POLA ASUH ORANG TUA DALAM MENANAMKAN PEN

POLA ASUH ORANG TUA DALAM MENANAMKAN
PENDIDIKAN MORAL PADA ANAK USIA DINI
Disusun Oleh:
Aufilana Rahmatika

1701030002

Clara Berliana

1701030043

Dewi Putri Sari

1701030044

Ely Ambarwati

1701030019

Evi Dwi Lestari


1701030006

Nurul Aini

1701030028

Rohawa Sari

1701030033

Triyanti

1701030014

Umi Anisa

1701030035

Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Institut Agama Islam Negeri Metro


ABSTRAK
Anak-anak merupakan cerminan orangtuanya. Jika kita menginginkan anak-anak
kita menjadi anak yang baik, berarti kita harus menjadi lebih baik terlebih dahulu. Jika
ingin anak kita menjadi anak yang hebat, berati kita harus menjadi hebat terlebih
dahulu.Di lain pihak, kondisi ligkungan sekarang ini tampak rentan bagi seorang anak
untuk belajar dan mendapat contoh nilai-nilai moral yang baik. Orang tua yang sibuk
bekerja kekurangan waktu yang berkualitas untuk mendampingi pendidikan anakanaknya. Bukan saja pendidikan akademis, tetapi trutama pelajaran moral. Hal ini
masih ditambah dengan adanya informasi-informasi yang kurang mendidik dari
berbagai media (seperti televisi, radio) yang mudah didapat anak dan sulit dikontrol
orangtua. Film anak yang sarat kekerasan, sinetron anak yang alur ceritanya bukan
untuk kapasitas seorang anak, pornografi di internet, lagu-lagu yang provokatis
terhadap kekerasan, pemberontakan, dan lain sebagainya.

Karena itu, sebagai orangtua sudah selayaknya memang harus bersedia untuk selalu
berbuat yang terbaik, dengan terus memperkaya diri kita, demi anak-anak kita. Salah
satu hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah menanamkan nilai-nilai moral dan
mendorong perkembangan anak-anak kita agar bergerak ke arah yang baik. Semua itu
dilakukan dengan kasih sayang dan lemah lembut. Sealain itu orangtua juga berperan
besar dalam mengawasi setiap kegiatan anak-anaknya apalagi di zaman era globalisasi

seperti ini dimana anak bisa dengan mudah meniru apa yang dia lihat dan dengar
melalui televis,internet,media cetak, danlain sebagainya.
A. PENDAHULUAN
Keluarga merupakan agen sosial pertama yang memberikan dasar pembentukan
kepribadian anak. Melalui keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar, anak
petama mempelajari kepercayaan, sikap, nilai-nilai dan perilaku yang sesuai dengan
masyarakat. Demikian pentingnya pengaruh orang tua terhadap anak-anaknya, banyak
penelitian psikologi perkembangan yang melihat bagaimana cara orang tua mengasuh
anak dapat memengaruhi kepribadian anak.1
Model prilaku orangtua secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari
dan ditiru oleh anak. Orangtua sebagai lingkungan terdekat yang selalu mengitarinya
dan sekaligus menjadi figur idola anak yang paling dekat. Bila anak melihat kebiasaan
baik dari orangtuanya maka dengan cepat mencotohnya, demikuan sebaliknya bila
orangtua berprilaku buruk makan akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak
meniru bagaimana orangtua bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan,
tuntutan, dan krtitikan satu sama lain, menanggapi dan memecahkan masalah, dan
mengungkapkan perasan dan emosinya. Model prilaku yang baik akan membawa
dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaliknya.
Dalam pandangan Hurlock (1996), bahwa perlakuan orangtua terhadap anak akan
memengaruhi sikap anak dan perilakunya. Sikap orangtua sangat menentukan

hubungan keluarga sebab sekali hubungan terbentuk, ini cenderung bertahan.
Hendaknya orang tua juga bisa memahami anak dengan baik dan mengenali sikap dan
bakatnya yang unuk, mengembangkan dan membina kepribadiannya tanpa
1 Hasan Aliah, Psikologi Perkembangan Islami,Bandung: PT Raja Grafindo Persada,2006

