MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN pangsa PRODUKTI

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
LAHAN KERING DAN PRODUKSI JAGUNG DENGAN SISTEM
PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI
Roy Efendi dan Suwardi
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Abstrak. Kondisi lahan kering di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan
pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha di antaranya 70,70 juta ha terletak di
dataran rendah dan 5,50 juta ha di dataran tinggi. Lahan tersebut telah
dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah 35,50
juta ha di dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi. Untuk
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering maka dapat
dilakukan dengan mencegah terjadinya degradasi lahan, memperlambat
kehilangan air tanah dan pengendalian gulma dengan sistem penyiapan lahan
konservasi. Sistem budi daya jagung setelah panen dengan meletakkan sisa
tanaman di lahan maka dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun
merupakan tindakan konservasi vegetatif dimana sisa tanaman atau sisa hasil
panen dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik

tersebut menambah nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan
sebagai penyangga dari pupuk yang diberikan, mengikat air lebih baik dan
meningkatkan daya infiltrasi tanah dari air hujan yang jatuh, mengurangi erosi,
aliran permukaan, evaporasi, menurunkan suhu tanah, meningkat kelembabkan
tanah, dan menekan perkembangan gulma. Dalam penerapan penyiapan lahan
konservasi dengan jangka panjang, penurunan produksi pada suatu musim dapat
digunakan sebagai petunjuk bahwa tanah sudah menjadi padat sehingga perlu
dilakukan pengolahan tanah sempurna pada musim tanam berikutnya. Dengan
demikian, keberlangsungan lahan yang diolah secara konservasi masih dapat
dibudidaya jagung selama beberapa musim tanam disertai pengolahan tanah
sempurna sesekali.
Kata Kunci : Produktivitas, lahan kering, jagung, konservasi.

PENDAHULUAN
Kebutuhan jagung nasional untuk pangan, pakan dan industri terus meningkat
setiap tahunnya. Pada tahun 2001 produksi jagung sekitar 9,2 juta ton, namun belum
dapat memenuhi kebutuhan peternakan dan industri pakan yang tumbuh pesat. Akibatnya
impor bersih jagung, meningkat sekitar 1,0-1,5% tiap tahunnya Di samping untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang memasok
sebagian pangsa pasar dunia sekitar 80 juta ton/tahun, dengan perluasan lahan dan

intensifikasi produksi jagung nasional sehingga akan memberikan dampak kepada
peningkatan pendapatan petani dan perekonomian masyarakat (Swastika et al. 2004).
Budi daya jagung sebagian besar diusahakan di lahan kering dan sawah tadah
hujan, seperti di Sulawesi Selatan pengembangan jagung 91,12% diarahkan pada lahan
kering (Fadhly et al. 2004). Lahan kering di Indonesia yang potensial untuk
pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha di antaranya 70,70 juta ha
terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha di dataran tinggi. Sebagian besar dari lahan
tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah
35,50 juta ha di dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi (Kurnia dan Hidayat
2001).

189

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Namun budi daya jagung pada lahan kering perlu menjaga produktivitas lahan. Hal
ini dikarenakan lahan kering mudah terdegradasi sehingga produktivitas lahan menjadi
cepat menurun. Di daerah iklim tropika seperti Indonesia dengan pola intensitas

penyinaran matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun
serta temperatur dan kelembaban udara yang tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan
organik dan pelepasan hara berlangsung cepat. Kondisi tersebut menyebabkan tanah
menjadi reaktif atau peka dan mempunyai tingkat erosi serta pencucian (leaching) yang
tinggi. Selain tingkat kesuburan tanah yang rendah dan mudah rapuh, budidaya jagung
pada lahan kering dibatasi ketersediaan air yang hanya diperoleh dari curah hujan.
Terbatasnya air di lahan tersebut terutama di musim kemarau menyebabkan produktifitas
lahan dengan intensitas tanam menjadi rendah.
Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering dan produksi
jagung dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya degradasi lahan, memperlambat
kehilangan air tanah dan pengendalian gulma dengan sistem penyiapan lahan konservasi.
SISTEM PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI
Penyiapan lahan untuk budidaya jagung pada lahan kering umumnya dilakukan
dengan pengolahan tanah sempurna (OTS) secara intensif dimana tanah dibajak beberapa
kali kemudian digaru dan diratakan dengan tujuan meningkatkan porositas dan aerasi
tanah, ketersediaan unsur hara, memacu perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman.
Akan tetapi dampak positif tersebut hanya bersifat sementara karena tanah dibajak
beberapa kali kemudian digaru dan diratakan justru membuat permukaan tanah yang
tidak dilindungi oleh tinggalan sisa tanaman, sehingga akan memacu erosi dan
mempercepat penurunan kadar bahan organik dan kesuburan tanah. (Anderson, 1985.,

