BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5 SD N Karanggondang 01 Kec. Pabelan Kab. Sema
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Model RME
2.1.1.1 Pengertian Model RME
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan salah satu model
pembelajaran matemetika yang berorientasi pada siswa, bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa ke pengalaman belajar yang berorientasi pada hal-hal yang nyata (real). Dalam pembelajaran yang realistis ditegaskan bahwa matematika esensinya ialah sebagai aktivitas manusia. Dalam pembelajarannya siswa bukan sekedar penerima yang pasif terhadap materi matematika yang siap saji, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menemukan matematika melalui praktik yang mereka alami sendiri.
Matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia yang tidak memberikan suatu produk jadi kepada manusia tetapi harus melakukan aktivitas atau proses terlebih dahulu. Sejalan dengan kata Freudenthal dalam Wijaya (2012:20) bahwa matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi konsep matematika.
Pernyataan yang dikemukakan Freudenthal dalam Wijaya (2012:20) bahwa “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia” melandasi adanya pengembangan Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education). Menurut Treffers dalam Aris Shoimin (2013:147) RME terdiri dari dua proses matematisasi yaiu matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Dalam matematisasi horisontal siswa menggunakan matematika untuk mengorganisasikan dan menyelesaikan masalah yang ada pada situasi nyata. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dalam cara yang berbeda, merumuskan masalah kehidupan sehari-hari ke dalam bentuk matematika. Sementara matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembalai pengetahuan yang telah diperoleh dalam simbol matematika yang lebih abstrak. Contohnya adalah menghaluskan/memperbaiki model, menggunakan model yang berbeda, memadukan dan mengkombinasikan model, membuktikan keteraturan, merumuskan konsep matematika yang baru, dan penggeneralisasian.
2.1.1.2 Prinsip-Prinsip Model RME
Menurut Streefland dalam Aris shoimin (2014:148) prinsip utama dalam belajar mengajar yang realistik adalah: pertama, constructing and concretizing; belajar matematika adalah aktivitas konstruksi. Karakteristik konstruksi nampak jelas dalam pembelajaran yaitu siswa menemukan sendiri prosedur untuk dirinya sendiri. Konstruksi ini akan lebih menghasilkan apabila menggunakan pengalaman dan benda-benda konkret. Kedua, levels and models; belajar matematika adalah proses yang merentang panjang dan bergerak pada level abstraksi yang bervariasi. Dalam pembelajaran digunakan model supaya dapat menjembatani antara konkret dan abstrak. Ketiga, reflection and special
assignment; yaitu pertimbangan dalam memberikan penilaian terhadap jawaban
siswa yang bervariasi. Keempat, social context and interaction; belajar bukan hanya merupakan aktivitas individu melainkan sesuatu yang terjadi dalam masyarakat, maka dari itu dalam belajar harus diberi kesempatan bertukar pikiran, adu argumen, dan sebagainya. Kelima, structuring and interwining; belajar matematika tidak hanya terdiri dari penyerapan pengetahuan dan unsur-unsur keterampilan yang tidak berhubungan, tetapi merupakan kesatuan yang terstruktur. Sehingga dalam pembelajaran diupayakan agar ada keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Sejalan dengan pendapat Streefland, Suherman dalam Ahmad Susanto (2013:206) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan model RME menganut 5 prinsip, yaitu: pertama, didominasi oleh maslah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika. Kedua, perhatian diberikan kepada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol. Ketiga, sumbangan dari para siswa, sehingga dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif. Keempat, interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika. Kelima, intertwining (membuat jalinan) antartopik atau antarpokok bahasan atau antarstrand.
Berdasarkan dua pendapat diatas, pada dasarnya prinsip RME adalah situasi ketika siswa diberi kesempatan untuk menemukan kembali ise-ide matematika. Berdasarkan situasi realistik, siswa didorong untuk mengkonstruksi sendiri masalah realistik, karena masalah yang dikonstruksi oleh siswa akan menarik siswa lain untuk memecahkannya. Proses yang berhubungan dalam berfikir dan pemecahan masalah ini dapat meningkatkan hasil mereka dalam masalah.
