DIALEKTIKA KASTA PADA KOMUNITAS ISLAM DA

1

DIALEKTIKA KASTA PADA KOMUNITAS ISLAM DALAM ARENA
POLITIK LOKAL: STUDI KASUS MASYARAKAT KEI
DI MALUKU TENGGARA
Moh. Yamin Rumra* dan Subair**
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon
Jl. Dr. Tarmidzi Taher , Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Ambon 97128
E-mail: *myaminrumra.myr@gmail.com, **bairbone1976@gmail.com
Abstract

This study is an attempt to "picture" objective conditions dialectic ethnic identity in the local political arena in
the district of the Great Kei, Kei Islands. In this case, ethnic connotations caste system still applies to Kei social
system. The aim is to assess the extent to which caste influence and lead to political hegemony in Southeast
Maluku district, specially Kei Besar. The method used is qualitative method in the form of historical case
studies. Data collection was done by using descriptive narrative. The study results showed that the caste
system in Kei Besar still maintained very strong, although some people Kei themselves sometimes do not admit
it, giving rise to political hegemony in the Kei islands. Political hegemony in Kei Besar is a condition in which the
group Mel-mel (upscale) dominate the group Ren-ren (middle class) and Iri-ri (lower class). Leadership is due to
the voluntary consent of the lower class or upper class of society to lead. Approval of the lower classes of this
happened because kebehasilan upscale in instilling the ideology of the group. This resulted in the power of

government to date only in controlled by Mel-mel class. Even groups Ren-ren and Iri-ri has a considerable
intellectual ability, will not be used in the system of government. The point is that the right to sit as a political
leader and government in the Kei islands are those from the Mel-mel caste.
Keywords: Kei, Caste, Mel-mel, Ren-ren, Iri-ri, Larvul Ngabal, Local Politics, Identity Politics

A. Pendahuluan

Indroktrinitas keseragaman (homogenisasi) yang diberlakukan rezim Orde Baru selama
kurang lebih 32 tahun, berakhir pada tahun 1998. Melalui UU No. 22 tahun 1999 kemudian direvisi
menjadi UU No. 32 tahun 2004, pemerintah mendeklarasikan kebijakan populis yang dikenal dengan
nama desentralisasi (otonomi daerah). Dengan lahirnya kebijakan tersebut, rakyat berharap banyak
adanya angin segar bagi sistem bernegara dan bermasyarakat (meliputi: ekonomi, politik,
pendidikan, dan sosial), serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Meski harapan tersebut, di satu sisi
memberikan dampak positif bagi masyarakat, seperti: kebebasan berekspresi, kebebasan
menentukan pilihan politik, kewenangan pemerintah daerah mengelola sumber-sumber ekonomi,
dan lain sebagainya. Namun pada sisi lain, berbagai persoalan dan ancaman baru bermunculan dan
seakan lebih menakutkan dibandingkan ketika rezim Orde Baru berkuasa.
Salah satu yang menjadi diskursus persoalan dan ancaman baru tersebut adalah kondisi
obyektif identitas etnik dalam kaitannya dengan politik lokal di era desentralisasi. Tak dapat disangkal
sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, kontrol negara melalui kekuatan militer dan partai pemerintah

berhasil membungkam kekuatan identitas etnik di daerah-daerah. Sebagai contoh, pada penghujung
tahun 90-an, pengalaman pahit menimpa negeri ini di arena sosial. Etnik Madura menjadi korban
kekerasan komunal dan secara paksa harus meninggalkan Sambas, Kalimantan Barat (Klinken, 2007,
h. 89-91; Maunati, 2004). Pada waktu yang bersamaan, etnik BBM (Buton, Bugis, Makassar) dengan
berat hati dan keterpaksaan harus meninggalkan Ambon yang dilanda perang etno-relegius (Klinken,
2007, h. 147-152). Atas kenyataan ini, Kolopaking (2011) mengingatkan bahwa pengorganisasian yang
tidak tepat atas realitas keberadaan suku bangsa yang beragam di era desentralisasi menyebabkan
potensi konflik yang akan terjadi di negara ini baik di pedesaan dan perkotaan.
Studi ini merupakan upaya memotret lebih dekat kondisi obyektif dialektika identitas
dalam arena politik lokal di Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara. Studi ini ini bertujuan untuk

2
membentuk pemahaman bahwa kondisi dan kedudukan kelompok etnik merupakan struktur
obyektif yang menentukan pembentukan identitas etnik dan mempengaruhi tindakan aktor dalam
arena politik lokal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti membangun asumsi bahwa
identitas etnik dalam bentuk kasta dan dominasi kasta atas dasar hukum ada larvul ngabal akan
menentukan pembentukan identitas etnik dan praktik dominasi etnik dalam arena politik lokal.

B. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sebuah prosedur penelitian yang
menghasilkan data berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang
(subyek) itu sendiri (Subair, 2014). Penelitian kualitatif di sini digunakan untuk mengeksplorasi dan
mengeksplanasi pemahaman informan tentang berbagai aspek sosial yang berkaitan dengan politik
identitas.
Adapun kasus yang dipilih terkait dengan topik penelitian, yakni pemaknaan aktor terkait
sejarah dan distingsi identitas kasta, kekuatan (kepemilikan modal ekonomi, simbolik, budaya, dan
sosial) aktor, pengalaman relasi antar aktor (berbeda kasta), dominasi politik berdasarkan kasta,
pertarungan yang terjadi antar aktor, strategi-strategi aktor, dan politik identitas saat berlangsungnya
pilkada. Semua kasus-kasus tersebut dibingkai dalam frame yang terjadi di arena politik lokal. Dengan
demikian, tujuan penggunaan pendekatan ini adalah memberikan pola spesifik identitas kasta dan
relasi antar kasta yang merupakan satu kesatuan dalam moda praktik di arena politik lokal.
Data penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif artinya data dilaporkan dalam bentuk katakata (terutama kata-kata peserta) atau gambar-gambar bukannya dalam bentuk angka (Cresswell
2003: 198-199). Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang
difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan teknik pengamatan dan wawancara mendalam secara langsung pada subjek
penelitian. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka. Data
yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang telah disunting dan ditranskripsi
selanjutnya dianalisis menggunakan analisa kualitatif.


C. Tinjauan Pustaka
Konsepsi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial (social stratification) berasal dari kata bahasa latin stratum (tunggal) atau
strata (jamak) yang berarti lapisan. Stratifikasi sosial merupakan penggolongan kelompok
masyarakat dalam berbagai lapisan-lapisan tertentu. Sorokin (dikutip dalam Soekanto, 1990)
mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan
kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis) dengan perwujudannya adalah kelas tinggi dan kelas yang
lebih rendah. Eshleman dan Cashion (2000, 206) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai the
Ranking of people according to their wealth, prestige, or social position. Doob (1985, h. 206)
mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai the structured inequalityof accsess to rewards, resources,
and privileges that are scarce and desirable within a society .
Mac Iver (dikutip dalam Sjaf, 2012) dalam bukunya yang berjudul The Web of Government
menyebutkan ada tiga pola umum sistem lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu tipe
kasta, oligarkis dan demokratis. Tipe kasta adalah tipe atau sistem lapisan kekuasaan dengan garis
pemisahan yang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada masyarakat berkasta yang
hampir tidak terjadi mobilitas sosial vertikal. Garis pemisah antara masing masing lapisan hampir
tidak mungkin ditembus. Puncak piramida diduduki oleh penguasa tertinggi, misalnya maharaja, raja,
dan sebagainya, dengan lingkungan yang didukung oleh kaum bangsawan, tentara, dan para ahli
agama. Lapisan berikutnya berturut-turut adalah para tukang, pelayan, petani, buruh tani dan budak.