Violic, 1991 dan Utomo, 1995). Oleh karena itu penanaman jagung di lahan kering harus
dikelola secara tepat salah satunya adalah dengan penyiapan lahan konservasi agar lahan
tersebut dapat digunakan secara berkelanjutan.
Penyiapan lahan konservasi adalah pengolahan tanah seperlunya dengan tujuan
menciptakan kondisi tanah kondusif untuk pertumbuhan akar dan mengurangi kerusakan
struktur tanah akibat pengolahan. Penyiapan lahan secara konservasi dapat dilakukan
dengan cara olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT).
Sistem penyiapan lahan TOT dan OTM untuk penanaman jagung sudah sejak lama
berkembang di Amerika. Pada tahun 1973 penamanan jagung dengan menggunakan
sistem pengolahan tanah konservasi seluas ± 16,4 juta ha dan meningkat pada tahun 1987
menjadi ± 45,3 juta ha. Khusus penyiapan lahan tanpa olah tanah pada tahun 1999/2000
telah mencapai 19,75 juta ha (FAO 2000a). Dalam penyiapan lahan TOT, tanah tidak
diganggu dan hanya ditugal sebagai lubang tanam benih jagung sedangkan OTM tanah
hanya diolah pada barisan penanaman saja. Sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada
permukaan tanah. Pada penyiapan lahan konservasi umumya gulma dikendalikan dengan
menggunakan herbisida.
Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering untuk budi daya
jagung dapat dilakukan dengan penyiapan lahan konservasi. Pengusahaan budi daya
jagung yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan
konservasi vegetatif di mana sisa tanaman atau sisa hasil panen dikembalikan sebagai

tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah
nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyangga dari pupuk
yang diberikan, mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari curah
hujan yang jatuh, mengurangi erosi, aliran permukaan, evaporasi, menurunkan suhu
tanah, meningkat kelembabkan tanah, dan menekan perkembangan gulma (FAO 2000a).

190

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI
Ciri khas penyiapan lahan konservasi adalah pengolahan tanah dan masih adanya
sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah minimal 30% (FA0, 2000a). Adanya sisa-sisa
tanaman atau hasil panen yang ditinggalkan di permukaan lahan akan memberikan
dampak yang positif dalam menunjang budidaya jagung pada lahan kering. Hasil
penelitian Vetsch dan Randall (2002) selama dua tahun menunjukan bahwa residu
organik lebih tinggi pada permukaan tanah lahan yang disiapkan secara konservasi (TOT
dan OTM) dibanding penyaiapan lahan konvensional (OTS) (Tabel 1).

Residu bahan organik pada permukaan tanah cara penyiapan lahan konservasi
dapat berfungsi sebagai mulsa yang dapat berpengaruh terhadap kodisi fisik tanah.
Tabel 1. Residu organik yang menutupi permukaan tanah pada beberapa sistem
penyiapan lahan pada pertanaman jagung (rata-rata pertanaman jagung tahun
1998-2000).
Sistem penyaiapan lahan
Tanpa olah (TOT)
Olah tanah minimum (OTM)
Olah tanah sempurna (OTS)
Sumber: Vetsch dan Randall (2002)

Persentase penutupan permukaan tanah (%)
Setelah olah
Sebelum tanam
Setelah tanam
98
95
87
86
84