memaksanya menjadi orang lain. Di dalam berkomunikasi pada anak sebaiknya tidak
mengancam dan menghakimi tetapi dengan perkataan yang mengasihi atau memberi
motivasi supaya anak mencapai keberhasilan dalam pembentukan karakter anak.
Adapun salah satu upaya yang dilakukan untuk membentuk karakter yang baik yakni
dengan pendampngan orangtua yang berbentuk pola asuh. Hendaknya orangtua
mempersiapkan dengan pengetahuan untuk menemukan pola asuh yang tepat di dalam
mendidikan anak.2
Ketika “penilaian” berkisar pada kepribadian anak dan pada kemamapuan anak
untuk menghormati orang lainuntuk bertanggung jawab pada perbuatannya, dan
aspek-aspek moralitas lainnya, kepandaian akademis bukan lagi syarat mutlak
keberhasilan seeorang anak. Karena pada kenyataannya, untuk dapat bertahan hidup,
diterima masyarakat, serta dapat berkembang sebagai pribadi, kepandaian akademis
menjadi syarat kesekian, bukan syarat tunggal utama. Namun, bukan berarti
keberhasilan seorang anak semata-mata tidak mempertimbangkan prestasi akademis.
Akan lebih berarti jika anak mengembangkanmoral yang baik, untuk kemudian di

peduka dengan kecerdasan akademis.
Di lain pihak, kondisi ligkungan sekarang ini tampak rentan bagi seorang anak
untuk belajar dan mendapat contoh nilai-nilai moral yang baik. Orang tua yang sibuk
bekerja kekurangan waktu yang berkualitas untuk mendampingi pendidikan anakanaknya. Bukan saja pendidikan akademis, tetapi trutama pelajaran moral. Hal ini
masih ditambah dengan adanya informasi-informasi yang kurang mendidik dari
berbagai media (seperti televisi, radio) yang mudah didapat anak dan sulit dikontrol
orangtua. Film anak yang sarat kekerasan, sinetron anak yang alur ceritanya bukan
untuk kapasitas seorang anak, pornografi di internet, lagu-lagu yang provokatis
terhadap kekerasan, pemberontakan, dan lain sebagainya.3

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan tentang Pola Asuh
a. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara anak dan orangtua selama
anak dalam pengasuhan. didalam kegiatan pengasuhan, hal ini tidak hanya berarti
2Al. Tridhonanto & Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2014, hlm 2-4.
3Dian Ibung Ibung, Psi., Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009, hlm
10.


bagaima orang tua memperlakukan anak, tetapi juga cara orangtua mendidik,
membimbing, mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya.
Kohn dalam Krisnawati menyebutkan bahwa pola asuh merupakan sikap orangtua
dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua
menunjukkan otoritas dan juga cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan
kepada anaknya.4
Pola asuh adalah pola pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu
bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan
nilai yang baik dan sesusai dengan kehidupan masyarakat.5
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (Struktur) yang tetap.
Sedangkan kata asuh memiliki arti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil,
membimbingan (membantu, melatih, dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai
dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.
Namun pandangan para ahli psilogi dan sosiologi berkata lain. Pola asuh dalam
pendangan Singgih D Gunarsa (1991) sebagai gambaran yang dipakai orangtua untuk
mengasuh (merawat, menjaga, mendidik) ank. Sedangkan Chabib Thoha (1996), pola
asuh adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak
sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak. Tetapi ahli lain

memberikan pandangan lain, seperti Sam Vaknin (2009) mengutarakan bahwa pola
asuh sebagai “parenting is interaction between parent’s and children their care”.
Dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua adalah suatu keseluruhan interaksi
orangtua dan anak, dimana orangtua yang memberikan dorongan bagi anak dengan
mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi
orangtua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan optimal,
memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi
untuk sukses.6
2. Tinjauan tentang Moral
a. Pengertian Moral
Istilah moral berasalh dari kata lain “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
4Ahmad Susanto, Bimbingan & Konseling di Taman Kanak Kanak, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hlm.25-26.
5 Hardywinoto, Tony Setiabudhi, Anak Unggul Berotak Prima, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm
212.
6Al. Tridhonanto & Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2014, hlm 4-5.

prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik

kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan
memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum
minuman keras dan berjudi, seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku
orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok
sosialnya.
Moral sebagai suatu keyakinan yang mendasari tindakan atau pemikiran yang
sesuai dengan kesepakatan sosial. Dikatakan penulis, bahwa moral yang baik menjadi
modal individu dalam berinteraksi sosial. Ini sejalan dengan kenyataan bahwa anak,
yang kemudian tumbuh menjasi individu dewasa, adalah makhluk sosial yang tidak
lepas

menjalani

kehidupannya

dalam

suatu

lingungan


sosial.