Tipe kedua adalah tipe Oligarkis. Tipe ini memiliki garis pemisah yang tegas, tetapi dasar
pembedaan kelas kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat tersebut. Tipe ini hampir
sama dengan tipe kasta, namun individu masih diberi kesempatan untuk naik lapisan. Di setiap
lapisan juga dapat dijumpai lapisan yang lebih khusus lagi, sedangkan perbedaan antara satu lapisan
dengan dengan lapisan lainnya tidak begitu mencolok. Ketiga adalah tipe Demokratis. Tipe ini
menunjukkan adanya garis pemisah antara lapisan yang sifatnya mobil (bergerak) sekali. Dalam hal

3
ini kelahiran tidak menentukan kedudukan seseorang, melainkan yang terpenting adalah
kemampuannya dan kadang kadang faktor keberuntungan.
Menurut Karsidi (2007, h. 175-177), terdapat tiga pendekatan dalam mempelajari stratifikasi
sosial, yaitu:
a. Metode obyektif yaitu suatu penilaian obyektif terhadap orang lain dengan melihat dari sisi
pendapatannya, lama atau tingginya pendidikan dan jenis pekerjaan.
b. Metode subyektif. Dalam metode ini strata sosial dapat dirumuskan menurut pandangan
anggota masyarakat yang menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat.
c. Metode reputasi. Dalam metode ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana
anggota masyarakat menempatkan masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu.
Ada beberapa teori dalam pendekatan stratifikasi sosial menurut Sanderson (2003, h. 157),
yaitu sebagai berikut.

a. Teori Evolusioner-Fungsionalis. Teori ini dikemukakan oleh ilmuwan sosial yaitu Talcott
Parsons. Dia menganggap bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat
kecenderungan masyarakat untuk berkembang, yang disebutnya sebagai kapitalis adaptif .
b. Teori Surplus Lenski. Sosiolog Gerhard Lenski mengemukakan bahwa makhluk yang
mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
c. Teori Kelangkaan. Teori ini beranggapan bahwa penyebab utama timbul dan semakin
intensnya stratifikasi disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk.
d. Teori Marxian. Teori ini menekankan pemilikan kekayaan pribadi sebagi penentu struktur
strtifikasi.
e. Teori Weberian. Teori ini menekankan pentingnya dimensi stratifikasi tidak berlandaskan
dalam hubungan pemilikan modal.
Dengan demikian, ada 5 teori yang harus kita ketahui dalam stratifikasi sosial, diantaranya
teori Evolusioner-Fungsionalis yang mengarah kepada kecenderungan perkembangan masyarakat,
teori Surplus Lenski yang mengarah kepada egoisme, teori Kelangkaan yang mengarah kepada
tekanan jumlah penduduk, teori Marxian mengarah kepada kekayaan seseorang menentukan
stratifikasi sosial, sedangkan teori Weberian yang menagarah kepada stratifikasi tidak berlandasan
kepemilikan.

Politik Identitas


Meski diskursus politik identitas baru mengemuka di Indonesia, akan tetapi rentetan
peristiwa di tanah air yang bersinggungan dengan identitas (baik etnik maupun agama), bukanlah hal
yang baru. Terlebih ketika pasca reformasi yang ditandai perubahan sistem ekonomi dan politik dari
sentralisasi ke disentralisasi, identitas memiliki peranan penting membentuk nation identity. Nation
identity (identitas nasional) adalah suatu bentuk identitas imajenatif dengan negara-bangsa sebagai
sesuatu yang diekspresikan melalui simbol dan diskursus. Jadi, bangsa bukan hanya bangunan politis,
melainkan juga sistem representasi budaya, sehingga identitas nasional secara terus menerus
direproduksi melalui aksi diskursif (Barker, 2006). Praktik konflik sosial (Sambas, Ambon, Poso, dan
lain sebagainya), praktik pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bias identitas etnik, dan praktik
pemekaran daerah yang sarat identitas adalah bukti bahwa politik identitas merupakan tema yang
tidak dapat dikesampingkan dalam diskursus masyarakat majemuk, seperti Indonesia.
Dalam teori praktiknya, Bourdieu merumuskan dua dimensi, yakni proses internalisasi yang
dialami pelaku (seseorang atau sekelompok orang) dan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah
terinternalisasi yang menjadi bagian dari diri si pelaku (Mutahir, 2011). Internalisasi yang dialami
pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup yang melekat dalam diri aktor (habitus) dalam
berbagai arena. Untuk itu, setiap praktik praktik aktor merupakan produk hasil interaksi antar habitus
dan arena. Dikarenakan arena mempunyai aturan-aturan tersendiri, maka setiap aktor harus mampu
berjuang di arena tersebut.
Selanjutnya praktik aktor yang dihasilkan atau dimiliki seseorang atau sekelompok orang
merupakan produk hasil interaksi antara habitus dan arena. Untuk mempertahankan eksistensi

seorang aktor dalam arena tertentu, maka seorang aktor harus memiliki kekuatan dan cara aktor

4
mempertahankan eksistensinya di arena. Dalam hal ini, Bourdieu memperkenalkan konsep modal
(capital) dan strategi persaingan. Tidak itu saja, Bourdieu juga memperkenalkan konsep power
symbolic, doxa, orthodoxy, dan heterodoxy yang penting digunakan untuk menganalisis
pembentukan identitas aktor.

D. Hasil dan Pembahasan
1. Sistem Stratifikasi Sosial Masyarakat Kei

Stratifikasi masyarakat Kei, yang sering diasosiasikan sama dengan sistem kasta, terwujud
dalam tiga tingkatan: Mel-mel, mereka adalah para migran atau pendatang, yang dalam bahasa Kei
biasanya disebut marvutun. Patikayhatu (1998) menyebutnya Mel Kasil Tahit (Cicak Pantai); Ren-ren,
merupakan kelompok orang merdeka mereka adalah penduduk asli; dan iri-ri, yakni kelompok
pengabdi yang ada akibat individu-individu (baik Mel dan Ren) yang melakukan perbuatan
melanggar adat sehingga status sebagai mel atau ren dicabut. Status ini diberikan sebab individu
tersebut dibeli atau dibayar hutangnya oleh golongan mel-mel dan ren-ren. Ini berarti kelompok iri-ri
bersifat situasional yang hanya muncul akibat individu dari kedua kelompok itu melakukan
pelanggaran adat. Dalam realitasnya, kedua kelompok/golongan terakhir dapat dikategorikan sebagai