54
46
39
26

1. Memperbaiki dan Mempertahankan Kondisi Fisik Tanah
Residu organik pada permukaan tanah berfungsi sebagai mulsa yang dapat
melindungi tanah dari energi kinetik hujan, sehingga mencegah atau mengurangi
pecahnya agregat, penyumbatan dan pemadatan tanah. Hasil penelitian Lopez-Belido et
al. 1996 menunjukkan bahwa tanah yang diolah dalam, tanpa meninggalkan sisa tanaman
pada permukaan tanah bila setiap musim tidak diolah lagi akan menjadi padat. Hal ini
ditunjukkan dengan rendahnya pori aerasi, yaitu 11,8 persen. Sebaliknya dengan
pengolahan tanah sekali saja dan diberi mulsa tanah tetap gembur. Hal ini disebabkan
pori aerasi tanah pada perlakuan tersebut setelah 8 bulan tidak diolah masih cukup tinggi
yaitu 15 - 17 persen, hampir sama dengan yang diolah setiap tanam. Hasil yang sama juga
didapat pada penelitian Kurnia (1996), menunjukkan peran mulsa organik dapat
mengurangi bobot isi tanah, meningkatkan pori aerasi dan stabilitas agregat tanah (Tabel
2).
Tabel 2. Pengaruh pemberian mulsa terhadap bobot isi, pori aerasi dan stabilitas agregat.
Pori aerasi (%

Stabilitas
Perlakuan
Bobot isi (g/cc)
volume)
agregat
Tanpa mulsa
0,91
17
47
Mulsa jerami padi+sisa tanaman
0,87
22
56
Mulsa Mucuna sp
0,88
21
50
Sumber: Kurnia (1996)
Kondisi fisik tanah dapat mempengaruhi perkembangan akar jagung. Hasil
penelitian Saturnino and Landers (1997) dalam FAO (2000b) menghitung jumlah akar

jagung setiap kedalan 10 cm setelah 15 tahun secara konstan melakukan penyiapan lahan
secara konservasi dan konvensional menunjukan jumlah akar jagung lebih banyak pada
lahan yang disiapkan secara konservasi dibanding jumlah akar pada lahan yang disiapkan
secara konvensional (Tabel 3). Hal ini menunjukan TOT dengan pergiliran tanaman

191

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

jagung dan kedelai kondisi fisik tanah masih dapat menunjang pertumbuhan akar
sehingga memperluas penyerapan hara dalam tanah.
Tabel 3. Jumlah akar jagung pada tingkat kedalam dari permukaan tanah pada lahan yang
disiapkan secara konservasi dan konvensional.
Kedalam tanah
(cm)
00-10
10-20
20-30

30-40
40-50
50-60
60-70
70-80
80-90
90-100

Penyiapan lahan konservasi
(tanpa olah tanah)
142
80
72
74
84
83
79
61
45
16


Penyiapan lahan konvensional
(olah tanah sempurna)
103
65
37
56
64
101
55
71
28
27

2. Mencegah Erosi Tanah
Residu bahan organik pada permukaan tanah juga berfungsi mengurangi aliran air
permukaan tanah sehingga dapat menekan erosi tanah. Hasil penelitian Janssen dan Hill
(1994) semakin tinggi persentase sisa tanaman yang menutupi permukaan tanah akan
mengurangi aliran air permukaan tanah sehingga dapat mencegah terjadi erosi tanah
(Tabel 4)
Tabel 4. Pengaruh residu tanaman pemukaan tanah terhadap aliran permukaan dan erosi
tanah.
Residu organik pada
Aliran air permukaan tanah
permukaan tanah (%)
0
45
41
20
71
26
93
0,5
Sumber: Janssen dan Hill (1994)
3.

Erosi (t/area)
12.4
3,2
1,4
0,3

Mempertahankan Kelembaban dan Menekan Fluktuasi Suhu Tanah

Budidaya jagung pada lahan kering dengan intensitas curah hujan rendah perlu
menekan terjadinya evaporasi air tanah menjaga kelembaban tanah. Sistem penyiapan
lahan konservasi dapat meningkatkan jumlah air yang disimpan dalam tanah. Hal ini
disebabkan residu organik pada permukaan tanah berperan sebagai mulsa yang berfungsi
mempertahankan kelembaban tanah, menurunkan evaporasi air tanah dan meningkatakan
infiltrasi air kedalam tanah. Hasil penelitian Griffith et al.(1992) menunjukan evaporasi
selama 5 bulan pada lahan yang disiapkan secara konservasi lebih kecil yaitu 41 mm
dibanding penyiapan lahan konvensional sebesar 187 mm (Tabel 5).