2.1.1.3 Langkah-Langkah Model RME
Menurut Aris Shoimin (2014:150) model realistic mathematics education dijalankan dengan 4 langkah. Pertama, memahami masalah kontekstual. Guru memberikan maslah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah dengan memberikan petunjuk atau saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa. Kedua, menyelesaikan masalah kontekstual. Siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual pada buku siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memeberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal. Ketiga, membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dan diskusi itu dibandingkan pada didkusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya. Keempat, menarik kesimpulan. Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dalam masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Adapun sintaks Implementasi Matematika Realististik adalah:
Tabel 2.1 Sintaks Implementasi Realistic Mathematics Education (RME)Aktivitas Guru Aktivitas Siswa memberikan siswa
- Guru Siswa secara sendiri atau masalah kontekstual. kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi
- jawaban siswa. Siswa diberikan informal.
- kesempatan untuk memikirkan
Guru merespon secara positif
Siswa secara sendiri-sendiri atau strategi siswa yang paling kelompok menyelesaikan efektif. masalah tersebutt. Guru mengarahkan siswa pada Beberapa siswa mengerjakan di
- beberapa masalah kontekstual papan tulis. Melalui diskusi dan selanjutnya meminta siswa kelas, jawaban siswa mengerjakan masalah dengan dikonfrontasikan. menggunakan pengalaman
- mereka. matematika formal.
- Guru mengelilingi siswa sambil Siswa mengerjakan tugas rumah memberikan bantuan seperlunya dan menyerahkannya kepada mengenalkan istilah guru.
Siswa merumuskan bentuk
- konsep.
Guru
- dirumah yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita beserta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.
memberikan tugas Guru
2.1.1.4 Kelebihan Dan Kekurangan Model RME
RME merupakan suatu model pembelajaran yang mempunyai banyak
(2014:151): 1) pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya pada manusia, 2) pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut, 3) pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan yang lain, 4) pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang lebih mengetahui (misalnya guru).
Sedangkan kekurangan model RME adalah sebagai berikut: 1) tidak mudah untuk mengubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan sosial atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkan RME, 2) pencarian soal- soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaiakan dengan bermacam-macam cara, 3) tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah, 4) tidak mudah bagi guru untuk memebri bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
2.1.2 Hasil Belajar
2.1.2.1 Definisi Belajar
Belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap, Winkel (dalam Purwanto, 2014:39). Perubahan itu diperoleh melalui usaha (bukan karena kematangan), menetap dalam waktu yang relatif lama dan merupakan hasil pengalaman. Menurut Purwanto (2014:43) belajar adalah proses untuk membuat perubahan dalam diri manusia dengan cara berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan menurut Ahmad Susanto (2013:4) belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadi perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berfikir, merasa, maupun dalam bertindak. Menurut Slameto (2013:2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Dalam belajar membutuhkan interaksi dari individu yang belajar dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut bisa berupa lingkungan formal maupun non formal. Sebagai contoh lingkungan formal adalah sekolah, sedangkan lingkungan non formal bisa berupa lingkungan sekitar dan interaksi dengan orang lain. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan peningkatan pengetahuan, keterampilan serta perubahan perilaku, maka sebenarnya belum mengalami proses belajar.
2.1.2.2 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Menurut Purwanto (2014:54) hasil belajar adalah perubahan perilaku yang terjadi setelah mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendididkan. Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai dari proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar diukur untuk mengetahui pencapaian tujuan pendidikan sehingga hasil belajar harus sesuai dengan tujuan pendidikan.