golongan subaltern dalam pandangan Gramsci (dikutip dalam Ratna, 2005), sebab keduanya berada
dalam posisi terdominasi dan tereksploitasi oleh golongan mel-mel.
Sejarah pembentukan strata (kasta) di Kepualuan Kei terjadi sekitar abad ke 15 atau 16.
Pembentukan strata ini berkaitan dengan kehadiran orang luar, yang dalam sumber tertulis dan
seakan sudah umum diakui sendiri oleh orang Kei, menyebutnya berasal dari Bali. Ohoitimur (2010)
memberi gambaran tentang orang luar yang bernama Kasdew; yang diyakini sebagai orang pertama
yang datang dari Bali, terdampar di teluk Sorbay.
Sedubun (2001, h. 20) memperkirakan kedatangan orang luar tiba di tanah Kei sekitar tahun
1502-1543 dan membentuk pemerintahan sampai lahirnya Hukum Adat Larvul Ngabal, di antara
tahun 1557-1567. Sedubun menggunakan istilah orang luar dan bukan orang Bali, dengan tujuan
utamanya yakni untuk melihat kaitannya dengan pembentukan dan sekaligus pengakuan keberadaan
strata-strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri di tanah Kei. Ada dua alasan mendasar sebagai praduga untuk
melihat kembali dasar keberadaan strata-strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri di tanah Kei. Pertama,
bahwa orang luar itu sangat mungkin adalah orang Jawa, warga Kerajaan Majapahit, yang kesasar
dari sasaran pelariannya selama pelayaran mengungsi dari pulau Jawa ke pulau Bali. Raja dan rakyat
Majapahit mengungsi keluar ke Bali untuk menghindarkan diri dari perang melawan kekuasaan Islam,
yang adalah sesama saudaranya orang Jawa. Mereka bukan orang Bali, tetapi orang Jawa, tepatnya
Jawa Timur yang mengungsi ke Bali. Jadi, Kasdew dan keluarganya dalam pelariannya, tidak
mencapai Bali, tetapi tercecer atau terdampar dalam pelayarannya, dan akhirnya tiba di teluk Sorbay.
Pemahaman tentang pengungsi yang lari dan berhasil tiba di tanah Kei adalah orang Jawa,

dan bukan orang Bali, menjadi penting. Dengan demikian, orang luar atau Kasdew, patut diduga
berasal dari Jawa. Bukan dari Bali. Selama ini semua orang Kei menyebut Kasdew berasal dari Bali.
Penetapan pemahamn seperti ini berkonotasi pengesahan status strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri; di
mana karena di Bali ada pembagian kasta dan karena itu sama dengan di tanah Kei juga ada kasta.
Padahal kasta pelapisan sosial di tanah Kei itu sangat berbeda dengan yang ada di Bali dan di India. Di
Kei itu bukan kasta, tetapi strata (Laksono dkk., 2005, h. 88-92). Sebab, kasta punya struktur
organisasi dengan pemimpinnya dan ada ideloginya, yang menjadi dasar perjuangan tiap kasta,
seperti di India.
Kedua, pengakuan dan pemisahan secara kokoh strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri di tanah Kei
terbentuk pada masa penjajahan Belanda di abad ke-16 atau 17. Prosesnya bisa diuraikan dengan
jelas sebagai sebuah upaya politisasi dengan akibat penindasan masyarakat demi mencapai
kepentingan penjajah Belanda. Belanda mengambil orang mel-mel dari mereka yang pandai
administrasi dan berkemampuan menjadi pemimpin dalam masyarakat. Yang terpilih di sini adalah
para orang luar yang dalam kedudukan sebagai raja-raja pertama di tanah Kei, disebut hala ai atau
pemimpin. Mereka adalah orang dari (Bali), Jawa, Ternate (dan Arab). Orang Ternate (dan Arab) ini
bisa terlihat dari turunan Raja di pulau Dulahlaut, Tual, Ibra dan beberapa desa Islam di Kei Besar.

5
Orang (Bali), Jawa lebih banyak menjadi mel-mel. Dari sini kita bisa mengerti bahwa sebelum Belanda
mengokohkan keberadaan strata mel-mel, ren-ren dan iri-ri di Kei, strata itu sudah ada. Sebab, orang

mel-mel di Kei sesungguhnya berasal dari dua sumber, yaitu mel-roa, atau orang memerintah yang
berasal dari orang luar (Jawa) dan pendatang (Ternate dan Arab), dan mel-nangan, yang adalah asli
Kei. Orang Kei mengenal mel-nangan adalah para Raja, yang tahu akan batas-batas tanah. Mereka
disebut tuan tan atau tuan tanah, yang banyak tersebar selaku strata ren-ren di Kei Besar.
Ketika Belanda datang, karena kepentingan pemerintahan dan politik (keamanan), diubahlah
menjadi strata atas, mel-mel terdiri dari orang-orang yang mampu memerintah dan mengatur
masyarakat; yang masuk di sini adalah orang Jawa, Ternate (dan Arab). Strata tengah atau ren-ren
adalah mereka yang mengurus tanah dan mandor bagi pekerjaan Belanda; masuk di sini orang melnangan, yaitu para tuan tanah asli Kei, atau tuan tan. Strata bawah adalah iri-ri yang berasal dari para
opas atau tenaga buruh kasar tanpa gaji, pemikul peralatan tentara dan alat-alat masak untuk operasi
militer. Orang iri-ri ini terbanyak adalah budak atau orang hukuman yang ditebus oleh seseorang atau
iri-ri tivtivut atau budak yang ditebus, (Ohoitimur, 1983, h. 13), lalu dijadikan budak.
Selanjutnya, pemerintah Belanda menguatkan pembagian masyarakat Kei dalam tiga strata
sosial, yaitu mel-mel, ren-ren dan iri-ri. Penguatan strata ini juga makin menggumpal ketika muncul
gerakan dan gejolak politik yang menimpa dan mengucilkan orang pribumi Kei. Undang-undang
pemerintahan yang digulirkan dari pusat menguatkan strata di masyarakat Kei. Kondisi itu ditunjang
juga dengan arogansi oknum-oknum mel-mel di birokrasi eksekutif, legislatif dan pemilik modal, lalu
lahirlah mel-mel sebagai strata yang tertinggi, berkuasa dan punya hak-hak istimewa di hampir segala
bidang kehidupan di masyarakat Kei. Orang ren-ren dan iri-ri tersandera oleh ketidakadilan sejarah,
buah tangan penjajah Belanda dan diteruskan oleh saudaranya sendiri, orang Kei mel-mel.
Di desa Ohoiwait misalnya, nuhu duan (ren penduduk asli) tidak menjalankan fungsinya
sebab terekspliotasi oleh mel-mel. Posisi mereka tidak jelas, bahkan oleh sebagaian kelompok (melmel) mengatakan bahwa penduduk asli ini telah punah setelah kekuasaan adat diserahkan (Ngabalin,
2006, h. 78-79).