192

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Tabel 5. Evaporasi tanah pada lahan pertanaman jagung dengan sistem penyiapan lahan
konservasi dan konvensional.

Bulan

Curah hujan
(mm)

179
Mei
97
Juni
101
Juli
41
Agustus
91
September
Total
509
Sumber; Griffith et al.(1992)

Penyiapan lahan
Penyiapan lahan
konservasi
konvensional
---------------- evaporasi (mm) ------------63
21
66
10
21
3
14
2
23
5
41
187

Hasil penelitian Chassot et al. (2001) menunjukan bahwa temperatur tanah
kedalaman 5 cm pada penyiapan lahan konservasi lebih rendah dibanding tanah terbuka.
Hal ini dimungkinkan adanya residu organik (mulsa) yang menutupi permukaan tanah
sehingga cahaya matahari tidak dapat langsung mencapai tanah. Sedangkan pada malam
hari mulsa dapat mencegah pelepasan panas sehingga fluktuasi temperatur tanah harian
rendah (Tabel 6).
Tabel 6. Rata-rata suhu tanah harian, maksimum dan minimum pada kedalaman 5 cm.
Sistem
Lokasi
Waktu
penyiapan
lahan
OTS
17-31 Mei
TOT
Schafisheim
OTS
1 – 15 Juni
TOT
OTS
17-31 Mei
TOT
Zollikofen
OTS
1 – 15 Juni
TOT
Sumber: Chassot, Stamp dan Richner. 2001.
4.

Temperatur tanah (OC)
Suhu rataSuhu
Suhu
rata
maksimum minimum
18.3
23.6
13.3
17.2
22.0
13.2
19.7
24.0
15.9
19.4
23.2
16.1
17.2
22.1
12.9
16.1
19.7
12.9
19.6
23.6
16.0
19.2
22.6
16.3

Menjaga Kelangsungan Hidup Organisme dan Ketersediaan C Dalam Tanah

Cara penyiapan lahan sangat mempengaruhi jumlah dan biodiversifikasi organisme
dalam tanah (Karg and Ryszkowski 1996; Ryszkowski et al. 2002). Pada umummya
pengolahan tanah intesif mengancam keragaman organisme tanah. Hal ini disebabkan
pengolahan lahan dengan dibajak akan merusak lubang-lubang cacing dan juga
memungkinkan membunuh cacing selama proses pengolahan. Sedang akan pada
pengolahan lahan konservasi justru menciptakan kondisi yang mendukung
keberlangsungan kehidupan organisme tanah (Brookfield 2001). Beberapa hasil
penelitian menunjukan bahwa penempatan sisa-sisa tanaman memperkuat pengaruh awal
pada komposisi dari komunitas perombak bahan organik dan jumlah cacing lebih besar
dijumpai pada ekosistem lahan tanpa olah tanah dibanding pada agroekosistem lahan
dengan pengolahan tanah sempurna (Beare et al. 1997; Guggenberger et al. 1999;
Hubbard et al. 1999).

193

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Berkurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dapat diakibatkan oleh iklim
mikro yang kurang kondusif terhadap aktivitas mikrobia di lapisan permukaan residu.
Pengaruh penghancuran agregat tanah berkaitan erat dengan peningkatan laju
dekomposisi bahan organik tanah yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah
yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu sumber bahan makan dan energi.
Potensi yang menguntungkan dari TOT adalah tidak terganggunya C-organik,
pengkayaan atmosfer CO2 yang kurang berbahaya (Cole et al., 1995 Dalam Six et al.,
1999). Peningkatan C-organik dalam tanah pada lahan TOT oleh Paustian et.al, (1997)
Dalam Six et al., (1999) dikatakan sebagai akibat meningkatnya kombinasi antara
kurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dan kurangnya gangguan terhadap tanah.
Pengolahan lahan konservasi berperan peningkatan bahan organik tanah yang merupakan
salah satu sumber utama ketersediaan karbon dalam tanah sebagai bahan makanan bagi
biota tanah Wander dan Bollero (1999).
PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI
PENGENDALIAN GULMA

SEBAGAI

KOMPONEN

PENTING

Kedalam tanah (cm) 

