PERAN PUSTAKAWAN DALAM MENANAMKAN NETIQU

PERAN PUSTAKAWAN DALAM MENANAMKAN
NETIQUETTE GUNA MEWUJUDKAN GENERASI MELEK
LITERASI DIGITAL
Oleh:
Nur Ishmah
E-mail: nurishmah57@yahoo.co.id
Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk memaksimalkan peran pustakawan dalam
penanaman netiquette untuk mewujudkan masyarakat yang melek literasi digital. Metode
Peneltian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif yang bertujuan memahami
fenomena sosial mengenai netiquette di dunia maya. Teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu melalui observasi pada berbagai sosial media dan dokumen-dokumen
terkait netiquette dan literasi digital. Hasil penelitian ini yaitu pustakawan memiliki
tanggung jawab moral dalam menanamkan 12 etika saat berada di dunia maya.

Kata Kunci: perpustakaan, pustakawan, netiquette, literasi digital
Abstract
The goal in this paper is to maximize the librarian’s role in the implementation of
netiquette to realize the digital literacy community. This research method used qualitative
approach aimed to understanding social phenomena about netiquette in cyberspace. Data

collection techniques used observations on many social medias and documents related to
digital literacy and netiquette. The results of this research is librarians have a moral
responsibility in implementing 12 ethics while in the virtual world

Keywords: library, librarian, netiquette, digital literacy
A. PENDAHULUAN
Perkembangan informasi berkembang pesat di dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini. Informasi tersebut juga banyak variasinya. Baik informasi
ilmiah maupun informasi populer. Mulai dari informasi yang valid sumbernya
sampai pada informasi yang tidak jelas kevalidannya (informasi yang hanya
hisapan jempol belaka). Hal ini disebabkan karena banyaknya informasi yang
tersebar di internet, meningkatnya daya akses masyarakat terhadap informasi yang
ada di internet setiap tahunnya, dan banyaknya media sosial yang dimanfaatkan
sebagai sarana penyebaran informasi.
Internet merupakan suatu jaringan informasi dan komunikasi yang global.
Terdapat banyak manfaat yang akan kita dapatkan hanya dengan bermodal
kemauan dan kemampuan dalam menggunakan internet. Namun, tidak seluruh isi
di dalam internet bermanfaat. Sifat internet yang cenderung bebas tanpa dikontrol
maupun dikuasai pihak manapun membuat materi atau informasi yang dapat
dikirim maupun diakses bisa saja bersifat negatif. Misalnya pornografi, perjudian,

kekerasan dan rasialisme, cyberbullying, maupun berita hoax.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (Kompas, 3
Februari 2017) mengakui dunia maya saat ini semakin dipenuhi oleh konten yang
berbau berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, bahkan praktik penipuan.
Maraknya konten-konten negatif yang merusak ekosistem digital ini hanya bisa

ditangkal oleh kesadaran masing-masing individu. Muhadjir Effendy mendorong
masyarakat untuk melek literasi digital. Penekanannya bukan hanya apa dan
bagaimana alat-alat teknologi informasi dan komunikasi itu digunakan, tetapi
yang terpenting untuk apa alat-alat teknologi informasi, internet, dan media sosial
tersebut digunakan. Dengan begitu, internet dapat menjadi sarana positif bagi
masyarakat. Muhadjir Eeffendy mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk
terlibat dalam pelaksanaan literasi digital. Dengan adanya pelaksanaan literasi
digital ini diharapkan masyarakat dapat menghadirkan konten positif yang
mendorong produktivitas masyarakat.
Sejalan dengan pernyataan Mendikbud tersebut, maka menurut Sutarno
(2003: 54) peran perpustakaan yang berkaitan dengan hubungan perpustakaan
dan masyarakat yaitu perpustakaan sebagai jembatan penghubung antara sumber
informasi dengan para pemakainya, perpustakaan sebagai agent of change yang
berfungsi sebagai landasan penuntun dalam perencanaan masa depan yang lebih

