DINAMIKA KONSEP DIRI PADA ORANG DEWASA K

DINAMIKA KONSEP DIRI PADA ORANG DEWASA
KORBAN CHILD ABUSED
Siti Nur Fatimah
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta 55166
tiety.psikologi@gmail.com.
Abstract
The purpose of this research was to determine the dynamics of self-concept
among early adult who experienced child abused and to study the impact of
self-concept on their behavior in the community. The subject of present study
is 2 adult male and female who have been victims of child abused. Data
collection techniques in this study was conducted using semi-structured
interviews, non-participant observation and projective tests (BAUM, DAP,
HTP). Data analysis was done in this research used content analysis. The
purpose of content analysis is to describe the dynamics of self-concept among
early adult who experienced child abused. The approach used in this research
is case study. The results of this research indicated that after receiving a child
abused, two subjects had low confidence but after a subject growing up, selfconcept is formed on both subjects are positive self-concept. Positive selfconcept is formed from available support and motivation from others (friends),
the awareness of spirituality such as prayer and always take lessons from what
has happened. The impact of a positive self concept makes better relationships
with the community and the subject easier to get along with other people.

Keywords : self-concept, adult, child abused.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui dinamika konsep diri pada orang
dewasa korban child abused dan dampak konsep diri pada perilakunya di
masyarakat. Subjek dalam penelitian ini adalah 2 orang dewasa laki-laki dan
perempuan yang pernah menjadi korban child abused atau kekerasan terhadap
anak. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan wawancara semi terstruktur, observasi non partisipan dan tes
grafis (BAUM, DAP, HTP). Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah analisis isi (content analysis) merupakan metode analisis yang digunakan
dalam penelitian untuk mendeskripsikan dinamika konsep diri pada dewasa
awal korban child abused. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus yang didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena kasus
yang hadir dalam suatu konteks yang terbatas. Kasus tersebut dapat berupa
individu, kelompok kecil, peran,komunitas, bahkan suatu negara. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa setelah menerima kekerasan kedua subjek mengalami

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

132


kepercayaan diri yang rendah tetapi setelah subjek beranjak dewasa, konsep
diri yang terbentuk pada kedua subjek adalah konsep diri positif. Konsep diri
positif tersebut terbentuk karena adanya dukungan dan motivasi orang lain
(teman), kesadaran akan spiritualitas seperti shalat dan memperbanyak do’a,
serta selalu mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi. Dampak konsep
diri positif membuat hubungan dengan masyarakat semakin baik dan subjek
lebih mudah bergaul dengan oranglain.
Kata kunci : Konsep Diri, Orang Dewasa, Child Abused

PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan hidupnya terutama anakanak. Menurut UUD RI No 23 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Anak pasal 4 dijelaskan
bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Sekretariat Negara RI, 2002).
Lebih rinci dijelaskan pada pasal 13, UUD RI No 23 tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Anak (Sekretariat Negara RI, 2002) yang menyebutkan bahwa setiap anak selama
dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : diskriminasi, eksploitasi (baik
ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan,

dan perlakuan salah lainnya.
Kenyataannya, masih banyak anak indonesia yang belum memperoleh jaminan untuk
terpenuhi hak-haknya, antara lain banyak yang menjadi korban kekerasan, penelantaran,
eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, ada 2.508 kasus kekerasan terhadap anak terjadi
sepanjang 2011. Dari jumlah itu, 62,7 persennya adalah bentuk kekerasan seksual. Angka tersebut
meningkat jika dibandingkan pada 2010 yakni sebanyak 2.413 kasus. (VIVAnews, 2011)
Kekerasan pada anak ini dapat menimbulkan dampak baik secara fisik maupun psikologis.
Dampak fisik yang diterima biasanya berupa bekas pukulan, lebam, luka kecil maupun besar,
bekas sayatan, dan lainnya. Sedangkan dampak psikologis dapat berupa stress, manarik diri
dari lingkungan, merasa tidak berguna, rendah diri dan lainnya. Kekerasan ini bisa menyebabkan
anak menjadi trauma di masa kecilnya dan akan berdampak negatif di masa depannya.
Setiap individu memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, baik bersifat positif maupun
negatif. Penilaian terhadap diri sendiri tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya
adalah faktor lingkungan. Lingkungan dapat berperan dalam terbentuknya penilaian terhadap
diri seseorang, jika lingkungan mendukung maka individu tersebut akan merasa berguna dan
dapat menumbuhkan rasa percaya diri atau harga diri pada diri seseorang begitu juga sebaliknya
jika lingkungan tidak mendukung maka orang tersebut dapat merasa tidak berguna dan akhirnya
menarik diri dari lingkungan.(Sosiawan, 2012).
Penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri ini biasanya disebut dengan konsep diri. Menurut

Chalpin (Pardede, 2008) konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian
atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Konsep diri terbentuk
karena adanya interaksi dengan orang-orang sekitarnya.