Keberadaan benih gulma yang bertahan hidup di permukan tanah dan di dalam
tanah merupakan cadangan biji gulma (seed bank) yang potensial untuk kembali tumbuh.
Benih gulma terdiri atas dari biji baru yang dihasilkan gulma yang jatuh ke permukaan
tanah atau benih gulma lama yang berada di dalam tanah dan bertahan beberapa tahun,
sehingga keberadaan benih gulma merupakan indikator populasi gulma diwaktu lampau
dan sekarang.
Banyak faktor yang mendukung keberadaan dan perkecambahan benih gulma pada
lahan pertanaman jagung seperti ukuran biji, saat kemasakan biji, cara
perkembangbiakan, dan pengolahan tanah, namun faktor yang paling menentukan
berkecambahnya biji gulma pada lahan pertanaman adalah pengolahan tanah (Wilson et
al. 1985). Clarence et al. (2002) menyatakan, kebanyakan benih gulma berada di
permukaan tanah pada tanah yang tidak diolah dan penelitian di Ontario memperlihatkan
bahwa kedalaman 5 cm dari permukaan tanah yang tanpa diolah terdapat benih gulma
74%, tanah yang digulut pada barisan tanaman 33%, tanah yang dirotari 61% dan tanah
yang dibajak dengan singkal 37% ( Gambar 1).

Dibajak

Rotari

Gulud pada
barisan tanam

Tanpa olah
tanah

Sumber: Clement et al., 1996.
Gambar 1. Pengaruh metode pengolahan tanah terhadap distribusi vertikal jumlah biji
gulma setelah 6 musim.

194

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Menurut Clements et al. (1996), pengolahan tanah dapat mematikan biji-biji gulma
atau juga memacu perkecambahan biji. Kedalaman pembenaman biji gulma di dalam
tanah akibat pengolahan tanah berpengaruh terhadap daya perkecambahan yang berbedabeda. Benih gulma yang terkubur di dalam tanah sedalam 0, 3, 8, 15 dan 23 cm
memberikan perkecambahan masing-masing 30, 62, 66, 52 dan 35%.
Dengan mempertahankan benih gulma berada di permukaan tanah menyebabkan
perkecambahan atau berkecambah gulma lebih seragam, sehingga mempermudah
pengendaliannya dengan herbisida. Selain itu, benih gulma yang berada di permukaan
tanah akan mudah di rusak oleh serangga, predator dan penyakit yang disebabkan
organisme tanah.
1.

Pengaruh Cara Penyiapan Lahan Terhadap Perkembangan Gulma.

Dalam budidaya jagung, cara penyiapan lahan yang berbeda akan menciptakan
kondisi tanah yang berbeda, hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan gulma. Hasil
penelitian Efendi et al. (2004), terlihat bahwa cara penyiapan lahan konservasi (OTM dan
TOT) dapat menekan pertumbuhan gulma. Hal tersebut dapat dilihat dari bobot kering
gulma yang lebih rendah pada lahan pertanaman jagung dengan persipan lahan OTM dan
TOT dibandingkan OTS. Menurut Eadie et al. (1992) dan Hooker et al. (1997),
penyiapan lahan pertanaman jagung dengan tanpa olah tanah sangat efektif menekan atau
menghambat pertumbuhan gulma, karena keberadaan benih gulma yang tetap bertahan di
permukaan tanah akan memperpanjang masa dormansi benih gulma. Selain itu Buchler et
al. (1990) melaporkan bahwa pada area pertanaman OTS ditemukan berbagai spesies
benih gulma dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan TOT.
2.

Pengaruh Penyiapan Lahan terhadap Hasil Jagung

Perubahan fisik tanah seperti kandungan bahan organik tanah, kestabilan agregat
dan bobot isi (bulk density) lebih besar pada tanah tanpa olah dari pada tanah yang diolah
secara konvensional (Hill, 1990, Kladivko et al., 1986). Selain itu, serapan air dan hara
dilaporkan lebih besar pada budidaya jagung tanpa oleh tanah daripada olah tanah
konvensional (Hargrove, 1985). Namun demikian jagung yang dibudidayakan pada lahan
yang disiapkan secara konservasi dari segi pertumbuhan dan hasil sangat beragam
tergantung dari kondisi fisik tanah (Herberk et al. 1986). Beberapa penelitian menunjukan
bahwa budidaya jagung berhasil dengan baik melalui sistem penyiapan lahan konservasi
jika dikerjakan pada tanah bertekstur ringan sampai sedang dan berdrainase baik, dan
akan gagal jika dibudidayakan pada tanah bertekstur berat misalnya tanah liat (LopezBelido 1996)