baik, perpustakaan berperan aktif dalam membimbing dan memberikan
pendidikan kepada pemustaka, dan secara tidak langsung perpustakaan juga
berperan aktif dalam mengurangi hal-hal negatif terkait ledakan penyebaran
informasi di internet karena informasi yang ada di perpustakaan dapat mendorong
pemustaka untuk melakukan hal-hal positif dan produktif.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII : 2016) jumlah pengguna internet Indonesia mencapai
132,7 juta. Survei tersebut juga menunjukan perilaku pengguna internet Indonesia
berdasarkan konten yang diakses, yaitu: Media sosial : 129,2 juta atau 97,4%.
Hiburan : 128,4 juta atau 96,8%. Berita : 127,9 juta atau 96,4%. Pendidikan :
124,4 juta atau 93,8%. Komersial : 123,5 juta atau 93,1%. Layanan publik : 121,5
juta atau 91,6%. Melihat data tersebut, dapat diketahui bahwa kecenderungan
masyarakat kita belakangan ini dalam berinternet yaitu mengakses media sosial
dibandingkan konten-konten lainnya. Masyarakat senang untuk meneruskan atau
mem-broadcast suatu informasi tanpa mencari tahu kebenaran dari informasi
tersebut terlebih dahulu, tanpa mempertimbangkan sisi positif dan negatif yang di
dapatkan, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain saat menyebarkan
informasi tersebut. Dan media sosial merupakan sarana yang paling empuk dalam
penyebaran segala macam informasi. Dengan adanya kondisi seperti ini, penting
bagi pustakawan sebagai penyedia informasi yang baik, sebagai agent of change,

dan sebagai educator, untuk turut berperan aktif dalam menanamkan nilai etika
dalam berinternet bagi masyarakat demi terwujudnya generasi yang melek literasi
digital ke depannya.
a. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka pada artikel ini akan
membahas mengenai “Bagaimana Peran Pustakawan dalam menanamkan
netiquette guna mewujudkan masyarakat yang melek literasi digital.”
b. METODOLOGI
Pendekatan yang penulis gunakan yaitu pendekatan kualitatif karena
bertujuan untuk memahami fenomena situasi sosial yang dibahas (Sugiyono,
2016: 285). Moleong (2014: 4) menjelaskan metode kualitatif akan menghasilkan

data deskriptif mengenai segala sesuatu yang diamati. Fokus pada artikel ini yaitu
mengenai penanaman netiquette untuk mewujudkan masyarakat melek literasi
digital.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu dokumen dan
observasi. Penulis mengamati pola masyarakat dalam memanfaatkan internet dan
mengamati interaksi netizen pada berbagai sosial media, serta mengkaji berbagai
literatur mengenai etika berinternet (netiquette) dan literasi digital.
B. PEMBAHASAN

1. Peranan Pustakawan
Hermawan dan Zen (2006: 57) memaparkan peranan pustakawan yang
dapat disingkat menjadi sebuah akronim EMAS, yaitu:
a. Edukator/ Pendidik
Pustakawan harus berfungsi sebagai dan memiliki jiwa sebagai seorang
pendidik.. Pustakawan menjalankan fungsi pendidikan yaitu mendidik,
mengajar, dan melatih. Pustakawan mendidik masyarakat dalam
mengembangkan kepribadian dan menanamkan nilai-nilai. Pustakawan ikut
berperan dalam mengembangkan kemampuan berfikir masyarakat. Dan
pustakawan juga terlibat dalam membina dan mengembangan keterampilan
masyarakat.
b. Manajer
Pustakawan merupakan manajer informasi yang mengelola informasi dan
berhubungan dengan pengguna informasi. Pustakawan sebagai manajer
informasi harus mempunyai jiwa pemimpin dan bertindak sebagai koordinator
dalam melakukan tugas sehari-hari.
c. Administrator
Pustakawan harus dapat menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi program
perpustakaan, dan menganalisis hasil yang dicapai, serta mengupayakan
perbaikan sehingga ke depannya mencapai hasil yang semakin baik.

d. Supervisor
Pustakawan harus dapat melakukan pengembangan profesional,
meningkatkan prestasi, meningkatkan pengetahuan,
meningkatkan
keterampilan, mempunyai wawasan yang luas dan visi yang jauh ke depan,
memahami beban kerja dan hambatan-hambatannya, bersikap sabar tetapi
tegas dan objektif dalam melaksanakan tugasnya, dapat berkordinasi baik
dengan sesama pustakawan maupun pembina dalam menyelesaikan hambatan.
2. Etika di Dunia Maya/ Netiquette
Pertumbuhan internet yang sangat pesat menyebabkan perubahan perilaku
aktivitas netizen. Sebagaimana setiap orang berperilaku dalam kehidupan seharihari, maka dalam kehidupan dunia maya seharusnya juga berlaku adanya etika
dalam melakukan aktivitas sehari-hari di dunia maya. Apalagi dalam bermedia
sosial yang sering diakses oleh masyarakat Indonesia. Saat ini banyak terjadi
penyebaran informasi yang pesat melalui media sosial. Kecenderungan
masyarakat kita me-repost suatu informasi tanpa dicari tahu kebenarannya
terlebih dahulu, apakah informasi tersebut benar atau salah. Selain itu, saat ini
juga banyak terjadi kejahatan lewat dunia maya misalnya cyberbullying,