Siti Nur Fatimah

133

Sullivan (Pardede, 2008) menjelaskan bahwa jika individu diterima orang lain, diterima
dan disenangi karena keadaannya, maka individu akan bersikap menghormati dan menerima diri
sendiri. Sebaliknya, jika orang lain selalu meremehkan, menyalahkan, dan menolak, maka kita
tidak akan menyayangi diri sendiri.
Setiap individu memiliki konsep diri, begitu pula dengan anak yang mengalami kekerasan
baik yang berasal dari keluarga maupun lingkungan. Konsep diri tersebut berbeda-beda,
tergantung dari diri masing-masing individu.
Kajian teori
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian
seseorang terhadap dirinya. Berzonsky (1981) mengemukakan bahwa konsep diri adalah
gambaran mengenai diri seseorang, baik persepsi terhadap diri nyatanya maupun penilaian
berdasarkan harapannya yang merupakan gabungan dari aspek-aspek fisik, psikis, sosial, dan

moral. Rakhmat (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa konsep diri bukan hanya sekedar
gambaran deskriptif, tapi juga penilaian diri tentang diri, meliputi apa yang dipikirkan dan apa
yang dirasakan tentang diri. Adanya proses perkembangan konsep diri menunjukan bahwa konsep
diri seseorang tidak langsung dan menetap, tetapi merupakan suatu keadaan yang mempunyai
proses pembentukan dan masih dapat berubah.
Menurut Boorks (Rakhmat, 2003) menyatakan bahwa konsep diri adalah suatu pandangan
dan perasaan seseorang tentang dirinya serta persepsi tentang dirinya, ini dapat bersifat psikis
maupun sosial. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Cawagas (Pudjijogyanti,
1993) mengungkapkan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi
fisik, karakteristik pribadi, motivasi, kelemahan, kepandaian dan kegagalannya. Tercapainya
keinginan dan terealisasikannya kehidupan dapat diupayakan melalui konsep diri. Dapat dikatakan
bahwa konsep diri juga merupakan kerangka kerja untuk mengorganisasikan pengalamanpengalaman yang diperoleh seseorang.
Menurut Hurlock (2003) konsep diri merupakan pemahaman atau gambaran seseorang
mengenai dirinya yang dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis.
Gambaran fisik diri menurut Hurlock, terjadi dari konsep yang dimiliki individu tentang
penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting tubuhnya dalam hubungan dengan
perilakunya, dan rasa malu terhadap tubuhnya dan dimata orang lain. Sedangkan gambaran
psikis diri atau psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan
ketidakmampuannya, harga dirinya, dan hubungannya dengan orang lain.
Dari banyak pengertian konsep diri di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah

kayakinan, penilaian atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Penilaian tersebut dapat
dilihat dari aspek fisik maupun psikologis.
Berzonsky (1981) menjelaskan lebih lanjut mengenai aspek-aspek konsep diri yang bersifat
positif dan negatif, yaitu:
1. Konsep diri fisik
Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan dan pemikiran individu terhadap
fisiknya sendiri. Individu tersebut memiliki konsep diri yang positif bila memandang secara
positif penampilannya, kondisi kesehatan kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran
tubuh ideal. Individu dipandang memiliki konsep diri negatif bila memandang secara negatif
hal-hal di atas.