Kenyataan

membuktikan bahwa individu yang diterima lingkungan adalah mereka yang mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya.7
b. Tahap-tahap Perkembangan Moral
Seperti juga perkembangan fisik dan psikis lainnya, maka moral memilik tahapan
perkembangannya sendiri. Menurut Erik Erik-Son (Wantah, 2005), menyatakan
bahwa dasar-dasar perilaku moral pada anak terbagi dalam tiga tahapan usia, yaitu:
1) Usia 0-2 tahun
Pada tahap ini, seorang anak sepenuhnya bergantung pada ibu atau figur ibu.
Ketika si ibu memenuhi kebutuhan si anak, fisik maupun mental, tumbuhlah
kepercayaan anak pada si ibu. Kepercayaan ini kemudian berkembang tidak saja
pada ibunya, tapi meluas pada lingkungannya.
2) Usia 2-4 tahun
Pada tahap ini, anak sudah meyakini adanya hubungan erat dengan ibu atai
figur pengganti ibu. Maka mulailah anak ingin mengembangkan dirinya sendiri.
Mulai belajar untuk mandiri dalam batasan tertentu, namun mungkin timbul

konflik antara ingin menjadi dirinya sendiri dan kebergantungan pada orangtua.
3) Usia 4-5 tahun
Pada tahap ini anak sudah mempunyai kepercayaan diri dan sadar dengan
eksistensi dirinya. Anak akan mulai berinisiatif untuk mengatasi konflik. Hal ini
didukung dengan kemampuan fisik anak yang sudah berkembang lebih baik.
4) Usia 6-8 tahun
Pada tahap ini, anak mulai belajar hal di sekolah (juga merupakan usia lebih
awal sekolah). Dari hasil pembelajarannya ini, anak mulai menyadari kesamaan

7Dian Ibung Ibung, Psi., Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009, hlm
11.

atau perbedaan dirinya dengan teman-temannya, apakah hasil belajarnya sama
dengan teman-temannta atau tidak.8
Sedangkan berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun
1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of
Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku
Tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut.9
1) Tingkat pra-konvensional
Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap

ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan
tetapi, hal ini semata ditafsirkan dari akibat fisik atau kenikmatan perbuatan
(hukuman, keuntungan , pertukaran, dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi
menjadi 2 tahap berikut.
a. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Anak hanya menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik”, hal itu dikarenakan ia menilai
tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan
karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang
didukung oleh hukuman otoritas.
b. Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan sebagai cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di pasar (jualbeli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas
(timbal-balik) dan pembagian sama rata,tetapi ditafsirkan secara fisik dan
pragmatis.
2) Tingkat Kovensional
Pada tigkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok, atau bangsa. Ia
memendang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan
akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap
harapan pribadi dan tata tertib social,melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan
secra aktif mempertahankan, mendukung dan memebenarakan seluruh tata tertib
serta mengidentifikasi diri dengan orangtua atau kelompok yang terlibat
didalamnya. Tingkatan ini memiliki 2 tahap berikut.
a. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “ anak manis”
8Dian Ibung Ibung, Psi., Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009, hlm 59 Lawrence Kohlberg,1995, tahap-tahap Perkembangan Moral, Penerjemah John De Santo dan Agus Cremers,
Yogyakarta: Kanisius,hlm.160

