (islamization of knowledge)
yang meniscayakan dua prinsip utama.
Pertama, Sumber utama dari semua ilmu dan
pengetahuan adalah Alquran dan Hadis;

Kedua, Metode yang ditempuh untuk
memperoleh ilmu dan pengetahuan haruslah
islami. Untuk mewujudkan upaya tersebut,
dibutuhkan pemenuhan 4 (empat) kriteria,
yaitu alam, hukum alam, pengajaran yang
islami (prinsip dan arahan), dan nilai Islam
(moral dan estetika).3 Oleh Kuntowijoyo,
pokok dari konsep integrasi adalah penyatuan
(bukan sekadar penggabungan) antara wahyu
Tuhan dan temuan pikiran manusia.4
Menurutnya, konsep integrasi adalah memberi
proporsi yang layak bagi Tuhan dan manusia
dalam keilmuan. Dengan begitu, integrasi
keilmuan bukanlah ‘sekularisme’, bukan juga
‘asketisisme’.
Ia
diharapkan
dapat
menyelesaikan konflik antara sekularisme
W. Mohd Azam. Mohd Amin, “A Preliminary

Analysis of The Classical Views of The Concept of
Integration of Knowledge,” Revelation and Sciences 04,
no. 02 (2014): 14.
3
Fouzia Ferdous dan Muhammad Athar Uddin,
“Toward Islamization of Science and Technology,”
IIUC Studies Vol. 9, no. 9 (2011): 236.
4
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), 55.
2

89

Syahrullah

ekstrem dan agama-agama radikal dalam
banyak sektor. Senada dengan itu, Imam
Suprayogo juga mendefinisikan integrasi
keilmuan sebagai pemosisian Alquran dan

Hadis
sebagai
grand
theory
bagi
5
pengetahuan. Dengan begitu, argumentasi
naqli tersebut dapat terpadukan dengan
temuan ilmu.
Lahirnya konsep integrasi dilatari oleh
dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmuilmu umum. Keduanya terpisahkan dan seolah
berjalan pada wilayahnya masing-masing. Ia
juga dipicu oleh separasi antara sistem
pendidikan Islam dan sistem pendidikan
modern yang berdampak laten bagi umat
Islam. Asumsi yang berkembang adalah “ilmu
tidak peduli dengan agama, begitupun
(sebaliknya) agama abai terhadap ilmu”. Hal
ini juga berimplikasi pada berkembangnya
slogan “ilmu untuk ilmu”, yang acapkali

menapikan nilai etika dalam implementasinya.
Ilmu dan agama seolah dua entitas yang
berlainan dan terpisah satu sama lain,
mempunyai wilayah masing-masing, baik
objek formal–material keilmuan, metode
penelitian, kriteria kebenaran, peran yang
dimainkan oleh ilmuwan, bahkan ke tingkat
institusi penyelenggaranya.6
Beberapa model integrasi keilmuan yang
telah ada dapat menjadi inspirasi dan pijakan
untuk memperkaya upaya integrasi keilmuan.
Beberapa model tersebut yaitu: a) IFIAS
(International Federation of Institutes of
Advance Study), yaitu tidak ada pemisahan
antara sarana dan tujuan sains, karena
keduanya harus tunduk pada landasan etika
dan nilai keimanan. Dengan kata lain, upaya
intelektualitas harus tunduk pada batasan etika
dan nilai Islam; b) ASASI (Akademi Sains
Islam Malaysia), yaitu pelibatan nilai-nilai dan
ajaran Islam dalam kegiatan penelitian ilmiah.
Model ini dikembangkan sejak tahun 1977 di
Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu
dan Agama: Pengalaman UIN Malang,” in Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, ed. Zainal
Abidin Bagir (Bandung: Mizan, 2005), 49-50.
6
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi:
Pendekatan
Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 92.
5