195

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Tabel 7. Hasil jagung pada beberapa tipe dan tekstur tanah dengan cara penyiapan lahan
yang berbeda

Tipe atau tekstur tanah

Cara penyiapan lahan t/ha (15,5%)
Bajak
Sisir
Olah tanam
Tanpa olah
singkal
minimum
tanah

Tekstur Ringan, drainase baik1
Hancooka
Spoonera

6,2
5,5

6,1
5,9

5,8
5,9

6,7
5,8

Tekstur sedang, drainase baik1
Arlingtonb
Lancastera

8,8
8,3

8,8
8,4

8,7
8,2

8,6
8,0

Tekstur berat, drainase buruk1
Marshfileda
Valdersc

6,5
9,2

6,5
6,6

6,4
8,8

6,3
8,5

Liat berat 2 *(73,23,4)
Liat3 *(46,29,22)
Lempung berdebu4 *(19,56,25)
Lempung berdebu5 *(27,62,11)
Lempung berpasir6 *(13,27,60)

2,39
6,67
2,91
4,70
7,91

-

2,44
6,78
2,64
4,20
7,20

3,33
6,33
3,02
4,40
6,92

Keterangan : a Rata-rata 5 tahun, b. Rata-rata 6 tahun, c. Rata-rata 4 tahun, 1 Daniel et al. (1986),
2
Widiyati et al. (2001), 3Fadhly et al. (2004), 4Efendi dan Fadhly (2004), 5Efendi et
al. (2004), 6Akil et al. (2005), *presentase komposisi kandungan liat,debu dan pasir

Hasil penelitian Daniel et al. (1986) menunjukkan bahwa penyiapan lahan tanpa
olah tanah pada tanah bertekstur ringan dan draianse tanah yang baik dapat meningkatkan
hasil jagung sebesar 8%. Sedangkan pada tipe tanah bertekstur sedang, drainase baik dan
tekstur berat, drainase buruk menunjukan hasil jagung yang lebih rendah dengan
penyiapan lahan konservasi (TOT atau OTM) dibanding dengan OTS. Pada tanah dengan
tekstur lempung berpasir, lempung berdebu, dan liat, jagung yang dibudidayakan dengan
tanpa olah tanah memberikan hasil yang sama tingginya dengan hasil jagung yang
dibudidayakan dengan pengolahan tanah konvensional. Pada tanah dengan tekstur liat
berat terjadi penurunan hasil yang nyata sekitar 28%. Hal serupa terjadi pada pengolahan
tanah minimum dengan penurunan hasil 27% (Tabel 7). Hal ini menunjukan bahwa pada
tipe fisik tanah berat seperti tanah liat adalah keras, padat, liat dan lengket perlu diolah
agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Karena itu, budidaya jagung dengan penyiapan
lahan konservasi berhasil diterapkan secara luas pada daerah dengan tanah tekstur ringan
sampai sedang dan berdrainase baik (Vetsch dan Randall, 2002).
Penelitian jangka panjang pada tanah Latosol Coklat Kemerahan di Lampung yang
sebelumnya berupa alang-alang ternyata cara penyiapan lahan dapat berubah. Sampai
musim ke-10, hasil jagung tanpa olah tanah praktis sama atau lebih baik daripada hasil
jagung pada olah tanah intensif (tanah selalu diolah sempurna bila akan memulai
pertanaman jagung). Namun mulai musim tanam ke-12, 14 dan 16 kondisinya berbalik.
Hasil jagung pada perlakuan tanpa olah tanah lebih rendah dari pada olah tanah intensif,
karena lapisan permukaan tanah 0 -10 cm telah memadat. Selanjutnya setelah dilakukan
pengolahan tanah pada musim ke-17, maka musim ke-19 dan 21, hasil jagung pada tanpa
olah tanah lebih baik lagi dibandingkan dengan olah tanah intesif (Tabel 8).