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

134
2. Konsep diri psikis

Konsep diri psikis berarti pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap
pribadinya sendiri. Seseorang digolongkan memiliki konsep diri positif bila memandang dirinya
sebagai individu yang bahagia, optimis, mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai
kemampuan. Sebaliknya, individu digolongkan sebagai orang yang memilki konsep diri negatif

bila individu memandang dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, pesimistik, tidak mampu
mengontrol diri dan memiliki berbagai macam kekurangan.
3. Konsep diri sosial
Konsep diri sosial berarti pandangan, pikiran dan penilaian individu terhadap
kecendrunngan sosial yang ada pada dirinya sendiri. Konsep diri sosial berkaitan dengan
kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu, dan berharga
dalam lingkup interaksi sosial. Individu digolongkan memiliki konsep diri sosial positif bila
memandang dirinya sebagai orang yang terbuka pada orang lain, memahami orang lain,
merasa mudah akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain.
Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri sosial negatif bila tidak memberi perhatian
terhadap orang lain dan tidak aktif dalam kegiatan sosial.
4. Konsep diri moral
Konsep diri moral berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian individu terhadap
moralitas diri sendiri. Konsep diri moral berkaitan dengan nilai dan prinsip yang memberi arti
dan arah bagi kehidupan seseorang. Digolongkan memiliki konsep diri moral positif bila
memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral, namun
sebaliknya, individu digolongkan memiliki konsep diri moral negatif bila memandang dirinya
sebagai orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya.
A. Child abuse
Siswanto (2007) Dalam bahasa indonesia, istilah Child Abused diterjemahkan sebagai

“perlakuan yang salah/kejam terhadap anak”, yang sering dilakukan oleh orang lain dan
umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Kata abused sendiri memiliki banyak arti, antara
lain: 1. penyalahgunaan, salah pakai. 2. Perlakuan kejam, siksaan. 3. Makian. 4.
Menyalahgunakan (misuse). 5. Memperlakukan dengan kasar/kejam/keji (mistreat). 6.
Memaki-maki, mencaci- maki (scold, insult). 7. Menghianati. Pengertian abused di atas
sama seperti yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu meliputi penyalahgunaan, salah pakai,
perlakuan kejam, siksaan, makian, menyalahgunaan, memperlakukan dengan kejam atau
kasar atau keji dan memaki-maki atau mencaci maki.
Kata child diartikan sebagai “anak”. Istilah “anak” dirangkaikan dengan istilah
penyalahgunaan (anak) dan tetap digunakan istilah child bila masih memakai kata abused
karena terasa lebih enak didengar dan tidak aneh, karena menghubungkan dua kata dari
bahasa yang sama. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut Siswanto (2007) kebanyakan orang berpikir bahwa Child Abused hanya

Siti Nur Fatimah

135


meliputi physichal dan sexual abuse. Padahal ada beberapa macam abuse yang lain, yaitu
emotional abuse dan neglect. Pengertian dari beberapa abuse tersebut menurut American
Medical Association dan American Academy of Pediatrics (Siswanto 2007) adalah sebagai
berikut :
1. Phyisical Abuse (perlakuan salah secara fisik)
Adalah ketika anak mengalami pukulan, tamparan, gigitan, pembakaran, atau
kekerasan fisik lainnya. Seperti bentuk abuse lainnya, physical abuse biasanya berlangsung
dalam waktu yang lama. Atau tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menyakiti fisik
anak seperti: memukul, menendang, melempar, menggigit, menggoyang-goyang, memukul
dengan sebuah objek, menyulut tubuh anak dengan rokok, korek api, menyiram anak
dengan air panas, mendorong dan menenggelamkan anak di dalam air, mengikatnya,
tidak memberi makanan yang layak untuk anak, dan sebagainya.
2. Sexual Abuse (perlakuan salah secara seksual)
Adalah ketika anak diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa
atau anak yang lebih tua. Kadang ini berarti adanya kontak seksual secara langsung
seperti persetubuhan, atau sentuhan atau kontak genital lainnya. Tetapi itu juga bisa
berarti anak dibuat untuk melihat tindakan seksual, melihat kelamin orang dewasa, melihat
pornografi atau menjadi bagian dari produksi pornografi.
3. Neglect (diabaikan/dilalaikan)
Adalah ketika kebutuhan-kebutuhan dasar anak tidak dipenuhi. Kebutuhankebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makan bergizi, tempat tinggal yang memadai,

pakaian, kebersihan, dukungan emosional, cinta dan afeksi, pendidikan, keamanan,
dan perawatan gigi serta medis. Atau tindakan yang menyangkut masalah tumbu kembang
anak, seperti tidak menyediakan rumah dan memberi pakaian yang layak, mengunci
anak di dalam kamar atau kamar mandi, meninggalkan anak di dalam periode waktu
yang lama, menempatkan anak di dalam situasi yang membahayakan dirinya.
4. Emotional Abuse (perlakuan salah secara emosi)
Adalah ketika anak secara teratur di ancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan,
disalahkan, atau salah penanganan secara emosional lainnya, seperti membuat anak
menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya adalah bentuk
dari emosional abuse. Atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror,
menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan
tidak berharga.
B. Dewasa
Hurlock (2003) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda
(young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi
perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi
secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi
peran sosial (social role trantition). Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001)

mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam
tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual.
Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa
tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain).