Menurut Dimyati dan Mudjiyono (2006: 3) mengatakan bahwa hasil belajar merupakan hal yang dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi siswa hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Sedangkan dari sisi guru adalah bagaimana guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa menerimanya. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang lebih baik bila dibandingkan saat belum belajar. Perubahan ini tentunya segala perubahan yang bersifat progresif yang diharapkan kearah yang lebih baik. Bagi seorang siswa hasil belajar ini dapat dilihat melalui perubahan yang terjadi pada seoarng siswa mulai dari belum pandai setelah belajar maka menjadi pandai, belum bisa menjadi bisa, belum mampu menjadi mampu. Tentunya setelah anak tersebut berinteraksi dengan lingkungan seperti interaksi dengan teman sejawatnya, interaksi di dalam kelompok belajar yang ada di dalam kelas. Pencapaian hasil belajar diukur dengan alat evaluasi yaitu dengan tes. Indikator hasil belajar adalah peningkatan kemampuan atau pemahaman siswa terhadap suatu materi pelajaran tertentu.
Sedangkan Ahmad Susanto (2013:5) menyatakan secara sederhana, yang dimaksud hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran dan pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui setelah adanya pengukuran oleh guru melalui tes evaluasi.
2.1.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut teori Gestalt dalam Ahmad Susanto (2013:12), belajar merupakan perkembangan. Berdasarkan teori ini hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, siswa itu sendiri dan lingkungannya. Pertama, siswa; dalam arti kemampuan berfikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan siswa, baik jasmani maupun rohani. Kedua; lingkungan yaitu sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan lingkungan, keluarga, dan lingkungan.
Pendapat yang senada dikemukakan oleh Wasliman dalam Ahmad Susanto (2013:12), hasil belajar yang dicapai oleh siswa merupakan hasil interaksi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) faktor internal; merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri siswa, yang mempengaruhi hasil belajarnya. Faktor ini meliputi: kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. 2) faktor eksternal; faktor yang berasal dari luar siswa yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang yang mempunyai kebiasaan buruk akan berpengarh terhadap hasil belajar siswa. Sekolah merupakan salah satu faktor yang memepengaruhi hasil belajar siswa. Semakin tinggi kemampuan belajar siswa dan kualitas pengajaran di sekolah, maka semakin tinggi pula hasil belajar siswa.
2.1.3 Mata Pelajaran Matematika
2.1.3.1 Hakekat Matematika
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang ada pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan matematika diajarkan di taman kanak-kanak scara informal. Mata pelajaran matematika perlu diajarkan kepada peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Belajar matematika merupakan suatu syarat cukup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif, dan aktif. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka konsep-konsep matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu.
Kata matematika berasa dari bahasa latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedang dalam bahasa belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat. Menurut Ahmad Susanto (2013:185) matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan akan aplikasi matematika saatini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, matematika sebagai ilmu dasar perlu dikuasai dengan baik oleh siswa, terutama sejak usia sekolah dasar.
2.1.3.2 Pembelajaran Matematika
Pada hakekatnya, matematika mempunyai kemampuan yang efektif untuk menjembatani antara manusia dan alam, antara dunia fisik dan nonfisik. Ciri utama matematika adalah metode dalam penalaran. Menalar secara induksi dan analogi membutuhkan pengamatan dan percobaan untuk memperoleh fakta yang dapat digunakan sebagai dasar argumentasi.
Cara dan pendekatan dalam pembelajaran matematika sangat dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap matematika dan siswa dalam pembelajaran. Adams dan Hamm dalam Wijaya (2012:5), menyebutkan empat macam pandangan tentang posisi dan peran matematuka, yaitu:
1. Matematika sebagai suatu cara untuk berfikir 2.
Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dna hubungan 3. Matematika sebagai suatu alat 4.
Jadi, pada dasarnya pembelajaran matematika selalu berkaitan dengan pengaplikasian ilmu tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.3.3 Pembelajaran Matematika Di SD
Siswa Sekolah Dasar (SD) umumnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Usia tersebut termasuk ke dalam tahap perkembangan kognitif. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru, sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.
