ANALISIS KEBERHASILAN RI GAM DALAM MENCA
ANALISIS KEBERHASILAN RI-GAM DALAM MENCAPAI KONSENSUS
UNTUK MENGAKHIRI SEPARATISME DI ACEH
PAPER
Untuk Memenuhi Tugas Sistem Sosial Budaya Indonesia
Oleh
Sintya Debi Permatasari
NIM
130910201004
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi-studi tentang integrasi politik di Indonesia bukanlah hal
yang baru sama sekali, karena studi sebelumnya mengenai hal itu
sudah dilakukan oleh sejumlah akademisi. Sementara kajian tentang
integrasi politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke dalam Republik
Indonesia di masa transisi masih jarang menjadi fokus utama kajian.
Dalam perkembangan kajian-kajian di masa transisi tentang Aceh,
secara umum dapat dipetakan dalam tiga perspektif pendekatan.
Perspektif pertama melihat bahwa apa yang terjadi di Aceh adalah
persoalan konflik politik. Pendekatan konflik dan resolusi konflik
kerap kali dominan sebagai instrumen analisis. Perspektif kedua
memandang bahwa fenomena Aceh adalah fenomena konflik antara
pusat dan daerah. Sementara itu, perspektif ketiga melihatnya
sebagai masalah separatisme (pemberontakan) yang didalamnya
juga mencakup masalah integrasi dan disintegrasi politik. Dari tiga
perspektif tersebut, perspektif pertama dan kedua lebih mendominasi
sebagai kerangka dalam membahas mengenai masalah Aceh, yang
fokus kajiannya pada latar belakang konflik dan separatisme, sebabsebab dan faktor-faktor terjadinya separatisme, serta kendalakendalapenyelesaian konflik dan resolusi konflik. Kajian yang
memfokuskan pada persoalan konflik dan integrasi politik GAM ke
dalam Republik Indonesia masih jarang dilakukan, meskipun sudah
banyak kajian yang membahas mengenai kegagalan penyelesaian
konflik Aceh. Diantara tiga perspektif tersebut, kajian ini mencoba
menganalisis keberhasilan RI-GAM dalam mencapai konsensus
(kesepakatan)
normatif
sebagai
pijakan
untuk
mengakhiri
separatisme di Aceh yang sudah berjalan puluhan tahun dalam
perspektif
resolusi
konflik
dan
integrasi
politik.
Kajian
ini
memfokuskan pembahasan pada proses integrasi politik GAM ke
dalam Republik Indonesia.
Pada
awalnya,
GAM
adalah
sebuah
organisasi
yang
diproklamasikan secara terbatas. Deklarasi GAM oleh Hasan Tiro
dkk, dilakukan secara diam-diam di sebuah kamp kedua yang
bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Pada 4
Desember 1976 inisiator Gerakan Aceh Merdeka Hasan di Tiro dan
beberapa
pengikutnya
mengeluarkan
pernyataan
perlawanan
terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan Halimon di
kawasan Kabupaten Pidie. Diawal masa berdirinya GAM nama resmi
yang digunakan adalah AM, Aceh Merdeka. Oleh pemerintah RI
pada periode 1980-1990 nama gerakan tersebut dikatakan dengan
GPK-AM. Pada awalnya, gerakan ini adalah gerakan sekelompok
intelektual (bahkan dapat disebut sebagai gerakan berdimensi
kekerabatan) yang kecewa atas model pembangunan di Aceh.
Lahirnya GAM terkait pula dengan kemarahan mereka atas
penyelenggaraan
pemerintahan
di
bawah
orang-orang
Jawa.
Kelompok ini menuduh telah terjadi kolonialisasi Jawa atas
masyarakat dan kekayaan Aceh. Bahkan, Hasan Tiro sendiri
mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi Jawa untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat Aceh dan kalangan pemuda serta tokohtokoh agama. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak
setelah Pemerintah Orde Baru mengeksplorasi gas alam dan minyak
bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an.
Perlawanan represif bersenjata dari gerakan tersebut mendapat
sambutan keras dari pemerintah pusat RI yang akhirnya menggelar
sebuah operasi militer di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang
dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer) pada paruh akhir 80an sampai dengan penghujung 90-an, operasi tersebut telah
membuat para aktivis AM terpaksa melanjutkan perjuangannya dari
daerah pengasingan. Munculnya kelompok ini ditanggapi oleh Orde
Baru dengan cara yang represif. Orba mengirimkan tentara sebagai
alat untuk menumpas pemberontakan GAM. Pendekatan militer ini
ditempuh dengab tujuan agar pembangunan tidak mengalami
gangguan.
Di
masa
Orba,
tidak
ada
toleransi
bagi
kaum
pemberontak, karena itu pendekatan integrasi tidak memungkinkan
pada
waktu
itu.
Orba
tidak
mentolelir
adanya
gerakan
pemberontakan yang dapat menyebabkan istabilitas politik. Pada
jaman Soeharto GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar
sehingga harus dibasmi. Pendekatan militer menyebabkan terjadinya
kekerasan pada periode DOM 1989-1995 di Aceh. Penghilangan
orang, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, justru menjadi antitesis dari proses integrasi politik selama masa Orba. Akibat
penyelesaian yang tidak tuntas di masa lalu dan kegagalan
pendekatan dalam menangani separatisme tersebut, sumber-sumber
dan sebab-sebab separatisme di Aceh justru semakin subur, bahkan
melahirkan generasi baru (generasi korban DOM yang kemudian
mendukung GAM). Kelompok GAM di masa DOM melakukan
eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui
Malaysia, Libya, dan Janewa.
Eksistensi
GAM
kembali
menjadi
perhatian
publik
dan
pemerintah pusat tatkala Indonesia mengalami krisis ekonomi politik
hingga jatuhnya Soeharto pada 1998. Disaat rezim Orde Baru
berakhir dan reformasi dilangsungkan di Indonesia, seiring dengan
itu pula Gerakan Aceh Merdeka kembali eksis dan menggunakan
nama GAM sebagai identitas organisasinya. Kebangkitan gerakan ini
bukan hanya mencengangkan, tetapi sekaligus merisaukan para
politisi lokal dan Jakarta. Eksistensi GAM sebagai kelompok
pemberontak
salah
satunya
dipengaruhi
oleh
faktor
sosio-
kulturalnya, kususnya hubungan kekerabatan yang sangat tinggi dan
sentimen primordialismenya.
Untuk mengatasi persoalan separatisme di Aceh yang semakin
berkembang, pemerintahan transisi sejak masa Presiden BJ. Habibie
hingga Megawati telah mengupayakan beberapa kebijakan. Sayang
pendekatan-pendekatan yang pernah ditempuh sebelum adanya
perjanjian
Helsinki
pendekatan
lama,
umumnya
tidak
pendekatan
beranjak
militeristik
dari
yang
pola
dan
cenderung
mengedepankan cara-cara kekrasan dalam mewujudkan keamanan
di Aceh. Tak jarang pendekatan pemerintahan transisi sejak masa
Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati pada akhirnya
mengalami jalan buntu, menyebabkan penyelesaian masalah
separatisme
Aceh
berlarut-larut,
dan
gagal
menghentikan
perlawanan pihak GAM serta meminimalisir korban masyarakat sipil.
Meskipun sejak masa Abdurrahman Wahid telah ada upaya untuk
melakukan dialog damai (Jeda Kemanusiaan I dan II) yang
dilanjutkan pada masa Presiden Megawati, namun upaya damai ini
masih dibayang-bayangi oleh ketakutan bahwa cara ini kurang efektif
untuk menghentikan pemberontakan GAM, sehingga pendekatan
militer kembali ditempuh melalui kebijakan Operasi Terpadu.
Kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di Aceh dan
meningkatkan kinerja pemerintahan. Namun langkah ini pun kurang
berhasil memadamkan pemberontakan GAM, yang terjadi justru
semakin menjauhkan GAM dari pangkuan Republik Indonesia.
Integrasi politik sebagai pendekatan untuk menyelesaikan
separatisme di Aceh mulai bergulir setelah Pemilu 2004. Sejak akhir
Januari hingga Juli 2005, pemerintahan yang baru ---Susilo
Bambang
Yudhoyono-Jusuf
Kalla---
melakukan
empat
babak
pembicaraan “informal” dengan GAM untuk melakukan perundingan
sebagai
cara
damai
menyelesaikan
separatisme
di
Aceh.
Pembicaraan informal ini difasilitasi oleh Crisi Management Initiative
(CMI) sebuah lembaga yang dipimpin bekas Presiden Finlandia
(Martti Ahtisaari) dan mengambil tempat di “Koeningstedt Estate”
yang terletak di luar ibukota Finlandia Helsinki. Pemerintahan yang
baru melakukan terobosan melalui pendekatan baru, dianggap
pendekatan baru karena supervisi Jusuf Kalla yang secara konsisten
dan terus-menerus untuk memilih cara damai dalam menyelesaikan
separatisme di Aceh. Pendekatan baru ini lebih menekankan pada
cara-cara dialog dan pemberian pengampunan.
Akhir dari pembicaraan informal ini adalah penandatanganan
MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Walaupun menimbulkan pro
dan kontra, SBY-JK tetap konsisten memilih cara damai sebagai
resep untuk mengakhiri separatisme Aceh melalui kebijakan politik
pengintegrasian yang tercermin pada butir-butir dalam MoU Helsinki.
Cakupan integrasi politik ini meliputi beberapa aspek sebagaimana
tercermin dalam MoU Helsinki, yaitu: penyelenggaraan pemerintahan
Aceh; partisipasi politik; ekonomi, peraturan perundang-undangan;
hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat;
dan pengaturan keamanan. Cakupan integrasi politik tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan GAM menjadi
Warga Negara Republik Indonesia (WNI). Hal ini ditempuh dengan
cara memberikan beberapa kelonggaran terhadap pihak GAM,
khususnya adanya pengampunan, kompensasi ekonomi, dan
peluang
politik
bagi
mantan
anggota
GAM
untuk
terlibat
pemerintahan, sebagai cara mengintegrasikan pihak GAM ke dalam
Republik Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang muncul dalam kajian ini antara lain;
a.
Bagaimanakah sebab-sebab lahirnya Gerakan Aceh Merdeka?
b.
Bagaimanakah faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan
hingga
bisa
sampai
pada
keberhasilan
RI-GAM
dalam
mencapai konsensus untuk mengakhiri separatisme di Aceh?
c.
Bagaimana model penyelesaian konflik dan integrasi politik di
Aceh
hingga
tercapainya
konsensus
untuk
mengakhiri
separatisme?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang menyertai adalah sebagai berikut ;
a.
Mengetahui dan menganalisis sebab-sebab lahirnya Gerakan
Aceh merdeka.
b.
Mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab kegagalan dan
keberhasilan hingga sampai pada proses keberhasilan RI-GAM
dalam mencapai konsensus untuk mengakhiri separatisme di
Aceh.
c.