90

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Malaysia; c) Islamic Worldview, yaitu
menempatkan pandangan dunia Islam sebagai
dasar bagi epistemologi keilmuan Islam secara
menyeluruh dan integral. Model ini
dikembangkan oleh Alparslan Acikgene; d)
Struktur Pengetahuan Islam, yaitu bahwa
secara
sistematik,
pengetahuan
telah
diorganisasikan dan dibagi ke dalam sejumlah
disiplin akademik. Model ini sebagai bagian
dari upaya mengembangkan hubungan yang
komprehensif antara ilmu dan agama. Model
ini digagas oleh Osman Bakar; e) Bucaillisme,
yaitu mencari kesesuaian penemuan ilmiah
dengan
ayat
Alquran.
Model
ini
dikembangkan oleh Maurice Bucaille, ahli
Medis Perancis; f) Berbasis Filsafat Klasik,
yaitu berusaha memasukkan tauhid dalam
skema teorinya. Allah SWT diposisikannya
sebagai kebenaran yang hakiki, sedangkan
alam hanya merupakan wilayah kebenaran
terbawah. Model ini digagas oleh Seyyed
Hossein Nasr; g) Berbasis Tasawuf, yaitu
memosisikan
deislamisasi
sebagai
westernisasi. Model ini diinisiasi oleh Syed
Muhammad Naquib al-Attas; h) Berbasis
Fikih, yaitu menjadikan Alquran dan Hadis
sebagai puncak kebenaran. Model ini
dikembangkan oleh Ismail Raji’ al-Faruqi
dengan tidak menggunakan warisan sains
Islam; i) Kelompok Ijmali, yaitu menggunakan
kriterium ‘adl dan zhulm dalam menjalankan
konsep integrasinya. Model ini juga tidak
menjadikan warisan sains Islam klasik sebagai
rujukan. Model ini dipelopori oleh Ziauddin
Zardar; j) Kelompok Aligargh, yaitu bahwa
sainsi Islam berkembang dalam suasana ’ilm
dan tasykir untuk menghasilkan ilmu dan
etika. Model ini digagas oleh Zaki Kirmani di
India.7
Dari semua model yang dipaparkan, terlihat
bahwa ilmu sekuler (manusia) berada di
bawah sumber ilmu yang hakiki, yaitu Tuhan.
Dengan begitu, Alquran (dan Hadis) menjadi
sumber dan rujukan utama. Standarisasi etika
menjadi ‘komoditas’ utama yang harus
Nur Jamal, “Model-Model Integrasi Keilmuan
(Format Ideal Perguruan Tinggi Agama Islam),”
Islamedia: Jurnal Kajian Keislaman Vol. 1, no. 1
(2011): 197.
7

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Syahrullah

disertakan dalam upaya integrasi keilmuan.
Tinjauan berbeda diuraikan oleh Kuntowijoyo
dengan mengenalkan model lain yang lebih
“mengapresiasi” ilmu sekuler. Menurutnya,
ilmu-ilmu sekuler merupakan produk bersama
umat manusia, sedangkan ilmu integralistik
(nantinya) adalah produk bersama seluruh
manusia beriman. Ia menegaskan bahwa kita
semua sekarang ini adalah produk, partisipan,
dan konsumen ilmu-ilmu sekuler, sehingga
tidak boleh dipandang rendah. Apresiasi
terhadap ilmu sekuler dapat dilakukan dengan
mengkritisi dan meneruskan perjalanannya.
Sumber pengetahuan itu ada dua, yaitu yang
berasal dari Tuhan (revealed knowledge) dan
yang berasal dari manusia (secular), yang
keduanya
diistilahkannya
dengan
teoantroposentrisme. Diakuinya bahwa ilmuilmu sekuler saat ini sedang terjangkiti krisis
(tidak dapat memecahkan banyak persoalan),
mandek (tertutup untuk alternatif-alternatif),
dan mengandung bias-bias seperti filosofis,
peradaban, keagamaan, ekonomis, etnis,
gender, politik, dan selainnya.8
2. Perspektif Alquran
Pada dasarnya, Alquran tidak mengenal
prinsip dikotomi antara ilmu agama ataupun
ilmu non-agama. Bahkan, Alquran sangat
menganjurkan agar setiap orang memerhatikan
ayat-ayat qawliyah (Alquran), di samping
menggunakan
akal
dalam
memahaminya.Dalam konteks penggunaan
akal inilah, utilitas disiplin ilmu-ilmu nonagama yang berbasis pada penalaran ilmiah
yang sistematis diperlukan.Kombinasi antara
Alquran dan ilmu-ilmu non-agama merupakan
sebuah kemestian dalam mengembangkan
studi
Alquran.
Pasalnya,
jika
tidak
mengakomodasi pendekatan ilmiah dalam
pengkajian
Alquran,
maka
produk
pengkajiannya pun akan bersifat “melangit”,
alias “tidak memijakkan kakinya di bumi”.
Hal demikian akan berdampak pada minimnya
animo pengkaji Alquran untuk menjadikan
Alquran sebagai objek kajian.