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

136

Dewasa awal adalah masa kematangan fisik dan psikologis. Menurut Anderson (dalam
Mappiare, 1983) terdapat 7 ciri kematangan psikologi sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tugas : bukan pada diri atau ego, berorientasi pada tugas-tugas yang
dikerjakannya dan tidak condong pada perasaan-perasaan diri sendri atau untuk
kepentingan pribadi.
2. Tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja yang efesien : seseorang yang
matang melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas dan tujuan-tujuan itu
dapat didefenisikannya secara cermat dan tahu mana yang pantas dan tidak pantas
serta bekerja secara terbimbing menuju kearahnya.
3. Mengendalikan perasaan pribadi : seseorang yang matang dapat menyetir perasaanperasaan sendiri dan tidak dikuasai oleh perasaan-perasaannya dalam mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan orang lain. Dia tidak mementingkan dirinya sendiri,
tetapi mempertimbangkan pula perasaan-perasaan orang lain.
4. Keobjektifan : orang matang memiliki sikap objektif yaitu berusaha mencapai keputusan
dalam keadaan yang bersesuaian dengan kenyataan.
5. Menerima kritik dan saran : orang matang memiliki kemauan yang realistis, paham bahwa
dirinya tidak selalu benar, sehingga terbuka terhadap kritik-kritik dan saran-saran orang
lain demi peningkatan dirinya.
6. Pertanggungjawaban terhadap usaha-usaha pribadi : orang yang matang mau memberi
kesempatan pada orang lain membantu usahan-usahanya untuk mencapai tujuan. Secara
realistis diakuinya bahwa beberapa hal tentang usahanya tidak selalu dapat dinilainya
secara sungguh-sunguh, sehingga membutuhkan bantuan orang lain, tetapi tetap
brtanggungjawab secara pribadi terhadap usaha-usahanya.
7. Penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru : orang matang memiliki ciri fleksibel
dan dapat menempatkan diri dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya dengan
situasi-situasi baru
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Dinamika konsep diri pada orang dewasa korban
child abused dan dampak konsep diri pada perilaku di masyarakat.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan strategi penyelidikan
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, hal tersebut sesuai dengan
tujuan penelitian ini yaitu mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika konsep
diri pada orang dewasa korban child abused. David Williams (Meleong, 2008) penelitian kualitatif
adalah pengumpulan data suatu latar alamiah, dengan mengunakan metode alamiah, dan dilakukan
oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah.
Strategi yang digunakan dalam memperoleh data atau fenomena yang ingin diungkap
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan studi kasus, yang didefinisikan
sebagai kasus adalah fenomena kasus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatas. Kasus
tersebut dapat berupa individu, kelompok kecil, peran, komunitas, bahkan suatu negara.

Siti Nur Fatimah

137

Pendekatan dalam analisis data
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses pelacakan dan pengaturan secara
sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan,dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya
kepada orang lain. (Bogdan &Biklen, 1982 dalam Zuriah, 2007)
Pendekatan yang digunakan dalam analisis data kualitatif ini adalah analisis isi (content
analysis). content analysis merupakan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
mendeskripsikan konsep diri pada korban child abused.
Sampling
Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 2 orang. Jumlah subjek yang hanya sedikit ini
salah satunya disebabkan oleh masalah ketersediaan subjek yang memang sangat terbatas.
Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan cara purposive sampling untuk memperoleh
gambaran dan informasi yang jelas tentang tema penelitian dengan menggunakan jenis sampel
snowball dimana pemilihan subjek berdasarkan informasi dari orang yang satu ke orang lainnya
dan didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan
populasi yang diketahui sebelumnya.
Metode pengambilan data
Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara, observasi dan tes psikologi:
1. Wawancara
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Wawancara adalah alat pengumpul
informasi dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara
lisan pula (Zuriah, 2007).
2. Observasi
Menurut S. Margono (Zuriah, 2007) Observasi diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan
dan pencatatan itu dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa.
Metode observasi sebagai alat pengumpul data, dapat dikatakan berfungsi ganda, sederhana
dan dapat dilakukan tanpa menghabiskan banyak biaya.
3. Tes Psikologi
Sebagai alat ukur, tes psikologi berfungsi mengukur perbedaan-perbedaan antara
individu-individu yang sama dalam situasi yang berbeda (Anastasi & Urbani, 1997). Kegunaan
salah satu tes adalah menelaah kepribadian dan teknik proyektif merupakan cara dalam
pengukuran yang lebih banyak digunakan oleh psikologi klinis. Dalam penelitian ini teknik
proyektif yang digunakan adalah tes grafis. Subjek diminta untuk menggambar tiga bagian
tes, antara lain DAP (Draw A Person), BAUM dan HTP (House Tree Person).