Menganalisis dan menjelaskan model penyelesaian konflik dan
integrasi politik di Aceh hingga tercapainya konsensus untuk
mengakhiri separatisme.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1
Resolusi Konflik
Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua fokus
perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di
dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan
pendekatan konstruktif untuk memecahkannya; kedua, memberikan
penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan
prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu
penjelasan mengenai konflik. Konflik adalah perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa,
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi,
dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud
untuk
memperoleh
barang
yang
diinginkan,
melainkan
juga
memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.
Muswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik.
Menurutnya, tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik
politik berkaitan dengan penguasa politik dan atau keputusan politik
yang dibuatnya. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap
sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa politik,
dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik. Konflik politik
inilah yang terkait dengan masalahintegrasi dan dapat menimbulkan
masalah disintegrasi.
Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu
pendekatan yang ada adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi
konflik menekankan bahwa konflik yang sudah kompleks atau akut,
khususnya
konflik
yang
sudah
pada
tahap
terang,
perlu
sitransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan
Borton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang
berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual
sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik
sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik
dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement) konflik
dengan cara-cara paksa (coersion) atau dengan cara tawarmenawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).
Menurut Lewis A. Coser, walaupun konflik oleh pendekatan
Marxis dianggap gejala serba hadir dalam masyarakat, bukannya
tidak dapat diselesaikan atau setidaknya dikendalikan. Upaya
penyelesaian ini memiliki fungsi pengintegrasian, karena konflik
memiliki sifat distruksi. Menurut Coser, ada enam (6) cara untuk
penyelesaian konflik yakni:
1.
Menciptakan federasi (federation). Upaya ini dilakukan dengan
memberi otonomi relatif kepada unit-unit yang ada. Ini
berangkat dari faktor-faktor yang memungkinkan munculnya
konflik, adanya heterogenitas, sehingga perlu federasi.
2.
Mengubah hasil yang dikehendaki (altering the payoffs). Upaya
ini dilakukan terutama terhadap ciri konflik yang menang-kalah
(zero sum conflict) yang intensitasnya tinggi. Agar intensitasnya
lebih rendah, struktur konfliknya harus diubah menjadi non zero
sum conflict agar tercipta kompromi dan konsensus.
3.
Memperluas sumber-sumber (expantion of recources). Cara ini
dilakukan
dengan
memperluas
sumber-sumber
yang
dipertentangkan. Perluasan ini diharapkan dapat meredakan
konflik.
4.
Memberikan bayaran tambahan (side payments). Pihak-pihak
yang kalah dalam konflik diberi “subsidi”, atau sejumlah
kompensasi agar tidak tercipta oposisi politik.
5.
Memperbaiki pola-pola komunikasi (improving comunication
patterns). Konflik sering kali menyebabkan penguatan terhadap
masing-masing pihak. Agar konflik tidak selalu antagonistik,
cara mengalihkan pola komunikasi yang bersifat antagonistik
dapat dilakukan.
6.
Mendefinisikan kembali konflik (redefining the conflict). Hal ini
dilakukan terhadap konflik yang cenderung berubah dari konflik
yang bersifat khusus ke konflik yang bersifat umum, maka
konflik harus diarahkan pada hal-hal yang bersifat khusus, agar
mudah penyelesaiannya.
Dari penjelasan tersebut diatas, separatisme di Aceh dapat
dianggap sebagai konflik politik. Sementara perundingan yang
ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk
menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana telah
disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penggunaan
cara tawar-menawar dan melalui suatu proses perundingan atau
negosiasi.
Untuk dapat
mewujudkan
hal
itu,
masing-masing
kelompok yang bertikai harus mematuhi aturan-aturan permainan
tertentu sebagai kerangka penyelesaian sehingga memungkinkan
adanya
hubungan-hubungan
sosial
di
antara
mereka
untuk
menemukan pola penyelesaian.
2.2 Integrasi Politik dan Konsensus Normatif
Istilah integrasi menunjukkan adanya suatu pembauran dan
penggabungan yang menyeluruh dari hal-hal yang khusus sehingga
masing-masing telah kehilangan jati diri yang khas. Dari definisi
harfiah tersebut, integrasi merujuk pada suatu proses pembauran
atau penggabungan bagian-bagian maupun unsur-unsur sehingga
mengarah pada suatu keseluruhan. Dalam pengertian yang luas,
integrasi dipandang dari akar katanya, integer dalam bahasa Latin
berarti keseluruhan.
`Dalam kaitan itu, para ahli tentang integrasi seperti Myron
Weiner mendefinisikan integrasi dalam lima pengertian, yaitu:
1.
Integrasi mungkin merujuk pada proses penyatuan berbagai
budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada
pembentukan suatu identitas nasional.
2.
Integrasi sering digunakan dalam arti yang serupa untuk
merujuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan
nasional pusat diatas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang
lebih kecil yang mungkin beranggotakn suatu kelompok budaya
atau sosial tertentu.
3.
Integrasi sering digunakan untuk menunjuk pada masalah
menghubungkan pemerintah dengan yang diperintah.
4.
Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan
adanya konsensus nilai yang minimum, yang diperlukan untuk
memelihara tertib sosial; dan
5.
Berkaitan dengan “tingkah laku integratif” yaitu kapasitas orangorang di dalam suatu masyarakat untuk berorganisasi demi
mencapai beberapa tujuan bersama.
Myron Weiner membagi integritas menjadi lima yaitu integritas
nasional, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit-massa dan
tindakan integratif. Meskipun Weiner membagi lima tipe integrasi,
istilah integrasi politik yang dimaksudkan cakupannya lebih luas tidak
hanya mencakup dimensi vertikal, horizontal, tetapi juga mencakup
nilai-nilai dan budaya.
Ahli lain yaitu Claude Ake, dalam bukunya a theory of political
integration, menolak penggunaan istilah integrasi nasional dan
menggunakan istilah integrasi politik, karena integrasi nasional
berbau tautalogis. Menurutnya, integrasi politik sebagai suatu proses
untuk mencapai konsensus normatif. Konsensus normatif adalah
suatu proses untuk membangun kultur dan komitmen politik berbagai
pihak dalam mewujudkan kepercayaan terhadap sistem politik,
simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama
sebagai dasar tindakan politik.
Secara substantif dalam memahami persoalan separatisme
Aceh yang merupakan konflik politik sebagaimana ciri yang
disebutkan oleh Maswadi Rauf, maka lebih cocok menggunakan
integrasi politik. Strategi politik dilakukan oleh pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan separatisme di Aceh
melalui perundingan dengan pihak GAM, pada dasarnya adalah
suatu proses yang bersifat bottom up (prosesnya berawal dari suatu
upaya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan normatif) antara
RI-GAM, sehingga lebih tepat digunakan istilah integrasi politik.
Dari beberapa penjelasan di atas, dalam kajian ini integrasi
politik dipandang sebagai suatu proses, shingga didalamnya
mencakup sejumlah faktor yang memengaruhi proses dan yang
menentukan proses integrasi politik. Faktor-faktor tersebut mencakup
perilaku politik elit, tingkat kepercayaan dan komitmen elit sebagai
pihak yang paling menentukan dalam proses integrasi politik,
khususnya dalam membangun kultur dan kepercayaan terhadap
pihak GAM dalam mewujudkan sistem politik, simbol-simbol
ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar
tindakan
politik.
Para
penganut
teori
integrasi
politik
telah
menyampaikan beberapa pandangan mengenai strategi untuk
memperkuat integrasi politik. Weiner mengusulkan cara mengurangi/
menghilangkan kesetiaan nasional atau integrasi politik. Strategi
yang dapat ditempuh adalah dengan cara asimilasi dan Bhineka
Tunggal Ika (unity in diversity). Sementara Coleman dan Rosberg
menegaskan bahwa upaya memperkuat integrasi politik perlu
dilakukan dengan cara mengurangi diskontinuitas dan ketegangan
regional dan kultural. Sedangkan Ake, mengusulksn cara konsensus
normatif.
Upaya untuk membangun konsesnsus normatif umumnya
dialami oleh negara-negara yang baru merdeka. Ada dua masalah
yang dihadapi yaitu: bagaimana mendapatkan rasa hormat dan
kesetiaan terhadap klain negara dan bagaimana meningkatkan
konsensus normatif mengenai oerilaku politik diantara anggotaanggota dalam suatu sistem politik. Cara ini dipandang lebih memiliki
relevansi dalam memahami persoalan formula penyelesaian dalam
perundingan antara RI-GAM di Helsinki yang akhirnya melahirkan
sejumlah butir mengenai sistem politik lokal (pemerintahan Aceh)
dan sejumlah kesepakatan lainnya sebagai kesepakatan kedua
belah pihak dalam menyelesaikan akar-akar separatisme.
Dibandingkan dengan cara Weiner dan Coleman dan Rosberg,
sebagaimana telah disebut di atas, formula yang dikembangkan oleh
Ake dan Geertz lebih relevan dalam membahas cara penyelesaian
separatisme di Aceh. Formula Geertz yang menekankan perlunya
akomodasi,
dimana
kelompok-kelompok
primordial
yang
ada
akomodasi secara politik juga dapat digunakan sebagai salah satu
cara lain dalam meningkatkan integrasi politik. Cara Geertz ini
dianggap dapat mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional
dan kultural, yang kerap kali menimbulkan problem-problem
integrasi. Dengan model akomodasi Geertz, sejumlah capaian dalam
perundingan antara RI-GAM di Helsinki dapat dianalisis dari
pandangan Claude Ake dan Geertz tersebut.
2.3 Separatisme
Separatisme dalam hal ini disamakan pengertiannya dengan
pemberontakan. Mengenai separatisme di masa Soekarno, Geoge
McT Kahin mengatakan bahwa seluruh gerakan separatis di masa
pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elit daerah dan
atau perwira militer daerah terhadap penguasa pusat dan tak jarang
pula
akibat
adanya
rivalitas
dalam
tubuh
militer
dalam
memperebutkan posisi serta sumber daya ekonomi dan politik.
Senada
dengan
Kahin,
Geertz
juga
memandang
bahwa
pemberontakan di masa Soekarno (50-an) sebagai dampak dari
kegagalan modernisasi politik yang justru cenderung meningkatkan
munculnya sentimen primordial. Pandangan Geertz ada benarnya
mengenai masalah separatisme di negara-negara yang baru
merdeka seperti Indonesia, ternyata bukan “one way traffic” yang lalu
berakhir, tetapi merupakan suatu “two way traffic” yang terus
berjalan, karena terkait dengan persoalan kebangsaan dan sentimen
primordial.
Dengan pemahaman seperti itu, maka persoalan separatisme
di Aceh dapat dipahami dalam kerangka “two way traffic” tersebut,
karena ternyata sejak 1953 ketika pemberontakan Darul Islam
pertama kali muncul di Aceh, tampaknya wilayah ini tak pernah surut
dari masalah separatisme. Artinya
ada hubungan
persoalan
sentimen perimordial sebagai landasan ketidakpuasan masyarakat
yang terus-menerus berbenturan dengan ideologi dan masalah
kebangsaan. Kerangka Geertz ini dapat digunakan sebagai pijakan
dalam membahas perkembangan GAM mulai dari kelahirannya pada
1976 hingga kebangkitannya kembali pada masa transisi.