2. Stratifikasi Sosial dan Dominasi Kasta pada Arena Politik Lokal

Secara sederhana, dominasi didefinisikan sebagai penguasaan oleh pihak tertentu yang lebih
kuat terhadap pihak lainnya yang lebih lemah. Dengan demikian, praktik dominasi kasta (etnik)
dalam arena politik dapat didefinisikan sebagai bentuk pertarungan yang terjadi antar aktor dari
basis etnisitas berbeda untuk memperebutkan sumber-sumber politik, dimana dari hasil pertarungan
tersebut akan tampil aktor (kelompok) kasta (etnik) tertentu sebagai pemenang yang lebih kuat dan
memiliki penguasaan atas sumber-sumber ekonomi politik terhadap aktor (kelompok) kasta lainnya
yang kalah dan berada pada posisi yang lebih lemah.
Pengakuan keotoritasan aktor tersebut disebabkan aktor memiliki modal simbolik dan
budaya yang tidak diragukan lagi. Adapun modal simbolik yang dimiliki aktor, seperti: keturunan
bangsawan (golongan atas dari pelapisan sosial tradisional), ketua paguyuban kelompok etnik, ketua
organisasi masyarakat, dan dosen/guru. Sementara itu, modal budaya yang dimiliki aktor, seperti:
gelar pendidikan tinggi, memiliki komitmen terhadap pendidikan, dan pengetahuan yang luas
terhadap sejarah dan kebudayaan etniknya. Berangkat dari kedua modal tersebut, maka aktor
seolah-seolah memiliki otoritas dan berorientasi menegakkan prinsip hierarki otonom, yaitu menjaga
eksistensi etnisitasnya di arena politik lokal.
Bilamana pendapat Bourdieu di atas disesuaikan konteks studi ini, maka modus operandi
merupakan kondisi dan kedudukan dari kelompok-kelompok kasta yang dipengaruhi dimensi sejarah
(obyektifikasi) yang memiliki struktur kuat dan sudah terbangun sejak lama. Dengan kata lain,
sejarah kasta merupakan modus praktik yang dipertahankan kelompok kasta secara masif untuk
melanggengkan wacana dominan kekuasaan simbolik. Kemudian modus praktik ini, berdampak
terhadap semakin kokohnya legitimasi dan kekuasaan yang mempengaruhi pembentukan identitas
kasta dalam arena politik lokal. Oleh karena itu, identitas aktor dalam masyarakat majemuk adalah
habitus yang diperoleh dari kesejarahan etnisitas. Sedangkan opus operatum merupakan
pengalaman (subyektifikasi) aktor ketika memaknai realitas yang dihadapi dalam arena politik lokal,

6
sehingga membentuk identitas kasta atau habitus yang merupakan kedirian dari aktor tersebut.
Adapun obyektivikasi dan subyektivikasi sebagaimana yang dimaksud, akan diuraikan di bawah ini.
Sistem kasta sesungguhnya lebih kuat di Kei Besar dibanding Kei Kecil. Di Kei Kecil pelapisan
sosial sudah ditempatkan pada posisinya yang sepatutnya. Maksudnya, pelapisan sosial mel-mel, renren dan iri-ri, akan terlihat ketika ada peristiwa-peristiwa ritual adat, seperti rapat desa, pelantikan
Rat (Raja), Orangkai (Kepala Desa) dan acara adat lainnya. Dalam interaksi sosial masyarakat seharihari, hampir tidak terlihat pembedaan di antara mereka.
Di Kei Besar, pengaruh pelapisan sosial masih sangat kuat dipraktekkan dalam interaksi
masyarakat Maluku Tenggara atau orang Kei. Hal itu sangat kuat terlihat di perkawinan; tidak boleh
terjadi perkawinan lintas strata mel-mel dengan ren-ren atau mel-mel dengan iri-ri dan sebaliknya.
Sedubun (2014) menemukan adanya semacam jabatan tuan orang mel-mel, yang
menguasai sejumlah orang ren-ren dan iri-ri, yang disebut orang rumah atau kepala marga. Orang
rumah adalah sebutan untuk orang ren-ren dan terutama orang iri-ri, yang menjadi kelompok
terbawah yang dikuasai oleh seorang mel-mel sebagai kepala fam-nya. Orang-orang ini biasanya
dipakai sebagai para pekerja bagi kepentingan tuan mel-mel-nya. Orang ren-ren dan terutama orang
iri-ri, yang dikuasainya, biasanya dipakai untuk mengerjakan kebun atau mengolah kopra bagi
kebutuhan ekonomi pribadinya. Karena kewenangan yang sewenang-wenang ini, kondisi hidupnya
lebih baik dari orang ren-ren dan iri-ri, yang dikuasainya. Mereka juga merupakan tenaga kerja siap
pakai bagi pekerjaan berskala besar di desa.
Para orang rumah, itu lebih tepat disebut sebagai budak, sebab banyak kali hak mereka
dibatasi. Mereka hanya siap melakukan apa saja kehendak orang mel-mel yang menjadi tuannya. Ada
kesan kuat bahwa strata iri-ri yang lebih banyak menjadi orang rumah atau budak bagi keluarga melmel, ketimbang strata ren-ren. Ren-ren yang menjadi orang rumah adalah orang kerja atau budak
ren-ren yang bukan berasal dari gunung, atau bukan tuan tanah Kei. Orang Kei menyebut orang renren yang adalah para tuan tan (tuan tanah) ini sebagai orang mel-nangan. Para tuan tan orang renren adalah orang-orang yang sangat menguasai batas-batas tanah di Kei. Pengetahuannya
memungkinkan mereka mampu mendudukan silsilah dan sejarah suatu wilayah, petuanan atau hak
desa-desa adat. Selain mel-nangan ada mel-mel lain yang berasal dari luar Kei, yang disebut mel-roa.
Indikasi lain yang mengikat strata iri-ri yang setia kepada mel-mel, yang tak bisa melarikan diri keluar
desa atau tanah Kei sebagai upaya keluar dari sangkar penindasan, adalah ketakutan mereka
terhadap sumpah setia mengabdi kepada mel-mel.
Seorang informan (AT) mengatakan bahwa strata mel-mel itu punya ren-ren dan iri-ri, bahwa
mereka saling bergantung. Indikasi positif itu menyata kalau orang ren-ren dan iri-ri mengalami
musibah atau bencana alam. Dalam kesusahan seperti itu, tuan mel-mel -nya datang membawa bala
bantuan yang tidak tanggung-tanggung. Ia juga mecontohkan keterikatan pemahaman itu dalam
pemberian yelim, yang biasanya diberikan di kejadian yang butuh partisipasi sesama, seperti : orang
mati, orang kawin, membangun rumah baru dan di acara adat lainnya. Semua orang dalam desa
wajib memberikan yelim, menurut kemampuannya. Ia mengatakan : Di pemberian itu sebenarnya
semua kasta (mel-mel, ren-ren dan iri-ri) melepaskan batasann status kasta-nya dan datang bersamasama memberikan dukungannya kepada keperluan yang dihadapi (AT).
Menurut seorang informan lain (EDU), dengan adanya sistem pelapisan sosial mel-mel, renren dan iri-ri, lebih memudahkan dalam mengatur pekerjaan di desa. Sebab tiap mel-mel biasanya
menjadi kepala marga atas kelompok ren-ren dan iri-ri, sehingga ketika ada pekerjaan, ia cukup
memerintahkan mereka dan pekerjaan itu mudah terlaksana. Jeleknya jika kepala desa atau si yang
punya pekerjaan tidak disukai karena bertindak tidak jujur dan tidak adil. Dalam suasana seperti itu,
mereka bisa mogok kerja dan hancurlah semua rencana kerja yang sudah digagas. Pernah ada sikap
pembangkangan dari orang ren-ren dan orang iri-ri, yang menghindarkan diri dari berbagai bentuk
penindasan oleh pribadi mel-mel tertentu.
Terdapat sebuah bentuk lain hegemoni dari orang orang mel-mel terhadap orang ren-ren dan
orang iri-ri. Jika seorang pria mel-mel menghamilkan seorang gadis ren-ren atau iri-ri, maka
persoalannya tidak seheboh dan sesulit ketika seorang pria ren-ren atau iri-ri menghamilkan seorang

