PERAN SOSIAL MUSLIMAH DALAM PEMBANGUNAN

1

DINAMIKA PERAN SOSIAL MUSLIMAH DALAM PEMBANGUNAN
DI ACEH
Aceh merupakan daerah yang telah menjadi komunitas Islam sejak abad ke sembilan
Masehi, atau bisa jadi jauh sebelumnya. Setidaknya dapat diketahui dari keberadaan
Kerajaan Islam tertua di Indonesia, Kerajaan Perlak yang berdiri tahun 225H atau
840 M di wilayah Perlak (Aceh Timur sekarang). Selanjutnya, beberapa catatan
sejarah menyebutkan kerajaan Islam lain yang eksis di Aceh seperti Samudera Pasai,
Benoa, Kerajaan Aceh Darussalam, dan lainnya. Islam terus berkembang dan meluas
hingga menjadi falsafah hidup yang mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Saat
ini Aceh dikonotasikan dengan Islam. Salah satu falsafah hidup (hadih maja) yang
populer adalah “adat ngon hukom lagei zat ngon sifeut” (adat kebiasaan dan syariat
Islam sangat erat kaitanya dan tidak terpisah seumpama zat dan sifatnya). Dalam
bingkai Islam inilah tatanan nilai tentang peran sosial perempuan dikonstruksi.
Seperti apa dinamika peran sosial perempuan dalam masyarakat Aceh yang
notabenenya Islam?. Hal inilah yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Kata
muslimah dalam judul tulisan ini memberi penekanan konteks bahwa perempuan
ynag dimaksud adalah perempuan Islam, dan kiprahnya juga dikembangkan pada
masyarakat Aceh yang identik dengan nilai Islam.
Dinamika peran sosial perempuan di Aceh merupakan sejarah gemilang yang

tidak dimiliki oleh banyak daerah. Karena peran sosial perempuan Aceh telah lama
berkembang di berbagai bidang kehidupan. Pada masa kerajaan Samudera Pasai
(abad 13-16 M), disebutkan dua ratu yang pernah memimpin kerajaan ini, yaitu
Ratu Nur Illah dan Ratu Nahrasiyah. Ratu Nahrasiyah adalah salah satu pemimpin
yang disegani di kerajaan ini Selain itu terdapat empat ratu yang pernah memerintah
Kerajaan Aceh Darussalam selama 59 tahun. Ratu pertama, Ratu Safiatuddin (16411675M) yang memerintah selama 35 tahun. Ratu kedua, Ratu Naqiatuddin (16751678M), memerintah selama 3 tahun (1675-1678M). Ratu ketiga, Zakiatuddin
(1678-1688M), memerintah selama10 tahun (1678-1688M). Ratu keempat yaitu
Kamalatsyah (1688-1699) yang memerintah selama 10 tahun 1688-1699M (Farid
Wajdi: 2008, 268-273).

September 2016 | Rasyidah

2

Keberadaan ratu-ratu yang telah berkiprah luas dalam membangun
masyarakat Aceh ini, tidak terlepas dari dukungan ulama, meski pro kontra juga ada.
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry merupakan ulama yang sangat berperan dalam
pengangkatan Ratu Safiatuddin dan senantiasa mendukung kebijakan ratu. Syeikh
Ar-Raniry merupakan ulama terpelajar dari Ranir India yang lama bermukim di
Aceh (1636-1644), menjabat Qadli Malik al-‘Adil pada periode Sultan Iskandar

Tsani dan berlanjut pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin. Selain Ar-Raniry,
terdapat juga dukungan Abdur Rauf As-Singkili pada empat ratu di Kerajaan Aceh
Darussalam. Abdur Rauf As-Singkili (lahir 1615 di Singkil) menuntut ilmu di Timur
Tengah dan kembali ke Aceh pada tahun 1661, yaitu masa pemerintahan ratu
Safiatuddin. Selanjutnya Abdur Rauf As-Singkili menjabat sebagai Qadli Malik
al-‘Adil menggantikan Syeikh Ar-Raniry. (dikutip dari beberapa sumber oleh Amirul
Hadi;2010, 139)
Syeikh Nuruddin Ar-Raniry menggambarkan tentang Ratu Safiatuddin dalam
salah satu karyanya Bustān al-Salāthīn. Ar-Raniry menyebut Ratu ini sebagai
penguasa