Di sisi lain, untuk dapat mencari penyebab separatisme di masa
lalu di Indonesia khususnya munculnya GAM; mengapa separatisme
muncul dalam suatu negara akan digunakan beberapa kerangka
yang telah dibangun oleh beberapa orang yang sebelumnya telah
membahas mengenai hal itu.
Pertama,
kerangka
yang
dibangun
oleh
Nawawi
yang
mengatakan bahwa separatisme lahir sebagai akibat masalah
stagnansi
dan
mengakibatkan
kesukuan.
regionalisme
Kemungkinan
stagnansi
sosial
atau
kedaerahan
yang
gerakan
ditunjang pula oleh perbedaan orientasi politik. Stagnansi kesukuan
ini dapat menggambarkan mengapa yang memberontak di Aceh
adalah daerah-daerah yang kaya industri dan kekayaan alam.
Kedua, dari segi akar separatisme mungkin terdapat perbedanperbedaan antara masa Orde Lama dengan mas Orde Baru saat
lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Masih dalam konteks sumber-sumber separatisme, Metta
Spencer menyebut ada beberapa faktor penyebab yang bervariasi
antara nasionalisme dan separatisme, yaitu: pertama, emotional
resentment,
beberapa
analisis
dari
psikologi
sosial
tentang
nasionalisme pada dasarnya terkait dengan sentimen emosional,
termasuk adanya anggapan “rival community”, perasaan yang
irasional; kedua, alasan perlawanan dari para korban (the justified
resistance of victim); ketiga, propaganda kekuatan-kekuatan politik
(propaganda orchestrated for political gain); keempat, kelompok etnik
yang dominan dalam kekuasaan (the power of a dominant ethnic
group); dan kelima adalah motivasi ekonomi (economic motivations).
Kelima hal itu merupakan sumber terjadinya separatisme. Selain
sumber-sumber tersebut, faktor struktural tertentu pun memiliki
kontribusi atas terjadinya separatisme. Faktor tersebut adalah: (1)
faktor etnisistas yang menjadi basis ideologi dalam suatu wilayah; (2)
sentralisasi dan desentralisasi sistem pemerintahan; (3) prospek
negara baru; (4) adanya manipulasi demografi dan politik aneksasi
(political annexation); dan (5) ambiguitas hukum internasional,
karena kebanyakan para separatis percaya bahwa gerakan mereka
akan mendapat dukungan dari pihak internasional.
Menggunakan
kesetiaan
primordial
(primordial
loyalities)
sebagai dasar bagi kesetiaan politik dan perjuangan politik, menurut
Geertz sering kali dipergunakan untuk memperoleh dukungan dan
keuntungan. Tujuannya adalah untuk kepentingan politik yang sangat
besar, serta menciptakan suatu kelompok yang militan. Kelompok
militan ini, merupakan ikon perlawanan bagi kelompok-kelompok
yang bertujuan untuk melakukan gerakan politik, khususnya
kelompok yang hendak memisahkan diri dari negara.
Dalam kasus GAM, dalam praktiknya, orientasi politiknya pun
dikaitkan dengan persoalan identitas ke-Aceh-an, sebagai suatu
identitas primordial yang resisten terhadap kekuatan politik yang
menekan. Penggunaan identitas ini acap kali mengalami proses
inklinasi, suatu kondisi untuk menumbuhkan perasaan sentimen
terhadap etnik lain sehingga dapat menyebabkan berkembangnya
konflik di antara berbagai kelompok etnik. Gagasan Hasan Tiro yang
mengatakan bahwaetnik Jawa adalah penindas dan penjajah pada
awal-awal mendirikan GAM merupakan bagian dari proses inklinasi
seperti itu. Tujuannya agar memperoleh dukungan dan menimbulkan
semangat primordialisme sebagai basis perlawanan sekaligus
sebagai dasar dalam membentuk ideologi GAM.
BAB 3. PEMBAHASAN
Aceh adalah wilayah yang unik dari segala segi, khususnya budaya
yang resisten terhadap segala upaya yang ingin mendominasi (apalagi
“menjajah”) wilayah yang dikenal serambi mekaah tersebut. Wilayah ini
tak henti-henti menabuh genderang perang sejak masa Hindia Belanda,
pasca-kemerdekaan dengan terjadinya perang Cumbok antara kaum
uleebalang dengan ulama, meletusnya pemberontakan DI/TII Daud
Beureueh 1953 hingga proklamasi kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka
4 Desember 1976.
3.1 Sebab-sebab Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka
Orientasi ke-Aceh-an dapat dipandang sebagai salah satu
faktor yang turut mempengaruhi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka,
meskipun bukanlah faktor yang paling menentukan. Sebagaimana
tercermin pada awal lahirnya GAM misalnya, orientasinya pada
waktu itu adalah untuk membentuk negara sebagaimana Aceh di
masa lalu, yaitu Aceh di jaman kesultanan. Sementara itu, Isa
Sulaiman menyebutkan bahwa GAM ada kaitannya dengan peroslan
Daru Islam (DI) di Aceh yang belum tuntas diselesaikan. Dukungan
para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada
yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh
Soekarno
untuk
menyelesaikan
pemberontakan
DI/TII
Daud
Beureueh. Tokoh-tokoh DI/TII yang kecewa ini kemudian mendukung
lahirnya GAM, bahkan mereka menyebut Mohammad Hasan Di Tiro
sebagai Wali Negara terakhir.
Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan pada 4 Desember 1976
di sebuah Camp kedua yang bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman
Kecamatan Tiro, Pidie. Proklamasi GAM yang sederhana, dilakukan
di suatu tempat, menandakan bahwa pada awal-awalnya, gerakan ini
adalah gerakan bawah tanah, yang dilakukan secara diam-diam. Isa
Sulaiman menyebut fase awal pembentukan GAM 1976-1980
sebagai fase konsolidasi kelompok, bukan fase perang bersenjata.
Sudah sejak 1965 Hasan Tiro menghimbau putra-putra Aceh,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain untuk tegak
berdiri merebut kembali kekuasaan dan kehormatan mereka selama
20 tahun yang sudah direndahkan oleh kolonialisasi Jawa. Pada
dasarnya, gagasan yang dikembangkan oleh Hasan Tiro melalui cara
mengorbankan semangat patriotisme lokal adalah untuk mencari
dukungan.
Pihak GAM sering menganggap bahwa Aceh bukanlah wilayah
Republik Indonesia. Secara historis beberapa anggota GAM seperti
Tgk. Abdullah Syafe’i, penglima GAM memandang bahwa antara
Bangsa Aceh dengan Bangsa Indonesia Jawa tidak ada hubungan
sama sekali. Secara historis Aceh adalah suatu bangsa yang
memiliki struktur sendiri. Kalaupun Aceh sekarang berada di bawah
Indonesia, tiu karena kesalahan Belanda, sebab sejak 1873 bangsa
Aceh diberi kemerdekaan oleh Inggris. Pihak Aceh memahami
bahwa Aceh adalah wilayah yang lepas dari Indonesia, dan memiliki
identitas serta pemerintahan sendiri.
Gagasan
Hasan
Trio
ini
semakin
memuncak
setelahPemerintahan Orba mengeksplorasi gas alam dan minyak
bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an. Gas alam dan minyak bumi
ini ditemukan di sekitar permukiman masyarakat Arun akhir 1960-an.
Masalah minyak sesungguhnya telah menjadi sumber dari deprivasi
relatif (ketidakpuasan) bagi masyarakat Aceh sejak masa Hindia
Belanda melakukan eksplorasi hingga sekarang. Masalah ini pun
pada awal-awal kemerdekaan juga menjadi salah satu persoalan,
hingga munculnya GAM. Salah satu isu yang dikembangkan Hasan
tiro, khususnya gagasan mengenai ketidakadilan di samping
gagasan mengenai penjajahan orang-orang Jawa atas kekayaan
Aceh, salah satunya bersumber dari ketidakpuasan atas eksplorasi
sumber minyak di Aceh Utara yang dianggap mengorbankan rakyat
kecil
dan
lebih
menguntungkan
Indonesia
ketimbang Aceh.
Mengenai kekecewaan Hasan Tiro, versi lain menyebutkan bahwa
kekecewaan Hasan Tiro Bermula ketika ia menawarkan seorang
penguasa kontraktor dari Amerika Serikat yang kemudian ditolak
oleh Pemerintah Indonesia. Kekecewaan inilah yang menjadi salah
satu sebab mengapa ia sangat kecewa dengan Soeharto, yang
kemudian mendorong lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Dari gambaran diatas, tumbuhnya kelompok separatis (GAM) di
Aceh tidaklah lahir dalam arena yang kosong, tetapi berkaitan
dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan pembangunan di Aceh
yang menjadi latar belakangnya. Selain itu, tumbuhnya GAM di Aceh
juga tak luput dari begitu banyaknya kepentingan aktor-aktor lain di
balik peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi apabila dirunut dari
aspek asal-usul perkembangannya.
3.2 Faktor Penyebab Kegagalan dan Keberhasilan Hingga Bisa
Sampai Pada Keberhasilan RI-GAM Dalam Mencapai Konsensus
Untuk Mengakhiri Separatisme di Aceh
Banyak sudah lembaga-lembaga kajian dan perguruan tinggi
melakukan studi tentang latar belakang dan dampak konflik di Aceh.
Seluruhnya sepakat bahwa akar masalah konflik di Aceh adalah
ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah dan Rakyat
Aceh.
Kegagalan dalam mewujudkan perdamaian di Aceh disebabkan
oleh kegagalan implementasi dari dialog-dialog upaya perdamaian
antara kedua pihak, tidak adanya kesepakatan umum yang memiliki
kemampuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan diantara pihak Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka, serta ketimpangan sosial dan pelanggaran HAM yang
dirasakan oleh masyarakat Aceh. Persiapan menuju perundingan
Helsinki-Finlandia antara RI dan GAM bukanlah suatu persiapan
yang taken for granted, sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses
yang
panjang.
Dari
proses
ini
menunjukkan
bahwa
untuk
mengembalikan kaum separatis ke dalam Republik Indonesia,
membutuhkan sejumlah persiapan baik dari segi waktu, biaya,
tenaga, maupun komitmen pemerintah. Salah satu kesulitannya
adalah menciptakan rasa saling percaya antar kedua belah pihak.
Kesulitan ini berkaitan dengan janji-janji yang pernah disampaikan
oleh pemerintah RI dari rangkaian upaya-upaya penyelesaian
sebelumnya yang dianggap oleh pihak GAM sebagai kebohongan
Pemerintah RI.
Setidaknya ada beberapa kali kekecewaan yang dialami orangorang Aceh. Pertama, ketika Bung Karno mengadakan persetujuan
dengan Teungku Daud Beureueh agar rakyat Aceh melawan Belanda
dengan syarat agar setelah perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh
diperbolehkan menjalankan syariat Islam. Namun ternyata setelah
Indonesia merdeka, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah
tersendiri
yang
menegakkan
syariat
Islam, tidak terkabulan.