Perilaku yag baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu
orang lain yang disetujui oleh mereka.Pada tahap ini, terdapat banyak
konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai perilaku mayoritas
atau “alamiah”.
b. Orientasi hukuman dan ketertiban
Perilaku yang tidak baik adalah semata-mata melakukan kewajiban
sendiri,menghirmati otoritas dan mejaga tata tertib social yang ada,
sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.
3) Tingkat pasca- konvensional(Otonom/ Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas
dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan
terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada 2
tahap pada tingkat ini, yaitu sebgai beriut:
a. Orientasi kontrak social legalitas
Terdapat kesadarn yang jelas mengenai Relativitas nilai dan pendapat pribadi
sesuai dengannya.Terlepas dari rumusan yang telah disepakati secara
konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ” nilai” dan “pendapat” pribadi
rasional mengenai manfaat social . Hasilnya adalah penekanan pada sudut
pandangan illegal,tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk
mengubah hukum berdasarkan pertimbangan (bukan membekukan hukum
itus sesuai dengan tata tertib gaya).
Di luar bidang hukum yang disepakati, berlaku persetujuan bebas ataupun
kontrak. Inilah “moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan
yang berlaku di setiap nrgara.
b. Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis
yang dipilih sendiri, dan yang mengacu pada komprehensivitas logis,
universalitas, dan konsistensi logis.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak
memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia
belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting. Terutama
pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtuayang perlu diperhatikan
sehubungan dengan perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.

a. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakun yang sama dalam melarang
atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak
yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila
dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu,
atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui
proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung
melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh,
atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung
jawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliOki orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah,
(dialogis), dan konsisten.
c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan
dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang
religius (agamis), dengan cara yang membersihkan ajrn atau bimbingan tentang
nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalam perkembangan moral
yang baik.
d. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak
jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak
jujur. Apabila orangtua mengajarkan pada anak, agar berprilaku jujur, bertutur
kata yang sopan, bertanggung jawab dan taat beragama, tetapi orangtua sendiri
menampilkan perilaku yang sebaliknya, makan anak akan mengalami konflik
pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua itu sebagai
alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan
mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.
4. Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai
berikut.
a. Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah
laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk pleh orangtua, guru atau
orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam
pendidikan moral ini, adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang
dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.

b. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan
atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya, (seperti orangtua,
guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
c. Proses coba-coba (trial&error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah
laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus dikembangkan atau celaan akan dihentikan.10
5. Aspek-aspek yang berhubungan dengan Moral
Ada beberapa aspek positif yang diperoleh seorang anak ketika ia belajar moral,
yaitu :
a. Mempelajari apa yang diharapkan lingkungan sosial dari “anggotanya”.
Mungkin berupa hukum, kebiasaan setempat, dan peraturan yang berlaku.
b. Mengembangkan hati nurani.
c. Belajar mengalami rasa bersalah dan rasa malu.
d. Memiliki kesempatan berinteraksi dengan lingkungan/sosial.
Tujuan pendidikan moral pada anak :
a.
b.
c.
d.

Mepelajari harapan sosial
Mengembangkan hati nurani
Mempelajari rasa salah dan rasa malu
Kesempatan berinteraksi sosial.

Dalam proses pembentukan dan pengembangan nilai moral pada anak, tentu
terdapat beberapa factor yang mendorong dan menghambat pendidikan moral,
yang akan disebutkan sebagai berikut.
6. Faktor Pendukung
Untuk mendukung perkembangan moral, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan, yaitu:
a.

Mengabaikan
Mengabaikan adalah cara yang digunakan orang tua ketika perilaku anak

tidak disetujui. Misalnya untuk anak yang terlalu manja dan meminta suatu hal
namun tidak disetujui oleh orang tuanya, maka orang tua dapat mengabaikan
permintaan anaknya atau tidak meperdulikannya.
b. Mencontohkan
10Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf I.N., M.Pd., Psikologi Perkembangan Anak dan Keluarga, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012, hlm 132-134.

Memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan muncul
dari anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk membentuk
moral anak.
c.

Membiarkan
Membiarkan bukan berarti mengabaikan, melainkan memberikan

kesempatan pada anak untuk belajar dari kesalahannya.
d. Mengalihkan Perhatian
Bisa dilakukan apabila anak yang terlibat cukup banyak, misalnya
perkelahian. Orang tua ataupun orang dewasa dapat mengalihkan perhatian anakanak dengan mengajak untuk melakukan hal lain yang lebih baik.
e.

