KEMATIAN KEBANGKITAN BADAN DAN KEHIDUPAN
KEMATIAN, KEBANGKITAN BADAN, DAN
KEHIDUPAN KEKAL ORANG JAWA KATOLIK
(dalam Novel Simple Miracles Doa dan Arwah Karya Ayu
Utami)
Teks Final Seminar Teologi Sistematis
Oleh:
Alvarian Utomo, O.Carm
14061
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Widya Sasana Malang
2016
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
1
I.
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Kematian dan kebangkitan badan adalah misteri yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Banyak orang selalu penasaran mengenai kedua hal itu. Ada yang bertanyatanya kapan dirinya mati, apa yang terjadi setelah kematian, apakah saudaranya yang mati itu
sudah masuk ke surga, bagaimanakah kebangkitan itu, dan masih banyak pertanyaan lain lagi.
Semua pertanyaan itu tidak pernah tuntas dijawab sampai sekarang. Bahkan kemajuan dunia
kedokteran pun tidak bisa mengatasinya. Misteri kematian dan kebangkitan itu menjadi
seperti pelajaran filsafat. Ia selalu mengundang pertanyaan dan jawabannya tidak pernah
tuntas.
Orang Jawa mempunyai pandangannya sendiri mengenai kematian dan kebangkita
badan. Dalam upacara memperingati kematian, orang Jawa mempunyai perhitungan seperti
tujuh hari, empatpuluh hari, dan seribu hari. Dibalik itu semua pun ada cerita-cerita, seperti
ketika tujuh hari arwah orang yang meninggal masih ada di kamarnya, maka tidak ada
seorang pun yang boleh tidur di sana, bahkan oleh pasangan hidupnya. Pada saat itu, keluarga
harus berjaga dan berdoa sepanjang satu pekan.
Gereja Katolik tidak mempunyai perhitungan semacam itu, kecuali untuk orang Jawa
yang katolik. Pandangan Gereja terkait dengan kematian sering kali dihubungkan dengan
kematian dan kebangkitan Kristus. Santo Ambrosius, seorang Uskup Milan dan pujangga
Gereja pernah menuliskan bahwa kematian itu adalah obat bagi kita 1. Dengan kematian orang
Kristiani dibebaskan dari dosa dan dipersatukan secara nyata dengan Yesus Kristus. Dengan
kematian ia bangkit dan tinggal di rumah Tuhan seumur hidup.
Ayu Utami mempunyai pengalaman yang menarik terkait dengan kematian. Ia melalui
novel Simple Miracles Doa dan Arwah yang dikarangnya menuliskan pengalaman tersebut.
Kepercayaan Jawa seputar kematian, arwah, dan kebangkitan badan dalam pengalamannya
itu, ia kupas dengan baik. Ia menunjukkan suatu pengalaman iman yang kritis terhadap hal
itu.
Novel ini sangat menarik bagi saya untuk dijadikan sebagai paper teks final seminar.
Dengan demikian, tujuan utama saya adalah memenuhi tugas Seminar Teologi Sistematis.
Selain itu, semoga paper ini berguna bagi orang Jawa Katolik dalam menghayati imannya
akan kematian dan kebangkitan badan.
1 Bdk. PWI Liturgi, Ibadat Harian Bacaan Ofisi Para Kudus 3 (Rumus Khusus) September-Desember,
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982. Hlm. 127-130.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
2
Dalam paper ini saya mencoba mendalami novel karangan Ayu Utami dalam terang
iman Kristiani. Maka dari itu, isi paper ini dibagi dalam tiga bab sesuai dengan pembagian
bab yang ada dalam novel. Terkait dengan hal ini, metode yang saya gunakan adalah
menggunakan perbandingan antar teks. Pada setiap bab itu, pertama saya akan mengutip teks
dari novel, lalu menambahkan pandangan orang Jawa yang ada di dalamnya dan selanjutnya
saya memaparkan pandangan Katolik dan memberikan kesimpulan kecil. Pada bagian akhir
saya akan merefleksikannya secara teologis dan kristologis serta memberikan kesimpulan.
b. Tentang Ayu Utami
Mengikuti catatan akhir dari novel Simple Miracles, Ayu Utami menuliskan novel ini
berdasarkan pengalaman pribadinya. Awalnya ia mau menjadikan buku ini sebagai
manifestasi untuk mengenang 40 hari wafat ibunya. Namun, karena belum selesai ketika hari
pengenangan itu itba maka, buku ini kemudian menjadi kenangan moment lain. Buku ini
menjadi kenangan 100 hari wafat ibunya dan 53 hari wafat bibinya. Selain itu, secara tidak
langsung di sini ia menunjukkan bahwa dirinya seorang Jawa dan Katolik. Ia adalah orang
Jawa karena masih mengenang 40 hari dan 100 hari wafat ibunya. Ini khas budaya Jawa.
Namun, ia juga seorang Katolik. Ia mengerti hari-hari raya bagi Maria dalam Gereja Katolik,
dan mengucapkan terimakasih pada beberapa orang imam (romo) 2. Akan tetapi, siapakah
Ayu
Utami
itu?
Berikut
saya
ini
kutip
biodatanya
menurut
http://www.ayuutami.info/414949018.
Ayu Utami is an award-winning Indonesian writer who was the 2000 Prince
Claus Award Laureate. During Indonesia's military regime, Ayu was a journalist and
press freedom activist. She was one of the founders of The Alliance of Independent
Journalists which was later banned by Suharto’s government. Her works include the
True Stories trilogy (The Single Parasite, Enrico’s Love Story and The Confession)
which deal with sex and gender relations, and the Fu Numeral series, mystery novels
about Indonesian culture and heritage. (Short bio form Sydney Writer's Festival 2015)
Name: Justina Ayu Utami.
Born: Bogor, 1968.
Studied at: University of Indonesia, Faculty of Letter, Depok; Tarakanita
Catholic High School, Jakarta; Regina Pacis Catholic Elementary School, Bogor.
Work: Director of Salihara Literary Biennale. Program Director of
Komunitas Utan Kayu. Past: Literary Committee at the Jakarta Arts Council, editor at
Kalam Journal on Culture; researcher at ISAI (Institute for the Studies of the Free
Flow of Information; Komunitas Utan Kayu; Radio 68H; cofounder of The Alliance
2 Bdk. Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 173-175
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
3
of Independent Journalists; journalist at Demokrasi & Reformasi and Forum Keadilan
news magazine.
Fellowships (among others): Iowa Writers' Workshop, USA, 2004; Asian
Leadership Fellow Program, International House of Japan, 1999.
Awards (among others): The Jakarta Arts Council's Best Novel 1998 for
Saman; Khatulistiwa Literary Award 2008 for Bilangan Fu; Ayu was awarded the
2000 Prince Clause Award and 2008 Mastera (South East Asean Literary Council)
Creative Writer Award.
Books:
Novels (fiction & nonfiction): Saman (1998), Larung (2001), The Number
Fu (2008), Manjali & Cakrabiirawa (2010), Enrico's Love Story (2012), Lalita
(2012), The Confession of A (2013), Maya (2014), Simple Miracles (2014).
Other genres: The Single Parasite, collection of essays (2003, renewed
2013); The Moral Trial, playscript and collection of essays (2008), Soegija 100%
Indonesia, popular biography of first Indonesian bishop (2012).
Co-author: Banal Aesthetics & Critical Spiritualism (with husband &
photographer Erik Prasetya, 2015); The Zodiac Series (with students of Ayu's writing
class, 2014).
How-to: A Critical Spiritualist Handbook for Creative Writing and Thinking
3
(2015) .
Dari kutipan di atas, Simple Miracles masuk dalam buku novel. Sebagai novel, ia
bukan novel fiksi melainkan non fiksi. Dan Ayu Utami memasukkannya dalam buku bertema
spiritual4. Hal ini penting baginya. Ia mengatakan bahwa jika ada tema pokok yang saya ingin
perkenalkan pada pembaca atau saya promosikan dalam program saya, itu adalah
"spiritualisme kritis" yang saya pelajari dari dialektika antara akal dan rasa 5. Spiritualisme
kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis6.
Terkait hal ini, maka kita perlu tahu apa agama Ayu Utami. Ia sendiri tidak
menyebutnya secara langsung. Demikian, ia mengatakan bahwa saya lahir dalam keluarga
dari komunitas etnis yang besar tapi kelompok agama yang kecil (Jawa, Katolik) 7. Mengenai
kekatolikannya, lebih jelas ia mengungkapkannya dalam pernikahannya. Berikut tulisannya
terkait dengan hal itu:
Saya menikah sebagai konsekuensi dari keinginan saya untuk menyatakan
solidaritas terhadap komunitas Katolik yang pada saat itu mengalami diskriminasi. Di
beberapa tempat mereka sudah bertahun-tahun tidak bisa membangun gereja. Gereja
dan sekolah yang sudah berdiri diserang. Rumah sakit tidak bisa membangun fasilitas
3 Http://www.ayuutami.info/414949018 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:01 WIB.
4 Bdk. http://www.ayuutami.info/414902430 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:05 WIB.
5 Bdk. http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
6 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 56.
7 Bdk. http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
4
baru. Saya berasal dari komunitas Katolik, meskipun sudah lama saya meninggalkan
Gereja. Saya meninggalkan Gereja karena saya punya agenda isu jender, yaitu
mengajak perempuan untuk tidak takut hidup tanpa menikah. Saya mau menunjukkan
bahwa perempuan bisa sehat-sehat saja tanpa menikah. Nah, itu artinya hubungan
saya dengan pasangan saya adalah zinah menurut hukum Gereja Katolik. “Hukuman”
bagi orang yang melakukan dosa besar (apalagi dengan terang-terangan dan malah
mempromosikan) dalam Gereja Katolik hanyalah tidak boleh menerima hosti, atau
roti yang dibagikan di puncak perayaan misa ("misa" adalah istilah yang dipakai
Gereja Katolik, yang mungkin sebanding dengan "kebaktian" atau "perjamuan" dalam
Gereja-gereja lain). Gereja Katolik percaya hosti itu kudus. Saya menghormati
peraturan itu.