Kekecewaan kedua, adalah dicabutnya keistimewaan Aceh berdasar
UU No.18/1965 tentang Pemerintahan Daerah di mana Aceh
memperoleh keistimewaan di bidang agama, adat-istiadat, dan
pendidikan, dengan berlakunya UU No. 5/1974. Ketiga, di masa
Orde
Baru,
eksplorasi
sumber
kekayaan
alam Aceh
justru
berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat
di sekitarnya. Dari lika-liku untuk membangun kepercayaan dengan
pihak GAM, dapat digarisbawahi bahwa proses trust building adalah
suatu proses yang amat penting sebagai sebuah bagian dari
komunikasi
sosial
dan
politik
dengan
kelompok
separatis.
Tercapainya perundingan antara RI-GAM dari putaran pertama
hingga putaran kelima sampai akhirnya ada pemparafan draft MoU
Helsinki pada perundingan putaran terakhir adalah sebuah capaian
yang amat penting dan mendasar bagi penyelesaian konflik yang
berkepanjangan ini. Hasil yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak pada 15 Agustus 2005 yang lalu, menurut Martti adalah
95 persen dari draft yang telah disusun oleh CMI selaku pihak
negosiator yang kemudian dibahas pada perundingan kelima
Adanya keinginan dari kedua pihak untuk melakukan kompromi
dalam hal ini dipandang sebagai faktor penting dalam terwujudnya
titik terang perdamaian. Lika-liku dalam membangun kepercayaan
dengan pihak yang selama ini bersebrangan, bukanlah sebuah
proses yang mudah. Keberhasilan untuk mendorong GAM agar
bersedia berdialog tergantung dari sejumlah faktor. Faktor tersebut
adalah: adanya kepercayaan antara kedua belah pihak, adanya
kondisi
yang
mendiring
kedua
belah
pihak
meyelesaikan
pertentangan yang sudah sangat lama, komitmen pemerintah bahwa
hanya
cara
damailah
yang
dapat
menyelesaikan
persoalan
separatisme, dan momentum yang mempercepat kedua belah pihak
untuk melakukann dialog mencari alternatif penyelesaian lain dalam
meyelesaikan masalah separatisme.
Sejumlah perundingan sempat dilakukan untuk mengakhiri
konflik di Aceh, namun tidak banyak dari perundingan itu yang
akhirnya gagal. Perundingan Helsinki yang hampir menjadi jalan
damai pun sempat di protes oleh berbagai kalangan, namun
ditengah-tengah gencarnya polemik yang terjadi di banyak kalangan
muncul
banyak analisis menyimpulkan bahwa salah satu faktor
penting
tercapainya
MoU
dan
tidak
berniatnya
lagi
GAM
mengibarkan bendera kemerdekaan adalah karena bencana Gempa
Bumi 8,9 Skala Richter yang diikuti gelombang Tsunami 26
Desember 2006 yang meluluhlantakan daerah pesisir pantai Aceh
sepanjang 800 Km. Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki sendiri,
Aceh mulai memasuki kehidupan baru. Konflik bersenjata sejak GAM
didirikan pada tahun 1976 yang mengakibatkan penderitaan
berkepanjangan berusaha ditutup dan GAM beritikad menghentikan
keinginan untuk membentuk Negara Aceh Merdeka. Dengan kata
lain, faktor alamiah telah mendorong sekaligus mempercepat kedua
belah pihak untuk memikirkan terobosan-terobosan baru mengakhiri
perang
dan
menyelesaikan
masalah
separatis
yang
telah
berlangsung puluhan tahun. Kebutuhan akan dana bagi rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh dan Nias turut mendorong dilakukannya
perjanjian. Setelah terjadinya tsunami, seolah-olah sekat ideologis
yang selama ini menjadi penghambat hubungan NKRI-masyarakat
Aceh dan pihak GAM relatif melunak, Pemerintah pusat memiliki
peluang yang amat besar untuk masuk ke Aceh secara mudah,
demikian pula dengan pihak luar, NGO’s domestik dan internasional
untuk membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca-tsunami.
3.3 Model Penyelesaian Konflik dan Integrasi Politik di Aceh Hingga
Tercapainya Konsensus Untuk Mengakhiri Separatisme
Salah satu sarana yang dimanfaatkan oleh GAM untuk
memperkuat basis wilayah, jumlah kekuatan, dan moderniasai
tentaranya karena dua hal, yaitu adanya peluang demokratisasi dan
kecenderungan lemahnya negara. Faktor lemahnya negara ini
kurang
banyak
disinggung
dalam
teori
tentang
tumbuhnya
separatisme, dimana membesarnya ekuatan separatis didalam suatu
wilayah tergantung dari perubahan politik kelompok otoritarian yang
selama ini menindas mereka. Artinya, politik aneksasi, melalui
tekanan-tekanan dan cara-cara yang represif oleh aparatus negara
yang melemah, telah memberi peluang bagi bangkitnya kelompokkelompok yang selama ini menentang dan ingin memisahkan diri.
Di sisi lain harus diakui bahwa perubahan dari rezim otoritarian
ke demokrasi, telah memberi peluang bagi penggunaan mode
demokrasi untuk penyelesaian masalah separatisme. Patut juga
dicatat bahwa perubahan tersebut telah mendorong adanya caracara baru dalam penyelesaian konflik yang berbeda dengan
pendekatan rezim otoriter sebelumnya. Artinya, transisi demokrasi
telah mengubah perspektif elit yang berkuasa dalam menyelesaikan
konflik akibat separatisme.
Mode inilah yang dipraktikkan dalam menyelesaikan kelompok
separatisme -GAM- yang telah puluhan tahun lamanya menjadi
masalah bagi pemerintah Republik Indonesia. Jalan untuk mencapai
two-way traffic yang diperkenalkan oleh Geertz, yang dikenal
sebagai “first and second track diplomacy”, dalam teori penyelesaian
konflik, berguna dalam memahami lika-liku strategi Pemerintah RI
untuk melakukan perundungan dengan pihak GAM. Jika tidak ada
perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi, peluang untuk
melakukan pendekatan nonmiliter dalam menyelesaikan kelompok
separatisme mungkin akan sulit dilakukan. Salah satu alasannya,
rezim otoriter berpandangan bahwa kelompok separatis adalah
ancaman, oleh karena itu perlu ditindak dengan cara kekerasan.
Dengan
kata
lain, di
era
transisi
demokrasi
peluang
bagi
penyelesaian konflik yang lebih baik sangat memungkinkan. Hal ini
karena ada perbedaan orientasi antara elit politik otoritarian yang
tidak
demokratis,
dengan
elit
politik
di
era
transisi
yang
menggunakan cara-cara demokrasi dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Kerangka Claude Ake tentang konsensus normatif, khususnya
bagaimana menciptakan kesepakatan bersama bagi suatu wilayah
yang selama ini melakukan perlawanan adalah sebuah alternatif bagi
penciptaan integrasi kaum separatis. Meletakkan konsensus normatif
sebagai dasar dalam menyelesaikan suatu persoalan, terlihat sekali
dari strategi yang dilakukan oleh CMI dalam mendorong kelompok
separatis GAM dan Pemerintah RI untuk membicarakan sejumlah isu
krusial yang selama ini mengalami kebekuan, karena tidak adanya
komunikasi politik antar kedua belah pihak. Kebekuan komunikasi ini
misalnya terlihat pada perundingan putaran pertama dan kedua,
karena kedua belah pihak mengambil jarak –ada ketakutan dan
kekhawatiran- bahwa mereka akan salah mengambil keputusan.
Dampaknya, tidak mungkin ada titik temu dalam pembahasan
agenda perundingan antara RI-GAM, namun kelihaian pihak
negosiator dalam mencari alternatif baru, melalui konsep selfgovernment sebagai pengganti dari self-determination, mengubah
suasana perundingan sehingga sejumlah agenda lainnya dapat
dibicarakan hingga mencapai kesepakatan.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Proses untuk mengintegrasikan separatis GAM bukanlah
sesuatu yang sekali jadi (taken for granted) dan langsung berhasil.
Perundingan yang dilakukan Pemerintah RI dengan GAM melalui
cara nonmiliter dengan negosiasi mendorong terjadinya integrasi
politik. Implikasi teoritik yang dapat dipetik dari pembahasan kajian
ini adalah bahwa untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarutlarut, dengan intensitas yang tinggi dan waktu yang sangat lama,
cara non-kekerasan lebih efektif ketimbang cara-cara militer.
Relevansi teori-teori resolusi konflik dalam hal ini cukup signifikan
bagi penyelesaian konflik politik untuk menciptakan integrasi politik.
Relevansi teori-teori integrasi politik yang dibangun oleh sejumlah
ilmuwan seperti Weiner, Ake, James C. Coleman dan Rosberg,
tampak masih cocok untuk menganalisis proses integrasi politik
dalam perundingan Helsinki. Kerangka teoritik yang dibangun Claude
Ake yang menekankan pentingnya konsensus normatif dalam
meningkatkan derajat integrasi politik lebih relevan dalam konteks
proses integrasi politik GAM ke dalam Republik Indonesia. Teori Ake
ini kemudian diperkuat oleh landasan teoritik Metta Spencer yang
menggagas tentang demokrasi sebagai jalan untuk menciptakan
integrasi politik.
Dari bangunan integrasi politik yang dihasilkan dalam MoU
Helsinki, maka makna yang dapat dipahami adalah berhasil tidaknya
integrasi politik di Aceh tergantung dari mode mana yang paling kuat
antara politik dan ekonomi. Integrasi politik dalam konsepsi pihak
GAM sangat tergantung dari sejauh mana mode demokrasi dalam
pengertian nilai-nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam politik di
Aceh pasca-MoU Helsinki, khususnya dalam mengatur kewenangan
dan kekuasaannya. Sementara mode integrasi ekonomi tergantung
dari sejauh mana kompensasi ekonomi dapat menyejahterakan
pihak-pihak
yang
selama
ini
mengalami
deprivasi
relatif
(ketidakpuasan) ekonomi-politik. Jadi, integrasi politik GAM amat
tergantung pada sejauh mana budaya lokal dan nasional dalam
mengimplementasikann praktik-praktik nilai-nilai demokrasi yang
menjadi dasar konsensus normatif dalam melakukan integrasi
kelompok GAM.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh
Merdeka Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – GAM
dalam Perundingan Helsinki. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Alfian, ed. 1977. Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta:
LEKNAS.
Sulaiman, M.Isa. 2000. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan
Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Kareem, L. (2011). Perundingan Helsinki; “Suatu Upaya Menuju Integrasi
Politik
Aceh”.
[online].
Tersedia:
http://luqmankareem.blogspot.com/2011/06/perundingan-helsinkisuatu-upaya-menuju.html. [27 Mei 2014].
Leba, EG. (2014). Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik
Indonesia
(RI).
[online].
Tersedia:
http://www.slideshare.net/elygoroleba/analisis-konflik-gam-ri. [27 Mei
2014].
UNTUK MENGAKHIRI SEPARATISME DI ACEH
PAPER
Untuk Memenuhi Tugas Sistem Sosial Budaya Indonesia
Oleh
Sintya Debi Permatasari
NIM
130910201004
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi-studi tentang integrasi politik di Indonesia bukanlah hal
yang baru sama sekali, karena studi sebelumnya mengenai hal itu
sudah dilakukan oleh sejumlah akademisi. Sementara kajian tentang
integrasi politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke dalam Republik
Indonesia di masa transisi masih jarang menjadi fokus utama kajian.