cyberthreats, plagiarism, dan hoax. Maraknya kejahatan melalui dunia maya ini
membuat netizen harus memiliki etika dalam melakukan aktivitasnya.

Etika saat berada di dunia maya menurut Sulianta (2007: 47) antara lain:
a) Dilarang memberikan informasi yang bersifat personal, terlebih pada orang
yang belum dikenali yang anda ajak berkomunikasi di dunia maya.
b) Password harus terjaga kerahasiaannya.
c) Hindari penulisan huruf kapital. Penulisan huruf kapital di dunia maya berarti
suatu bentuk ungkapan teriak.
d) Bersikap sopan. Bersikap sopan disini meliputi tidak menggunakan bahasa
yang tidak senonoh, kasar, mengancam, dan vulgar.
e) Periksa kembali pesan yang akan dikirim. Pastikan nama yang dituju itu
benar.
f) Buat pesan yang sederhana dan pendek sehingga mudah dipahami.
g) Dalam pengiriman e-mail, jangan lupa untuk menyertakan judul e-mail.
Sehingga orang lain tidak menganggap anda remeh dan malas.
h) Gunakan humor untuk menghidupkan tulisan yang hambar. Ini dapat
membangkitkan suasana komunikasi yang baik.
i) Gunakan emotikon dalam memperjelas penyampaian pesan tertulis. Ini
mewakili apa yang sedang dirasakan atau lakukan.
j) Jika anda mendapatkan pesan yang tidak senonoh. Jangan balas menyerang,
lebih baik abaikan saja.
k) Berhati-hatilah dengan sarkasme. Meskipun hanya bergurau, tetapi

komunikasi yang sedang dilakukan hanya lewat dunia maya sehingga
penerima pesan tidak melihat raut muka anda. Bisa saja penerima pesan
memiliki persepsi lain terhadap gurauan kasar dalam pesan tersebut.
l) Berikan pengenal dalam mengirim e-mail, sehingga anda tampak bersungguhsungguh.
Berdasarkan dua belas etika dalam berinternet di atas, Sulianta (2007: 50)
kemudian mengemukakan komponen-komponen di dalam etika berinternet, yaitu:
a) Akronim. akronim sudah menjadi ciri khas di dalam komunikasi dunia maya
dalam mempersingkat pesan tertulis.
b) Emotikon. Ini gunakan untuk memperjelas penyampaian. Ini mewakili apa
yang sedang dirasakan atau lakukan.
c) Etika. Etikalah yang digunakan sebagai panduan dalam berinternet. Perilaku
mana yang etis dan yang tidak etis.
3. Literasi Digital Sebagai Sarana Mewujudkan Generasi Yang Paham
Akan Internet Sehat
Literasi digital menurut Riel (2012:3) merupakan kemampuan
menggunakan teknologi dan informasi dari perangkat digital secara efektif dan
efisien dalam berbagai konteks kehidupan. Oleh karena itu Martin (dalam Herlina:
2008) menjelaskan beberapa dimensi literasi digital, yaitu:
a) Literasi digital melibatkan kemampuan dalam melakukan ativitas digital
berkaitan dengan pekerjaan, pembelajaran, hobi, dan aspek lain di dalam

kehidupan.
b) Literasi individu bervariasi dan kondisional tergantung situasi sehari-hari yang
dialami dan proses sepanjang hayat individu tersebut.

c) Literasi digital lebih luas dari literasi teknologi komunikasi informasi
d) Literasi digital melibatkan kemampuan mengumpulkan dan menggunakan
pengetahuan, teknik, sikap, dan kualitas personal dalam merencanakan,
menjalankan, mengevaluasi tindakan digital dalam penyelesaian masalah
dalam kehidupan sehari-hari.
e) Literasi digital melibatkan kesadaran seseorang terhadap tingkat literasi
digitalnya dan pengembangan literasi digitalnya.
Menurut ICT Watch di dalam gerakan Internet Sehat memaparkan digital
literasi mendorong dampak positif internet. Di situ terdapat 3 prinsip ala advokasi
internet sehat, yaitu:
a) Menumbuhkan konten lokal positif, bermanfaat, dan menarik bagi anak,
remaja, dan masyarakat.
b) Self-Filtering yang hanya dilakukan pada tingkat institusi keluarga dan
pendidikan
c) Kerjasama antar pemangku kepentingan majemuk dalam mewujudkan internet
sehat.