138

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

HASIL DAN PEMBAHASAN
Orientasi Kancah
Penelitian ini dilaksanakan di daerah Bantul. Kabupaten Bantul, adalah sebuah kabupaten
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibu kotanya adalah Bantul. Kabupaten ini
berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di utara, Kabupaten Gunung Kidul
di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Kabupaten Bantul
terletak antara 07° 442 043 – 08° 002 273 Lintang Selatan dan 110° 122 343 – 110° 312
083 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bantul 508,85 Km2 (15,90 5 dari Luas wilayah
Propinsi DIY).
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 22 Mei hingga 30 Juni. peneliti melakukan survei
untuk menentukan siapa yang akan menjadi subjek penelitian kemudian melakukan wawancara
dan observasi awal untuk menjalin rapport yang baik dengan subjek penelitian yang tinggal di
Piyungan Bantul Yogyakarta, penelitian ini menggunakan dua orang subjek yang merupakan anak
korban Child Abused.
Peneliti memulai penelitian pada subjek pertama pada tanggal 23 Mei 2012 pukul 19.0020.30 WIB di kampus subjek. Pada tanggal 7 Juni peneliti melakukan wawancara lanjutan dengan
subjek pertama karena masih ada yang perlu digali lagi dari hasil wawancara sebelumnya. Setelah
melakukan inquiry dengan subjek pertama kemudian pada tanggal 10 Juni peneliti melakukan
wawancara pada significant person subjek pertama yaitu ibu subjek.
Tanggal 12 Juni peneliti melakukan wawancara dan observasi pada subjek kedua di
rumah subjek. Tanggal 15 Juni peneliti melakukan inquiry atas jawaban yang masih perlu digali
kepada subjek.
Setelah melakukan wawancara pada kedua subjek, peneliti melakukan wawancara pada
significant person subjek kedua yaitu kakak kandung subjek, tepatnya pada tanggal 20 Juni
2012. Informan menjawab pertanyaan peneliti dengan antusias dan sering tersenyum.
Temuan Penelitian
Dari hasil observasi dan wawancara, peneliti memperoleh beberapa temuan di lapangan
berupa jawaban, ucapan ataupun perilaku yang tampak sebagai fenomena kemudian diolah
menjadi data hasil wawancara dan observasi dari kedua subjek. Dalam hal ini masing-masing
subjek memiliki pengalaman yang berbeda terkait dengan pengalamannya sebagai anak korban
kekerasan, selain itu sebagai data tambahan yang mendukung penelitian, peneliti juga mendapatkan
informasi dari dua orang significant person.
PEMBAHASAN
Dinamika konsep diri pada dewasa awal korban child abused
Sering kali orangtua melakukan hal-hal yang secara sadar maupun tidak sadar telah menyakiti
anak. Hukuman atau perlakuan tidak menyenangkan yang diberikan kepada anak sering berlebihan
dan tidak wajar seperti hukuman fisik maupun verbal. Hukuman akan diberikan kepada anak