Menurut Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2013:189), kompetensi atau kemampuan umum pembelajaran matematika disekolah dasar, adalah sebagai berikut: 1.
Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan.
2. Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, volume, dan luas.
3. Menentukan sifat simetri, kesebangunan, dan sistem koordinat.
4. Menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antarsatuan, dan penaksiran pengukuran.
5. Menentukan dan menafsirkan data sederhana, seperti: ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, mengumpulkan, dan menyajikannya.
6. Memecahkan masalah, melakukan penalaran, dan mengomunikasikan gagasan secara matematika.
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar secara khusus menurut Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2013:190), sebagai berikut: 1.
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep.
2. Melakukan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi,menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika tersebut, seorang guru hendaknya menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuannya. Kemudian siswa dapat membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan mengkontruksikannya dalam ingatan yang sewaktu- waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget, bahwa pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa itu sendiri.
2.1.3.4 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) Matematika di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap Satuan Pendidikan.
Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah. Dalam penelitian ini standar kompetensi yang akan digunakan mengacu pada
Tabel 2.2 Tabel Standar Kompetensi dan Kompetensi DasarStandar Kompetensi Indikator Kompetensi Dasar
6. Memahami 6.1.
1. Mengidentifikasi sifat-sifat bangun sifat-sifat bangun Mengidentifika segitiga, persegi panjang, pesegi, dan hubungan si sifat-sifat dan trapesium. antar bangun bangun datar 2.
Menggambarkan bangun datar segitiga, persegi panjang, persegi, dan trapesium.
3. Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar jajar genjang, belah ketupat, layang-layang, lingkaran.
4. Menggambarkan bangun datar jajar genjang, belah ketupat, layang- layang, lingkaran.
2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti Pradita (2013), menemukan bahwa model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa kelas 5 SD Negeri Lajaer 03. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil minat pada prasiklus 41,17%, siklus 1 diperoleh 67,65%, siklus 2 diperoleh 85,29%. Untuk hasil kentuntasan belajar siswa pada prasiklus 38,23%, siklus 1 diperoleh 55,89%, siklus 2 diperoleh 85,29%. Tingkat hubungan minat dan hasil belajar prasiklus 0,979 dengan tingkat hubungan sangat kuat, siklus 1 adalah 0,954 dengan tingkat hubungan sangat kuat, siklus 2 adalah 0,810 dengan tingkat hubungan sangat kuat. Dengan demikian dikatakan bahwa model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan minat dan hasil belajar matematika siswa kelas 5 di SD Negeri 03 Lajer Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahadi, Slamet (2012), menyatakan bahwa model Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai rata-rata pada siklus pertama sebesar 65,71 dn siklus kedua dengan rata-rata 71,90. Ketuntasan belajar siswa pada siklus 1 adalah 66,67% dengan kategori baik dan pada siklus 2 menjadi 80,95% masuk dalam kategori baik. Nilai rata-rata hasil belajar sudah baik karena sebanyak 80,95 siswa sudah mengalami ketuntasan belajar sesuai nilai KKM mata pelajaran matematika yaitu 60. Dapat disimpulkan, dengan penerapan model RME hasil belajar matematika pokok bahasan pecahan dalam pemecahan masalah pada siswa kelas 4 SDN Semampir 01 dapat meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh Heni Okta Prastyawati (2012), dari hasil penelitian siklus I dan siklus II, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan model RME (Realistic Mathematics Education) kompetensi dasar menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling, luas persegi dan persegi panjang di kelas III SD Negeri Tegalombo 01, Kecamatan Tersono, Kabupaten Batang, berjalan dengan baik dan karenanya prestasi belajar siswa meningkat, dan dinyatakan berhasil. Pelaksanaan perbaikan pembelajaran berjalan dengan cukup baik, dengan nilai rata-rata 50,4, ketuntasan klasikal 45,4 pada siklus I, meningkat menjadi baik, dengan nilai rata-rata 58,6 ketuntasan klasikal 54,5 % pada siklus II. Peningkatan nilai rata-rata 58,6, pada siklus II meningkat menjadi 75 dengan ketuntasan klasikal mencapai 90 % pada siklus II.