Dalam perkembangan kajian-kajian di masa transisi tentang Aceh,
secara umum dapat dipetakan dalam tiga perspektif pendekatan.
Perspektif pertama melihat bahwa apa yang terjadi di Aceh adalah
persoalan konflik politik. Pendekatan konflik dan resolusi konflik
kerap kali dominan sebagai instrumen analisis. Perspektif kedua
memandang bahwa fenomena Aceh adalah fenomena konflik antara
pusat dan daerah. Sementara itu, perspektif ketiga melihatnya
sebagai masalah separatisme (pemberontakan) yang didalamnya
juga mencakup masalah integrasi dan disintegrasi politik. Dari tiga
perspektif tersebut, perspektif pertama dan kedua lebih mendominasi
sebagai kerangka dalam membahas mengenai masalah Aceh, yang
fokus kajiannya pada latar belakang konflik dan separatisme, sebabsebab dan faktor-faktor terjadinya separatisme, serta kendalakendalapenyelesaian konflik dan resolusi konflik. Kajian yang
memfokuskan pada persoalan konflik dan integrasi politik GAM ke
dalam Republik Indonesia masih jarang dilakukan, meskipun sudah
banyak kajian yang membahas mengenai kegagalan penyelesaian
konflik Aceh. Diantara tiga perspektif tersebut, kajian ini mencoba
menganalisis keberhasilan RI-GAM dalam mencapai konsensus
(kesepakatan)
normatif
sebagai
pijakan
untuk
mengakhiri
separatisme di Aceh yang sudah berjalan puluhan tahun dalam
perspektif
resolusi
konflik
dan
integrasi
politik.
Kajian
ini
memfokuskan pembahasan pada proses integrasi politik GAM ke
dalam Republik Indonesia.
Pada
awalnya,
GAM
adalah
sebuah
organisasi
yang
diproklamasikan secara terbatas. Deklarasi GAM oleh Hasan Tiro
dkk, dilakukan secara diam-diam di sebuah kamp kedua yang
bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Pada 4
Desember 1976 inisiator Gerakan Aceh Merdeka Hasan di Tiro dan
beberapa
pengikutnya
mengeluarkan
pernyataan
perlawanan
terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan Halimon di
kawasan Kabupaten Pidie. Diawal masa berdirinya GAM nama resmi
yang digunakan adalah AM, Aceh Merdeka. Oleh pemerintah RI
pada periode 1980-1990 nama gerakan tersebut dikatakan dengan
GPK-AM. Pada awalnya, gerakan ini adalah gerakan sekelompok
intelektual (bahkan dapat disebut sebagai gerakan berdimensi
kekerabatan) yang kecewa atas model pembangunan di Aceh.
Lahirnya GAM terkait pula dengan kemarahan mereka atas
penyelenggaraan
pemerintahan
di
bawah
orang-orang
Jawa.
Kelompok ini menuduh telah terjadi kolonialisasi Jawa atas
masyarakat dan kekayaan Aceh. Bahkan, Hasan Tiro sendiri
mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi Jawa untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat Aceh dan kalangan pemuda serta tokohtokoh agama. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak
setelah Pemerintah Orde Baru mengeksplorasi gas alam dan minyak
bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an.
Perlawanan represif bersenjata dari gerakan tersebut mendapat
sambutan keras dari pemerintah pusat RI yang akhirnya menggelar
sebuah operasi militer di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang
dikenal dengan DOM (Daerah Operasi Militer) pada paruh akhir 80an sampai dengan penghujung 90-an, operasi tersebut telah
membuat para aktivis AM terpaksa melanjutkan perjuangannya dari
daerah pengasingan. Munculnya kelompok ini ditanggapi oleh Orde
Baru dengan cara yang represif. Orba mengirimkan tentara sebagai
alat untuk menumpas pemberontakan GAM. Pendekatan militer ini
ditempuh dengab tujuan agar pembangunan tidak mengalami
gangguan.
Di
masa
Orba,
tidak
ada
toleransi
bagi
kaum
pemberontak, karena itu pendekatan integrasi tidak memungkinkan
pada
waktu
itu.
Orba
tidak
mentolelir
adanya
gerakan
pemberontakan yang dapat menyebabkan istabilitas politik. Pada
jaman Soeharto GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar
sehingga harus dibasmi. Pendekatan militer menyebabkan terjadinya
kekerasan pada periode DOM 1989-1995 di Aceh. Penghilangan
orang, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, justru menjadi antitesis dari proses integrasi politik selama masa Orba. Akibat
penyelesaian yang tidak tuntas di masa lalu dan kegagalan
pendekatan dalam menangani separatisme tersebut, sumber-sumber
dan sebab-sebab separatisme di Aceh justru semakin subur, bahkan
melahirkan generasi baru (generasi korban DOM yang kemudian
mendukung GAM). Kelompok GAM di masa DOM melakukan
eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui
Malaysia, Libya, dan Janewa.
Eksistensi
GAM
kembali
menjadi
perhatian
publik
dan
pemerintah pusat tatkala Indonesia mengalami krisis ekonomi politik
hingga jatuhnya Soeharto pada 1998. Disaat rezim Orde Baru
berakhir dan reformasi dilangsungkan di Indonesia, seiring dengan
itu pula Gerakan Aceh Merdeka kembali eksis dan menggunakan
nama GAM sebagai identitas organisasinya. Kebangkitan gerakan ini
bukan hanya mencengangkan, tetapi sekaligus merisaukan para
politisi lokal dan Jakarta. Eksistensi GAM sebagai kelompok
pemberontak
salah
satunya
dipengaruhi
oleh
faktor
sosio-
kulturalnya, kususnya hubungan kekerabatan yang sangat tinggi dan
sentimen primordialismenya.
Untuk mengatasi persoalan separatisme di Aceh yang semakin
berkembang, pemerintahan transisi sejak masa Presiden BJ. Habibie
hingga Megawati telah mengupayakan beberapa kebijakan. Sayang
pendekatan-pendekatan yang pernah ditempuh sebelum adanya
perjanjian
Helsinki
pendekatan
lama,
umumnya
tidak
pendekatan
beranjak
militeristik
dari
yang
pola
dan
cenderung
mengedepankan cara-cara kekrasan dalam mewujudkan keamanan
di Aceh. Tak jarang pendekatan pemerintahan transisi sejak masa
Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati pada akhirnya
mengalami jalan buntu, menyebabkan penyelesaian masalah
separatisme
Aceh
berlarut-larut,
dan
gagal
menghentikan
perlawanan pihak GAM serta meminimalisir korban masyarakat sipil.
Meskipun sejak masa Abdurrahman Wahid telah ada upaya untuk
melakukan dialog damai (Jeda Kemanusiaan I dan II) yang
dilanjutkan pada masa Presiden Megawati, namun upaya damai ini
masih dibayang-bayangi oleh ketakutan bahwa cara ini kurang efektif
untuk menghentikan pemberontakan GAM, sehingga pendekatan
militer kembali ditempuh melalui kebijakan Operasi Terpadu.
Kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan keamanan di Aceh dan
meningkatkan kinerja pemerintahan. Namun langkah ini pun kurang
berhasil memadamkan pemberontakan GAM, yang terjadi justru
semakin menjauhkan GAM dari pangkuan Republik Indonesia.
Integrasi politik sebagai pendekatan untuk menyelesaikan
separatisme di Aceh mulai bergulir setelah Pemilu 2004. Sejak akhir
Januari hingga Juli 2005, pemerintahan yang baru ---Susilo
Bambang
Yudhoyono-Jusuf
Kalla---
melakukan
empat
babak
pembicaraan “informal” dengan GAM untuk melakukan perundingan
sebagai
cara
damai
menyelesaikan
separatisme
di
Aceh.
Pembicaraan informal ini difasilitasi oleh Crisi Management Initiative
(CMI) sebuah lembaga yang dipimpin bekas Presiden Finlandia
(Martti Ahtisaari) dan mengambil tempat di “Koeningstedt Estate”
yang terletak di luar ibukota Finlandia Helsinki. Pemerintahan yang
baru melakukan terobosan melalui pendekatan baru, dianggap
pendekatan baru karena supervisi Jusuf Kalla yang secara konsisten
dan terus-menerus untuk memilih cara damai dalam menyelesaikan
separatisme di Aceh. Pendekatan baru ini lebih menekankan pada
cara-cara dialog dan pemberian pengampunan.
Akhir dari pembicaraan informal ini adalah penandatanganan
MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Walaupun menimbulkan pro
dan kontra, SBY-JK tetap konsisten memilih cara damai sebagai
resep untuk mengakhiri separatisme Aceh melalui kebijakan politik
pengintegrasian yang tercermin pada butir-butir dalam MoU Helsinki.
Cakupan integrasi politik ini meliputi beberapa aspek sebagaimana
tercermin dalam MoU Helsinki, yaitu: penyelenggaraan pemerintahan
Aceh; partisipasi politik; ekonomi, peraturan perundang-undangan;
hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat;
dan pengaturan keamanan. Cakupan integrasi politik tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk mengembalikan GAM menjadi
Warga Negara Republik Indonesia (WNI). Hal ini ditempuh dengan
cara memberikan beberapa kelonggaran terhadap pihak GAM,
khususnya adanya pengampunan, kompensasi ekonomi, dan
peluang
politik
bagi
mantan
anggota
GAM
untuk
terlibat
pemerintahan, sebagai cara mengintegrasikan pihak GAM ke dalam
Republik Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang muncul dalam kajian ini antara lain;
a.
Bagaimanakah sebab-sebab lahirnya Gerakan Aceh Merdeka?
b.
Bagaimanakah faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan
hingga
bisa
sampai
pada
keberhasilan
RI-GAM
dalam
mencapai konsensus untuk mengakhiri separatisme di Aceh?
c.
Bagaimana model penyelesaian konflik dan integrasi politik di
Aceh
hingga
tercapainya
konsensus
untuk
mengakhiri
separatisme?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang menyertai adalah sebagai berikut ;
a.
Mengetahui dan menganalisis sebab-sebab lahirnya Gerakan
Aceh merdeka.
b.
Mengetahui dan menjelaskan faktor penyebab kegagalan dan
keberhasilan hingga sampai pada proses keberhasilan RI-GAM
dalam mencapai konsensus untuk mengakhiri separatisme di
Aceh.
c.
Menganalisis dan menjelaskan model penyelesaian konflik dan
integrasi politik di Aceh hingga tercapainya konsensus untuk
mengakhiri separatisme.
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA
2.1
Resolusi Konflik
Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua fokus
perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik dan kekerasan di
dalam masyarakat dan masyarakat dunia, guna menemukan
pendekatan konstruktif untuk memecahkannya; kedua, memberikan
penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan
prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu
penjelasan mengenai konflik. Konflik adalah perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa,
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi,
dimana pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud
untuk
memperoleh
barang
yang
diinginkan,
melainkan
juga
memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.
Muswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik.