Siti Nur Fatimah

139

jika mereka melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Perlakuan atau
tindakan yang dilakukan orangtua secara berlebihan tersebut dikenal dengan child abused atau
kekerasan pada anak.
Kekerasan terhadap anak ini dapat menimbulkan rasa sakit baik secara fisik maupun psikis
sehingga lambat laun anak akan kehilangan rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimiliki
anak dapat membantu anak dalam mengenal dirinya sendiri. Jika rasa percaya diri anak rendah
maka anak akan sulit mengembangkan kepercayaan pada orang lain, merasa tidak aman, dan
anak juga akan menilai dirinya tidak berguna. Tetapi jika kepercayaan diri anak tinggi anak akan
lebih mudah bergaul dengan orang lain, dapat mengembangkan kepercayaan pada orang lain
dan merasa dibutuhkan dan berguna baik pada diri sendiri maupun orang lain. Penilaian terhadap
diri sendiri ini disebut dengan konsep diri.
Subjek pertama mengalami kekerasan atau perlakuan tidak menyenangkan dalam bentuk
kekerasan fisik, psikis dan seksual. Kekerasan yang subjek alami sejak kecil menyebabkan
perasaan kecewa, sedih dan marah atas apa yang telah dilakukan oleh orangtuanya. Hal tersebut
mengakibatkan kepercayaan diri subjek menjadi rendah bahkan subjek sempat kehilangan
kepercayaan pada orang lain sampai subjek tamat SD.
Tidak jauh berbeda dengan subjek pertama, subjek keduapun mengalami kekerasan yaitu
kekerasan fisik, psikis dan pengabaian. Kekerasan tersebut mengakibatkan perasaan sedih, marah
dan kecewa terhadap perlakuan orangtuanya. Hal tersebut menyebabkan subjek merasa tidak
di anggap dan dikucilkan dalam keluarga.
Pernyataan kedua subjek tersebut sesuai dengan Nadia (Yesi, 2012) yang menyatakan
bahwa kekerasan dapat meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku
merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri.
Setelah subjek pertama pindah ke Jogja untuk melanjutkan sekolahnya, subjek banyak
menemukan teman yang selalu mendukung dan memotivasi subjek agar selalu tetap bersemangat
dalam menjalani kehidupan. Dari motivasi dan dukungan teman tersebut, subjek menjadi lebih
bersemangat dan selalu berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Kegiatan
yang ada di lingkungan sekitar subjekpun menjadi penunjang untuk mengembangkan kemampuan
subjek dalam berbagai hal.
Subjek juga lebih cendrung mengasah spiritualitasnya seperti shalat, mengaji, mengikuti
kajian, meminta pendapat kepada orang-orang yang lebih berkompeten dan lebih tinggi ilmu
agamanya serta lebih terbuka meminta solusi dan pendapat dari teman-teman. Hal itu membuat
subjek menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalahnya dan perlahan-lahan membuat
kepercayaan diri subjek menjadi lebih baik serta lebih optimis dalam menjalani hidup. Kepercayaan
diri dan sikap optimis membuat hubungan subjek dengan orang lain menjadi lebih baik dan subjek
pun selalu memandang positif tentang dirinya dan orang lain.
Pada subjek kedua, perasaan tidak di anggap dan dikucilkan yang subjek rasakan lambat
laun bisa subjek atasi setelah subjek beranjak dewasa dengan selalu mendekatkan diri kepada
sang pencipta. Subjek juga selalu mengambil hikmah dari apa yang subjek alami, selalu memperkuat
ibadahnya seperti shalat dan memperbanyak doa serta selalu berfikir positif yang membuat subjek
lebih mudah untuk menghadapi masalah yang sedang dihadapinya serta menjalani hidupnya dengan
lebih bersyukur, terarah dan mempunyai tujuan hidup agar dapat lebih bermanfaat bagi orang
lain. Selain itu subjek juga memandang positif dirinya maupun orang lain sehingga hubungan
subjek dengan orang lainpun dapat terjalin dengan baik.

