KEDUDUKAN PANCASILA DALAM PEMBENTUKAN HU

KEDUDUKAN PANCASILA
DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA1
Oleh: Muhammad Khambali2
Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Email: hmkhambali@yahoo.com

Abstrak
Pasal 1 UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan
negara kesatuan yang berbentuk republik, kedaulatan berada di tangan rakyat dan
berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).
Sebagai negara hukum, baik penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu
sendiri semuanya harus tunduk kepada hukum. Negara hukum dalam perspektif Pancasila
yang dapat diistilahkan sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila
disamping memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam
rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik yang
menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal
secara umum. Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, dasar Negara, dan
sumber tertib hukum Indonesia menjiwai serta menjadi mercusuar hukum Indonesia.
Pancasila menjadi sebuah system filsafat menjiwai segenap hukum (rules) di dalam system
hukum Indonesia.
Kata kunci: pembentukan hukum, negara hukum, Pancasila.

Pendahuluan
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen menegaskan bahwa Negara
Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. Pasal 1 ayat (2) menentukan
bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) menentukan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Ketiga ayat dalam Pasal 1 UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa Negara
1

2

Disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fak. Hukum Universitas
Pembangunan Panca Budi Medan.
DR. Drs. H. Muhammad Khambali, S.H., M.H., Advokat dan Dosen Fak. Hukum UCY; alumnus
Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fak. Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang.

Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtstaat).
Hamdan Zoelva mengatakan3, bahwa negara hukum dalam perspektif Pancasila
yang dapat diistilahkan sebagai negara hukum Indonesia atau negara hukum Pancasila

disamping memiliki elemen-elemen yang sama dengan elemen negara hukum dalam
rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki elemen-elemen yang spesifik yang
menjadikan negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal
secara umum. Perbedaan itu terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945 yang di dalamnya mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip
musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial,
kekeluargaan dan gotong-royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan negara
kesatuan Indonesia. Pembentukan hukum baik oleh pembentuk undang-undang maupun
oleh Mahkamah Konstitusi harus menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam
satu kesatuan sebagai nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang.
Sebagai negara hukum, baik penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan
negara itu sendiri semuanya harus tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan
perbuatannya harus sesuai atau menurut hukum. Sumber hukumnya adalah rasa hukum
yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Plato penyelenggaraan negara yang
baik adalah pemerintahan yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik, dan
penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu

3


https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara -hukum-dalam-perspektif-pancasila/
diakses tanggal 3/10/2015 pukul 02:03 pm WIB.

2

alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara.4 Negara Indonesia sebagai negara
hukum yang merdeka harus membangun hukum nasionalnya sendiri yang bercirikan
kepada watak dan jiwa kepribadian (volkgeist)5 bangsa Indonesia. Hukum nasional
Indonesia merupakan hukum dalam lingkup nasional yang dibangun dari hasil usaha
bangsa Indonesia yang berlandaskan dan berpedoman pada dasar falsafah dari ideologi
Pancasila.6
Setelah 72 tahun Negara Indonesia merdeka, masih banyak hukum Negara
Belanda yang dipergunakan, misalnya dalam hukum materiil masih menggunakan KUHP
yang berasal dari Wetboek van Straafrecht (WvS), padahal Wetboek van Straafrecht itu
sendiri di Negara Belanda telah berkali-kali direvisi. Dalam perkara tertentu di Indonesia
masih menggunakan KUHPerdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek. Demikian pula
dalam perkara perdata masih menggunakan hukum acara Belanda yakni HIR untuk Jawa
dan Madura, dan RBg untuk luar Jawa dan Madura.
Selama ini Negara Indonesia dalam hukum masih menerapkan empat hukum yaitu
hukum adat, hukum Islam, civil law dan common law.7 Hukum adat diberlakukan di

Indonesia karena hukum adat merupakan hukum asli yang lahir dari kebudayaan dan hidup
di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Menurut van Vollenhoven dalam bukunya yang
4

Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi, 2014, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Bandung:
Nusa Media, hlm 1.