7
gadis mel-mel. Jika seorang mel-mel menghamilkan seorang ren-ren atau iri-ri, ia cukup membayar
denda kepada keluarga si wanita, lalu selesai; bahkan ada juga yang persoalannya dibiarkan menguap
begitu saja. Akan tetapi jika seorang ren-ren atau iri-ri menghamilkan seorang mel-mel, ia akan
disangkal atau diusir dari desa dan si wanita mel-mel itu menjadi warga strata dari mana si pria
berasal. Ia kehilangan haknya dan mulai hidup dalam komunitas baru. Jika keduanya sungguh saling
mencintai, biasanya mereka melarikan diri ke luar desa dan meneruskan hidupnya di sana. Mereka
jarang sekali atau bahkan tidak akan kembali lagi ke desanya.
Perubahan strata yang mengalir ke bawah seperti ini memungkinkan peningkatan populasi di
strata bawah, ren-ren dan iri-ri, sedangkan di puncak strata, mel-mel, makin menyusut. Seleksi
alam ini pada kenyataannya sangat menguntungkan dominasi mel-mel; mereka menjadi sedikit,
tetapi makin berkuasa.
Kekhasan lain yang menjadi wilayah dominasi orang mel-mel sampai hari ini, mereka saja
yang banyak menduduki jabatan penting sebagai pemimpin di birokrasi di Kota Tual dan Kabupaten
Maluku Tenggara. Orang ren-ren, dan iri-ri, sangat sulit dan belum pernah ada yang bisa tembus
menempati jabatan-jabatan itu. Sebagai contoh, para birokrat di kantor Bupati Maluku Tenggara dan
juga di kantor Walikota Tual, semua Kepala Dinasnya orang mel-mel. Tidak ada yang ren-ren, apalagi
iri-ri. Baru pada masa pemerintahan Bupati Maluku Tenggara 2009-2014, ada seorang Penjabat
Kepala Dinas yang orang ren-ren. Sekali pun ia masih menjabat dan belum menjadi pejabat defenitif,
tetapi warna perubahan nampaknya mulai berani ditampilkan dari dominasi mutlak mel-mel dan
mulai membuka diri ke ren-ren.
Berikut ini adalah peta sebaran praktek hegemoni atau lebih tepat, diskriminasi berdasarkan
kasta yang dihimpun oleh Sedubun (2014).
Tabel. 1. Sebaran sikap diskriminasi strata dalam desa-desa.
No Diskriminasi
Lokasi Desa
Keterangan
1 Ekstrim
Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait,
Kei Besar Selatan
Mun Warfan, Ad
Kei Besar Utara
Yamtel, Ohoinangan
Sekitar Elat
Ela ar Lamagorong
Kei Kecil Timur
2 Toleratif
Weduar, Ohoirenan, Ohoiel, Ohoiwait,
Kei Besar Selatan
Mun Warfan, Ad
Kei Besar Utara
Yamtel, Fako,
Sekitar Elat
Ela ar Lamagorong
Kei Kecil Timur
3 Anti
Ngurdu, Waurtahait
Sekitar Elat
Sumber: Diadaptasi dari Sedubun, 2014.
Praktek hegemoni juga terjadi dalam kehidupan beragama dan menembus dinding masjid
dan gereja. Pengamatan strata sosial di dalam masjid berlangsung di sebuah Masjid di Kei Besar
ditemukan bahwa kehadiran dan partisipasi anggota jamaah untuk beribadah sama saja, baik orang
mel-mel, ren-ren dan iri-ri. Hal mencolok adalah orang ren-ren dan iri-ri, enggan duduk pada kursi di
jejeran depan. Biasanya yang masuk dan langsung duduk di jejeran depan adalah orang mel-mel.
Mereka itu adalah kepala-kepala dinas-jawatan pemerintah, anggota dan pimpinan DPR atau anggota
jamaah yang bukan orang Kei.
Tentang pemimpin ibadah, kalau orang Kei, ia haruslah seorang mel-mel. Sulit sekali diterima
jika yang menjadi imam masjid itu ren-ren atau iri-ri. Seorang informan yang bernama YR, mahasiswa
IAIN Ambon, mengatakan bahwa pada saat shalat Jumat atau shalat berjamaah, biasanya yang
menempati jejeran paling depan itu orang mel-mel dan orang mel-mel para pejabat pemerintah.
Orang tengah dan orang bawah biasanya mengambil tempat di bagian belakang sekali. Menurut
penjelasan informan, ketika orang ren-ren dan iri-ri masuk mau shalat, mereka seakan menyediakan
tempat kosong di bagian tengah Masjid supaya nanti kalau ada orang mel-mel yang datang shalat,
masih ada tempat. Rupanya tindakan dengan sengaja menyediakan tempat kosong di tengah bagi
orang mel-mel yang terlambat datang shalat itu ada maksudnya. Sesungguhnya dengan berbuat
seperti itu, mereka, orang ren-ren dan iri-ri, mau menyediakan zona bebas konflik di antara batas

8
strata sosial mel-mel dengan ren-ren dan mel-mel dengan iri-ri, supaya jangan terjadi benturan
konflik. Saya melihat konflik tentang batas sosial ini, yang memperkokoh pemisahan dan penindasan
mel-mel terhadap ren-ren dan iri-ri. Batas sosial itu sudah dimutlakkan hampir di semua sendi gerak
hidup, di kantor, di pasar dan bahkan sampai dalam hidup beribadah di masjid.
Uraian di atas menunjukan bahwa strata sosial atau pelapisan sosial menjadi masalah
terberat bagi perkembangan dan kemajuan orang Kei, di Maluku Tenggara. Sistem sosial ini
terpelihara dengan baik oleh orang mel-mel di elit masyarakat, terutama kalangan birokrasi di
pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara. Ia juga berlaku bagi orang-orang Kei yang berada di luar
daerah.