Menurutnya, tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik
politik berkaitan dengan penguasa politik dan atau keputusan politik
yang dibuatnya. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan
pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap
sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa politik,
dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik. Konflik politik
inilah yang terkait dengan masalahintegrasi dan dapat menimbulkan
masalah disintegrasi.
Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu
pendekatan yang ada adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi
konflik menekankan bahwa konflik yang sudah kompleks atau akut,
khususnya
konflik
yang
sudah
pada
tahap
terang,
perlu
sitransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan
Borton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang
berkaitan dengan mencari jalan keluar dari suatu perilaku konfliktual
sebagai suatu hal yang utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik
sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik
dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement) konflik
dengan cara-cara paksa (coersion) atau dengan cara tawarmenawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).
Menurut Lewis A. Coser, walaupun konflik oleh pendekatan
Marxis dianggap gejala serba hadir dalam masyarakat, bukannya
tidak dapat diselesaikan atau setidaknya dikendalikan. Upaya
penyelesaian ini memiliki fungsi pengintegrasian, karena konflik
memiliki sifat distruksi. Menurut Coser, ada enam (6) cara untuk
penyelesaian konflik yakni:
1.
Menciptakan federasi (federation). Upaya ini dilakukan dengan
memberi otonomi relatif kepada unit-unit yang ada. Ini
berangkat dari faktor-faktor yang memungkinkan munculnya
konflik, adanya heterogenitas, sehingga perlu federasi.
2.
Mengubah hasil yang dikehendaki (altering the payoffs). Upaya
ini dilakukan terutama terhadap ciri konflik yang menang-kalah
(zero sum conflict) yang intensitasnya tinggi. Agar intensitasnya
lebih rendah, struktur konfliknya harus diubah menjadi non zero
sum conflict agar tercipta kompromi dan konsensus.
3.
Memperluas sumber-sumber (expantion of recources). Cara ini
dilakukan
dengan
memperluas
sumber-sumber
yang
dipertentangkan. Perluasan ini diharapkan dapat meredakan
konflik.
4.
Memberikan bayaran tambahan (side payments). Pihak-pihak
yang kalah dalam konflik diberi “subsidi”, atau sejumlah
kompensasi agar tidak tercipta oposisi politik.
5.
Memperbaiki pola-pola komunikasi (improving comunication
patterns). Konflik sering kali menyebabkan penguatan terhadap
masing-masing pihak. Agar konflik tidak selalu antagonistik,
cara mengalihkan pola komunikasi yang bersifat antagonistik
dapat dilakukan.
6.
Mendefinisikan kembali konflik (redefining the conflict). Hal ini
dilakukan terhadap konflik yang cenderung berubah dari konflik
yang bersifat khusus ke konflik yang bersifat umum, maka
konflik harus diarahkan pada hal-hal yang bersifat khusus, agar
mudah penyelesaiannya.
Dari penjelasan tersebut diatas, separatisme di Aceh dapat
dianggap sebagai konflik politik. Sementara perundingan yang
ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk
menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana telah
disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penggunaan
cara tawar-menawar dan melalui suatu proses perundingan atau
negosiasi.
Untuk dapat
mewujudkan
hal
itu,
masing-masing
kelompok yang bertikai harus mematuhi aturan-aturan permainan
tertentu sebagai kerangka penyelesaian sehingga memungkinkan
adanya
hubungan-hubungan
sosial
di
antara
mereka
untuk
menemukan pola penyelesaian.
2.2 Integrasi Politik dan Konsensus Normatif
Istilah integrasi menunjukkan adanya suatu pembauran dan
penggabungan yang menyeluruh dari hal-hal yang khusus sehingga
masing-masing telah kehilangan jati diri yang khas. Dari definisi
harfiah tersebut, integrasi merujuk pada suatu proses pembauran
atau penggabungan bagian-bagian maupun unsur-unsur sehingga
mengarah pada suatu keseluruhan. Dalam pengertian yang luas,
integrasi dipandang dari akar katanya, integer dalam bahasa Latin
berarti keseluruhan.
`Dalam kaitan itu, para ahli tentang integrasi seperti Myron
Weiner mendefinisikan integrasi dalam lima pengertian, yaitu:
1.
Integrasi mungkin merujuk pada proses penyatuan berbagai
budaya dan sosial ke dalam satu kesatuan wilayah, dan pada
pembentukan suatu identitas nasional.
2.
Integrasi sering digunakan dalam arti yang serupa untuk
merujuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan
nasional pusat diatas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang
lebih kecil yang mungkin beranggotakn suatu kelompok budaya
atau sosial tertentu.
3.
Integrasi sering digunakan untuk menunjuk pada masalah
menghubungkan pemerintah dengan yang diperintah.
4.
Integrasi kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan
adanya konsensus nilai yang minimum, yang diperlukan untuk
memelihara tertib sosial; dan
5.
Berkaitan dengan “tingkah laku integratif” yaitu kapasitas orangorang di dalam suatu masyarakat untuk berorganisasi demi
mencapai beberapa tujuan bersama.
Myron Weiner membagi integritas menjadi lima yaitu integritas
nasional, integrasi wilayah, integrasi nilai, integrasi elit-massa dan
tindakan integratif. Meskipun Weiner membagi lima tipe integrasi,
istilah integrasi politik yang dimaksudkan cakupannya lebih luas tidak
hanya mencakup dimensi vertikal, horizontal, tetapi juga mencakup
nilai-nilai dan budaya.
Ahli lain yaitu Claude Ake, dalam bukunya a theory of political
integration, menolak penggunaan istilah integrasi nasional dan
menggunakan istilah integrasi politik, karena integrasi nasional
berbau tautalogis. Menurutnya, integrasi politik sebagai suatu proses
untuk mencapai konsensus normatif. Konsensus normatif adalah
suatu proses untuk membangun kultur dan komitmen politik berbagai
pihak dalam mewujudkan kepercayaan terhadap sistem politik,
simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama
sebagai dasar tindakan politik.
Secara substantif dalam memahami persoalan separatisme
Aceh yang merupakan konflik politik sebagaimana ciri yang
disebutkan oleh Maswadi Rauf, maka lebih cocok menggunakan
integrasi politik. Strategi politik dilakukan oleh pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan separatisme di Aceh
melalui perundingan dengan pihak GAM, pada dasarnya adalah
suatu proses yang bersifat bottom up (prosesnya berawal dari suatu
upaya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan normatif) antara
RI-GAM, sehingga lebih tepat digunakan istilah integrasi politik.
Dari beberapa penjelasan di atas, dalam kajian ini integrasi
politik dipandang sebagai suatu proses, shingga didalamnya
mencakup sejumlah faktor yang memengaruhi proses dan yang
menentukan proses integrasi politik. Faktor-faktor tersebut mencakup
perilaku politik elit, tingkat kepercayaan dan komitmen elit sebagai
pihak yang paling menentukan dalam proses integrasi politik,
khususnya dalam membangun kultur dan kepercayaan terhadap
pihak GAM dalam mewujudkan sistem politik, simbol-simbol
ekspresif, dan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai dasar
tindakan
politik.
Para
penganut
teori
integrasi
politik
telah
menyampaikan beberapa pandangan mengenai strategi untuk
memperkuat integrasi politik. Weiner mengusulkan cara mengurangi/
menghilangkan kesetiaan nasional atau integrasi politik. Strategi
yang dapat ditempuh adalah dengan cara asimilasi dan Bhineka
Tunggal Ika (unity in diversity). Sementara Coleman dan Rosberg
menegaskan bahwa upaya memperkuat integrasi politik perlu
dilakukan dengan cara mengurangi diskontinuitas dan ketegangan
regional dan kultural. Sedangkan Ake, mengusulksn cara konsensus
normatif.
Upaya untuk membangun konsesnsus normatif umumnya
dialami oleh negara-negara yang baru merdeka. Ada dua masalah
yang dihadapi yaitu: bagaimana mendapatkan rasa hormat dan
kesetiaan terhadap klain negara dan bagaimana meningkatkan
konsensus normatif mengenai oerilaku politik diantara anggotaanggota dalam suatu sistem politik. Cara ini dipandang lebih memiliki
relevansi dalam memahami persoalan formula penyelesaian dalam
perundingan antara RI-GAM di Helsinki yang akhirnya melahirkan
sejumlah butir mengenai sistem politik lokal (pemerintahan Aceh)
dan sejumlah kesepakatan lainnya sebagai kesepakatan kedua
belah pihak dalam menyelesaikan akar-akar separatisme.
Dibandingkan dengan cara Weiner dan Coleman dan Rosberg,
sebagaimana telah disebut di atas, formula yang dikembangkan oleh
Ake dan Geertz lebih relevan dalam membahas cara penyelesaian
separatisme di Aceh. Formula Geertz yang menekankan perlunya
akomodasi,
dimana
kelompok-kelompok
primordial
yang
ada
akomodasi secara politik juga dapat digunakan sebagai salah satu
cara lain dalam meningkatkan integrasi politik. Cara Geertz ini
dianggap dapat mengurangi diskontinuitas dan ketegangan regional
dan kultural, yang kerap kali menimbulkan problem-problem
integrasi. Dengan model akomodasi Geertz, sejumlah capaian dalam
perundingan antara RI-GAM di Helsinki dapat dianalisis dari
pandangan Claude Ake dan Geertz tersebut.
2.3 Separatisme
Separatisme dalam hal ini disamakan pengertiannya dengan
pemberontakan. Mengenai separatisme di masa Soekarno, Geoge
McT Kahin mengatakan bahwa seluruh gerakan separatis di masa
pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elit daerah dan
atau perwira militer daerah terhadap penguasa pusat dan tak jarang
pula
akibat
adanya
rivalitas
dalam
tubuh
militer
dalam
memperebutkan posisi serta sumber daya ekonomi dan politik.
Senada
dengan
Kahin,
Geertz
juga
memandang
bahwa
pemberontakan di masa Soekarno (50-an) sebagai dampak dari
kegagalan modernisasi politik yang justru cenderung meningkatkan
munculnya sentimen primordial. Pandangan Geertz ada benarnya
mengenai masalah separatisme di negara-negara yang baru
merdeka seperti Indonesia, ternyata bukan “one way traffic” yang lalu
berakhir, tetapi merupakan suatu “two way traffic” yang terus
berjalan, karena terkait dengan persoalan kebangsaan dan sentimen
primordial.
Dengan pemahaman seperti itu, maka persoalan separatisme
di Aceh dapat dipahami dalam kerangka “two way traffic” tersebut,
karena ternyata sejak 1953 ketika pemberontakan Darul Islam
pertama kali muncul di Aceh, tampaknya wilayah ini tak pernah surut
dari masalah separatisme. Artinya
ada hubungan
persoalan
sentimen perimordial sebagai landasan ketidakpuasan masyarakat
yang terus-menerus berbenturan dengan ideologi dan masalah
kebangsaan. Kerangka Geertz ini dapat digunakan sebagai pijakan
dalam membahas perkembangan GAM mulai dari kelahirannya pada
1976 hingga kebangkitannya kembali pada masa transisi.