Persoalannya, kemudian saya mau menyatakan solidaritas kepada umat
Katolik. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah bisa bersama-sama menerima
hosti lagi. Artinya, saya harus menikah secara Katolik. Saya juga tidak keberatan
dengan pernikahan dalam hukum Gereja Katolik, sebab tidak aturan bahwa suami
adalah kepala keluarga.
Itu alasan saya menikah, yang saya sampaikan secara lebih rinci kepada
pastor yang memeriksa saya. (Dalam hukum Katolik, pastor harus melakukan
pemeriksaan verbal terhadap calon pengantin.) Jadi, sebetulnya saya coba konsisten
dengan cara saya. Saya tetap mengkritik hukum perkawinan yang patriarkal. Dan
saya tetap menganggap orang berhak dan baik-baik saja untuk tidak menikah 8.
Tema spiritualitas tidak hanya terkait dengan agama tetapi juga budaya. Di atas sudah
disebutkan bahwa Ayu Utami berasal dari budaya Jawa. Dan ia sendiri mengakuinya
demikian:
Saya seorang pengarang, menulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa yang
bertumbuh dari Bahasa Melayu, dan berkat kebetulan sejarah penjajahan ia menjadi
bahasa mandiri, diperkaya oleh struktur dan kosakata bahasa-bahasa Nusantara,
terutama Jawa dan juga Indonesia Timur. Percampuran ini adalah hal yang
menyenangkan bagi saya9.
Selain itu, spiritualitas adalah kehidupan. Maka dari itu, baik juga kita ketahui
kegiatan dari Ayu Utami. Ia menyatakan bahwa:
Saya suka belajar, tapi tidak secara formal. Karena itu, terutama bersama
Komunitas Salihara dan Utan Kayu, saya mengadakan tempat belajar informal--kelas
menulis, jurnalisme, pengenalan filsafat, dll. Meski belakangan ini banyak kebencian
disiarkan, saya percaya kita bisa belajar banyak hal selain kebencian.
Kelas dan program saya:
Salihara (Komunitas Salihara): kelas menulis, magang, klub buku, wisata
sastra, dll.
8 Http://www.ayuutami.info/414924693 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
9 Http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
5
TUK (Teater Utan Kayu; The Underground
Underground, pameran, dll.
SJW (Sekolah Jurnalisme Warga).
GIMS (Gerakan Indonesia Membaca Sastra)10.
Kelas):
Philosophy
Dalam berbagai kegiatan itu, ruang kerja yang mendukung sangat diperlukan. Ia
mengatakan bahwa saya hanya perlu tempat di mana ada sinar matahari pada siang, atau
melihat langit dan syukur-syukur bulan di kala malam11. Sebuah tempat yang terbuka
membuat kita dapat mengenal alam dan masyarakat dengan lebih baik. Hal ini mendukung
sekali untuk menulis tentang hidup. Ia pun mengatakan bahwa saya perlu ruang yang cukup
privat tetapi tetap dekat dengan alam dan masyarakat; sebab saya banyak menulis tentang
alam dan masyarakat12.
c. Sinopsis Simple Miracles
Ada hal yang tidak dapat dijelaskan di dunia ini, yaitu doa dan arwah. Dua kata itu
membingungkanku pada suatu saat. Pertanyaan pertama muncul atas kebiasaan orang Jawa
untuk nyekar (berdoa di makam) untuk anggota keluarga mereka yang sudah meninggal.
Mengapa mereka melakukan itu? Apa doa yang diucapkan?
Pertanyaan makin menguat ketika ibu sakit. Harapan agar ia segera sembuh adalah hal
utama. Bersama bibiku aku menjenguk ibu di RS St. Carolus. Dan dalam perjalanan pulang
ke Bogor, kereta tiba-tiba berhenti, listrik padam dan terasa mencekam. Aku pulang ke
tempat di mana ibu tidak ada. Cicilia, kakak sulungku, pernah bercerita tentang kamar mayat.
Aku mulai bertanya tentang arwah. Namun, cerita tentang arwah atau hantu tidak bisa
memuaskan. Mereka yang bercerita kepadaku bukan orang yang melihatnya secara langsung.
Walaupun Bibi Gemuk dan Bibi kurus mengaku pernah melihat sendiri hantu itu, aku
membutuhkan bukti. Pertanyaanku itu kembali muncul dua puluh tahun kemudian bersama
dengan bertambahnya anggota keluarga kami. Anggota baru itu adalah Bonifacius, anak dari
kakakku, Cicilia. Tampaknya ia bisa melihat hantu. Ia mengucapkan kata a-um untuk apa
yang ia lihat namun tidak kami lihat. Tetapi, ia tidak menyebut temannya itu sebagai a-um.
Dan sepuluh tahun kemudian, ia dapat menyebutkan dengan lebih berpengalaman apa yang ia
lihat itu. Aku pun melakukan wawancara terhadapnya.
Bertanya tentang hantu dan kematian tidak akan cukup tanpa juga mempertanyakan
Tuhan. Tahun-tahun berlalu dan pertanyaan mengenai Tuhan tetap hangat dibicarakan.
10 Http://www.ayuutami.info/414902071 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:03 WIB.
11 Bdk. http://www.ayuutami.info/414924619 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
12 Bdk. http://www.ayuutami.info/414924619 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
6
Bahkan di antara keponakan-keponakanku ada yang mempunyai pertanyaan kritis tentang
Tuhan. Aku sendiri mengajukan spiritualisme kritis. Aku menghargai yang tak terukur, tak
terlihat, spiritual dan rohani tetapi juga menggunakan nalar kritisku. Dalam hal ini aku perlu
bersikap menguji dan terbuka untuk bersedia menerima ketidaktahuan. Terkait dengan arwah,
ketidaktahuan itu adalah hal yang biasa. Di sana ada dimensi di mana pengetahuan tidak
dirumuskan dengan pernyataan ya ataupun tidak. Ada kepercayaan Jawa yang disebut
sedulur papat lima pancer di sini. Selain itu, ada juga doa-doa dan ritual. Dan aku pun
mendengarkan orang-orang pintar, para normal. Aku meragukan mereka termasuk juga
Bonifasius, sekalipun kakak-kakakku percaya padanya.
Hantu dan Tuhan menjadi dua hal yang penuh teka-teki. Hantu-hantuan maupun
tuhan-tuhanan adalah dua hal yang tidak bisa dibuktikan secara material maupun objektif.
Cerita yang ada menjadi kenangan dan doa yang dipanjatkan. Dan aku tetap percaya pada
doa. Aku heran dan hening atas apa yang terjadi padaku. Doa itu sederhana dan hanya
bermakna bagi diriku sendiri. Hal-hal yang tak terduga terjadi dan itu begitu nyata.
Bonifasius menjadi keponakan yang selalu mengundang pertanyaan bagiku. Ia bahkan
mengungkapkan kapan ibu meninggal. Doa dan arwah dua hal yang aku gali dalam
kebersamaanku dengannya. Dunia dari yang sudah mati itu masih samar. Kematian ibu
maupun bibi-bibiku tidak dapat ditolak. Dan kejadian-kejadian yang mengikutinya sungguh
mengherankan. Akhirnya aku belajar berdoa dan itu menjadi jalanku menerima keherananku
dengan nalarku.
II.
Hantu
a. Pengalaman akan Dunia Kematian dan Arwah
Pengalaman akan kematian dan arwah adalah suatu hal yang tidak dapat dijelaskan
dengan gambling. Orang Jawa dengan orang Katolik sejati tentu tidak mempunyai pandangan
yang sama. Pada bagian ini, baik sekali mengutip bagaimana tokoh aku dalam novel ini
melakukan wawancara terhadap keponakannya, Bonifasius yang bisa melihat arwah.
… “Apa beda penampakan arwah dan manusia?”
“Arwah itu agak tembus pandang. Agak mirip hologram. Arwah yang ada di
jalan-jalan lebih mudah terlihat saat sudah gelap.”
… Tapi, arwah di jalan-jalan?
“Mereka mungkin mengalami kecelakaan lalu-lintas.”
… “Mereka mungkin mengalami kecelakaan lalu-lintas, sebab keadaan
mereka tidak bagus, ada yang luka parah dan berdarah-darah.” …
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
7
“Tapi waktu kecil kamu tidak bias membedakan si Luki dari teman-teman
yang lain?”…
“Waktu kecil aku belum sadar bedanya. Kelihatannya sih seperti anak biasa.”
…
“Biasanya arwah tampak pada umur berapa?”
“Yang aku lihat sih biasanya muda.” Sekalipun orang itu meninggal pada usia
tua, seperti generasi kakek neneknya, arwahnya tampil dalam usia muda dewasa. Dua
puluhan atau tiga puluhan. …
“Apa beda arwah dengan makhluk halus lainnya?”
“Arwah itu orang yang sudah meninggal…”
“Iya. Orang-orang yang tak bias melihat juga bilang begitu. Justru itu.
Kelihatan gak bedanya dengan makhluk halus yang bukan berasal dari manusia?”