3. Dialektika dan Arena Praktek Politik Identitas

Temuan yang sangat menarik dari penelitian ini ialah seluruh informan penelitian memberi
kesan yang sama bahwa meskipun terjadi hegemoni kasta yang terbilang ekstrim pada masyarakat
Kei, adalah sesuatu yang wajar dan sudah seharusnya. Padahal pada kenyataannya, orang mel-mel
berlaku sebagai induk semang dalam tiga hal, yaitu: Pertama, hedonisme individual.
Penggelontoran biaya dan keperluan hidup demi kesenangan kepada saudara mel-mel-nya yang
tinggal di kampung, oleh saudaranya yang tinggal dan bekerja di kota, menjadi tren gaya hidup.
Ketika seseorang dari mel-mel memiliki saudara yang bekerja di kota, si saudara adik itu hidup
dengan gaya seperti orang berpenghasilan tetap atau PNS. Ia tidak berkebun, padahal sesama orang
ren-ren dan orang iri-ri di desanya berkebun dan makan enbal, makanan pokok orang Kei. Ia mampu
bergaya hidup senang seperti itu oleh karena ia dibantu secara tetap oleh saudaranya, yang bekerja
sebagai pegawai negeri di kota Tual. Karena itu gaya hidup dan perilakunya berbeda dari warga renren dan iri-ri lainnya. Ia tetap menikmati kesenangan hidup oleh suplayer -nya di kota, sedangkan
sesama orang ren-ren dan iri-ri di desanya bergulat dengan hidupnya. Kesenjangan hidup seperti ini
memperluas atau lebih tepat tetap memperkokoh status sosial si orang mel-mel di desa.
Kedua, Reorganisasi kekuasaan lokal. Orang mel-mel menduduki jabatan pimpinan di desadesa, seperti menjadi kepala desa, kepala urusan di Kantor Desa dan di dalam struktur masjid, seperti
menjadi imam atau khatib. Tanggungjawab sebagai pimpinan atau orang penting di posisi staf
kantor desa dan di masjid, punya dampak tersendiri bagi kelanggengan berkuasa, berbanding dengan
orang-orang ren-ren atau iri-ri. Mereka lebih banyak punya kesempatan untuk berkuasa, kalau tidak
bisa disebut sebagai bertanggungjawab bagi kelompok orang yang dipimpinnya.
Ketiga, keberadaan orang rumah di semua desa menjadi lahan bagi praktek penindasan,
terutama di desa-desa yang masih kuat mempertahankan strata. Sekalipun tersamar oleh
kompleksnya kegiatan dan pengaruh hidup di desa, yang interaksi dalam peran dan fungsi sosialnya
kelihatan sudah membaur, namun prakteknya masih ada dan kuat terorganisir. Keberadaannya
secara nyata, akan tampak ketika ada kerja atau urusan penting tertentu dari orang mel-mel, yang
menjadi kepala fam-nya, atau kepala marga-nya. Selain itu adanya perilaku orang iri-ri dengan sikap
setia yang sudi takluk kepada tuan mel-mel-nya. Unsur ketaklukan diri ini yang sebenarnya secara
diam-diam dilawan dengan kompensasi perilaku menghindar secara halus; dengan pergi berkebun
selama berbulan-bulan di hutan, misalnya. Tetapi mereka, orang iri-ri, tidak berdaya mengubahnya.
Sebab struktur adat telah membekuknya kalah, secara permanen. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa potensi kekuasaan terorganisir orang mel-mel dan sikap ketaklukan orang iri-ri,
melanggengkan supremasi kewenangan mel-mel. Kewenangan itu menjadi kekuasaan, yang
merajalela mulai dari batas kekuasaan di desa sampai menembusi hampir ke semua sendi hidup
orang Kei, terutama di birokrasi pemerintahan, dan juga di rumah-rumah ibadah.
Tampaknya, pertarungan strata sosial mel-mel, ren-ren dan iri-ri berada pada dua arena, yaitu
arena internal dan arena eksternal. Pertama, arena internal. Arena ini menempatkan hirarki strata
berada pada ketegangan struktural dan fungsional, mel-mel dengan ren-ren (atau mel-nangan = tuan
tanah) dan mel-mel dengan iri-ri. Di Kei Besar Utara, seperti di Dangarat, Mu un Warfan, Ad, sampai
Ohoiraut, persinggungan mel-mel dengan ren-ren (mel-nangan) kurang terasa atau kurang tertekan,
jika dibandingkan dengan mel-mel dengan iri-ri. Di wilayah ini orang iri-ri selalu siap untuk berbakti
bagi tuan mel-mel-nya. Persinggungan mel-mel dengan ren-ren, kurang bersitegang tentang siapa

9
mau perintah atau mengatur siapa. Sebab, di wilayah ini masih kuat pengakuan bahwa ren-ren, yang
adalah mel-nangan berasal dari asli Kei, yakni sebagai tuan tanah (tuan tan). Mereka sebenarnya
juga mel-mel, tetapi karena kemampuannya yang terbatas sebagai penguasa yang hanya tahu banyak
hal tentang batas-batas tanah, maka oleh penjajah Belanda mereka dimasukkan ke dalam kelompok
ren-ren.
Di Kei Besar Selatan, seperti Weduar, Ohoirenan, Ohoiwait, Ohoiel, Sather, Tutrean sampai
Weduarfer, persinggungan mel-mel dengan ren-ren sangat nyata ada dalam masyarakat. Ada kejadian
di masa lalu, yang menimpa orang ren-ren. Dengan strategi untuk menghindar dari persinggungan
terbuka, mereka memakai alasan tertentu seperti untuk menjaga batas tanah, lalu mereka
dipindahkan untuk tinggal dan membangun desa sendiri. Contohnya, seperti di desa Markeken,
sebuah anak desa dari desa induk Ohoiwait. Tetapi statusnya adalah di bawah pengaturan mel-mel.
Begitu juga dengan keadaan di Weduar, Oherenan, Ohoiel dan desa-desa lainnya di Kei Besar Timur.
Contoh lain tentang persinggungan mel-mel dan ren-ren terlihat di konflik sampai jatuh
korban jiwa yang sudah beberapa kali terjadi di antara desa Sather, ren-ren, dengan desa Tutrean,
mel-mel. Pokok pertikaian adalah mengenai hak mengelola meti, berupa hasil lola. Hal serupa terjadi
juga di antara dua desa Holath atas (gunung-Katolik) dan Holath bawah (pantai-Protestan). Kedua
desa berseteru tentang hak menuai hasil laut lola dan batu laga. Tetapi, perdamaian dengan
penyelesaian adat di antara desa Holath atas dan Holath bawah dicapai pada tanggal 15 Januari 2001
dengan tanda hawear. Perdamaian itu dilaksanakan di woma desa Holath, di perbatasan di antara
kedua desa (Sedubun, 2001, h. 24).
Sepintas kelihatan bahwa peristiwa konflik yang sering terjadi di antara kedua desa ini adalah
soal ekonomi, ketika musim menuai hasil laut, yang berharga tinggi yaitu lola, dimulai. Seorang
informan (BR) mengatakan bahwa sebenarnya sumbernya bukan pada soal ekonomi. Tetapi, pada
prestise hidup orang mel-mel. Contohnya di desa Tutrean, orang mel-mel menegaskan bahwa meti itu
mereka kuasai. Oleh sebab itu, orang Sather, yang ren-ren, harus dengar dan ikut saja bagaimana
pengaturan penuaiannya, termasuk jika ada larangan untuk menuainya.
Kedua, arena eksternal. Arena ini menempati ketegangan di antara penjabaran dari
berpemahaman dan berbuat sebagai gambaran ukuran amsal, ain ni ain, berhadapan dengan
perkembangan hidup dengan semua pengaruhnya. Pengaruh terbesar berasal dari dunia pendidikan
dan pengembangan ekonomi. Dunia pendidikan dimaksud adalah dari pendidikan formal dan
informal dan pengaruh media cetak dan elektronik. Di pendidikan formal, mulok atau muatan lokal,
dalam kurikulum pengajaran di tingkat SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi, ada menampung
materi pengenalan identitas budaya lokal, seperti bahasa dan tradisi adat lokal. Tetapi ujungnya
adalah untuk mendapatkan nilai bagus. Ia tidak memperkuat bentukan integritas dan jati diri budaya
siswa atau mahasiswa bersang-kutan. Tony Labetubun, kepala SMA Negeri 1 Tual misalnya mengakui
bahwa muatan lokal berisi nilai-nilai adat budaya, tetapi sasaran akhirnya adalah pada nilai raport,
sehingga siswa berupaya melakukan isi kurikulum saja. Selama ia masih studi, ia tekun menjalani
matapelajaran itu. Tetapi setelah tamat, bentukan muatan lokal, seperti bahasa Kei, ia lupakan.
Tingkat pencapaian hidup ekonomis juga sangat mempengaruhi perilaku dan interaksi di
antara tiap strata dan antara tiap-tiap strata dengan masyarakat luas. Di wilayah hidup ekonomi,
siapa yang berhasil mencapai keberhasilan hidup ekonomi dan mencapai tingkat kepenuhan
kebutuhan hidup dengan baik, ia dihormati dan disegani. Dalam batas ini, tidak ada seorang pun
yang bisa mengganggu, mengambil, apalagi memberi sanksi berupa upaya memisahkan dia dari
masyarakat adat; seperti yang selama ini terjadi seakan-akan semua wilayah olah hidup harus
didominasi oleh orang mel-mel saja. Penegasan di atas dapat dibandingkan dengan gambaran
kecenderungan dominasi mel-mel dari desa sampai ke birokrasi pemerintah di Kabupaten Maluku
Tenggara seperti yang sudah diuraikan. Sederhananya, di sini tidak ada sama sekali daya campur
tangan, atau kewenangan dari pihak manapun untuk menyerobot dan menguasai, termasuk pihak
adat, yang selalu dapat mempertahankan supremasi kewenangan mel-mel terhadap ren-ren dan iriri.