Di sisi lain, untuk dapat mencari penyebab separatisme di masa
lalu di Indonesia khususnya munculnya GAM; mengapa separatisme
muncul dalam suatu negara akan digunakan beberapa kerangka
yang telah dibangun oleh beberapa orang yang sebelumnya telah
membahas mengenai hal itu.
Pertama,
kerangka
yang
dibangun
oleh
Nawawi
yang
mengatakan bahwa separatisme lahir sebagai akibat masalah
stagnansi
dan
mengakibatkan
kesukuan.
regionalisme
Kemungkinan
stagnansi
sosial
atau
kedaerahan
yang
gerakan
ditunjang pula oleh perbedaan orientasi politik. Stagnansi kesukuan
ini dapat menggambarkan mengapa yang memberontak di Aceh
adalah daerah-daerah yang kaya industri dan kekayaan alam.
Kedua, dari segi akar separatisme mungkin terdapat perbedanperbedaan antara masa Orde Lama dengan mas Orde Baru saat
lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Masih dalam konteks sumber-sumber separatisme, Metta
Spencer menyebut ada beberapa faktor penyebab yang bervariasi
antara nasionalisme dan separatisme, yaitu: pertama, emotional
resentment,
beberapa
analisis
dari
psikologi
sosial
tentang
nasionalisme pada dasarnya terkait dengan sentimen emosional,
termasuk adanya anggapan “rival community”, perasaan yang
irasional; kedua, alasan perlawanan dari para korban (the justified
resistance of victim); ketiga, propaganda kekuatan-kekuatan politik
(propaganda orchestrated for political gain); keempat, kelompok etnik
yang dominan dalam kekuasaan (the power of a dominant ethnic
group); dan kelima adalah motivasi ekonomi (economic motivations).
Kelima hal itu merupakan sumber terjadinya separatisme. Selain
sumber-sumber tersebut, faktor struktural tertentu pun memiliki
kontribusi atas terjadinya separatisme. Faktor tersebut adalah: (1)
faktor etnisistas yang menjadi basis ideologi dalam suatu wilayah; (2)
sentralisasi dan desentralisasi sistem pemerintahan; (3) prospek
negara baru; (4) adanya manipulasi demografi dan politik aneksasi
(political annexation); dan (5) ambiguitas hukum internasional,
karena kebanyakan para separatis percaya bahwa gerakan mereka
akan mendapat dukungan dari pihak internasional.
Menggunakan
kesetiaan
primordial
(primordial
loyalities)
sebagai dasar bagi kesetiaan politik dan perjuangan politik, menurut
Geertz sering kali dipergunakan untuk memperoleh dukungan dan
keuntungan. Tujuannya adalah untuk kepentingan politik yang sangat
besar, serta menciptakan suatu kelompok yang militan. Kelompok
militan ini, merupakan ikon perlawanan bagi kelompok-kelompok
yang bertujuan untuk melakukan gerakan politik, khususnya
kelompok yang hendak memisahkan diri dari negara.
Dalam kasus GAM, dalam praktiknya, orientasi politiknya pun
dikaitkan dengan persoalan identitas ke-Aceh-an, sebagai suatu
identitas primordial yang resisten terhadap kekuatan politik yang
menekan. Penggunaan identitas ini acap kali mengalami proses
inklinasi, suatu kondisi untuk menumbuhkan perasaan sentimen
terhadap etnik lain sehingga dapat menyebabkan berkembangnya
konflik di antara berbagai kelompok etnik. Gagasan Hasan Tiro yang
mengatakan bahwaetnik Jawa adalah penindas dan penjajah pada
awal-awal mendirikan GAM merupakan bagian dari proses inklinasi
seperti itu. Tujuannya agar memperoleh dukungan dan menimbulkan
semangat primordialisme sebagai basis perlawanan sekaligus
sebagai dasar dalam membentuk ideologi GAM.
BAB 3. PEMBAHASAN
Aceh adalah wilayah yang unik dari segala segi, khususnya budaya
yang resisten terhadap segala upaya yang ingin mendominasi (apalagi
“menjajah”) wilayah yang dikenal serambi mekaah tersebut. Wilayah ini
tak henti-henti menabuh genderang perang sejak masa Hindia Belanda,
pasca-kemerdekaan dengan terjadinya perang Cumbok antara kaum
uleebalang dengan ulama, meletusnya pemberontakan DI/TII Daud
Beureueh 1953 hingga proklamasi kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka
4 Desember 1976.
3.1 Sebab-sebab Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka
Orientasi ke-Aceh-an dapat dipandang sebagai salah satu
faktor yang turut mempengaruhi lahirnya Gerakan Aceh Merdeka,
meskipun bukanlah faktor yang paling menentukan. Sebagaimana
tercermin pada awal lahirnya GAM misalnya, orientasinya pada
waktu itu adalah untuk membentuk negara sebagaimana Aceh di
masa lalu, yaitu Aceh di jaman kesultanan. Sementara itu, Isa
Sulaiman menyebutkan bahwa GAM ada kaitannya dengan peroslan
Daru Islam (DI) di Aceh yang belum tuntas diselesaikan. Dukungan
para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada
yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh
Soekarno
untuk
menyelesaikan
pemberontakan
DI/TII
Daud
Beureueh. Tokoh-tokoh DI/TII yang kecewa ini kemudian mendukung
lahirnya GAM, bahkan mereka menyebut Mohammad Hasan Di Tiro
sebagai Wali Negara terakhir.
Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan pada 4 Desember 1976
di sebuah Camp kedua yang bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman
Kecamatan Tiro, Pidie. Proklamasi GAM yang sederhana, dilakukan
di suatu tempat, menandakan bahwa pada awal-awalnya, gerakan ini
adalah gerakan bawah tanah, yang dilakukan secara diam-diam. Isa
Sulaiman menyebut fase awal pembentukan GAM 1976-1980
sebagai fase konsolidasi kelompok, bukan fase perang bersenjata.
Sudah sejak 1965 Hasan Tiro menghimbau putra-putra Aceh,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain untuk tegak
berdiri merebut kembali kekuasaan dan kehormatan mereka selama
20 tahun yang sudah direndahkan oleh kolonialisasi Jawa. Pada
dasarnya, gagasan yang dikembangkan oleh Hasan Tiro melalui cara
mengorbankan semangat patriotisme lokal adalah untuk mencari
dukungan.
Pihak GAM sering menganggap bahwa Aceh bukanlah wilayah
Republik Indonesia. Secara historis beberapa anggota GAM seperti
Tgk. Abdullah Syafe’i, penglima GAM memandang bahwa antara
Bangsa Aceh dengan Bangsa Indonesia Jawa tidak ada hubungan
sama sekali. Secara historis Aceh adalah suatu bangsa yang
memiliki struktur sendiri. Kalaupun Aceh sekarang berada di bawah
Indonesia, tiu karena kesalahan Belanda, sebab sejak 1873 bangsa
Aceh diberi kemerdekaan oleh Inggris. Pihak Aceh memahami
bahwa Aceh adalah wilayah yang lepas dari Indonesia, dan memiliki
identitas serta pemerintahan sendiri.
Gagasan
Hasan
Trio
ini
semakin
memuncak
setelahPemerintahan Orba mengeksplorasi gas alam dan minyak
bumi di Aceh Utara sejak awal 1970-an. Gas alam dan minyak bumi
ini ditemukan di sekitar permukiman masyarakat Arun akhir 1960-an.
Masalah minyak sesungguhnya telah menjadi sumber dari deprivasi
relatif (ketidakpuasan) bagi masyarakat Aceh sejak masa Hindia
Belanda melakukan eksplorasi hingga sekarang. Masalah ini pun
pada awal-awal kemerdekaan juga menjadi salah satu persoalan,
hingga munculnya GAM. Salah satu isu yang dikembangkan Hasan
tiro, khususnya gagasan mengenai ketidakadilan di samping
gagasan mengenai penjajahan orang-orang Jawa atas kekayaan
Aceh, salah satunya bersumber dari ketidakpuasan atas eksplorasi
sumber minyak di Aceh Utara yang dianggap mengorbankan rakyat
kecil
dan
lebih
menguntungkan
Indonesia
ketimbang Aceh.
Mengenai kekecewaan Hasan Tiro, versi lain menyebutkan bahwa
kekecewaan Hasan Tiro Bermula ketika ia menawarkan seorang
penguasa kontraktor dari Amerika Serikat yang kemudian ditolak
oleh Pemerintah Indonesia. Kekecewaan inilah yang menjadi salah
satu sebab mengapa ia sangat kecewa dengan Soeharto, yang
kemudian mendorong lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.
Dari gambaran diatas, tumbuhnya kelompok separatis (GAM) di
Aceh tidaklah lahir dalam arena yang kosong, tetapi berkaitan
dengan dinamika politik, ekonomi, sosial, dan pembangunan di Aceh
yang menjadi latar belakangnya. Selain itu, tumbuhnya GAM di Aceh
juga tak luput dari begitu banyaknya kepentingan aktor-aktor lain di
balik peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi apabila dirunut dari
aspek asal-usul perkembangannya.
3.2 Faktor Penyebab Kegagalan dan Keberhasilan Hingga Bisa
Sampai Pada Keberhasilan RI-GAM Dalam Mencapai Konsensus
Untuk Mengakhiri Separatisme di Aceh
Banyak sudah lembaga-lembaga kajian dan perguruan tinggi
melakukan studi tentang latar belakang dan dampak konflik di Aceh.
Seluruhnya sepakat bahwa akar masalah konflik di Aceh adalah
ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah dan Rakyat
Aceh.
Kegagalan dalam mewujudkan perdamaian di Aceh disebabkan
oleh kegagalan implementasi dari dialog-dialog upaya perdamaian
antara kedua pihak, tidak adanya kesepakatan umum yang memiliki
kemampuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
kepentingan diantara pihak Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka, serta ketimpangan sosial dan pelanggaran HAM yang
dirasakan oleh masyarakat Aceh. Persiapan menuju perundingan
Helsinki-Finlandia antara RI dan GAM bukanlah suatu persiapan
yang taken for granted, sekali jadi, tetapi merupakan suatu proses
yang
panjang.
Dari
proses
ini
menunjukkan
bahwa
untuk
mengembalikan kaum separatis ke dalam Republik Indonesia,
membutuhkan sejumlah persiapan baik dari segi waktu, biaya,
tenaga, maupun komitmen pemerintah. Salah satu kesulitannya
adalah menciptakan rasa saling percaya antar kedua belah pihak.
Kesulitan ini berkaitan dengan janji-janji yang pernah disampaikan
oleh pemerintah RI dari rangkaian upaya-upaya penyelesaian
sebelumnya yang dianggap oleh pihak GAM sebagai kebohongan
Pemerintah RI.
Setidaknya ada beberapa kali kekecewaan yang dialami orangorang Aceh. Pertama, ketika Bung Karno mengadakan persetujuan
dengan Teungku Daud Beureueh agar rakyat Aceh melawan Belanda
dengan syarat agar setelah perjuangan kemerdekaan selesai, Aceh
diperbolehkan menjalankan syariat Islam. Namun ternyata setelah
Indonesia merdeka, janji bahwa Aceh dapat menjadi suatu wilayah
tersendiri
yang
menegakkan
syariat
Islam, tidak terkabulan.