Ia bercerita, ada memang makhluk-makhluk yang tidak segera tampak seperti
bekas manusia. Ada yang berbaju putih dengan rambut hitam panjang – ciri-ciri yang
umumnya digambarkan sebagai kuntilanak. Makhluk itu bias hadir dalam
rombongan. Pernah ia melihat tujuh kuntilanak sekaligus di ruang tamunya. Ada pula
yang menyerupai pocong. Yang ia lihat selalu menyerupai kain putih yang
membungkus kekosongan. Aku membayangkan kepompong yang telah ditinggal
kupu-kupu. Pocong yang ia lihat tak pernah berwajah. Ada juga sosok yang gelap dan
bertanduk, seperti yang digambarkan sebagai setan. …
Sedangkan, di antara yang tampak seperti arwah manusia, ada yang memakai
baju masa lampau. Topi dan seragam prajurit zaman perjuangan. Atau lebih silam
lagi. …
“Nah, kalau lagi melihat arwah atau makhluk halus, kamu selalu melirik ke
samping, sampai matamu hampir kelihatan putih saja. Sebetulnya, yang kamu lihat
itu ada di depanmu, atau memang ada di ujung pandangan?”
“Yang aku lihat ada di depanku.”13
Rasa penasaran terhadap kehidupan setelah kematian juga dialami oleh Threes Emir.
Dalam bukunya yang berjudul Mengapa Saya (tetap) Katolik, ia menuliskan pengalamannya
menghadapi kematian anggota keluarganya dan merefleksikannya dengan sangat kristiani. Ia
memulai refleksinya dengan mengutip Kitab Suci (Rm 6:5-9)14. Selain itu, ia juga
mengajukan pertanyaan.
Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah setiap orang dikaruniai
pengetahuan bahwa ia akan dipanggil? Apakah setiap orang menyadari bahwa ada
saat Tuhan memberikan tanda-tanda? Apakah mereka merespons dengan baik?
Bagaimana dengan mereka yang meninggal karena kecelakaan? Bagaimana dengan
mereka yang terkena serangan jantung?
Pertanyaan tersebut mendapat jawab dari cerita alm. rama Ben Tentua OFM.
… Rama Ben menceritakan bahwa setiap kali ia memberikan Sakramen Perminyakan
atau mendampingi seseorang yang akan meninggal, ia selalu melihat si pasien
beberapa detik tersenyum bahagia (memandang sesuatu) sebelum menghembuskan
13 Lih. Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 36-38.
14 Bdk. Threes Emir, Mengapa Saya (tetap) Katolik, Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2016. Hlm. 77.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
8
napas terakhir. Rama Ben yakin bahwa dalam saat yang pendek itu, pasti penderita
melihat Yesus15.
Kemudian Threes menuliskan pengalaman seorang teman yang menderita kanker
payudara.
Di dalam ruang perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta, ia bercerita
bahwa suatu saat ia seperti diajak oleh seseorang yang tidak jelas penampilannya,
digandeng ke tempat yang sangat jauh. Ia mengatakan, “Seolah saya melayang karena
berjalan dengan dia terasa sangat ringan. Saya melewati hamparan rumput yang
sangat luas, juga melihat taman bunga. Pokoknya pemandangannya indah sekali, dan
udaranya sejuk dan bersih. Awan putih tampak berarak-arak di langit biru. Ketika
saya akan diajak untuk pergi ke tempat yang lebih jauh, saya menolak dan ingin
kembali karena saya tiba-tiba ingat anak saya semata wayang yang baru berusia 5
tahun. Sosok itu mengabulkan dan melepaskan pegangannya. Lalu saya terbangun...
saya ragu apakah saya bermimpi atau mengalami halusinasi... 16”
Selain itu, Threes juga sedikit membicarakan tentang Ibu Maria Simma. Dan pada
bagian belakang dari pembahasannya tentang kematian, ia menegaskan pentingnya Misa
Kudus bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian.
b. Konsep Jawa: Jagading Lelembut
Berbicara tentang kematian orang Jawa sering mengenang setiap kejadian sebelum
kematian datang. Mereka mencoba mengingat apakah ada pesan atau kejadian tertentu yang
menjadi petunjuk bahwa yang meninggal itu benar-benar telah siap dan tenang. Mereka juga
bertanya pada paranormal tentang arwah dari yang telah meninggal bila dirasa tidak tenang
ketika meninggal. Sedangkan bagi yang telah meninggal, mereka mengenal jagading
lelembut (dunia arwah). Jagading lelembut ini tidak jauh dari manusia. Mereka hanya berada
pada alam atau dimensi yang berbeda.
Membicarakan jagading lelembut adalah hal yang menarik bagi orang Jawa. Hal ini
secara jelas tertuang dalam majalah Djaka Lodang, majalah mingguan berbahasa Jawa17.
Namun, sangat disayangkan pengetahuan tentang dunia itu bukan hal yang mudah dicerna.
15 Ibid. Hlm. 79.
16 Ibid. Hlm. 80.
17 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 161.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
9
Hanya ada 5,66% orang saja yang dapat mengaku melihat dunia itu secara normal, yaitu:
wong tuwo18, paranormal, serta para dukun19.
Jagading lelembut itu dihuni oleh arwah gentayangan, dhayang, dhemit, dan binatang.
Arwah gentayangan berasal dari roh-roh yang belum siap untuk mati 20. Mereka belum rela
pergi (meninggal). Mereka muncul dengan citra sesuai dengan saat terakhirnya di dunia.
Mereka dapat membuat takut orang-orang yang melihatnya karena citranya yang
menakutkan. Bisakah Anda membayangkan diri Anda bertemu arwah yang meninggal
sebagai korban kecelakaan dan menunjukkan citranya setelah kecelakaan itu sebelum para
dokter merawat jenazahnya? Betapa mengerikan hal itu.
Dhayang adalah arwah dari para leluhur yang menjadi cikal bakal dari suatu tempat.
Ia mungkin adalah orang-orang yang pertama membuka lahan dan mendirikan desa. Mereka
sering membisikkan peringatan melalui warganya apabila desa terancam bahaya atau
malapetaka. Setiap desa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda untuk menghormati mereka 21.
Mereka yang memiliki wilayah yang luas telah dikenal banyak orang. Salah satunya masuk
dalam dunia perfilman Indonesia, yaitu: Nyai Roro Kidul.
Dhemit dikenal juga sebagai jin. Mereka mungkin adalah kelompok terbesar karena
ada di mana-mana. Ada banyak gambaran tentang mereka. Mereka inilah yang sering kali
mengganggu manusia, sebab mereka disebut juga setan. Mereka antara lain adalah gendruwo,
wewe, peri, sundel bolong, kuntilanak, wedon, thethekan, banaspati, buto ijo dan lain
sebagainya22.
Binatang adalah salah satu wujud yang cukup populer dicari oleh mereka yang
melakukan pesugihan, mencari pusaka atau kekuatan. Binatang menjadi penanda bagi mereka
itu. Binatang itu antara lain adalah ular, penyu, bulus, babi dan harimau 23. Binatang itu
disebut juga jelmaan. Binatang jelmaan yang paling terkenal dalam film horor Indonesia
adalah babi. Jelmaan babi itu sering disebut babi ngepet.
18 Secara harafiah kata ini berarti orang tua dalam bahasa Jawa. Namun, apa yang disebut orang tua itu bukan
melulu orang yang sudah berusia tua atau orang yang mempunyai anak-anak. Orang tua juga adalah orang yang
dituakan, dihormati, maupun mereka yang dianggap mempunyai ilmu atau kebijaksanaan lebih. Terkait dengan
ilmu, yang dimaksud ilmu di sini adalah suatu pengertian akan hal-hal yang di luar kemampuan orang biasa.
Dalam pengertian orang tua sebagai orang yang berilmu, mereka yang disebut demikian biasanya juga disebut
dukun, embah, atau simbah.
19 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 171.
20 Bdk. Ibid. Hlm. 162.
21 Bdk. Ibid. Hlm. 163.
22 Bdk. Ibid. Hlm. 164.
23 Bdk. Ibid.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
10
Jagading lelembut itu menjelaskan bahwa kematian yang menimpa manusia tidak
terjadi pada rohnya. Ke mana roh itu berada ditentukan oleh perbuatan mereka selama
hidupnya. Y. Tri Subagya menyatakan bahwa roh yang semasa hidupnya menjadi manusia
yang berlaku baik akan mencurahkan berkah pangestu24 kepada keluarga atau orang-orang
lain yang ditinggalkan sedangkan roh yang semasa hidupnya mengikuti jalan sesat niscaya
mengganggu ingatan bahkan kuburannya pun hilang ditelan waktu25.
c. Konsep Kristiani: Api Penyucian, Surga, dan Neraka
Menyikapi dunia kematian dan arwah, iman Katolik mengenal api penyucian sebagai
tempat bagi jiwa-jiwa sebelum bersatu dengan Tuhan Yesus. Api penyucian adalah tempat
bagi mereka yang telah meninggal dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah,
namun belum disucikan sepenuhnya. Mereka sudah pasti akan memperoleh keselamatan
abadi, namun masih perlu dikuduskan26. Namun, lebih tepatnya api penyucian itu adalah
keadaan mereka yang masih membutuhkan pemurnian27. Selain itu, api penyucian itu juga
bisa dipandang sebagai adanya tahap terakhir dalam proses pemurnian pada perjalanan
kepada Allah28. Ia adalah proses dan pengalaman pemurnian di dalam kematian. Dengan
demikian, api penyucian itu dapat berupa tempat, keadaan, maupun proses pemurnian. Dalam
hal ini persoalan utama dari api penyucian ini adalah pemurnian. Dalam pemurnian itu sudah
ada kepastian akan keselamatan kekal.