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Sejumlah ayat Alquran menyebutkan
urgensi konteks integrasi keduanya. Konsep
ulul alba>b yang tersebut dalam QS. Ali ‘Imran
3: 190 mensyaratkan kombinasi dua konsep
sekaligus, yaitu dhikr dan fikr. Konsep dhikr
menandai dimensi ulu>hiyah (ketuhanan),
sementara konsep fikr merupakan dimensi
ilmiah. Keduanya harus diintegrasikan agar
melahirkan konsep keilmuan yang bernilai.
Akomodasi terhadap konteks ilmiah dalam
studi Alquran sangatlah urgen. Hal demikian
dapat mengungkap nilai-nilai integratif dalam
ayat Alquran itu sendiri, di samping memberi
‘legalitas ilahiyah’ dari temuan ilmiah
kekinian. Studi seperti ini terbilang menarik
dan telah menarik atensi pengkaji Alquran.
Tersebutlah sejumlah buku semisal Alquran
dan Lautan karya Agus S. Djamil (Mizan), alTafsir al-‘Ilmi karya Kementerian Agama RI,
dan selainnya. Kajian-kajian mereka berupaya
menawarkan penjelasan ilmiah terhadap ayatayat Alquran yang memiliki isyarat-isyarat
ilmiah.
Sebagai contoh adalah QS. al-Ru>m 30: 48
dan QS. al-Nu>r 24: 43 yang menjelaskan
tentang siklus air. Dalam kedua ayat tersebut,
tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai
siklus air. Namun, kedua ayat tersebut hanya
menjelaskan beberapa bagian dari proses
keseluruhannya.
Ayat-ayat
tersebut
menjelaskan tahapan-tahapan pembentukan
awan yang menghasilkan hujan, sebagai salah
satu bagian dari proses pembentukan siklus
air. Terdapat dua fenomena dari penjelasan
kedua ayat tersebut, yaitu penyebaran awan
dan penyatuan awan. Kedua proses yang
berlawanan inilah yang menyebabkan
terbentuknya awan hujan. QS. al-Ru>m 30: 48
menjelaskan tentang awan berlapis (stratus)
yang hanya akan terbentuk jika angin bertiup
secara bertahap dan perlahan mendorong awan
ke atas. Selanjutnya, awan tersebut akan
berbentuk seperti lapisan-lapisan yang
melebar.9

9

8

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 50.

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Kementerian Agama RI, Penciptaan Manusia
dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Jakarta:
Kemenag RI dan LIPI, 2012), 165.

91

Syahrullah

3. Fakultas Ushuluddin
Fakultas Ushuluddin merupakan “mother
of Islamic science” (induk ilmu keislaman)
karena di dalamnya dikaji pokok-pokok ajaran
Islam yang menjadi sumber pengembangan
fakultas-fakultas lain di UIN SGD Bandung.
Atas dasar itu, visi fakultas Ushuluddin
adalah:
Menjadi
pusat
studi
dan
informasi
keushuluddinan yang unggul, kompetitif, dan
layak bersaing”. Visi tersebut dijabarkan
dalam misinya yaitu “mengembangkan
pemahaman keislaman yang membumi dalam
nuansa keindonesiaan dan kemodernan
menuju masyarakat madani.
Secara
operasionalnya,
Fakultas
Ushuluddin UIN SGD Bandung hingga
semester genap tahun ajaran 2014-2015 terdiri
dari empat program studi, yaitu 1) Tafsir
Hadis; 2) Perbandingan Agama; 3) Aqidah
Filsafat; dan 4) Tasawuf Psikoterapi. Akan
tetapi, sejak tahun ajaran semester ganjil 20152016, program studi tersebut mengalami
pengembangan menjadi lima program studi.
Program studi Tafsir Hadis yang merupakan
jurusan yang paling banyak mahasiswanya
dimekarkan menjadi dua program studi
tersendiri, yaitu 1) Ilmu Alquran dan Tafsir
dan 2) Ilmu Hadis. Adapun program studi
lainnya belum mengalami pemekaran,
sehingga jumlahnya sekarang sebanyak lima
program studi.
Dari segi pembelajaran, metode yang
diterapkan di Fakultas Ushuluddin adalah
bersifat
integral-terpadu
dalam
visi
epistemologi Islam yang bercirikan: menolak
dikotomi ilmu dan agama, membangun
pengetahuan quranik yang holistik, tidak
hanya
memakai
pendekatan
empiris,
rasionalis, atau intuitif semata, melainkan juga
memadukan berbagai pendekatan secara
harmonis. Di samping itu, Fakultas
Ushuluddin
juga
mengedepankan
pengembangan pemikiran yang bersifat
induktif-deduktif, melalui perkuliahan yang
diskutif, kritis, dan kreatif.
Mengacu ke profil Fakultas Ushuluddin,
terdeskripsi dengan jelas bahwa kurikulum
diarahkan untuk mencapai tiga sasaran: a)