Tantangan
Dengan tantangan, orang tua dapat mendorong anak untuk mengeluarkan

kemampuannya dalam suatu keadaan. Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi anak
untuk melakukan pilihan dan menentukan baik atau buruk sesuatu hal
dikemudian hari.
f.

Memuji
Memuji anak atas tindakannya yang tepat dapat menguatkan sikap dan

perilakunya. Dengan memuji, anak dapat mengerti bahwa sikap dan perilakunya
itu positif dan sesuai dengan harapan lingkungan. Anak bisa merasa dihargai,
sehingga kepercayaan dirinya akan meningkat. Dengan pujian, anak akan
merekam sikap dan perilaku dalam ingatannya sehingga termotivasi untuk
mengulanginya lagi.
g. Menciptakan Inisiatif
Cara ini dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk melakukan suatu hal
yang membangkitkan keinginan dari dirinya sendiri. Orang tua dapat
memunculkan inisiatif anak misalnya dengan memberi tahu manfaat dari
perbuatannya dan efeknya apabila tidak dikerjakan. Tetapi jangan dengan cara
menakut-nakutinya.

h. Latihan dan Pembiasaan
Menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan pembiasaan merupakan
strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini. Sikap
orang tua dapat dijadikan latihan dan pembiasaan bagi anak. Sejak kecil orang
tua selalu merawat, memelihara, menjaga kesehatan dan lain sebagainya untuk
anak. Hal ini akan mengajarkan moral yang positif bagi anak.7
i.

Bermain
Melalui bermain, anak dapat mengenal lingkungan social yang memberikan

banyak masukan mengenai nilai-nilai yang disetujui dan tidak disetujui, belajar
mengetahui dan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya dan orang lain,
belajar konsep-konsep moral secara nyata, dan belajar untuk disiplin mematuhi
aturan.
7. Faktor Penghambat
Berikut adalah kesulitan yang dihadapi anak dalam mempelajari konsep moral:
1) Tingkat Intelegensi
Semakin tinggi tingkat intelegensi seorang anak, semakin mudah ia
mempelajari suatu konsep moral.
2) Cara Pengajaran
Biasanya orang tua menekankan pada apa yang tidak boleh dan apa yang
salah, bukan pada apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang benar. Akibatnya
anak menjadi bingung. Oelh karena itu, dalam pengembangan moral anak, orang
tua harus berhati-hati dalam berkata. Misalnya mengubah kata “Tidak boleh
bohong” menjadi “Harus jujur”.
Selain itu, orang tua harus bersabar dalam mengajarkan pendidikan moral
untuk anaknya. Karena banyak factor yang mempengaruhi kemampuan anak
dalam memahami konsep moral. Tetapi dengan menggunakan proses belajar
secara kontinu dapat dijadikan alternative untuk memudahkan anak menguasai
konsep moral seperti yang diharapkan.

3) Perubahan Nilai Sosial
Perubahan nilai social dapat menjadi beban bagi anak dalam menyesuaikan
diri. Karena ketika seorang anak belum selesai menyesuaikan diri dengan nilai
moral yang pertama, anak sudah harus menyesuaikan diri dengan nilai moral
yang baru.
4. Perbedaan Nilai Moral
Orang tua atau guru yang mengajarkan suatu nilai moral pada anak, seringkali
lupa bahwa ia harus memberikan teladan pada anak mengenai apa yang ia
ajarkan. Akibatnya anak tidak menemukan kesesuaian antara nilai moral yang
diajarkan dengan nilai moral yang ia lihat. Anak menjadi bingung dan cenderung
mengabaikan peraturan yang ditetapkan.
5. Nilai dan Situasi yang Berbeda
Anak cenderung beum mampu memberikan penilaian pada peristiwa unik atau
khusus. Karena itu, anak menyamaratakan peraturan yang satu untuk kodisi yang
berbeda.
6. Konflik Dengan Lingkungan Sosial
Sering kali anak bingung menghadapi harapan lingkungan social yang
berbeda antara lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain. Misalnya,
dirumah, ia diajarkan untuk melawan jika dipukul temannya. Tetapi disekolah,
anak diajarkan untuk selalu melawan dengan kebaikan. Akibatnya anak bingung
mana yang harus ia lakukan.11
C. METODE PENELITIAN
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai Pola Asuh Orang Tua dalam Menanamkan Pendidikan
Moral pada Anak Usia Dini, berlokasi di Dusun VIII, desa Mataram Baru,
Kecamatan Mataram Baru, Kabupaten Lampung Timur. Waktu penelitian
berlangsung dari tanggal 14-22 April 2018.
2. Bentuk Penelitian
11 https://quantum.student.com/index.php?...faktor-pendukung-dan-penghambat-pendidikan-moral-pada-anak