Selain api penyucian, ada pula surga dan neraka. Surga adalah tujuan terakhir dan
pemenuhan kerinduan terdalam manusia. Di sanalah kesempurnaan hidup dengan Tritunggal
Mahakudus. Mereka yang telah meninggal akan hidup selama-lamanya bersama Kristus 29. Di
sanalah persekutuan dengan para kudus menjadi nyata30. Ketika mereka yang meninggal
masuk ke surga mereka mengambil bagian dalam kemuliaan kebangkitan Kristus31.
24 Dalam bahasa Indonesia kata ini berarti rahmat.
25 Bdk. Op.Cit. Y. Tri Subagya. Hlm. 146.
26 Bdk. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Cetakan III, Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014.
Hlm. 266. No. 1030.
27 Bdk. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015.
Hlm. 75. No. 210.
28 Bdk. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: Penerbit
Obor, 1996. Hlm. 468.
29 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 264-265. No. 1023-1027.
30 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2015. Hlm. 75. No. 209.
31 Bdk. Op.Cit. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta:
Penerbit Obor, 1996. Hlm. 464.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
11
Neraka adalah kutukan abadi bagi mereka yang telah meninggal dengan dosa berat
namun atas kehendak bebas pribadinya tetap berdosa32. Di neraka mereka tidak dapat
disatukan dengan Allah. Mereka akan tersiksa di sana untuk selama-lamanya 33. Maka, neraka
adalah lawan dari surga. Mereka yang masuk dalam neraka akan terpisah selamanya dari
Allah. Hal ini terjadi atas kehendak bebas mereka sendiri yang menolak Allah secara total34.
Berbicara mengenai api penyucian, surga dan neraka, tentunya tidak lepas dari
pengertian kematian bagi umat Kristiani. Kematian adalah terpisahnya jiwa manusia dari
badannya35. Hal ini adalah hal yang wajar. Setiap manusia pada dasarnya pasti akan mati
suatu ketika nanti. Namun, secara rohani kematian terjadi sebagai konsekuensi atas jatuhnya
manusia ke dalam dosa. Kematian adalah akibat dari dosa 36. Meskipun demikian dalam
kematian, Allah memanggil manusia kepada diri-Nya37.
Menanggapi pengalaman paranormal maupun jagading lelembut, Stefanus Pranjana
dalam bukunya yang berjudul Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru
memberikan refleksi yang menarik. Ia menyatakan bahwa untuk menyikapi berbagai
pengalaman akan jagading lelembut itu parlu mencontoh sikap Yesus. Dalam hal ini Yesus
tidak diam saja, melainkan terlibat dan tidak menolak adanya pengalaman itu. Dengan
demikian, umat dituntut untuk aktif. Maka baik bila umat saling menguatkan iman dalam doa
bersama dan saling berbagi hidup satu sama lain38.
d. Simpul I
Dunia setelah kematian bagi orang Jawa ternyata tidak sama dengan iman Katolik.
Iman Katolik mengenal ada tiga hal setelah kematian, yaitu surga, neraka dan api penyucian.
Orang Jawa hanya mengenal satu, yaitu jagading lelembut. Namun, ada hal yang nampak
sama. Dalam kematian ada pembedaan antara yang baik dan yang jahat, menerima Allah dan
menolak Allah, maupun pantas dan tidak pantas. Dalam iman Katolik, mereka yang baik,
menerima Allah, dan pantas akan masuk surga. Bilamana masih kurang murni, mereka
dimurnikan di api penyucian. Sedangkan yang sebaliknya akan masuk ke neraka. Dalam
pandangan orang Jawa, yang baik, menerima Allah, dan pantas akan menjadi berkat
pangestu. Mereka akan diingat selamanya seperti halnya dhayang, bahkan mungkin mereka
32 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 76. No. 212.
33 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 267. No. 1033-1035.
34 Bdk. Op.Cit. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Hlm. 466-467.
35 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 74. No. 205.
36 Lih. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 260. No 1008.
37 Lih. Ibid. Hlm. 261. No 1011.
38 Bdk. Stefanus Pranjana, Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru, cetakan kelima,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009. Hlm. 209-210.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
12
memang menjadi dhayang. Sedangkan yang melakukan kebalikannya akan dilupakan dan
hilang seiring berjalannya waktu.
III.
Tahun
a. Kepercayaan
Kematian masih tetap merupakan misteri besar. Kita tidak tahu kapan tepatnya hal itu
terjadi. Dalam konsep orang Jawa kita sering mendengar pandangan sedulur papat lima
pancer ketika berbicara mengenai kelahiran dan kematian. Ayu Utami pun memasukkan
pandangan ini. Berikut saya kutip apa yang ia tuliskan.
Orang Jawa mengenal konsep “sedulur papat lima pancer”. Empat saudara
dan si lima di tengahnya. Setiap manusia adalah si pusat itu. Ia memiliki empat
saudara yang senantiasa mengelilingi dia seperti mata angin. Saat manusia lahir,
empat saudara itu menjadi “saudara halus”. Tetapi kala dalam kandungan, empat
saudara itu adalah ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar. Mereka adalah kakak dan
adik kita. Orang Jawa suka menyebut kakang kawah dan adi ari-ari. Kakak ketuban
dan adik plasenta. Sebab ketuban lahir lebih dulu, dan plasenta belakangan. Darah
dan tapi pusar adalah kembaran kita39.
Terkait dengan konsep itu, maka orang Jawa mempunyai cara-cara tertentu untuk
mengingatnya. Salah satunya disebutkan oleh Ayu Utami demikian, aku pernah dengar orang
Jawa juga menaruh lantera minyak yang disebut sentir di makam ari-ari sampai 40 hari40. Hal
ini adalah cara orang Jawa mensyukuri kelahiran. Terkait dengan kematian, ada upacara
nyadran41 dan nyekar. Selain itu, ada peringatan tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus
hari, satu tahun, dua tahun, dan seribu hari. Pada peringatan-peringatan ini, orang Jawa
percaya arwah orang yang meninggal masih ada di dunia manusia42.
Dalam perkembangannya, Ayu Utami kemudian menuliskan perpaduan yang luar
biasa antara konsep Jawa ini dengan tanda salib seorang Katolik.
Ketika agak lebih besar, mudah pula bagiku mentransfer konsep sedulur
papat lima pancer itu ke dalam tanda salib. Empat penjuru itu menjadi empat penjuru
salib. Setiap kali membuat tanda salib, kami menyentuh empat penjuru di tubuh kami,
atas-bawah-kiri-kanan, dan biasanya terakhir kami mengingat hati kami sendiri di
porosnya43.
b. Sedulur Papat Lima Pancer dan doa arwah orang Jawa
39 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 61-62.
40 Lih. Ibid. Hlm. 62.
41 Lih. Ibid. Hlm. 67.
42 Bdk. Ibid. Hlm. 83.
43 Lih. Ibid. Hlm. 65.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
13
Konsep sedulur papat lima pancer terkait erat dengan kehidupan dan kematian.
Konsep ini ada di dalam tradisi perhitungan Jawa akan adanya hari baik untuk lahir, kerja,
menikah, membangun rumah dan meninggal dunia. Konsep ini adalah pandangan kosmologi
orang Jawa. Ia merupakan intisari rasa alam orang Jawa.
Dalam memandang alam dengan konsep ini, ada dua alam, yaitu jagad gedhe dan
jagad cilik. Dalam jagad cilik, pusat dunia adalah diri manusia. Konsep sedulur papat lima
pancer di jagad cilik adalah seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami. Pada jagad gedhe,
sedulur papat mengacu pada empat arah mata angin dan lima pancer adalah titik pusatnya.
Dengan demikian, konsep ini melekat pada hidup orang Jawa. Ia menjadi patokan dalam
berbagai upacara tradisional44.
Dalam perhitungan hari, sedulur papat lima pancer mengacu pada lima hari
pasaran45. Kelima hari itu adalah Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Pon menjadi simbol
dari lor46 dengan angka empat, Wage adalah wetan dan angka lima, Kliwon menunjukkan
posisi tengah dan angka satu, Legi adalah kidul dan angka dua, dan Pahing melambangkan
kulon dan angka tiga47.
Dalam kematian melalui konsep ini, tubuh yang mati dipandang akan kembali
menjadi empat campuran anasir alam yang membentuknya, yaitu: api, tanah, angin, dan air 48.
Hal ini tentu saja mempengaruhi upacara maupun doa-doa dalam tradisi Jawa seputar
kematian orang Jawa. Berikut saya kutip penjabarannya dalam buku Menemui Ajal.
… Pertama, saat meninggal dunia sampai tiga hari disebut saat ngabuhabuhi. Roh si mati dianggap masih berada di dalam rumah. Kedua, pada hari ketujuh
disebut saat pecahing awak amblesing bumi (hancurnya badan dan masuk ke dalam
tanah). Roh dibayangkan masih berada di sekitar pekarangan rumah. Ketiga, tahap
hari keempatpuluh yang disebut wis rampung sing nakoni (segala pertanyaan yang
diajukan kepadanya telah selesai). Roh sudah keluar pekarangan rumah tetapi masih
sering pulang. Keempat, pada hari keseratus saat roh berpamitan yang terakhir pada
keluarganya. Dia masih sering berkunjung menengok keluarga dan anak cucunya.
Kelima, mendhak pisan atau setahun setelah kematian dan mendhak pindho yaitu dua
tahun kemudian yang dianggap roh sekali-kali suka datang melihat anak cucunya.
44 Bdk. Otto Sukatno CR, Nalar serta Rasionalitas Mistik dan Ilmu Gaib Pengantar Memahami dan
Menghayati Keberadaan dan Kompleksitas “Mistisisme, Ilmu, Dunia dan Alam Lain”, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016. Hlm. 72-73. Lebih lanjut, Otto menyebutnya sebagai kiblat papat lima pancer.