92

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

profesionalisme, yaitu pendekatan profesi
keilmuan
untuk
kebutuhan
lapangan
kehidupan, terutama yang berhubungan
dengan keagamaan (mental-spiritual); b)
keilmuan,
mengembangkan
metodologi
keilmuan yang menjadi bidang garapannya;
dan c) keislaman, yaitu merealisasikan misi
Islam dalam kehidupan. Waktu kuliah
ditempuh 3,5 hingga 4 tahun, dengan Sistem
Kredit Semester (SKS) yang berjumlah 144150 SKS yang disajikan selama 7 hingga 8
semester.10
4. Implementasi
Upaya integrasi keilmuan adalah sebuah
tugas yang harus terejawantah di UIN SGD
Bandung.
Sesuai
visinya,
“Menjadi
Perguruan Tinggu Islam yang Unggul dan
Kompetitif, Mampu Mengintegrasikan Ilmu
Agama dan Ilmu Umum di Asia Tahun
2029.”11 Dari lingkup pembelajaran di
Fakultas Ushuluddin, tergambar besarnya
potensi
dalam
implementasi
integrasi
keilmuan: a) ilmu dasar keislaman tersajikan
dalam proses pembelajarannya; b) studi
Alquran, yang tentu saja bukan sekadar
bersifat verbal, melainkan disertai pemahaman
yang mendalam atas isi kandungan kitab suci
terakhir tersebut; c) mengintegrasikan kearifan
lokal (local wisdom) sehingga mampu
menjawab persoalan keseharian konteks
“kedisinian”; d) mengadaptasi kemodernan
sehingga
dapat
terus
eksis
dalam
perkembangan dunia dan keilmuan dan
menjawab
persoalan
dalam
konteks
“kekinian”.
Fakultas
Ushuluddin
diharapkan
berkontribusi dalam upaya integrasi keilmuan
di lingkungan UIN SGD Bandung. Pasalnya,
dalam kaitannya dengan penerapan konsep
integrasi keilmuan, UIN SGD Bandung belum
menemukan rumusan operasional (di tingkat
pimpinan)
dalam
mengimplementasikan
10

Data tentang Fakultas Ushuluddin sepenuhnya
penulis adaptasi dari profil Fakultas Ushuluddin UIN
SGD Bandung.
11
Lihat header website UIN Sunan Gunung Djati
Bandung,
Diakses
2
November
2015,
http://www.uinsgd.ac.id/

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Syahrullah

konsep integrasi keilmuan dalam kurikulum,
sehingga perlu penyelarasan kurikulum.
Dalam proses pembelajaran juga masih
demikian,
yaitu
masih
mengandalkan
kreativitas dan inovasi individu dosen di setiap
fakultas dalam menerapkan integrasi keilmuan
dalam proses pembelajaran. Dengan begitu,
rumusan operasional kebijakan pimpinan
masih absen. Penelitian yang dilakukan
Nurlena Rifai (et al.) menemukan bahwa UIN
Jakarta dan UIN Bandung sebenarnya sudah
memiliki konsep integrasi keilmuan, tetapi
masih berbentuk ‘bunga rampai’ yang belum
terformulasikan secara operasional.12
Salah satu bentuk implementasi lain yang
dapat dilakukan oleh Fakultas Ushuluddin
selain penerapan kurikulum adalah pada riset
yang akan dihasilkan mahasiswanya. Riset
dapat diarahkan pada upaya integrasi
keilmuan, yaitu mengurai persoalan kekinian
dengan mengawinkan pendekatan “wahyu”
dan pendekatan “ilmiah”. Dengan demikian,
produk-produk riset fakultas tercinta ini dapat
menawarkan nuansa baru yang holistik,
terpadu antara ‘verifikasi ilmiah’ dan
‘verifikasi teologis’, serta menjadi upaya
produktif (qira>’ah muntijjah), bukan upaya
repetitif (qira>’ah mutakarrirah). Dalam
rumusan lain, William C. Chittick menyatakan
bahwa kecerdasan tidak hanya dapat
menangkap dan memahami hakikat sesuatu,
tetapi juga mampu melahirkan sesuatu.
Menurutnya, mengabaikan realitas, baik objek
maupun subjek, berarti jatuh ke dalam
kebodohan, kesalahan, dan khayalan.13
Mengakomodasi pendekatan sekular secara
proporsional untuk mengkaji keislaman adalah
sebuah keniscayaan. Hanya saja, penggunaan
pendekatan dan kerangka teori apa pun harus
dibarengi dengan evaluasi dan kritik yang
12