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu ingin mengetahui pola asuh orang tua
dalam menanamkan pendidikan moral pada anak usia dini di desa Mataram Baru
Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur, maka jenis penelitian ini
menggunakan suatu metode yaitu metode kualitatif dengan analisis deskriptif.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah orang tua yang bekerja
yang mempunyai anak usia 1-6 tahun sedangkan data sekunder diperoleh melalui
foto-foto kegiatan, catatan lapangan, dan buku buku kepustakaan.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Untuk
memperoleh data yang relevan dan sesuai dengan masalah pada penelitian ini, maka
tekhnik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu melalui observasi, dan
kajian kepustakaan.
5. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu tekhnik
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu yaitu orang yang di anggap
paling tahu tentang apa yang diteliti. Dalam penelitian ini yaitu orang tua yang
bekerja dan mempunyai anak usia 1-6 tahun.
6. Validitas Data
Penelitian ini menggunakan validitas sumber yaitu memeriksa keabsahan data
dengan cara membandingkan data hasil wawancara dengan observasi. Penelitian
juga mengecek derajat kepercayaan dengan membandingkan informasi yang
peneliti peroleh dari beberapa informan yang berbeda.
7. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis model interaktif yang
melakukan analisis data secara interaktif. Teknik tersebut meliputi tahap
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pola asuh antara orang tua dalam menanamkan pendidikan moral anak sangat
dipengaruhi oleh bagaimana cara orang tua menanamkannya sejah usia dini, dan
bagaimana kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap pola asuh yang di bawa
orang tua pada dasarnya akan membawa dampak dalam kehidupan anak dalam
segala aspek kehidupannya. Berhasil atau tidaknya orang tua dalam menjalankan
atau mendidik anak dalam menamankan moral.

Informan merupakan pasangan suami istri dan yang pasangan suami istri yang
sudah bercerai. Latar belakang keluarga informan dalam bidang pendidikan dapat
dijelaskan sebagai berikut :

Informan
Informan 1

Informan 2

1.

Nama
Ayah
Samsul
Arifin
Arif Majidi

Ibu
Sri Utami
Asmaranity
a Kusuma U

Pendidikan
Ayah
Ibu
SD

SD

Anak
Nama

Usia

Irvan Dimas

2 tahun

Arsyla
SMA

S1

Farzana

1 tahun

Majid
Alvan
Nabila

3,5 tahun

Informan 3

-

Maya Sari

-

SD

Informan 4

Wagito

Linawati

SD

SD

Informan 5

Budiono

Farihah

SD

SD

Informan 6
Informan 7
Informan 8

Sanlawi
Adnan
Sudarno

Mariana
Anita
Fitri Lestari

SD
SD
SD

SD
SD
SD

Informan 9

Nur Kholis

Pontiri

SD

SD

Informan10

Hendra

Wulan

SD

SD

Cantika
Lumatul
Azizah
Alvin
Andara
Fitri Lestari
Aulia Nur
Fadila
Faris Naufal

1 tahun
6 tahun
2 tahun
2 tahun
3 tahun
6 tahun
3 tahun

Perkembangan Moral Anak di Desa Mataram Baru
Anak di desa Mataram Baru memiliki perkembangan yang tidak jauh berbeda
dengan anak di desa lainnya pada umumnya. Faktor-faktor pembentuk munculnya
perbedaan moral manusia, di antaranya kenyataan hidup, tantangan yang dihadapi,
dan harapan yang dicita-cita oleh anak-anak itu sendiri. Masalah yang paling
penting dalam pendidikan moral bagi anak adalah bagaimana kita sebagai guru
taman kanak-kanak agar setiap perbadaan yang muncul dapat kita arahkan ke
materi pendewasaan sikap dan perilaku anak dalam sosialisasinya. Tidak ada
salahnya kita sisipkan pendidikan multikultural pada anak usia taman kanak-kanak
sesuai dengan tingkat dan pemahaman mereka.
Cara anak belajar moral menurut Husein dan Postlethwaite yang menyatakan anak
belajar melalui empat cara yang disebut 4 “E’s”
a. Desakan (exhortation), cara ini dimana orang dewasa memberitahukan kepada
anak-anak tentang benar dan salah, menghimbau mereka melakukan hal yang