5

Pelopor aliran historis adalah Karl von Savigny (1799-1861) dan Maine (1822-1888). Savigny
adalah seorang negarawan dan sejarawan Prussia, yang mengupayakan pemahaman tentang hukum
melalui penyelidikan tentang volkgeist sendiri atau the soul of people (jiwa rakyat).
Istilah volkgeist sendiri itu diperkenalkan pertama sekali oleh murid Savigny, yaitu G. Puchta. G.Puchta
mengemukakan bahwa: “Law grows with the growth, and strengthens with the strength of the people, and
finally diesaway as the nation loses its nationalty.” (Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan
pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia
mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya). Hukum tidak berlaku secara universal, karena hukum itu
lahir dari “volkgeist” yang berbeda-beda antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya. (http://foluinalauddin.blogspot.co.id/2012/09/mazhab-historis-hukum.html diakses tanggal 3/10/2015 pukul 02:49
pm WIB).
Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi, op.cit., hlm 5-6.

Teguh Prasetyo, 2013, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta: Media
Perkasa, hlm 75.

6
7

3

berjudul het Adatrecht van Nederlandsch, hukum adat merupakan keseluruhan aturanaturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang bumiputera dan orang-orang timur
asing yang mempunyai pemaksa dan sanksi, lagi pula tidak terkodifikasi.8
Dalam pembentukan hukum harus memperhatikan politik hukum pembentukan
hukum. Moh. Mahfud MD mengatakan, bahwa politik hukum secara sederhana dapat
dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum itu.9

Pembentukan Hukum
Pembentukan hukum (in casu undang-undang) oleh wakil-wakil rakyat, baik yang
ada di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden yang dipilih

langsung oleh rakyat, maka hukum tersebut harus bernuansa kerakyatan, atau bersifat
aspiratif dan responsif. Hukum responsif akan menghasilkan hukum yang bersifat
responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok social dan individu dalam
masyarakatnya.10
Tahapan hukum dalam law making process harus berakar dari rakyat dan
muaranya ditujukan untuk kepentingan rakyat. Dalam tahapan legal product harus
terpenuhi syarat-syarat, sebagaimana dikatakan oleh Soehino, sebagai berikut:11

8
9
10
11

Ibid, hlm 3.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, hlm 1-2.
Ibid, hlm. 23.
Soehino, 1996¸Hukum Tatanegara, Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta: Liberty, hlm. 16.

4


Suatu produk yang merupakan hasil karya Badan Pembentuk Undangundang seperti tersebut di atas supaya secara formal berbentuk Undangundang harus memperhatikan syarat-syarat:
a. Tata cara pembentukannya harus melalui prosedur yang telah ditentukan,
sejak

mempersiapkan

rancangan

undang-undang

sampai

penandatangan/pengesahan undang-undang;
b. Dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan;
c. Diundangan sebagaimana mestinya, yaitu menurut bentuk dan cara yang
telah ditentukan untuk itu.
Dengan demikian dalam tahapan law implementation tentunya tidak akan
mengalami hambatan, yang selanjutnya dalam tahapan law enforcement juga relatif tidak
akan menemui masalah (efektif). Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat pula terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang

telah dilanggar itu harus ditegakkan.
Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan
hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu:
1.

Kepastian hukum (rechtssicherheit),

2.

Kemanfaatan (Zweckmassigheit)¸dan

3.

Keadilan (Gerechtigheit).12
Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, harus disadari pula bahwa

hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigheit) disamping sebagai
kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigheit).13
12
13


Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, hlm. 140.
Darji Darmodiharjo, dan Sidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 154.

5

Pembentukan hukum di Indonesia telah diatur jenis, hierarkinya oleh UndangUndang Republik Indonesia Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Negara di dunia yang menganut paham teokrasi menganggap
sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang
terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Kemudian untuk Negara
yang menganut paham negara kekuasaan yang dianggap sebagai sumber dari segala
sumber hukum adalah kekuasaan. Lain halnya dengan negara yang menganut paham
kedaulatan rakyat yang dianggap sebagai sumber dari sumber hukum adalah kedaulatan
rakyat.
Bagi Negara Republik Indonesia yang menjadi sumber dari sumber hukum adalah
Pancasila yang dijumpai dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, dasar
negara, dan sumber tertib hukum Indonesia yang menjiwai serta menjadi mercusuar hukum
Indonesia. Pancasila inilah yang menjadi landasan pembenar bagi pembangunan ilmu

hukum Indonesia berdasarkan epistemology rasio-empiris-intuisi-wahyu. Masuknya
intuisi-religi sebagai metode dalam ilmu hukum Indonesia diharapkan mampu menjadikan
lengkap ilmu hukum dan memberi semangat serta jiwa pembangunan hukum Indonesia.14
Keterkaitan hukum dan manusia tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya
pembangunan hukum Indonesia harus melalui pemahaman hakekat manusia. Notonagoro
menunjukkan hakekat manusia secara integral. Hakekat dasar manusia dalam Negara
Republik Indonesia yang ber-Pancasila sebagai makhluk yang monopluralis (majemuktunggal). Manusia sebagai makhluk monopluralis oleh Notonagoro diartikan sebagai
makhluk yang sekaligus memiliki tiga hakekat kodrat sebagai berikut:
14

Abdul Ghofur Anshori, 2008, Menggali Makna Sistem Hukum Dalam Rangka Pembangunan Ilmu
Hukum Dan Sistem Hukum Nasional, Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Hukum UGM ke-62, hlm. 5

6

1.