45 Hari pasaran adalah hari Jawa. Di sebut hari pasaran karena biasa digunakan sebagai patokan perdagangan di
pasar. Sebagai contoh, Pasar Godean disebut juga pasar Pon karena akan ramai untuk berdagang pada hari Pon,
sedangkan Pasar Gedongan disebut pasar klewonan karena ramai pada hari Kliwon.
46 Lor, wetan, kulon, dan kidul adalah empat arah mata angin dalam bahasa Jawa. Lor adalah utara. Wetan
adalah timur. Kulon adalah barat. Kidul adalah selatan.
47 Lih. Op.Cit. Otto Sukatno CR. Hlm. 77.
48 Lih. Op.Cit. Y. Tri Subagya. Hlm. 77.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
14
Tahap keenam yang disebut entek-entekane pada hari keseribu. Di sini, tubuh telah
kembali ke asalnya dan roh sampai ke tujuannya 49.
Dengan demikian upacara kematian dan doa-doanya dalam tradisi Jawa sangatlah
panjang. Maka dari itu, di sini hanya akan dibahas secara ringkas saja, artinya hanya hal-hal
yang tampak khusus saja akan dibahas. Pertama, dimulai dari upacara pemakaman. Pada saat
ini, tidak ada lagi orang Jawa dengan kepercayaan kejawen yang murni. Oleh sebab itu,
upacara pemakaman jenazah orang Jawa dilakukan menurut agama yang dipeluk pihak
keluarga yang ditinggalkan. Doa-doa yang dipanjatkan pun tidak lagi terikat keharusan
berbahasa Jawa. Namun demikian, bila dalam keluarga atau di desa ada seorang yang
dituakan dan memahami kejawen, terkadang ada doa-doa khusus yang mana hanya mereka
yang dituakan itu yang tahu dan memanjatkannya. Hal yang istimewa dan masih khas Jawa
dari upacara ini adalah tradisi brobosan.
Acara brobosan berlangsung sebelum jenazah diberangkatkan ke makam.
Para pelayat terutama yang masih muda mengangkat peti atau keranda ke luar rumah.
Mereka berhenti sejenak dan memberikan sedikit ruang pada bagian tengah. Para ahli
waris, terutama keluarga almarhum yang lebih muda berjalan memutar dari kiri ke
kanan masuk ke luar di bawah peti sebanyak tiga kali melewati sela-sela di antara
pengusung depan dan belakangnya. Dengan menembus ruang di bawah keranda itu,
orang memposisikan dirinya untuk memperoleh restu dari almarhum. Hal ini
merupakan kejadian transisional bagi keluarga almarhum. Brobosan di satu sisi
mengungkapkan perpisahan dari orang yang ditinggalkan dan sekaligus di sisi lain
menegaskan status kematian seseorang yang berdasar statusnya itu, dia diangkat lebih
tinggi dari yang masih hidup dengan kemampuan mengendalikan restu atau
pangestu50.
Proses pemakaman dalam tradisi Jawa tidak begitu mencolok. Semakin cepat
pemakaman dilakukan semakin baik. Selain itu, proses pemakaman di serahkan sepenuhnya
pada kepercayaan agama masing-masing. Keistimewaan orang Jawa baru tampak setelah
pemakaman. Dalam hal ini, ada peringatan tiga hari sampai seribu harinya almarhum. Bagi
umat Katolik di Keuskupan Semarang, peringatan ini sudah ada rumusan doa-doa
kristianinya yang disebut dengan memule. Namun, bagi umat Muslim, peringatan ini bukan
hal yang wajib. Bagi mereka yang memegang kepercayaan kejawen, ada acara nyadran dan
nyekar.
Nyadran adalah doa arwah memperingati almarhum, namun tidak ditentukan waktuwaktu tertentu seperti peringatan tiga sampai seribu harinya. Meskipun demikian, nyadran
49 Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005.
Hlm. 77-78.
50 Ibid. Hlm. 126-127.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
15
biasanya identik dengan acara tigapuluh lima harinya almarhum. Ini berkaitan dengan acara
selapanan. Selapanan adalah acara peringatan tigapuluh lima hari kelahiran. Nyadran adalah
tigapuluh lima harinya kematian. Acara nyadran juga identik dengan Islam, karena biasa
diadakan menjelang idul fitri. Dalam hal ini, nyadran adalah doa peringatan arwah sebelum
idul fitri. Adapun acara ini dilakukan di rumah dengan doa bersama-sama, lalu ada makan
bersama. Acara ini tidak jauh beda dengan kenduri51. Baru kemudian keesokan harinya
keluarga berziarah ke makam almarhum yang diperingati.
Nyekar adalah doa keluarga di makam. Acara ini disebut juga ziarah kubur, tilik kubur
atau ngirim. Nyekar lebih sederhana dari pada nyadran maupun peringatan-peringatan
jenazah orang Jawa. Dalam acara ini, biasanya keluarga juga membersihkan makam dari
almarhum. Biasanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta acara ini dilakukan pada hari Jumat
Kliwon, sedangkan di Jawa Timur lebih khas Jumat Legi. Meskipun demikian, ada pula yang
mengadakan nyekar pada hari-hari lain sesuai dengan kemampuan mereka.
Tradisi tilik kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan
melainkan bermakna kesuburan. Orang-orang yang menjalankan tilik kubur
menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh
rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan
serta keselamatan dari segalanya. Manakala bakul ingin laris dagangannya, anak
sekolah hendak menghadapi ujian, mendapatkan pekerjaan, memperoleh jodoh yang
tepat, atau salah seorang anggota sakit secara khusus mereka sering mohon berkah
pangestu kepada leluhurnya. Mempelai yang hendak melakukan pernikahan juga
disarankan agar tidak lupa mengunjungi makam leluhurnya terlebih dahulu. Bahkan
kadang-kadang tanda yang berasal dari kuburan entah berupa sedikit bunga, daun
atau tanah mereka bawa serta pulang menjadi sarana keselamatan, penyembuhan atau
mengalirnya rejeki52.
c. Upacara Pemakaman, peringatan arwah dan doa arwah Kristiani
Pemakaman Kristiani di Indonesia mempunyai banyak cara. Banyak hal dalam
upacara kematian orang Katolik di Indonesia nampaknya adalah hasil inkulturasi budaya
dimana doa-doanya tetap khas Katolik namun dalam liturginya ada beberapa nuansa budaya.
Dengan demikian, bukan hal yang salah bila di Keuskupan Agung Semarang upacara
kematian telah dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan budaya Jawa. Berkaitan dengan
51 Kenduri adalah acara doa bersama. Biasanya dilakukan oleh warga satu dusun. Doa bersama ini dilakukan
sesuai dengan ujub dari warga maupun pihak keluarga. Hal ini tergantung dari siapa yang mengadakan acara.
Biasanya selesai acara ada pembagian sedikit rejeki dari pihak yang mengadakan. Selain itu, dalam acara ini ada
pula makan bersama. Dalam makan bersama itu, orang Jawa biasa membuat tumpeng dengan berbagai hiasan.
Ujub menentukan bentuk, warna, hiasan dan jumlah tumpeng. Ujub juga menentukan sebutan dari kenduri itu,
misalnya kenduri untuk bayi yang berumur tigapuluh lima hari disebut selapanan.
52 Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005.
Hlm. 147-148.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
16
hal ini, buku Memule ingkang Sampun Sumare memberikan suatu intisari yang menarik
mengenai pemakaman orang Jawa Katolik.
Pasamuwan Katolik ngurmati sanget dhateng kebudayan lokal umat lan
mrayogekaken supados kabudayan wau kaluluhaken dhateng liturgi lan
pangibadahipun Pasamuwan suci. Ingkang menika ing sawetawis papan ing Indonesia
wonten padatan nyembahyangaken lan mengeti arwah miturut padatan pengetan
dinten lan warsa (dinten kaping 3, 7, 40, 100, 1 taun, 2 taun, 1.000 dinten, lst) 53.
Selain buku Memule ingkang Sampun Sumare, ada pula buku Ngintun Sukma.
Pengantar buku Ngintun Sukma menunjukkan bahwa ada keselarasan nilai iman antara
peringatan-peringatan arwah orang Jawa dengan Kitab Suci. Berikut saya kutip sebagian dari
pengantar tersebut.
Dene makna angka-angka (3, 7, 40, 100, lsp.) ing dinten pengetan punika kita
salarasaken kaliyan piwulang iman ingkang kapethik saking ayat-ayat Kitab Suci,
amrih boten namung ela-elu, tanpa mangertos tujuwanipun. Upaminipun pengetan 40
dintenipun, saged kasalarasaken kaliyan siyam Dalem Gusti Yesus selami 40 dinten
wonten ing ara-ara samun54.
Selain menyusun upacara itu dengan renungan Kitab Suci, Komisi Liturgi KAS juga
memberikan tema-tema yang khas sesuai hari-hari peringatan itu, sehingga dapat
memperoleh makna Kristiani dari kematian sesuai nilai kebudayaan Jawa. Tema-tema itu
dapat dilihat dalam buku
Memule ingkang Sampun Sumare. Dengan demikian upacara
peringatan arwah orang Jawa Katolik telah dirumuskan dengan rapi oleh Keuskupan Agung
Semarang.
Dalam hal umum (terlepas dari budaya Jawa), upacara pemakaman dan penguburan
jenazah telah dirumuskan dengan baik dalam buku Kumpulan Upacara Ibadat. Dalam buku
ini, upacara tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu bagi anak-anak dan bagi orang
dewasa. Buku ini juga menunjukkan satu upacara yang khas Katolik, yaitu upacara
penanaman salib di atas kuburan.