4. Peran Pustakawan Dalam Menanamkan Netiquette Dalam Mewujudkan
Generasi Melek Literasi Digital
Sebagai seorang pendidik, pustakawan sudah selayaknya ikut turut serta
dalam mendidik, mengajar, dan melatih. Berdasarkan pernyataan ICT Watch
tersebut, pustakawan dapat melaksanakan fungsi pendidikan yang mendukung
digital literasi yang mendorong internet sehat dengan cara:
a. Berdasarkan kecenderungan masyarakat Indonesia yang aktif mengakses
media sosial, maka pustakawan bisa menggunakan media sosial ini sebagai
sarana edukatif untuk meningkatkan minat dan kinerja belajar siswa secara
positif memanfaatkan media sosial (Rambe and Nel : 2015).
b. Pustakawan sebagai manajer informasi turut berpartisipasi dengan pemerintah
dan seluruh lapisan masyarakat menumbuhkan netiquette sehingga bisa
menanggulangi maraknya, cyberbullying, hoax, plagiarisme, dan hasutan
kebencian.
c. Adanya kerjasama antara perpustakaan dengan lembaga pendidikan dalam
memasukkan materi literasi digital di dalam kurikulum. Pustakawan dapat
menanamkan netiquette pada generasi muda melalui materi literasi digital ini.
Pendekatan lebih ditekankan pada generasi muda karena mereka memiliki
tingkatan yang lebih tinggi dalam literasi digital. Generasi muda saat ini
memang terlahir sebagai net generation/ digital native (Riel : 2012).

d. Para pustakawan saling bekerja sama membimbing dan mendidik pemustaka
dalam menentukan kevalidan informasi yang didapatkan, dan mencegah
proses plagiasi terjadi. Pada hakikatnya perpustakaanlah yang memiliki
semua informasi terbaik yang dibutuhkan pemustakanya.
e. Pustakawan berperan aktif dalam menghasilkan tulisan ilmiah mengenai
internet sehat di dalam kehidupan.
f. Pustakawan ikut aktif memberikan pemahaman mengenai netiquette dan
literasi digital dalam kegiatan kemasyarakatan seperti karang taruna, dharma
wanita, PKK, dll (Herlina : 2016). Melalui kegiatan kemasyarakatan ini

diharapkan literasi digital semakin dipahami oleh semua lapisan masyarakat,
dan netiquette dapat diterapkan sebagaimana mestinya.
g. Pustakawan turut aktif dalam menumbuhkan minat baca masyarakat sehingga
masyarakat paham akan pentingnya melek informasi dan teknologi digital, dan
paham bagaimana dan untuk apa informasi, komunikasi, dan teknologi digital
itu diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
C. PENUTUP
Simpulan
Perkembangan informasi semakin berkembang pesat di dalam kehidupan
masyarakat. Mulai dari informasi yang valid sumbernya sampai pada informasi
yang tidak jelas kevalidannya. Ini disebabkan karena banyaknya informasi yang
tersebar di internet, meningkatnya daya akses masyarakat terhadap informasi yang
ada di internet setiap tahunnya, dan banyaknya media sosial yang dimanfaatkan
sebagai sarana penyebaran informasi.
Pustakawan mempunyai tanggung jawab moral dalam menghadapi kondisi
ledakan informasi seperti sekarang ini. Peran pustakawan sebagai manajer
informasi dan sebagai pendidik menuntut pustakawan untuk ikut berperan aktif
dalam menanamkan 12 hal yang harus diperhatikan dalam etika berinternet/
netiquette yang wajib dipahami, dirasakan dan diterapkan saat berada di dunia
maya. Serta pustakawan ikut berperan aktif dalam mendidik masyarakat agar
melek literasi digital.
Peran Pustakawan dalam menanamkan netiquette dan mendidik generasi
agar melek literasi digital diantaranya:
a. Mendorong tumbuhnya konten positif, bermanfaat, dan menarik bagi seluruh
lapisan masyarakat, dengan cara:
1) Menggunakan media sosial ini sebagai sarana edukatif untuk meningkatkan
minat dan kinerja belajar siswa secara positif memanfaatkan media sosial
2) Pustakawan berperan aktif dalam menghasilkan tulisan ilmiah mengenai
internet sehat di dalam kehidupan.
b. Self Filtering, dengan cara:
1) Adanya kerjasama antara perpustakaan dengan lembaga pendidikan dalam
memasukkan materi literasi digital di dalam kurikulum.
2) Pustakawan ikut berperan aktif dalam membimbing dan mendidik pemustaka
dalam menentukan kevalidan informasi yang didapatkan.
c. Kerjasama antar pemangku kepentingan, dengan cara:
1) Turut aktif berpartisipasi dengan pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat
dalam menumbuhkan netiquette.
2) Pustakawan ikut aktif memberikan pemahaman mengenai netiquette dan
literasi digital dalam kegiatan kemasyarakatan seperti karang taruna, dharma
wanita, PKK, dll.
3) Pustakawan turut aktif dalam menumbuhkan minat baca masyarakat sehingga
masyarakat paham akan pentingnya melek informasi dan teknologi digital,