196

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Tabel 8. Hasil jagung pada dua cara oalah tanah berkelanjutan jangka panjang dalam pola
tanam serealia-legum
Cara penyiapan lahan

Hasil biji jagung (t/ha) pada musim tanam ke…
4
7
10
12
14
16 17* 19

21

3.8

5.3

6.1

5.7

6.0

4.3

3.7

6.7

2.1

3.2

4.6

5.6

6.1

5.5

5.5

3.3

3.0

6.7

3.8

3.2

4.8

5.8

6.4

6.0

5.6

6.3

6.4

5.8

2.8

4.1

5.7

6.4

6.8

6.4

6.3

4.6

5.0

6.7

4.7

5.1

1
A. Pemupukkan 100
kg N/ha
1. Olah tanah intesif
2. Tanpa olah tanah
B. Pemupukkan 200
kg N/ha
1. Olah tanah intesif
2. Tanpa olah tanah

* semua petak perlakuan diolah
Sumber: Utomo (1997).

Dalam penerapan penyiapan lahan konservasi dengan jangka panjang, penurunan
produksi pada suatu musim dapat digunakan sebagi petunjuk bahwa tanah sudah menjadi
padat sehingga perlu dilakukan pengolahan tanah sempurna pada musim tanam
berikutnya. Dengan demikian, keberlangsungan lahan yang diolah secara konservasi
masih dapat dibudidaya jagung selama beberapa musim tanam disertai pengolahan tanah
sempurna sesekali.
KESIMPULAN
Pada daerah tropik seperti di Indonesia lahan kering umumnya rapuh dan mudah
terdegradasi, sehingga penerapan penyiapan lahan intesif dengan cara diolah sempurna
(OTS) justru mempercepat terjadinya degradasi tanah. Sebaliknya cara penyiapan lahan
dengan cara konservasi yaitu olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT)
dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan. Hal ini dimungkinkan
karena budidaya jagung dengan penyiapan lahan konservasi membuat permukaan tanah
dilindungi oleh residu tanaman yang berpengaruh terhadap kondisi fisik tanah seperti
bahan organik tanah tetap tinggi, meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, mengurangi
erosi, dan menjaga kelembaban tanah. Selain itu penyiapan lahan konservasi menunjang
kelangsungan hidup mikroorganisme tanah dan salah satu komponen pengendalian gulma
yang efektif. Kondisi tersebut sangat mendukung untuk meningkatkan produksi jagung.
Penyiapan lahan konservasi untuk budidaya jagung umummnya berhasil diterapkan
pada tipe tanah ringan sampai sedang dan berdrainase baik untuk beberapa musim dan
perlu sesekali dilakukan pengolahan tanah sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M., M. Rauf, I.U. Firmansyah, Syafruddin, Faesal, R. Efendi, dan A. Kamaruddin. 2005.
Teknologi budidaya jagung untuk pangan dan pakan yang efisien dan berkelanjutan pada
lahan marjinal. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, p.15-23.
Anderson, G. 1985. No-tillage effect on yield and plant density of maize hybrids, Agronomy
Journal. 78:811-816
Beare, M.H., Reddy M.V., Tian G., dan S.C. Srivastava. 1997. Agricultural intensification, soil
biodiversity and agroecosystem function in the tropics : The role of decomposer biota.
Applied Ecology 6:87-108.
Brookfield, H., 2001: Exploring Agrodiversity. Columbia University Press, New York, 608 pp.