yang

taat

dan

senantiasa

berupaya


dengan

serius

untuk

mengimplementasikan syariat Islam di kerajaan. Ia adalah seorang penguasa yang
adil, lemah lembut, dermawan, penyayang dan mengayomi rakyat. Penghargaan
tinggi pada ulama dan para pengunjung kerajaan merupakan salah satu karakternya
yang khas. Pada masa pemerintahannya menurut Ar-Raniry, Aceh muncul sebagai
sebuah kerajaan yang makmur. (Amirul Hadi:2010, 138).
Keberadaan ratu-ratu di Aceh merupakan capaian tertinggi kiprah perempuan
yang tidak mungkin serta merta di capai dan bertahan, jika masyarakat Aceh pada
saat itu tidak siap menerima kepemimpinan perempuan. Penulis meyakini kiprah
sosial perempuan telah menjadi lazim dan menguat jauh sebelum eksistensi
kepemimpinan ratu-ratu. Hingga ketika pimpinan kerajaan dikendalikan oleh
perempuan, masyarakat sesungguhnya telah terbiasa. Tesis ini disusun atas dasar
penilaian terhadap tinggi dan luasnya ruang gerak kiprah sosial perempuan Aceh di
masa lalu. Tingginya capaian ruang gerak kiprah perempuan diukur dari posisi

tertinggi pemerintahan yang pernah dilakukan oleh perempuan. Dan luasnya ruang
gerak kiprah sosial perempuan, diukur dari segi variasi bidang kiprah sosial
September 2016 | Rasyidah

3

perempuan. Baik di bidang pendidikan, politik pemerintahan, hukum, protokoler,
administrasi, pertahanan dan keamanan, agama, seni dan lainnya.
Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam
(1607-1636), sangat dikenal kiprah Putroe Phang (istri Sultan Iskandar Muda)
sebagai penasehat. Putroe Phang menyarankan pembentukan Balai Majelis
Mahkamah Rakyat (seperti DPR) yang beranggotakan 73 orang, mewakili penduduk
kerajaan. Sehingga untuk mengabdikan karyanya ini, semua produk Balai majelis
Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Putroe Phang. 1
Pada bidang pertahanan dan keamanan terdapat Laksamana Malahayati yang
memimpin armada laut kerajaan Aceh Darussalam masa Sultan Alaidin Riayat Syah
al-Mukammil (1589-1604), dan memimpin 2000 pasukan dengan 100 buah kapal
perang. Masa Sultan Ali Mughayat Syah (1604-1607) telah dibentuk Sukey Inong
kaway Istana (Resimen Perempuan Pengawal Istana) yang dipimpin oleh
Laksamana Muda Cut Meurah Inseun yang bertanggung jawab pada pemeliharaan

tata tertib di istana. Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), angkatan perang
Aceh diperluas dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya yang dijadikan Bataliyon
kawal kehormatan. Pasukan ini dipimpin oleh Jenderal Keumala Cahaya yang
bertugas menjaga keamanan istana dan mengatur tata tertib dan protocol (Farid
Wajdi;2008). Pada masa penjajahan Belanda juga terkenal pejuang perempuan asal
Aceh yang menjadi Pahlawan nasional; Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia. Keduanya
memimpin pasukan melawan penjajahan di Aceh. Selain itu terdapat Tgk Fakinah,
perempuan yang menjadi panglima, juga pendidik dan ulama. Terdapat juga banyak
perempuan yang mengembangkan karir senimannya sebagai penari, sebagai
pendidik dan lainnya.
Luasnya bidang yang digeluti perempuan sejak masa kerajaan hingga masa
penjajahan sebagaimana yang dijelaskan di atas menjadi dasar yang kuat untuk
menyimpulkan bahwa kiprah sosial perempuan Aceh telah terkonstruk sejak lama.
Bahkan dapat disebutkan, telah sejak lama perempuan Aceh bergerak sejajar
1 Hal ini tercermin dalam hadih maja (kata berhikmat : “adat bak Potue Meuruhoom, Hukoom bak
Syiah Kuala, Qanun bak Putrou Phang, reusam bak laksamana. Maksudnya kekuasaan eksekutif
ditangan sultan atau penguasa pemerintahan, Kekuasaan yudikatif di tangan ulama (disimbolkan
dengan nama ulama terkenal Syiah Kuala), kekuasaan legislative di tangan putrid Pahang, peraturan
keprotokoleran di tangan laksamana. (Farid Wajdi:2008, 330-331)
September 2016 | Rasyidah