Susunan kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk yang tersusun dari raga
dan jiwa.


2.

Sifat kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social.

3.

Kedudukan kodrat monodualis: yaitu manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri
dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.15
Melalui pemahanan bahwa manusia bersifat monopluralis ini memberikan

landasan bahwa paradigm hukum Indonesia adalah Pancasila. Diuraikan oleh Notonagoro
bahwa landasan ontology manusia yang monopluralis adalah landasan bagi Pancasila
menjadi sebuah system filsafat. Selanjutnya Pancasila menjadi sebuah system filsafat
menjiwai segenap hukum (rules) di dalam system hukum Indonesia.16
Pembentukan hukum di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menentukan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan
Perundang-undangan.
Dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

15
16

Ibid, hal. 12.
Ibid, hal. 12.

7

a.

Kejelasan tujuan;

b.

Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c.

Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d.

Dapat dilaksanakan;

e.

Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f.

Kejelasan rumusan; dan

g.

Keterbukaan.
Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:
Huruf a: Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
Huruf b: Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undanga harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c: Yang dimaksudkan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan.
Huruf d: Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap
Pembentukan

Peraturan

Perundang-undangan

harus

memperhitungkan

efektivitas

8

Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e: Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Huruf f: Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Huruf g: Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Bab II Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.

Pengayoman;

b.

Kemanusiaan;

c.

Kebangsaan;

d.

Kekeluargaan;
9

e.

Kenusantaraan;

f.

Bhinneka tunggal ika;

g.

Keadilan;

h.

Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i.

Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j.

Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:
Huruf a: Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat.
Huruf b: Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi
muatan

peraturan

perundang-undangan

harus

mencerminkan

perlindungan

dan

penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
Huruf c: Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Huruf d: Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

10

Huruf e: Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari system hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f: Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi
muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf g: Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara.
Huruf h: Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarka latar belakang, atara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status social.
Huruf i: Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j: Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.

11

Bab II Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa selain
mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1), peraturan perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundangundangan yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan”, antara lain:
a.

Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b.

Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar falsafah, pandangan hidup, dasar Negara, dan sumber
tertib hukum Indonesia menjiwai serta menjadi mercusuar hukum Indonesia. Pancasila
menjadi sebuah system filsafat menjiwai segenap hukum (rules) di dalam system hukum
Indonesia.
Fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau
pembentukan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang di dalamnya
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat
kemajuan pembangunan di segala bidang, yang juga mampu memenuhi kebutuhan
12

masyarakat luas yang majemuk, yang mana hukum yang dibentuk adalah merupakan rules
for the game of life. Hukum dibentuk untuk mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang
terpenting hukum dibentuk sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa
membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain dalam kerangka
bhinneka tunggal ika.
Oleh karena itu, hendaknya pemegang kekuasaan di Negara Republik Indonesia,
baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus selalu belajar dan mengkaji lebih
mendalam mengenai filsafat hukum serta pemahaman terhadap grundnorm atau sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia yakni Pancasila.

Referensi
Abdul Ghofur Anshori, 2008, Menggali Makna Sistem Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Ilmu Hukum Dan Sistem Hukum Nasional, Orasi Ilmiah Dies
Natalis Fakultas Hukum UGM ke-62.
--------------, 2009, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet.
Kedua.
Darji Darmodiharjo, dan Sidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Muchsin, 2006, Ikhtisar Filsafat Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Iblam.
Soehino, 1996¸Hukum Tatanegara, Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta: Liberty.
--------------, 1985, Hukum Tata Negara, Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia,
Yogyakarta: Liberty
Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty.
Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi, 2014, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila,
Bandung: Nusa Media.
Teguh Prasetyo, 2013, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, Yogyakarta:
Media Perkasa.
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektifpancasila/.
http://fol-uinalauddin.blogspot.co.id/2012/09/mazhab-historis-hukum.html.
13



Telah dipublikasikan di Prosiding Seminar Nasional Menata Legislasi Demi
Pembangunan Hukum Nasional, Tahun 2017, ISBN: 978-602-74803-6-0

14