197

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Buchler, D.B., J.D. Doll, R.T. Proost, and M.R. Visocky. 1995. Integrating mechanical weeding
with reduce herbicide use in conservation tillage corn production systems. Agron. J.
87:507-512.
Chassot, A., P. Stamp dan W. Richner. 2001. Root distribution and morphology of maize seedling
as affected by tillage and fertilizer placement. Plant and Soil 231:123-135.
Clements, D.R., D.L. Benoit, S.D. Murphy, and C.J. Swanton. 1996. Tillage effects on weed seed
return and seedbank composition. Weed Sci. 44:314-322.
Daniel, T.C., D.H. Mueller, E.E. Schulate dan L.G. Bundy. 1986. Making conservation tillange
work of corn production on your soil type. Department of Agriculture Journalism,
University of Wiscom-Madison.
Efendi, R., A.F. Fadhly, M. Akil, dan M. Rauf. 2004. Pengaruh sistem pengolahan tanah dan
penyiangan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Seminar Mingguan. Balai
penelitian Tanaman Serealia, Maros, 26 Maret 2004, 17p.
Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan
pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah bertekstur berat.
Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004, 14p.
FAO. 2000a. Conservation Agriculture Matching Production with Sustainability. WWW. FAO.org
FAO. 2000b. Zero tillage development in tropical Brazil; The story of a successful NGO activity
by Jhon N. landers. FAO agriculture Service Bulletin No.147. FAO, Rome.
Griffith D.R., J.F. Moncrief, D.J. Eckert, J.B.Swan dan D.D.Breitbach.1992. Crop respon to tillage
systems. 9.25-33. Dalam Midwest Plan Service Commite (Ed) Conservation tillage systems
and management: Crop residue management with no-till, ridge-till, mulch-till. Iowa State
University, Ames,IA.
Guggenberger, G., S.D Frey., J. Six, K. Paustian, dan E.T. Elliot. 1999. Bacterial and fungal cellwall residues in conventional and no-tillage agroecosystems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:11881198.
Hill, R.L. 1990. Long-term conventional and no-till effects on selected soil physical properties.
Soil Sci. Soc. Am. J. 54:161-166.
Hubbard, V.C., Jordan D., and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response to rotation and tillage in a
Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils J. 29:343-347.
Karg, J. and L. Ryszkowski, 1996: Animals in arable land. Dalam: Dynamics of an Agricultural
Landscape. L. Ryszkowski, N. French, and A. Kedziora (eds.), Panstwowe Wydawnictwo
Rolnicze i Lesne. Poznan: 138–172
Kladivko, E.J., D.R. Griffith, and J. V. Mannering. 1986. Conservation tillage effects on soil
properties and yield of corn and soybeans in Indiana. Soil Tillage Res. 8:277-287.
Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan
Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
Kurnia, U. dan A. Hidayat. 2001. Potensi, peluang dan pemanfaatan lahan kering untuk
peningkatan produksi pangan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Konsultatif
Sumberdaya Lahan dan Air. Direktorat Perluasan Areal, Ditjen Bina Produksi Tanaman
Pangan, Jakarta 11 Juni 2001.
Lopez-Belido, L., M. Fuentes, J.E. Castillo, F.J. Lopez-Garrido dan E.J. Fernandez. 1996.
Longterm tillage, corporation, and nitrogen fertilizer effect on wheat yield under rainfed
Mediterranean condition. Agronnomy Journal 88 :783-791.
Ryszkowski, L., 2002: Integrity and sustainability of natural and man-made ecosystems. In: Just
ecological integrity. P. Miller and L. Westra (eds), Rowman and Littlefield Publishers, New
York.
Six, J., Elliot E.T., and K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter dynamics under
conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1350-1358.
Swastika, D.K.S., F. Kasim, K. Suhariyanto, W. Sudana, R. Hendayana, R.V. Gerpacio, and P.L.
Pingali. 2004. Maize in Indonesia: Production systems, constraints, and research priorities.
Mexico, D.F.: CIMMYT, 40p.
Utomo, M. 1995. Reorientasi kebijaksanaan olah tanah. Pros. Sem. Nas., V BDP OTK, Bandar
Lampung, 1995. hlm 1 -7.

198

Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009

ISBN :978-979-8940-27-9

Vetsch dan Randall.2002. Corn production affected by tillage and starter fertilizer. Agron J
94:532-540
Vetsch, A.J. dan G.W. Randall. 2002. Corn production as affected by tillage system and starter
fertilizer. Agron. J. 94:532-540.
Violic, A.D. 1991. Defining conventional and conservation tillage. Dalam The Maize
Conservation Tillage Working Document No.7. CIMMYT., Mexico. 1991.
Widiyati, N., A.F. Fadhly, R. Amir, dan E.O. Momuat. 2001. Sistem pengolahan tanah dan
efisiensi pemberian pupuk NPK terhadap petumbuhan dan hasil jagung. Risalah Penelitian
Jagung dan Serealia Lain. 5:15-20.
Wilson, R.G., E. D. Kerr and L. A. Nelson 1985. Potential for Using Weed Seed Content in the
Soil to Predict Future Weed Problems. Weed Sci. 33(2): 171 – 175.

199