53 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Persekutuan umat Katolik sangat menghormati
kebudayaan lokal umat dan mendalaminya supaya kebudayaan itu dapat diterima dalam liturgi dan peribadatan
suci. Dalam hal ini di beberapa tempat di Indonesia ada kebiasaan mendoakan dan memperingati arwah menurut
perhitungan hari dan tahun (hari ke 3, 7, 40, 100, 1 tahun, 2 tahun, 1.000 hari, dst).
Komisi Liturgi KAS, Memule ingkang Sampun Sumare, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.
Hlm. 19.
54 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Sedangkan makna dari angka-angka (3, 7, 40, 100,
dst.) dalam hari peringatan itu kita sesuaikan dengan ajaran iman yang diambil dari ayat-ayat Kitab Suci, supaya
jangan hanya memanjatkan doa, tanpa mengerti tujuannya. Sebagai contoh peringatan empatpuluh hari, dapat
disesuaikan dengan peristiwa Tuhan Yesus berpuasa selama empatpuluh hari di padang gurun.
M. Martono, Ngintun Sukma, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012. Hlm. 5.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
17
Upacara penanaman salib sungguh khas Katolik. Melalui upacara ini umat diingatkan
kembali akan kemenangan salib Kristus. Berkaitan dengan hal ini, pengatar upacara tersebut
sangat menarik bagi saya. Pengantar itu berbunyi demikian,
Saudara sekalian yang terkasih dalam Kristus. Salib itu adalah sebuah
lambang, yaitu lambang kemenangan Kristus atas dosa dan kematian. Sambil
menanamkan salib di atas kubur saudara kita yang telah dipanggil Tuhan, kita
menyatakan kepercayaan kita akan kebangkitan orang mati.
Kebangkitan dan hidup kekal itu diperoleh Kristus bagi kita dengan wafat di
kayu salib. Maka patutlah kita bangga akan salib Tuhan kita Yesus Kristus; sebab
berkat salid itu seluruh bumi dipenuhi sukacita55.
d. Simpul II
Kebudayaan Jawa mengenai kehidupan dan kematian sangatlah kompleks. Dalam hal
kematian ada berbagai peringatan bagi mereka yang telah meninggal. Hal ini oleh Keuskupan
Agung Semarang telah dirumuskan dengan baik dalam nilai iman Kristiani. Dengan rumusan
liturgi dan ibadat Katolik yang sesuai dengan kebudayaan lokal itu, umat Jawa Katolik tidak
lagi jatuh pada pemahaman akan dunia roh di mana dia yang meninggal masih sering datang
sampai peringatan seribu harinya. Rumusan itu menjadikan peringatan-peringatan itu sebagai
pengajaran akan misteri iman Kristiani akan kebangkitan badan bersama Kristus.
IV.
Tuhan
a. Pengalaman Berjumpa dengan Arwah
Berbicara mengenai kematian tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan adanya
kebangkitan badan. Dalam hal ini, muncul berbagai kisah mengenai perjumpaan dengan
mereka yang telah meninggal. Berikut saya kutip apa yang Ayu Utami tuliskan mengenai
perjumpaan dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Suatu hari ia berkata, “Semalam aku merasa Bapak ada di sini.” Ia diam
sebentar. “Apa hari ini Selasa Kliwon?”
Sejak Ayah wafat, tak pernah Ibu merasa suaminya menengok dia. Kadang ia
berharap melihat penampakan, sayang tak sekalipun, Ibu telah tak tahu tanggal dan
hari sejak ia masuk rumah sakit. Aku mengecek pada situs internet kalender Jawa,
dan memang – cukup mengherankan – hari itu Selasa Kliwon.
...
Aku menginap dan esoknya bekerja dengan komputerku di ruang duduk
seperti biasa. Suamiku Rik datang. Lalu kami sama-sama sibuk dengan dokumen
55 Lih. Mgr. Dr. M. Coomans MSF, Kumpulan Upacara Ibadat, Cetakan ke 22, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit
Obor, 2016. Hlm. 343-344.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
18
masing-masing. Tiba-tiba aku melihat ada yang berkelap-kelip. Layar monitor pada
sofa pijat di tengah ruangan. Sofa itu hadiah dari suami Marietta untuk Ayah, dulu.
Hitam kecoklatan warnanya, sehingga sesuatu yang menyala kecil pun jadi kelihatan.
Tapi, aku dan Rik tak tahu apakah monitor penyetelnya tadi mati atau hidup. Rasanya,
dari kemarin tidak ada yang memakainya. Aku dan Rik berpandang-pandangan.
Adakah benda itu tiba-tiba menyala, seolah ada yang mau memakainya? Atau tadi
kami tidak mengamatinya?
“Ya sudah! Bapak pijat bareng aku ya!” kata Rik. Lalu ia duduk di sofa pijat
dan menyetel ukuran yang ia mau. Ia menikmati tekanan dan pukulan mesin sambil
tertawa-tawa56.
...
Hari itu asisten Marietta melapor padaku, suatu peristiwa aneh.
“Kemarin saya telepon lagi ke Telkom, sambil marah-marah,” katanya.
“Terus?”
“Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah.”
“rasanya sih belum pernah ada petugas Telkom yang datang.”
“Itulah! Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah dan ditemui oleh
pemilik rumah yang bilang bahwa teleponnya tidak ada masalah. Jadi mereka pulang
lagi. Masa dibilang, yang menemui mereka adalah Pak Sutaryo.”
“Masa?”
Pak Sutaryo adalah ayahku.
...
Yang lucu adalah itu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa lain. Ibu
merasa Ayah datang. Aku merasa melihat monitor sofa pijat menyala tiba-tiba.
Beberapa hal jika terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru 57.
b. Kebangkitan badan orang Jawa
Dalam kepercayaan Jawa ada banyak kisah mengenai kedatangan orang-orang yang
telah meninggal seperti yang dituliskan Ayu Utami di atas. Bahkan pada bagian yang
membahas mengenai doa arwah orang Jawa di atas pun telah disebutkan bahwa selama masa
peringatan peringatan arwah, mulai dari tiga hari sampai dengan seribu harinya almarhum,
roh masih ada dan kadang-kadang mengunjungi keluarga yang ditinggalkan. Dengan
demikian, tampak ada hubungan antara dunia manusia dengan dunia orang yang telah
meninggal dalam budaya Jawa.
Terkait dengan hal ini, orang Jawa percaya bahwa ada dua dunia atau alam kehidupan.
Kedua alam itu adalah alam wadag dan alam kelanggengan58. Alam wadag adalah dunia
manusia saat ini. Dalam dunia ini, manusia dilahirkan, hidup, bekerja, menikah, dan
meninggal secara fisik. Dunia ini adalah dunia nyata manusia.
56 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 141-143.
57 Ibid. Hlm. 144-145.
58 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 87.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
19
Alam kelanggengan adalah dunia setelah kematian manusia. Dalam dunia ini, roh dari
mereka yang telah meninggal akan tinggal selama-lamanya. Berdasarkan bagian yang
membahas mengenai jagading lelembut di atas, nampaknya alam ini adalah jagading
lelembut itu juga. Dengan demikian, sangat dimungkinkan pengalaman seperti yang Ayu
Utami tuliskan itu terjadi.
Baik alam wadag maupun kelanggengan tampaknya tidak ada sekat, bila benar bahwa
alam kelanggengan itu juga jagadin
KEHIDUPAN KEKAL ORANG JAWA KATOLIK
(dalam Novel Simple Miracles Doa dan Arwah Karya Ayu
Utami)
Teks Final Seminar Teologi Sistematis
Oleh:
Alvarian Utomo, O.Carm
14061
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Widya Sasana Malang
2016
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
1
I.
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Kematian dan kebangkitan badan adalah misteri yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Banyak orang selalu penasaran mengenai kedua hal itu. Ada yang bertanyatanya kapan dirinya mati, apa yang terjadi setelah kematian, apakah saudaranya yang mati itu
sudah masuk ke surga, bagaimanakah kebangkitan itu, dan masih banyak pertanyaan lain lagi.
Semua pertanyaan itu tidak pernah tuntas dijawab sampai sekarang. Bahkan kemajuan dunia
kedokteran pun tidak bisa mengatasinya. Misteri kematian dan kebangkitan itu menjadi
seperti pelajaran filsafat. Ia selalu mengundang pertanyaan dan jawabannya tidak pernah
tuntas.
Orang Jawa mempunyai pandangannya sendiri mengenai kematian dan kebangkita
badan. Dalam upacara memperingati kematian, orang Jawa mempunyai perhitungan seperti
tujuh hari, empatpuluh hari, dan seribu hari. Dibalik itu semua pun ada cerita-cerita, seperti
ketika tujuh hari arwah orang yang meninggal masih ada di kamarnya, maka tidak ada
seorang pun yang boleh tidur di sana, bahkan oleh pasangan hidupnya. Pada saat itu, keluarga
harus berjaga dan berdoa sepanjang satu pekan.
Gereja Katolik tidak mempunyai perhitungan semacam itu, kecuali untuk orang Jawa
yang katolik. Pandangan Gereja terkait dengan kematian sering kali dihubungkan dengan
kematian dan kebangkitan Kristus. Santo Ambrosius, seorang Uskup Milan dan pujangga
Gereja pernah menuliskan bahwa kematian itu adalah obat bagi kita 1. Dengan kematian orang
Kristiani dibebaskan dari dosa dan dipersatukan secara nyata dengan Yesus Kristus. Dengan
kematian ia bangkit dan tinggal di rumah Tuhan seumur hidup.