Kekecewaan kedua, adalah dicabutnya keistimewaan Aceh berdasar
UU No.18/1965 tentang Pemerintahan Daerah di mana Aceh
memperoleh keistimewaan di bidang agama, adat-istiadat, dan
pendidikan, dengan berlakunya UU No. 5/1974. Ketiga, di masa
Orde
Baru,
eksplorasi
sumber
kekayaan
alam Aceh
justru
berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat
di sekitarnya. Dari lika-liku untuk membangun kepercayaan dengan
pihak GAM, dapat digarisbawahi bahwa proses trust building adalah
suatu proses yang amat penting sebagai sebuah bagian dari
komunikasi
sosial
dan
politik
dengan
kelompok
separatis.
Tercapainya perundingan antara RI-GAM dari putaran pertama
hingga putaran kelima sampai akhirnya ada pemparafan draft MoU
Helsinki pada perundingan putaran terakhir adalah sebuah capaian
yang amat penting dan mendasar bagi penyelesaian konflik yang
berkepanjangan ini. Hasil yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak pada 15 Agustus 2005 yang lalu, menurut Martti adalah
95 persen dari draft yang telah disusun oleh CMI selaku pihak
negosiator yang kemudian dibahas pada perundingan kelima
Adanya keinginan dari kedua pihak untuk melakukan kompromi
dalam hal ini dipandang sebagai faktor penting dalam terwujudnya
titik terang perdamaian. Lika-liku dalam membangun kepercayaan
dengan pihak yang selama ini bersebrangan, bukanlah sebuah
proses yang mudah. Keberhasilan untuk mendorong GAM agar
bersedia berdialog tergantung dari sejumlah faktor. Faktor tersebut
adalah: adanya kepercayaan antara kedua belah pihak, adanya
kondisi
yang
mendiring
kedua
belah
pihak
meyelesaikan
pertentangan yang sudah sangat lama, komitmen pemerintah bahwa
hanya
cara
damailah
yang
dapat
menyelesaikan
persoalan
separatisme, dan momentum yang mempercepat kedua belah pihak
untuk melakukann dialog mencari alternatif penyelesaian lain dalam
meyelesaikan masalah separatisme.
Sejumlah perundingan sempat dilakukan untuk mengakhiri
konflik di Aceh, namun tidak banyak dari perundingan itu yang
akhirnya gagal. Perundingan Helsinki yang hampir menjadi jalan
damai pun sempat di protes oleh berbagai kalangan, namun
ditengah-tengah gencarnya polemik yang terjadi di banyak kalangan
muncul
banyak analisis menyimpulkan bahwa salah satu faktor
penting
tercapainya
MoU
dan
tidak
berniatnya
lagi
GAM
mengibarkan bendera kemerdekaan adalah karena bencana Gempa
Bumi 8,9 Skala Richter yang diikuti gelombang Tsunami 26
Desember 2006 yang meluluhlantakan daerah pesisir pantai Aceh
sepanjang 800 Km. Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki sendiri,
Aceh mulai memasuki kehidupan baru. Konflik bersenjata sejak GAM
didirikan pada tahun 1976 yang mengakibatkan penderitaan
berkepanjangan berusaha ditutup dan GAM beritikad menghentikan
keinginan untuk membentuk Negara Aceh Merdeka. Dengan kata
lain, faktor alamiah telah mendorong sekaligus mempercepat kedua
belah pihak untuk memikirkan terobosan-terobosan baru mengakhiri
perang
dan
menyelesaikan
masalah
separatis
yang
telah
berlangsung puluhan tahun. Kebutuhan akan dana bagi rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh dan Nias turut mendorong dilakukannya
perjanjian. Setelah terjadinya tsunami, seolah-olah sekat ideologis
yang selama ini menjadi penghambat hubungan NKRI-masyarakat
Aceh dan pihak GAM relatif melunak, Pemerintah pusat memiliki
peluang yang amat besar untuk masuk ke Aceh secara mudah,
demikian pula dengan pihak luar, NGO’s domestik dan internasional
untuk membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca-tsunami.
3.3 Model Penyelesaian Konflik dan Integrasi Politik di Aceh Hingga
Tercapainya Konsensus Untuk Mengakhiri Separatisme
Salah satu sarana yang dimanfaatkan oleh GAM untuk
memperkuat basis wilayah, jumlah kekuatan, dan moderniasai
tentaranya karena dua hal, yaitu adanya peluang demokratisasi dan
kecenderungan lemahnya negara. Faktor lemahnya negara ini
kurang
banyak
disinggung
dalam
teori
tentang
tumbuhnya
separatisme, dimana membesarnya ekuatan separatis didalam suatu
wilayah tergantung dari perubahan politik kelompok otoritarian yang
selama ini menindas mereka. Artinya, politik aneksasi, melalui
tekanan-tekanan dan cara-cara yang represif oleh aparatus negara
yang melemah, telah memberi peluang bagi bangkitnya kelompokkelompok yang selama ini menentang dan ingin memisahkan diri.
Di sisi lain harus diakui bahwa perubahan dari rezim otoritarian
ke demokrasi, telah memberi peluang bagi penggunaan mode
demokrasi untuk penyelesaian masalah separatisme. Patut juga
dicatat bahwa perubahan tersebut telah mendorong adanya caracara baru dalam penyelesaian konflik yang berbeda dengan
pendekatan rezim otoriter sebelumnya. Artinya, transisi demokrasi
telah mengubah perspektif elit yang berkuasa dalam menyelesaikan
konflik akibat separatisme.
Mode inilah yang dipraktikkan dalam menyelesaikan kelompok
separatisme -GAM- yang telah puluhan tahun lamanya menjadi
masalah bagi pemerintah Republik Indonesia. Jalan untuk mencapai
two-way traffic yang diperkenalkan oleh Geertz, yang dikenal
sebagai “first and second track diplomacy”, dalam teori penyelesaian
konflik, berguna dalam memahami lika-liku strategi Pemerintah RI
untuk melakukan perundungan dengan pihak GAM. Jika tidak ada
perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi, peluang untuk
melakukan pendekatan nonmiliter dalam menyelesaikan kelompok
separatisme mungkin akan sulit dilakukan. Salah satu alasannya,
rezim otoriter berpandangan bahwa kelompok separatis adalah
ancaman, oleh karena itu perlu ditindak dengan cara kekerasan.
Dengan
kata
lain, di
era
transisi
demokrasi
peluang
bagi
penyelesaian konflik yang lebih baik sangat memungkinkan. Hal ini
karena ada perbedaan orientasi antara elit politik otoritarian yang
tidak
demokratis,
dengan
elit
politik
di
era
transisi
yang
menggunakan cara-cara demokrasi dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Kerangka Claude Ake tentang konsensus normatif, khususnya
bagaimana menciptakan kesepakatan bersama bagi suatu wilayah
yang selama ini melakukan perlawanan adalah sebuah alternatif bagi
penciptaan integrasi kaum separatis. Meletakkan konsensus normatif
sebagai dasar dalam menyelesaikan suatu persoalan, terlihat sekali
dari strategi yang dilakukan oleh CMI dalam mendorong kelompok
separatis GAM dan Pemerintah RI untuk membicarakan sejumlah isu
krusial yang selama ini mengalami kebekuan, karena tidak adanya
komunikasi politik antar kedua belah pihak. Kebekuan komunikasi ini
misalnya terlihat pada perundingan putaran pertama dan kedua,
karena kedua belah pihak mengambil jarak –ada ketakutan dan
kekhawatiran- bahwa mereka akan salah mengambil keputusan.
Dampaknya, tidak mungkin ada titik temu dalam pembahasan
agenda perundingan antara RI-GAM, namun kelihaian pihak
negosiator dalam mencari alternatif baru, melalui konsep selfgovernment sebagai pengganti dari self-determination, mengubah
suasana perundingan sehingga sejumlah agenda lainnya dapat
dibicarakan hingga mencapai kesepakatan.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Proses untuk mengintegrasikan separatis GAM bukanlah
sesuatu yang sekali jadi (taken for granted) dan langsung berhasil.
Perundingan yang dilakukan Pemerintah RI dengan GAM melalui
cara nonmiliter dengan negosiasi mendorong terjadinya integrasi
politik. Implikasi teoritik yang dapat dipetik dari pembahasan kajian
ini adalah bahwa untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarutlarut, dengan intensitas yang tinggi dan waktu yang sangat lama,
cara non-kekerasan lebih efektif ketimbang cara-cara militer.
Relevansi teori-teori resolusi konflik dalam hal ini cukup signifikan
bagi penyelesaian konflik politik untuk menciptakan integrasi politik.
Relevansi teori-teori integrasi politik yang dibangun oleh sejumlah
ilmuwan seperti Weiner, Ake, James C. Coleman dan Rosberg,
tampak masih cocok untuk menganalisis proses integrasi politik
dalam perundingan Helsinki. Kerangka teoritik yang dibangun Claude
Ake yang menekankan pentingnya konsensus normatif dalam
meningkatkan derajat integrasi politik lebih relevan dalam konteks
proses integrasi politik GAM ke dalam Republik Indonesia. Teori Ake
ini kemudian diperkuat oleh landasan teoritik Metta Spencer yang
menggagas tentang demokrasi sebagai jalan untuk menciptakan
integrasi politik.
Dari bangunan integrasi politik yang dihasilkan dalam MoU
Helsinki, maka makna yang dapat dipahami adalah berhasil tidaknya
integrasi politik di Aceh tergantung dari mode mana yang paling kuat
antara politik dan ekonomi. Integrasi politik dalam konsepsi pihak
GAM sangat tergantung dari sejauh mana mode demokrasi dalam
pengertian nilai-nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam politik di
Aceh pasca-MoU Helsinki, khususnya dalam mengatur kewenangan
dan kekuasaannya. Sementara mode integrasi ekonomi tergantung
dari sejauh mana kompensasi ekonomi dapat menyejahterakan
pihak-pihak
yang
selama
ini
mengalami
deprivasi
relatif
(ketidakpuasan) ekonomi-politik. Jadi, integrasi politik GAM amat
tergantung pada sejauh mana budaya lokal dan nasional dalam
mengimplementasikann praktik-praktik nilai-nilai demokrasi yang
menjadi dasar konsensus normatif dalam melakukan integrasi
kelompok GAM.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhasim, Moch. 2008. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh
Merdeka Kajian Tentang Konsensus Normatif antara RI – GAM
dalam Perundingan Helsinki. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Alfian, ed. 1977. Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta:
LEKNAS.
Sulaiman, M.Isa. 2000. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan
Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Kareem, L. (2011). Perundingan Helsinki; “Suatu Upaya Menuju Integrasi
Politik
Aceh”.
[online].
Tersedia:
http://luqmankareem.blogspot.com/2011/06/perundingan-helsinkisuatu-upaya-menuju.html. [27 Mei 2014].
Leba, EG. (2014). Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik
Indonesia
(RI).
[online].
Tersedia:
http://www.slideshare.net/elygoroleba/analisis-konflik-gam-ri. [27 Mei
2014].