140

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

Perubahan yang dialami subjek pertama berawal dari motivasi dan dorongan yang selalu
diberikan teman-temannya. Motivasi dan dorongan tersebut dapat membuat subjek lebih berpikir
positif karena motivasi yang diberikan tersebut berupa kata-kata positif, sehingga subjek dapat
lebih paham dan belajar tentang hidup serta lebih bersyukur terhadap apa yang ada dalam
hidupnya.
Kesadaran akan kebutuhan spiritualitas seperti berserah diri, shalat dan mengaji merupakan
cara yang subjek kedua lakukan. Cara itu dapat membuat subjek lebih tenang dan lebih mensyukuri
apa yang subjek miliki. Rasa syukur tersebut membuahkan kepercayaan diri pada subjek sehingga
subjek selalu memandang poritif diri sendiri maupun orang lain. Subjek juga lebih mudah
berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu, kedua subjekpun lebih memilih untuk mengambil hikmah serta pelajaran dari
apa yang mereka alami dulu. Pada subjek pertama, kekerasan fisik dan psikis yang diterima
dahulu menjadikan subjek lebih disiplin terhadap segala sesuatu dan lebih teliti dalam mengerjakan
semua hal. Hal tersebut sesuai dengan hasil tes grafis subjek yang menyatakan bahwa subjek
memiliki kedisiplinan dan ketelitian yang tinggi. Sedangkan pada subjek kedua, kekerasan fisik,
psikis maupun pengabaian yang diterimanya dahulu membuat subjek lebih bertanggung jawab
terhadap keluarganya dan disiplin dalam semua hal. hal tersebut juga terungkap dari hasil tes
grafis yang menyatakan bahwa subjek memiliki kedisiplinan yang tinggi dan kontrol diri yang
baik.
Berdasarkan realita di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang kedua subjek miliki
sekarang adalah konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut terbentuk setelah subjek beranjak
dewasa. Pada kenyataannya, tidak ada orang yang benar-benar sepenuhnya mempunyai konsep
diri negatif atau positif (Rakhmat,2003). Pada subjek pertama konsep diri tersebut terbentuk
karena dukungan dan motivasi orang lain (teman), memperkuat spiritualitasnya seperti shalat dan
memperbanyak do’a sedangkan pada subjek yang kedua pembentukan konsep diri tersebut
karena adanya kesadaran akan spiritualitas dari dalam diri subjek sendiri, selalu mengambil hikmah
dari apa yang telah terjadi. Konsep diri terbentuk dan berkembang dipengaruhi oleh pengalaman
atau kontak eksternal dengan lingkungan dan juga pengalaman internal tentang dirinya. Pengalaman
internal ini akan mempengaruhi respon terhadap pengalaman eksternalnya, dari kedua faktor
tersebut terbentuklah konsep diri (Yahaya, A.S dkk 2009)
Kedua subjek dapat lebih memandang dirinya dan orang lain secara positif. Pandangan
atau penilaian subjek terhadap penampilan fisik, psikis, moral dan sosial juga lebih positif. Individu
yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif
dan dapat menerima dirinya apa adanya, Calhoun dan Acocella (1990),
Dukungan teman maupun kesadaran spiritualitas seperti sholat dan memperbanyak do’a
tersebut dapat merubah pandangan subjek terhadap diri sendiri maupun orang lain menjadi lebih
positif dan berdampak positif pula pada hubungan subjek dengan orang lain. Kedua subjek lebih
mudah dalam menjalin hubungan yang positif dengan oranglain, bahkan antara subjek dan
masyarakat telah terjalin keterikatan dan ketergantungan satu sama lain.
Dampak Konsep Diri
Konsep diri adalah faktor yang selalu berkembang. Menurut Ghufron, M. N., & Risnawati,
R. S (2010), konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor
yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang
lain. Positif maupun negatif konsep diri tersebut terbentuk sesuai dengan pengalaman individu