Ayu Utami mempunyai pengalaman yang menarik terkait dengan kematian. Ia melalui
novel Simple Miracles Doa dan Arwah yang dikarangnya menuliskan pengalaman tersebut.
Kepercayaan Jawa seputar kematian, arwah, dan kebangkitan badan dalam pengalamannya
itu, ia kupas dengan baik. Ia menunjukkan suatu pengalaman iman yang kritis terhadap hal
itu.
Novel ini sangat menarik bagi saya untuk dijadikan sebagai paper teks final seminar.
Dengan demikian, tujuan utama saya adalah memenuhi tugas Seminar Teologi Sistematis.
Selain itu, semoga paper ini berguna bagi orang Jawa Katolik dalam menghayati imannya
akan kematian dan kebangkitan badan.
1 Bdk. PWI Liturgi, Ibadat Harian Bacaan Ofisi Para Kudus 3 (Rumus Khusus) September-Desember,
Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982. Hlm. 127-130.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
2
Dalam paper ini saya mencoba mendalami novel karangan Ayu Utami dalam terang
iman Kristiani. Maka dari itu, isi paper ini dibagi dalam tiga bab sesuai dengan pembagian
bab yang ada dalam novel. Terkait dengan hal ini, metode yang saya gunakan adalah
menggunakan perbandingan antar teks. Pada setiap bab itu, pertama saya akan mengutip teks
dari novel, lalu menambahkan pandangan orang Jawa yang ada di dalamnya dan selanjutnya
saya memaparkan pandangan Katolik dan memberikan kesimpulan kecil. Pada bagian akhir
saya akan merefleksikannya secara teologis dan kristologis serta memberikan kesimpulan.
b. Tentang Ayu Utami
Mengikuti catatan akhir dari novel Simple Miracles, Ayu Utami menuliskan novel ini
berdasarkan pengalaman pribadinya. Awalnya ia mau menjadikan buku ini sebagai
manifestasi untuk mengenang 40 hari wafat ibunya. Namun, karena belum selesai ketika hari
pengenangan itu itba maka, buku ini kemudian menjadi kenangan moment lain. Buku ini
menjadi kenangan 100 hari wafat ibunya dan 53 hari wafat bibinya. Selain itu, secara tidak
langsung di sini ia menunjukkan bahwa dirinya seorang Jawa dan Katolik. Ia adalah orang
Jawa karena masih mengenang 40 hari dan 100 hari wafat ibunya. Ini khas budaya Jawa.
Namun, ia juga seorang Katolik. Ia mengerti hari-hari raya bagi Maria dalam Gereja Katolik,
dan mengucapkan terimakasih pada beberapa orang imam (romo) 2. Akan tetapi, siapakah
Ayu
Utami
itu?
Berikut
saya
ini
kutip
biodatanya
menurut
http://www.ayuutami.info/414949018.
Ayu Utami is an award-winning Indonesian writer who was the 2000 Prince
Claus Award Laureate. During Indonesia's military regime, Ayu was a journalist and
press freedom activist. She was one of the founders of The Alliance of Independent
Journalists which was later banned by Suharto’s government. Her works include the
True Stories trilogy (The Single Parasite, Enrico’s Love Story and The Confession)
which deal with sex and gender relations, and the Fu Numeral series, mystery novels
about Indonesian culture and heritage. (Short bio form Sydney Writer's Festival 2015)
Name: Justina Ayu Utami.
Born: Bogor, 1968.
Studied at: University of Indonesia, Faculty of Letter, Depok; Tarakanita
Catholic High School, Jakarta; Regina Pacis Catholic Elementary School, Bogor.
Work: Director of Salihara Literary Biennale. Program Director of
Komunitas Utan Kayu. Past: Literary Committee at the Jakarta Arts Council, editor at
Kalam Journal on Culture; researcher at ISAI (Institute for the Studies of the Free
Flow of Information; Komunitas Utan Kayu; Radio 68H; cofounder of The Alliance
2 Bdk. Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 173-175
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
3
of Independent Journalists; journalist at Demokrasi & Reformasi and Forum Keadilan
news magazine.
Fellowships (among others): Iowa Writers' Workshop, USA, 2004; Asian
Leadership Fellow Program, International House of Japan, 1999.
Awards (among others): The Jakarta Arts Council's Best Novel 1998 for
Saman; Khatulistiwa Literary Award 2008 for Bilangan Fu; Ayu was awarded the
2000 Prince Clause Award and 2008 Mastera (South East Asean Literary Council)
Creative Writer Award.
Books:
Novels (fiction & nonfiction): Saman (1998), Larung (2001), The Number
Fu (2008), Manjali & Cakrabiirawa (2010), Enrico's Love Story (2012), Lalita
(2012), The Confession of A (2013), Maya (2014), Simple Miracles (2014).
Other genres: The Single Parasite, collection of essays (2003, renewed
2013); The Moral Trial, playscript and collection of essays (2008), Soegija 100%
Indonesia, popular biography of first Indonesian bishop (2012).
Co-author: Banal Aesthetics & Critical Spiritualism (with husband &
photographer Erik Prasetya, 2015); The Zodiac Series (with students of Ayu's writing
class, 2014).
How-to: A Critical Spiritualist Handbook for Creative Writing and Thinking
3
(2015) .
Dari kutipan di atas, Simple Miracles masuk dalam buku novel. Sebagai novel, ia
bukan novel fiksi melainkan non fiksi. Dan Ayu Utami memasukkannya dalam buku bertema
spiritual4. Hal ini penting baginya. Ia mengatakan bahwa jika ada tema pokok yang saya ingin
perkenalkan pada pembaca atau saya promosikan dalam program saya, itu adalah
"spiritualisme kritis" yang saya pelajari dari dialektika antara akal dan rasa 5. Spiritualisme
kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis6.
Terkait hal ini, maka kita perlu tahu apa agama Ayu Utami. Ia sendiri tidak
menyebutnya secara langsung. Demikian, ia mengatakan bahwa saya lahir dalam keluarga
dari komunitas etnis yang besar tapi kelompok agama yang kecil (Jawa, Katolik) 7. Mengenai
kekatolikannya, lebih jelas ia mengungkapkannya dalam pernikahannya. Berikut tulisannya
terkait dengan hal itu:
Saya menikah sebagai konsekuensi dari keinginan saya untuk menyatakan
solidaritas terhadap komunitas Katolik yang pada saat itu mengalami diskriminasi. Di
beberapa tempat mereka sudah bertahun-tahun tidak bisa membangun gereja. Gereja
dan sekolah yang sudah berdiri diserang. Rumah sakit tidak bisa membangun fasilitas
3 Http://www.ayuutami.info/414949018 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:01 WIB.
4 Bdk. http://www.ayuutami.info/414902430 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:05 WIB.
5 Bdk. http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
6 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 56.
7 Bdk. http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
4
baru. Saya berasal dari komunitas Katolik, meskipun sudah lama saya meninggalkan
Gereja. Saya meninggalkan Gereja karena saya punya agenda isu jender, yaitu
mengajak perempuan untuk tidak takut hidup tanpa menikah. Saya mau menunjukkan
bahwa perempuan bisa sehat-sehat saja tanpa menikah. Nah, itu artinya hubungan
saya dengan pasangan saya adalah zinah menurut hukum Gereja Katolik. “Hukuman”
bagi orang yang melakukan dosa besar (apalagi dengan terang-terangan dan malah
mempromosikan) dalam Gereja Katolik hanyalah tidak boleh menerima hosti, atau
roti yang dibagikan di puncak perayaan misa ("misa" adalah istilah yang dipakai
Gereja Katolik, yang mungkin sebanding dengan "kebaktian" atau "perjamuan" dalam
Gereja-gereja lain). Gereja Katolik percaya hosti itu kudus. Saya menghormati
peraturan itu.
Persoalannya, kemudian saya mau menyatakan solidaritas kepada umat
Katolik. Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah bisa bersama-sama menerima
hosti lagi. Artinya, saya harus menikah secara Katolik. Saya juga tidak keberatan
dengan pernikahan dalam hukum Gereja Katolik, sebab tidak aturan bahwa suami
adalah kepala keluarga.
Itu alasan saya menikah, yang saya sampaikan secara lebih rinci kepada
pastor yang memeriksa saya. (Dalam hukum Katolik, pastor harus melakukan
pemeriksaan verbal terhadap calon pengantin.) Jadi, sebetulnya saya coba konsisten
dengan cara saya. Saya tetap mengkritik hukum perkawinan yang patriarkal. Dan
saya tetap menganggap orang berhak dan baik-baik saja untuk tidak menikah 8.
Tema spiritualitas tidak hanya terkait dengan agama tetapi juga budaya. Di atas sudah
disebutkan bahwa Ayu Utami berasal dari budaya Jawa. Dan ia sendiri mengakuinya
demikian:
Saya seorang pengarang, menulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa yang
bertumbuh dari Bahasa Melayu, dan berkat kebetulan sejarah penjajahan ia menjadi
bahasa mandiri, diperkaya oleh struktur dan kosakata bahasa-bahasa Nusantara,
terutama Jawa dan juga Indonesia Timur. Percampuran ini adalah hal yang
menyenangkan bagi saya9.
Selain itu, spiritualitas adalah kehidupan. Maka dari itu, baik juga kita ketahui
kegiatan dari Ayu Utami. Ia menyatakan bahwa:
Saya suka belajar, tapi tidak secara formal. Karena itu, terutama bersama
Komunitas Salihara dan Utan Kayu, saya mengadakan tempat belajar informal--kelas
menulis, jurnalisme, pengenalan filsafat, dll. Meski belakangan ini banyak kebencian
disiarkan, saya percaya kita bisa belajar banyak hal selain kebencian.