Nurlena Rifai, Wahdi Sayuti Fauzan, dan
Bahrissalim,
“Integrasi
Keilmuan
Dalam
Pengembangan Kurikulum Di Uin Se-Indonesia,”
TARBIYA Vol. 1, no. 1 (2014):
30-31,
doi:10.15408/tjems.v1i1.1108..
13
William Chittick, “Visi Antropokosmik dalam
Pemikiran Islam,” in Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif
Sains dan Agama, ed. Ted Peters, Muzaffar Iqbal, dan
Syed Nomanul Haq, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Mizan, 2006), 170.

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

konstruktif, supaya juga dapat menghasilkan
temuan ilmiah yang merupakan perwujudan
dari upaya integrasi keilmuan. Khazanah
keilmuan klasik Islam adalah modal plus yang
dimiliki Fakultas Ushuluddin, karena telah
menjadi
referensi
utama
dalam
pembelajarannya. Hasilnya akan lebih
mumpuni jika metodologi riset yang
digunakan juga terus dikembangkan.
Mata kuliah yang terkait dengan studi
Alquran di Fakultas Ushuluddin tersajikan
tidak lagi dalam kerangka pengenalan,
khususnya di Jurusan Ilmu Alquran dan
Tafsir. Pada mata kuliah Tafsir yang disajikan
hampir di setiap semesternya, mahasiswa
disuguhkan materi tentang persoalan kekinian
dengan mengakomodasi pendekatan ilmiah
kekinian, sehingga menghasilkan produk
pembelajaran yang up to date. Sebagai contoh,
pembelajaran tentang masyarakat menurut
perspektif Alquran, tidak lagi hanya sekadar
menemukan legitimasi kewahyuannya, tetapi
juga mengkaji dan mengembangkannya
berdasarkan temuan mutakhir.
5. Dari Realitas ke Teks
Studi Alquran bertajuk tafsir mawd}u>’i>
selama ini lebih didominasi oleh pendekatan
dari teks ke realitas.14 Konsekuensinya adalah
seorang pengkaji mencari kata kunci tertentu
dan
menghimpun
ayat-ayat
yang
menyebutkannya, kemudian mencari dan
mengaitkan penafsiran-penafsirannya. Metode
ini banyak berkembang dan merupakan bentuk
awal dari metode penafsiran tematik. Namun,
seiring perkembangan, metode ini menuai
kritik karena tidak mampu menjawab tuntutan
kekinian yang banyak menawarkan sejumlah
persoalan namun tidak ditemukan legitimasi
kewahyuannya dalam Alquran.
Adalah pendekatan sebaliknya, yaitu dari
realitas ke teks yang mendapatkan atensi
peminat studi Alquran. Pendekatan ini
memang terbilang lebih berat ditempuh
14

Istilah dari realitas ke teks merupakan
terjemahan dari min al-wa>qi’ ila> al-nas}. Istilah yang
mirip dengannya ini menjadi salah satu judul buku yang
ditulis oleh Hassan Hanafi, yaitu Min al-Nas}’ ila> alWa>qi’.