Hasil penelitian Eko Madhawanto (2013) terhadap keaktifan siswa menunjukan bahwa Realistic Mathematics Education berbantuan media visual non proyeksi mampu meningkatkan keaktifan siswa sampai 50% siswa sangat aktif di kedua siklus dan angka anak kurang aktif mengalami penurunan 6% dari siklus I ke siklus II. Hasil penelitian terhadap hasil belajar siswa juga menunjukan peningkatan ketuntasan dari 53,12% menjadi 81,25% di siklus I dan meningkat kembali menjadi 84,37% di siklus II. Hasil belajar yang dimaksud adalah hasil evaluasi yang digunakan untuk mengukur aspek kognitif siswa, hanya saja terbukti juga bahwa melalui observasi yang dilakukan Realistic Mathematics Education berbantuan media visual non proyeksi mampu meningkatkan hasil belajar aspek psikomotor dan afektif siswa. Berdasarkan analisa data yang lain langkah pembelajaran Realistic Mathematics Education dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar terutama langkah pemberian masalah kontektual. Guru diharapkan dapat menggunakan model Realistic Mathematics Education pada matematika baik dengan media visual non proyeksi atau media lain sebagai bantuannya, karena model pembelajaran ini sangat membantu dalam merubah pandangan siswa terhadap pembelajaran matematika menjadi lebih menyenangkan. Dengan model ini maka pengetahuan akan konsep matematika tidak hanya dilambangkan dan diucap melalui verbalisme guru semata, melainkan juga dengan penemuan dan pengalaman belajar yang dapat siswa rasakan secara langsung.
2.3 Kerangka Pikir
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang susah untuk dimengerti. Hal itu dapat dilihat dari hasil belajar yang kurang memuaskan. Pembelajaran yang biasa diterapkan selama ini yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa kurang terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa siswa mengalami kejenuhan yang berakibat terhadap minat belajar. Minat belajar akan tumbuh apabila kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara bervariasi, baik melalui variasi model maupun media pembelajaran.
Model Realistic Mathematics Education (RME) merupakan salah satu model dalam matematika yang berorientasi pada siswa, bahwa dalam belajar matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari- hari siswa. Dalam pembelajarannya, siswa bukan sekedar penerima yang pasif terhadap materi matematika yang siap saji, tetapi siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan melalui praktek yang mereka lakukan. Dalam model RME, hal-hal yang bersifat abstrak harus ditransformasikan menjadi hal-hal yang bersifat real bagi siswa.
Penelitian ini akan dilaksanakan secara kolaborasi antara guru kelas dan peneliti. Peneliti sebagai pemberi ide dan observer saat guru sedang melaksanakan proses belajar mengajar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model RME atau sering disebut matematika realistik dengan menggunakan alat peraga pada mata pelajaran matematika materi bangun ruang. Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas 5. Apabila dibuat bagan sebagai berikut:
Hasil belajar siswa pada materi bangun datar KONDISI kurang maksimal.
AWAL Guru menggunakan model realistic mathematic education (RME).
SIKLUS I
Menggunakan alat peraga yang sesuai dengan perkembangan belajar siswa dan sesuai dengan pengalaman yang sudah dialami siswa. TINDAKAN
Guru melanjutkan indikator selanjutnya dengan menggunakan model realistic mathematic education (RME) dan menggunakan alat peraga
SIKLUS II yang sesuai dengan perkembangan belajar siswa dan sesuai dengan pengalaman yang sudah dialami siswa.
Dengan menggunakan model Realistic KONDISI
Mathematics Education (RME) dapat AKHIR menigkatkan hasil belajar matematika
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian kerangka berpikir, hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan model Realistic Mathematics Realistic (RME) dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi bangun datar siswa kelas 5 SDN Karanggondang 01.