10
Luis Ubra (2005) dalam tesisnya mengatakan bahwa sistem kasta yang berlaku di Kei, sejauh
ini belum dapat dirubah oleh siapapun dan dengan apa pun. Sistem kasta tersebut telah mejadi
bagian sistem kemasyarakatan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Sistem ini tidak
bersifat temporer, tetapi bersifat tetap dan mengikat. Merubah sistem kasta di Kei sama saja dengan
mengundang peperangan bagi masyarakat, terutama dari kasta mel-mel.
Dalam sistem kasta di Kei, pemegang kekuasaan baik pemerintahan maupun adat adalah
mereka yang dikategorikan sebagai mel, dan mereka adalah mel pendatang (mel marvutun). Hal ini
dikarenakan, ada konsensus dengan para pendatang ini untuk hidup saling mengatur dalam
kehidupan bersama. Namun dalam perkembangan kemudian mengalami perubahan menjadi mel
berkuasa atas ren, dan atas otoritas (kekuasaan) yang dimiliki mel-mel (pendatang) kemudian
mengidentifikasi diri sebagai bangsawan, dir u (pemuka), wawaat (pembicara) dan ham wang
(pembagi). Sementara penduduk asli tetap dengan gelar asalnya yakni tuan tan (tuan tanah). Sejarah
lisan yang berkembang di desa Ohoiwait misalnya, menurut Kudubun (2012), konsensus untuk saling
menjaga/mengatur hidup bersama itu adalah mencakup dua hal, yakni: ngarihi tna-nai dan ngeran
tal-tal (pembicara dan perlengkapan perang, diatur bersama). Ini menurut versi mel-mel. Sedangkan
menurut versi Ren-ren tidak ada konsesus untuk penyerahan kekuasaan, bahwa kehadiran Rahayaan
dan Renwarin dari Watlaar dan Haar itu nafdu (tinggal dibawah kekuasaan) pada penduduk asli
keturunan Rat Kanar El. Namun dengan berjalannya waktu terjadi semacam masa kegelapan atau
disebut dengan foar faraha terjemahan bebasnya sama dengan mengkambinghitamkan penduduk
asli dan kemudian mengambil alih semua peran peran penduduk asli.
Hegemoni yang dilakukan oleh mel marvutun ini menjadi wacana dominan (heterodoxa dalam bahasa Bourdieu) yang diterima, dan memperkuat posisi mereka dalam mereproduksi tom
masyarakat Kei. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsensus mungkin merupakan titik-tolak
hegemoni (Patria dan Arief, 1999).
Hegemoni dalam bahasa Yunani disebut eugemonia, yang merupakan bentuk dominasi dari
Negara Kota (polis) seperti Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain, posisi kedua negara ini
selalu dominan (Hendarto, 1993, h. 73). Dalam konteks saat ini, golongan mel marvutun dalam
masyarakat Kei merupakan kelompok yang mendominasi kedua kelompok lainnya. Dominasi di sini
bukan dalam pengertian jumlah (kuantitas), namun karena mereka berada pada posisi atas
(pemimpin) dalam pemerintahan adat, dan berdampak sampai pada ranah politik (pemerintahan).
Tatanan sosial (sistem kasta) yang masyarakat Kei awalnya bersifat terbuka dalam artian
mengakomodir individu-individu yang mempunyai kecakapan dalam berbicara maupun memimpin.
Dalam perkembangannya sistem kasta ini menjadi tertutup sebab dalam realitasnya posisi seseorang
dalam masyarakat ditentukan oleh gologannya dalam kasta. Kecakapan dalam artian tingkat
pendidikan menjadi faktor terakhir yang diperhitungkan untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan.
Merujuk pada uraian yang dilakukan oleh Patria dan Arief (1999), hubungan kedua konsep
(direction dan dominance) mengisyaratkan tiga hal, yakni: (1) dominasi dijalankan atas seluruh
musuh, dan kepemimpinan dilakukan kepada segenap sekutu-sekutu; (2) kepemimpinan adalah
suatu prakondisi untuk menaklukan aparatus negara, atau dalam pengertian sempit kekuasaan
pemeritahan; dan (3) sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi klas ini, baik
pengarahan ataupun dominasi, terus berlanjut. Ketiga kesimpulan yang dilakukan oleh Patria &
Arief mempunyai kemiripan dengan sistem kasta pada masyarakat Kei seperti yang telah diuraikan di
atas.
Menurut Gramsci, cara menciptakan hegemoni adalah melalui institusi yang ada dalam
masyarakat yang menentuan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari
masayakat. Dengan demikian, hegemoni pada hakekatnya adalah cara/proses penggiringan
(mempengaruhi) orang lain untuk mempercayai wacana dominan dalam kerangka yang ditentukan
oleh mereka yang berkuasa. Pengaruh dari roh ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip
politik dan semua relasi sosial. Strategi mempengaruhi seperti ini hampir tidak dapat disadari oleh
orang yang dipengaruhi sebab tanpa kekerasan. Tujuannya adalah terwujudnya rasa simpati yang

11
berujung ada dukungan atau legitimasi dari orang atau kelompok yang dipengaruhi. Jadi, hegemoni
adalah rantai kemenangan yang didapat memalui mekanisme konsensus ketimbang penindasan.
Karena itu, Gramsci selalu mengaitkan konsensus dengan spontanitas bersifat psikologis yang
mencakup berbagai penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain. Simpati
merupakan proses seseorang merasa tertarik untuk memahami atau bekerjasama dengan orang lain.
Pengaruh dari rasa ini biasanya lebih mendalam dan tahan lama, karena itu simpati menjadi dasar
hubungan persahabatan (Soekamto, 1990). Pada kasus masyarakat Kei di Tual, rasa simpati dapat saja
berujung pada bentuk dominasi, jika rasa itu dimanfaatkan oleh orang kita simpatik. Diterimanya
para pendatang oleh penduduk asli didasarkan atas rasa persahabatan atau kekeluargaan. Karena itu
panggilan kepada para pendatang ini adalah adik (mel-mel) dan penduduk asli adalah kakak (ren-ren),
namun hal ini kemudian berujung pada mel memerintah ren; mel adalah kelas atas, dan ren adalah
kelas bawah.