93

Syahrullah

daripada pendekatan sebelumnya. Pasalnya,
topik tertentu dicarikan isyarat-isyaratnya dari
sejumlah ayat Alquran, tanpa berpijak pada
kata kunci yang pasti. Upaya ini menuntut
kemampuan ekstra dari seorang pengkaji
Alquran untuk memperoleh ayat-ayat yang
terkait dengan topik yang dimaksud. Jika ayatayat tersebut telah ditemukan, barulah upaya
penafsiran dilakukan.
Dalam
upaya
penafsiran
tersebut,
pendekatan dan informasi terkait diakomodasi
untuk menambah bobot ilmiah dari kerangka
penafsiran. Objek kajiannya pun semakin
meluas dan mampu menyentuh persoalanpersoalan yang belum terbahas di pendekatan
sebelumnya. Pendekatan terakhir ini adalah
salah satu format pengkajian dalam studi
Alquran yang dapat terus dikembangkan di
lingkungan Fakultas Ushuluddin.
Dengan demikian, studi Alquran harus
mengakomodasi upaya integrasi keilmuan,
sehingga dikotomi keilmuan tidak terus
mengemuka. Bukankah, tidak ada dikotomi
antara ilmu sekuler dan ilmu agama. Sejarah
mencatat bahwa pada abad VIII-XII M,
dijumpai figur-figur sekaliber al-Farabi, alKindi, Ibn Rushd, Ibnu Tufail, dan seterusnya
yang menguasai dua disiplin ilmu, baik ilmu
agama maupun ilmu umum.15 Figur-figur
tersebut memainkan peran dalam kemajuan
dunia Barat modern saat ini. Alquran juga
sangat menafikan dikotomi keilmuan. Banyak
ayat Alquran yang mengajak kita untuk
memerhatikan ayat-ayat qawliyah maupun
ayat-ayat kawniyah untuk menunjukkan tandatanda kekuasaan-Nya. Salah satunya, QS. Ali
‘Imran 3: 190-191 yang menyebut kata ulul
alba>b yang dimaknai sebagai “orang yang
berakal” meniscayakan terintegrasinya dua
dimensi, yaitu dhikr dan fikr. Keduanya harus
disandingkan untuk memperoleh bukti nyata
tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.

Septiana Purwaningrum, “Elaborasi Ayat-Ayat
Sains dalam Al-Quran : Langkah Menuju Integrasi
Agama dan Sains dalam Pendidikan,” Inovatif Vol. 1,
no. 1 (2015): 125.
15

94

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

E. SIMPULAN
Upaya integrasi keilmuan dalam studi
Alquran adalah sebuah kemestian untuk
menjawab tantang zaman. Ia juga menjadi
prasyarat
bagi
perwujudan
Fakultas
Ushuluddin sebagai fakultas riset di
lingkungan UIN SDG Bandung. Kiprah
fakultas tercinta ini senantiasa dinantikan
dalam mengawal kemajuan ilmiah dan
akademik. Semoga almamater tercinta ini
terus dapat menghasilkan lulusan yang
mumpuni menghadapi kemodernan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan
Tinggi:
Pendekatan
IntegratifInterkonektif.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar, 2012.
Chittick, William. “Visi Antropokosmik
dalam Pemikiran Islam.” In Tuhan, Alam,
Manusia: Perspektif Sains dan Agama,
diedit oleh Ted Peters, Muzaffar Iqbal,
dan Syed Nomanul Haq, diterjemahkan
oleh Ahsin Muhammad. Bandung:
Mizan, 2006.
Ferdous, Fouzia, dan Muhammad Athar
Uddin. “Toward Islamization of Science
and Technology.” IIUC Studies Vol. 9,
no. 9 (2011): 233–42.
Jamal,
Nur.
“Model-Model
Integrasi
Keilmuan (Format Ideal Perguruan
Tinggi Agama Islam).” Islamedia: Jurnal
Kajian Keislaman Vol. 1, no. 1 (2011):
186–202.
Kementerian Agama RI. Penciptaan Manusia
dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains.
Jakarta: Kemenag RI dan LIPI, 2012.
Kuntowijoyo.
Islam
sebagai
Ilmu.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Mohd Amin, W. Mohd Azam. “A Preliminary
Analysis of The Classical Views of The
Concept of Integration of Knowledge.”
Revelation and Sciences 04, no. 02
(2014): 12–22.
Purwaningrum, Septiana. “Elaborasi AyatAyat Sains dalam Al-Quran: Langkah
Menuju Integrasi Agama dan Sains
dalam Pendidikan.” Inovatif Vol. 1, no. 1
(2015): 124–41.
Rifai, Nurlena, Wahdi Sayuti Fauzan, dan

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Syahrullah

Bahrissalim. “Integrasi Keilmuan Dalam
Pengembangan Kurikulum Di Uin SeIndonesia.” TARBIYA Vol. 1, no. 1
(2014):
13–34.
doi:10.15408/tjems.v1i1.1108.

Wawasan 39, 1 (Januari 2016):88-95

Studi Alquran Dan Integrasi Keilmuan: Studi Kasus
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Suprayogo, Imam. “Membangun Integrasi
Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN
Malang.” In Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi, diedit oleh Zainal
Abidin Bagir. Bandung: Mizan, 2005.

95