4

membangun Aceh. Jika hari ini kiprah sosial perempuan dipertanyakan dan
diarahkan untuk dirumahkan, maka pastinya akan menjadi sangat sulit, layaknya
menutup sejarah yang telah tertumpah ruah. Karena sosial budaya yang telah
mebentuk karakter perempuan Aceh sejak lama, adalah situasi sosial yang terbuka
terhadap kiprah perempuan.
Pertanyaan mendasar dapat dimunculkan tentang tinggi dan luasnya kiprah
perempuan di masa lalu, apakah tidak dianggap bertentangan dengan Islam. Jika kita
merujuk kiprah perempuan masa Rasulullah dan masa para sahabat, maka tidak ada
yang perlu diherankan. Di era Rasul terdapat Asma’ binti Zaid, tokoh perempuan
yang aktif dimasyarakat, dengan membantu mendampingi penyelesaian masalah
kelompok perempuan setelah mendapat penjelasan dari Rasul. Begitu pula profesi
Khadijah isteri Rasulullah sendiri di bidang ekonomi dan perdagangan level
internasional. Aisyah r.a adalah guru yang cerdas dan menjadi tempat bertanya umat
Islam. Rasul juga mendorong kemandirian ekonomi perempuan. Dalam salah satu
hadist disebutkan “Jabir ibn ‘Abdillah berkata: Bibiku diceraikan suaminya, ketika
ia hendak keluar rumah untuk memetik buah kurma. Kemudian ia menemui Nabi
SAW menanyakan hal itu. Nabi SAW menjawab: Ya (pergilah) dan petik buah kurma

kamu agar kamu bisa bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain.” (H. R.
Muslim).
Secara tegas disebutkan juga dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an :
1. ”Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman,
”sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kalian, baik laki-laki maupun perempuan...” (Ali ’Imran: 195). Disebutkan
senada dalam surat an-Nahl:97, al-Mukmin:40
2. ”Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia beriman, maka mereka masuk kedalam surga dan mereka
tidak dianiaya walaupun sedikitpun. (an-Nisa’: 124).
3. ”Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan oleh Allah kepada
sebagian kalian dari sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka kerjakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka

September 2016 | Rasyidah

5

kerjakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya, Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa’: 32).

4. ”Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan
kebaikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat, menunaikan zakat,
mereka taat dan patuh kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (atTaubah: 71).

5.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (al-Hujurat: 13)
Diantara beberapa ayat yang diketengahkan di atas dapat diuraikan beberapa
pelajaran.

1. Perempuan dan laki-laki sama sama akan mendapat pahala, perlindungan dan
apresiasi dari Allah jika melakukan amal shaleh.
2. Diantara laki-laki dan perempuan ada yang menjadi pelindung dan penolong
(auliya) bagi yang lainnya.

3. Perempuan dan laki-laki yang paling mulia di sisi Allah adalah perempuan dan lakilaki yang paling bertaqwa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa data historis di Aceh, masa rasul
dan sahabat sudah menjelaskan luasnya kiprah sosial perempuan Islam. Ayat alQur’an juga jelas berbicara kiprah sosial secara setara laki-laki dan perempuan.
Tinggal bagaimana laki-laki dan perempuan mewujudkannya dalam cara-cara yang
sesuai dengan ketentuan Islam. Dengan demikian perempuan yang berkiprah sosial
dalam rangka mengembangkan amal shalehnya, maka sesungguhnya ia sedang
berupaya menggapai kwalitas taqwa. Tidak pantas pula jika ibadah sosial perempuan
ini kemudian dibatasi dengan berbagai alasan.

September 2016 | Rasyidah

6

September 2016 | Rasyidah