bagaimana dan untuk apa informasi, komunikasi, dan teknologi digital itu
diaplikasikan di dalam kehidupan.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, pustakawan seyogyanya dapat lebih aktif ikut
berperan dalam menanamkan nilai-nilai netiquette di dalam diri para netizen yang
saat ini sedang marak-maraknya berita hoax, cyber bullying, penipuan, ujaran
kebencian, persekusi, dan lain-lain. Pustakawan memiliki tanggung jawab moral
dalam penanaman 12 etika berinternet. Untuk itu, para pustakawan sebaiknya
menjalin kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat yang melek literasi digital sehingga harapan ke depannya masyarakat
akan lebih produktif menghasilkan hal-hal yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Herlina S, Dyna. 2016. Membangun karakter bangsa melalui literasi digital.
Diakses tanggal 15 Agustus 2017. Dimuat dalam
jurnal.uinsu.ac.id/index.php/jipi/article/download/556/450..
ICT Watch. Diakses tanggal 16 Agustus 2017.
http://www.slideshare.net/internetsehat/internet-sehat indonesia?
utm_source=slideshow02&utm_medium=ssemail&utm_campaign=sha
re_slideshow_loggedout.
Kemkominfo-Wantiknas. 2016. Tahukah kamu perilaku pengguna internet
indonesia?. Diakses pada tanggal 14 Agustus 2017. 12.03 WIB.
http://www.detiknas.go.id/2016/10/28/tahukah-kamu-perilakupengguna-internet-indonesia/
Kuwado, Fabian Januarius . (2017, Februari 3). Mendikbud tegaskan pentingnya
literasi digital. Kompas. Diakses Tanggal 16 Agustus 2017
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/03/10021371/
mendikbud.tegaskan.pentingnya.literasi.digital.
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi penelitian kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Rambe, Patient, & Nel, Liezel. 2015. Technological Utopia, dystopia and
ambivalence: Teaching with social media at a South African
University. British Journal of Educational Technology Vol.46 No.3.
p.633.
Hermawan, & Zen, Zulfikar. 2006. Etika kepustakawanan : suatu pendekatan
terhadap kode etik pustakawan indonesia. Jakarta : Sagung Seto.
Riel, J., Christian, S., & Hinson, B. (2012). Charting digital literacy: A
framework for information technology and digital skills education in
the community college. Diakses tanggal 15 Agustus 2017

https://www.researchgate.net/publication/282861959_Charting_digital
_literacy_A_framework_for_information_technology_and_digital_skil
ls_in_the_community_college .
Riel, Jeremy. 2012. The digitally literate citizen: how digital literacy empowers
mass participation in the united states. Thesis. Washington DC:
Faculty of the Graduate School of Arts and Sciences of Georgetown
University. Diakses tanggal 15 Agustus 2017.
https://www.researchgate.net/publication/282861968_The_digitally_lit
erate_citizen_How_digital_literacy_empowers_mass_participation_in_
the_United_States.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sulianta, Feri. 2007. Cyberworld ethics : yang perlu remaja & orangtua ketahui.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Sutarno NS. 2003. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.