Siti Nur Fatimah

141

dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri yang terdapat pada kedua subjek adalah konsep diri positif. Konsep diri
positif bisa berdampak pada perilaku dan pandangannya terhadap dirinya sendiri dan orang lain
(Hurlock, 2003). Pada kedua subjek, terlihat hubungan yang positif dengan masyarakat sekitar
tempat tinggal subjek. Subjek juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat seperti
gotong royong, membantu orang lain serta mengikuti kegiatan masyarakat lainnya. Subjek
melakukan hal itu dengan senang hati karena masyarakat menghargai kehadiran maupun
keberadaan subjek.
Hubungan atau relasi itu terjalin atas dasar kebutuhan dan saling menghargai antara subjek
dengan masyarakat. Masyarakat sangat mengharapkan dan menantikan kehadiran subjek karena
kontribusi subjek sangat besar di masyarakat. Tak hanya itu, subjek juga mengajak masyarakat
agar senantiasa selalu berbuat kebaikan dan selalu mendekatkan diri kepada sang maha pencipta.
Walaupun subjek mengalami hal yang tidak menyenangkan pada saat subjek masih kecil,
hal itu tidak membuat subjek berpikiran negatif tentang dirinya dan orang lain. Subjek lebih
bersyukur atas apa yang telah dialaminya saat masih kecil, karena subjek lebih bisa mengambil
hikmah dari pengalaman tersebut. Subjek yang dulunya sering di pukul, jewer ataupun ditabok
oleh orangtuanya karena berbagai alasan seperti bandel dapat membuat subjek sekarang lebih
disiplin, menghargai kebersihan dan berhati-hati dalam memilih teman tetapi hal itu tidak membatasi
subjek dalam bergaul dengan orang lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa setelah menerima kekerasan kedua subjek mengalami kepercayaan
diri yang rendah tetapi setelah subjek beranjak dewasa, konsep diri yang terbentuk pada kedua
subjek adalah konsep diri positif. Konsep diri positif tersebut terbentuk karena adanya dukungan
dan motivasi orang lain (teman), kesadaran akan spiritualitas seperti shalat dan memperbanyak
do’a, serta selalu mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi.
Dampak dari konsep diri positif tersebut juga sangat baik bagi hubungan subjek dengan
orang lain atau masyarakat. Subjek sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat
seperti gotong royong, membantu orang lain, mengajak orang lain atau masyarakat kepada
kebaikan dan kegiatan masyarakat lainnya.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat dikemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1. Bagi subjek, sebaiknya lebih meningkatkan religiusitasnya dengan selalu banyak beribadah
dan berdoa, melibatkan diri dalam kegiatan yang dapat menggali potensinya dan lebih terbuka
mengenai masalah yang sedang dihadapi.
2. Bagi Orangtua, lebih menyadari dampak buruk dari kekerasan terhadap anak, tidak melakukan
hal yang berlebihan kepada anak, seperti memukul, menjewer ataupun perilaku berlebihan
lainnya.

142

EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA
Afrianti D & Rimadi L. 2012. Kekerasan Seks Terhadap Anak Meningkat. http://
metro.news.viva.co.id/news/read/273573-2011—kekerasan-seks-terhadap-anakmeningkat 21 Maret 2012
Anastasi A & Urbina S. 1997. Tes Psikologi; Psychological Testing 7e. Edisi Bahasa
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : PT. Prenhallindo.
Berzonsky, M. D, 1981. Adolescence Development. New York : Mc Millan
Pubhlishings
Calhoun, J.F. Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjustment and Human
Relationship. New York: McGraw-Hill, Inc.
Elfia, D & Vivik, S. 2007.Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan
Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi. Vol.3 No. 2.
Ghufron, M. N., & Risnawati, R. S. 2010. Teori-teori Psikologi. Yogyakarta : Arruzza Media.
Hurlock, E.B. 2003. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (edisi ke-5). Jakarta : Erlangga
Meleong, J.L. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Rosdakarya.
Meleong, J.L. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung : Rosdakarya.
Pardede, Y.O.K. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Fakultas Psikologi Universitas
Gunadarma. Jurnal Psikologi. Volume 1. No. 2
Pudjijogyanti, C.1993. Konsep Diri Dalam Pendidikan. Jakarta : Arcan
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Ramdan, D.M. 2011. HAN 2011, Lindungi Anak dari Eksploitasi. http://news.okezone.com/
read/2011/07/23/337/483266/han-2011-lindungi-anak-dari-eksploitasi 22 Oktober
2011
Siswanto. 2007. Kesehatan mental: konsep cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
Andi.
Sosiawan, A. 2012. Pengaruh Lingkungan Dalam Proses Pembentukan Konsep Diri (SelfConcept).
http://faztilmi.wordpress.com/2012/05/09/pengaruh-lingkungan-dalam-proses-pembentukankonsep-diri-self-concept/ 22 Juni 2012

Siti Nur Fatimah

143

Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002. tentang Perlindungan Anak. 2003. bandung :
Citra Umbara
Yahaya, A & Ramli, J. Dkk. 2009. The Relationship between Dimensions of Personality, Self
Concept and Family Influence on Students in the FELDA Scheme in Johore Malaysia.
European Journal of Social Sciences. Volume 11. No 2
Yesi, G. 2012. Kekerasan Terhadap Anak. http://geraldinyesi.blogspot.com/2012/06/karyailmiah-tentang-kekerasan-terhadap.html 13 September 2012
Zuriah, N. 2007. Metodologi Penelitian sosial dan pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124