D. Kesimpulan dan Implikasi
1. Kesimpulan

Meskipun agama besar telah hadir lebih dari seabad, sistem sosial yang diyakini berasal dari
praktik hidup Hinduisme tidak hilang sama sekali di Tual dan Kei secara umum. Stratifikasi
masyarakat Kei terwujud dalam tiga kelas/tingkatan yang oleh masyarakat disebut sebagai kasta.
Wujud kasta tersebut adalah: (1) Mel-mel, mereka adalah orang-orang pendatang yang cerdik dan
berani; 2) Ren-ren, mereka adalah peduduk asli, pendiri dan pemilik kampung, dan 3) Iri-ri, mereka
adalah kelas pekerja atau pembantu status itu diberikan karena individu atau kelompok ini
ditebus/dibayar hutangnya oleh orang lain, atau bahkan dibeli oleh orang lain yang kemudian jadikan
hamba.
Ketiga strata sosial di atas tidaklah dipandang sebagai tingkatan kekuasaan seperti raja yang
otoriter melainkan tingkatan karena keadaan orang dan situasi pada waktu itu. Maksudnya agar
sistem kehidupan dan tata aturan yang ada dapat dibuat secara baik untuk mengatur cara hidup
dalam masyarakat Kei. Dahulu memang kasta atas sering memakai tugas yang diberikan itu untuk
mau berkuasa, namun kini strata sosial itu ada, tapi tidak terlalu berpengaruh karena baik Ren-ren
Ataupun Iri-ri sudah memiliki pendidikan pantas. Saat ini semua masyarakat Kei sudah mengenal
pendidikian dan sudah hidup lebih baik sehingga secara sosiologis ketiga kasta dalam hal tertentu
tampak sudah tidak ada perbedaan.
Dalam Hukum Adat (terutama larful ngabal) tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang
sistem kasta. Meskipun demikian, sistem kasta yang berlaku di Kei, sejauh ini belum dapat dirubah
oleh siapapun dan dengan apa pun. Sistem kasta tersebut telah mejadi bagian sistem
kemasyarakatan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Sistem ini tidak bersifat
temporer, tetapi bersifat tetap dan mengikat. Merubah sistem kasta di Kei sama saja dengan
mengundang peperangan bagi masyarakat, terutama dari kasta mel-mel.
Perilaku pemisahan mel-mel terhadap ren-ren dan iri-ri, masih sangat kuat. Lokalisasi
pemukiman masih tetap ada dalam tata demografi desa, terutama pada desa-desa yang masih
mempertahankan hubungan dan fungsi adat dengan teguh. Kelihatannya bentuk ini sengaja
dipertahankan demi memudahkan konsolidasi oleh tuan mel-mel atas orang- orang rumah atau
orang-orang yang dikuasainya, yaitu orang ren-ren dan iri-ri -nya. Gambaran ini bisa dilihat dalam
kondisi di desa-desa di Kei Besar dan Kota Tual.

2. Implikasi

Untuk bisa mencapai hidup bersama sebagai orang Kei, maka upaya untuk hidup setara tanpa
batas pemisahan mel-mel, ren-ren dan iri-ri, harus ditempuh. Jalan untuk mewujudkannya adalah
dengan upaya penelusuran asal-usul keberadaan status kasta di Kei. Upaya ini harus dilakukan secara
transparan dan jujur demi mendirikan keutuhan sejarah orang Kei. Selama ini orang Kei sendiri yang
melanggengkan perbedaan dalam kasta sehingga ia terus berakar dalam masyarakat. Perkembangan
dunia yang makin transparan dan ilmu pengetahuan yang makin maju dapat menjelaskan banyak
aspek kehidupan, termasuk asal-usul strata di Kei. Selain itu, dasar terpenting lain adalah dasar kita
sebagai muslim, yang menekankan tentang kesetaraan hidup di mata Tuhan, harus menjadi tapak

12
jalan mencari kasih-Nya dalam sejarah hidup manusia Kei. Dengan mengetahui secara jelas asal-usul
bentukan kasta, maka kesempatan bagi semua anak-anak Kei untuk bersama-sama membangun
Maluku Tenggara terbuka dengan baik. Dengan jalan itu, tidak ada lagi bentuk-bentuk penindasan
mel-mel terhadap ren-ren dan iri-ri, seperti yang masih ada sampai sekarang. Yang ada adalah ain ni
ain, vuut ain mehe ngifun, manut ain mehe tilor ; atau kita (orang Kei) semua berasal dari satu
sumber saja. Orang Kei patut mengatakan dan mengakui bahwa selama ini mereka hanya dibodohi
oleh pembelokan sejarah buatan penjajah Belanda dan mereka sendiri juga ikut-ikutan
melanggengkannya.

REFERENSI

Aninomous. (2009). Panduan Lawatan Sejarah Daerah Maluku VIII Tahun 2009 Tual-Maluku
Tenggara. Ambon: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan. Publik, dan Ilmu Sosial,
Jakarta: Kencana Prenama Media Group.
Creswell, J. (2003). Research Design Quantitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks: Sage
Publication.
Eshleman J. R. & Cashion, B. G. (2000). Sociology: An Introduction Second Edition. Boston: Little,
Brown & Company.
Karsidi, R. (2007). Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press,.
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kilmanun, I. J. (1996). Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, Tual: Tidak diterbitkan.
Klinken, G. V. (2007). Perang kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Kudubun,
E.
(2011).
Agama
dan
Budaya
Lokal
Masyarakat
Kei.
Sumber:
http://ellykudubun.wordpress.com/2011/03/18/agama-dan-budaya-lokal-masyarakat-kei/.
Laksono, P. M. & Topatimasang, R. (Peny.). (2004). Ken Sa Faak, Benih-Benih Perdamaian Di
Kepulauan Kei. Tual-Yogyakarta: Nen Mas Il-Insist Press.
Laksono, P. M. (2002). The Common Ground in the Kei Islands. Yogyakarta: Galang Press.
Laksono, P. M. (2005). Wuut Ain Mehe Nifun, Manut Ain Mehe Tilor (Eggs from One Fish and One
Bird, Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Island-Dessertation). Ithaca,
Cornell University.
Loupatty, S. R. (2013). Sejarah Kota Tual. Jur

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124