benar, dan mengajarkan kepada mereka untuk hidup dengan standar-standar
perilaku tertentu.
b. Contoh (exampele), cara ini adalah anak-anak belajar moral dari model moral
yang dilakukan orang-orang di lingkugan anak-anak. Di sekolah guru menjadi
contoh model moral.
c. Harapan-harapan (expectation), cara ini anak belajar moral dari harapanharapan orang-orang yang ada di sekitarnya, dimana perilaku-perilaku tertentu
diharapkan dilakukan anak. Misalnya di sekolah guru mengharapkan anak
bekerja sama dan saling membantu, dan memiliki siikap alturistik.
d. Pengalaman (experience), anak-anak belajar moral dari tindakan-tindakan
dalam pengalam anak. Mereka belajar dengan melakukan misalnya anak-anak
terlibat dalam perdebartan tentang moralitas hukuman dari debat tersebut anakanak belajar prinsip dan sikap-sikap moral tertentu.12
E. KESIMPULAN
Anak-anak merupakan cerminan orangtuanya. Jika menginginkan anak-anak
menjadi anak yang baik, berarti sebagai orang tua harus menjadi lebih baik terlebih
dahulu. Jika ingin anak menjadi anak yang hebat, berati orang tua harus menjadi
hebat terlebih dahulu.
Karena itu, sebagai orangtua sudah selayaknya memang harus bersedia untuk
selalu berbuat yang terbaik, dengan terus memperkaya diri, demi anak-anak. Salah
satu hal terbaik yang dapat lakukan adalah menanamkan nilai-nilai moral dan
mendorong perkembangan anak-anak agar bergerak ke arah yang baik. Semua itu
dilakukan dengan kasih sayang dan lemah lembut. Karena sebenarnya, hubungan
orangtua dan anak adalah hubungan yang manis, lega dan senyum cerah
tersungging di bibir saat mengingatnya. Namun satu hal yang terpenting bagi
orangtua mampukah mendidik anak dengan baik. Disini orangtua juga harus
menerapkan pendidikan agama sedini mungkin untuk memebentuk moral yang baik
untuk anak kedepannya.
Pada hakikatnya, para orangtua mempunyai harapan agar anak-anak mereka
tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang baik
dan yang tidak baik, tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan dirinya sendiri maupaun merugikan orang lain. Harapan-harapan ini
kiranya akan lebih mudah terwujud apabila sejak semula, orangtua telah menyadari

12Torsten husen dan T. Naville Postlethwaite, the international encyclopedia of education research and studies
(oxford; pergamon press, 1988), hlm 3409.

akan peranan mereka sebagai orangtua yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan moral anak.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan Aliah, Psikologi Perkembangan Islami,Bandung: PT Raja Grafindo Persada,2006
Al. Tridhonanto & Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2014
Dian Ibung Ibung, Mengembangkan Nilai Moral pada Anak, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2009
Susanto Ahmad, Bimbingan & Konseling di Taman Kanak Kanak, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015
Hardywinoto, Setiabudi Tony, Anak Unggul Berotak Prima, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002

Yusuf Syamsu., Psikologi Perkembangan Anak dan Keluarga, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012
Torsten husen dan T. Naville Postlethwaite, the international encyclopedia of education
research and studies (oxford; pergamon press, 1988
Lawrence Kohlberg,1995, tahap-tahap Perkembangan Moral, Penerjemah John De
Santo dan Agus Cremers, Yogyakarta: Kanisius
https://quantum.student.com/index.php?..faktor-pendukung-dan-penghambat-pendidikanmoral-pada-anak
Marliani Rosleny,Psikologi Perkembangan Anak & Remaja(Bandung: Pustaka
Setia,2016)