Kelas dan program saya:
Salihara (Komunitas Salihara): kelas menulis, magang, klub buku, wisata
sastra, dll.
8 Http://www.ayuutami.info/414924693 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
9 Http://www.ayuutami.info/414897356 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:09 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
5
TUK (Teater Utan Kayu; The Underground
Underground, pameran, dll.
SJW (Sekolah Jurnalisme Warga).
GIMS (Gerakan Indonesia Membaca Sastra)10.
Kelas):
Philosophy
Dalam berbagai kegiatan itu, ruang kerja yang mendukung sangat diperlukan. Ia
mengatakan bahwa saya hanya perlu tempat di mana ada sinar matahari pada siang, atau
melihat langit dan syukur-syukur bulan di kala malam11. Sebuah tempat yang terbuka
membuat kita dapat mengenal alam dan masyarakat dengan lebih baik. Hal ini mendukung
sekali untuk menulis tentang hidup. Ia pun mengatakan bahwa saya perlu ruang yang cukup
privat tetapi tetap dekat dengan alam dan masyarakat; sebab saya banyak menulis tentang
alam dan masyarakat12.
c. Sinopsis Simple Miracles
Ada hal yang tidak dapat dijelaskan di dunia ini, yaitu doa dan arwah. Dua kata itu
membingungkanku pada suatu saat. Pertanyaan pertama muncul atas kebiasaan orang Jawa
untuk nyekar (berdoa di makam) untuk anggota keluarga mereka yang sudah meninggal.
Mengapa mereka melakukan itu? Apa doa yang diucapkan?
Pertanyaan makin menguat ketika ibu sakit. Harapan agar ia segera sembuh adalah hal
utama. Bersama bibiku aku menjenguk ibu di RS St. Carolus. Dan dalam perjalanan pulang
ke Bogor, kereta tiba-tiba berhenti, listrik padam dan terasa mencekam. Aku pulang ke
tempat di mana ibu tidak ada. Cicilia, kakak sulungku, pernah bercerita tentang kamar mayat.
Aku mulai bertanya tentang arwah. Namun, cerita tentang arwah atau hantu tidak bisa
memuaskan. Mereka yang bercerita kepadaku bukan orang yang melihatnya secara langsung.
Walaupun Bibi Gemuk dan Bibi kurus mengaku pernah melihat sendiri hantu itu, aku
membutuhkan bukti. Pertanyaanku itu kembali muncul dua puluh tahun kemudian bersama
dengan bertambahnya anggota keluarga kami. Anggota baru itu adalah Bonifacius, anak dari
kakakku, Cicilia. Tampaknya ia bisa melihat hantu. Ia mengucapkan kata a-um untuk apa
yang ia lihat namun tidak kami lihat. Tetapi, ia tidak menyebut temannya itu sebagai a-um.
Dan sepuluh tahun kemudian, ia dapat menyebutkan dengan lebih berpengalaman apa yang ia
lihat itu. Aku pun melakukan wawancara terhadapnya.
Bertanya tentang hantu dan kematian tidak akan cukup tanpa juga mempertanyakan
Tuhan. Tahun-tahun berlalu dan pertanyaan mengenai Tuhan tetap hangat dibicarakan.
10 Http://www.ayuutami.info/414902071 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:03 WIB.
11 Bdk. http://www.ayuutami.info/414924619 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
12 Bdk. http://www.ayuutami.info/414924619 diunduh tanggal 7 Desember 2016 pukul 23:02 WIB.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
6
Bahkan di antara keponakan-keponakanku ada yang mempunyai pertanyaan kritis tentang
Tuhan. Aku sendiri mengajukan spiritualisme kritis. Aku menghargai yang tak terukur, tak
terlihat, spiritual dan rohani tetapi juga menggunakan nalar kritisku. Dalam hal ini aku perlu
bersikap menguji dan terbuka untuk bersedia menerima ketidaktahuan. Terkait dengan arwah,
ketidaktahuan itu adalah hal yang biasa. Di sana ada dimensi di mana pengetahuan tidak
dirumuskan dengan pernyataan ya ataupun tidak. Ada kepercayaan Jawa yang disebut
sedulur papat lima pancer di sini. Selain itu, ada juga doa-doa dan ritual. Dan aku pun
mendengarkan orang-orang pintar, para normal. Aku meragukan mereka termasuk juga
Bonifasius, sekalipun kakak-kakakku percaya padanya.
Hantu dan Tuhan menjadi dua hal yang penuh teka-teki. Hantu-hantuan maupun
tuhan-tuhanan adalah dua hal yang tidak bisa dibuktikan secara material maupun objektif.
Cerita yang ada menjadi kenangan dan doa yang dipanjatkan. Dan aku tetap percaya pada
doa. Aku heran dan hening atas apa yang terjadi padaku. Doa itu sederhana dan hanya
bermakna bagi diriku sendiri. Hal-hal yang tak terduga terjadi dan itu begitu nyata.
Bonifasius menjadi keponakan yang selalu mengundang pertanyaan bagiku. Ia bahkan
mengungkapkan kapan ibu meninggal. Doa dan arwah dua hal yang aku gali dalam
kebersamaanku dengannya. Dunia dari yang sudah mati itu masih samar. Kematian ibu
maupun bibi-bibiku tidak dapat ditolak. Dan kejadian-kejadian yang mengikutinya sungguh
mengherankan. Akhirnya aku belajar berdoa dan itu menjadi jalanku menerima keherananku
dengan nalarku.
II.
Hantu
a. Pengalaman akan Dunia Kematian dan Arwah
Pengalaman akan kematian dan arwah adalah suatu hal yang tidak dapat dijelaskan
dengan gambling. Orang Jawa dengan orang Katolik sejati tentu tidak mempunyai pandangan
yang sama. Pada bagian ini, baik sekali mengutip bagaimana tokoh aku dalam novel ini
melakukan wawancara terhadap keponakannya, Bonifasius yang bisa melihat arwah.
… “Apa beda penampakan arwah dan manusia?”
“Arwah itu agak tembus pandang. Agak mirip hologram. Arwah yang ada di
jalan-jalan lebih mudah terlihat saat sudah gelap.”
… Tapi, arwah di jalan-jalan?
“Mereka mungkin mengalami kecelakaan lalu-lintas.”
… “Mereka mungkin mengalami kecelakaan lalu-lintas, sebab keadaan
mereka tidak bagus, ada yang luka parah dan berdarah-darah.” …
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
7
“Tapi waktu kecil kamu tidak bias membedakan si Luki dari teman-teman
yang lain?”…
“Waktu kecil aku belum sadar bedanya. Kelihatannya sih seperti anak biasa.”
…
“Biasanya arwah tampak pada umur berapa?”
“Yang aku lihat sih biasanya muda.” Sekalipun orang itu meninggal pada usia
tua, seperti generasi kakek neneknya, arwahnya tampil dalam usia muda dewasa. Dua
puluhan atau tiga puluhan. …
“Apa beda arwah dengan makhluk halus lainnya?”
“Arwah itu orang yang sudah meninggal…”
“Iya. Orang-orang yang tak bias melihat juga bilang begitu. Justru itu.
Kelihatan gak bedanya dengan makhluk halus yang bukan berasal dari manusia?”
Ia bercerita, ada memang makhluk-makhluk yang tidak segera tampak seperti
bekas manusia. Ada yang berbaju putih dengan rambut hitam panjang – ciri-ciri yang
umumnya digambarkan sebagai kuntilanak. Makhluk itu bias hadir dalam
rombongan. Pernah ia melihat tujuh kuntilanak sekaligus di ruang tamunya. Ada pula
yang menyerupai pocong. Yang ia lihat selalu menyerupai kain putih yang
membungkus kekosongan. Aku membayangkan kepompong yang telah ditinggal
kupu-kupu. Pocong yang ia lihat tak pernah berwajah. Ada juga sosok yang gelap dan
bertanduk, seperti yang digambarkan sebagai setan. …
Sedangkan, di antara yang tampak seperti arwah manusia, ada yang memakai
baju masa lampau. Topi dan seragam prajurit zaman perjuangan. Atau lebih silam
lagi. …
“Nah, kalau lagi melihat arwah atau makhluk halus, kamu selalu melirik ke
samping, sampai matamu hampir kelihatan putih saja. Sebetulnya, yang kamu lihat
itu ada di depanmu, atau memang ada di ujung pandangan?”
“Yang aku lihat ada di depanku.”13
Rasa penasaran terhadap kehidupan setelah kematian juga dialami oleh Threes Emir.
Dalam bukunya yang berjudul Mengapa Saya (tetap) Katolik, ia menuliskan pengalamannya
menghadapi kematian anggota keluarganya dan merefleksikannya dengan sangat kristiani. Ia
memulai refleksinya dengan mengutip Kitab Suci (Rm 6:5-9)14. Selain itu, ia juga
mengajukan pertanyaan.
Lalu timbul pertanyaan dalam pikiran saya, apakah setiap orang dikaruniai
pengetahuan bahwa ia akan dipanggil? Apakah setiap orang menyadari bahwa ada
saat Tuhan memberikan tanda-tanda? Apakah mereka merespons dengan baik?
Bagaimana dengan mereka yang meninggal karena kecelakaan? Bagaimana dengan
mereka yang terkena serangan jantung?
Pertanyaan tersebut mendapat jawab dari cerita alm. rama Ben Tentua OFM.
… Rama Ben menceritakan bahwa setiap kali ia memberikan Sakramen Perminyakan
atau mendampingi seseorang yang akan meninggal, ia selalu melihat si pasien
beberapa detik tersenyum bahagia (memandang sesuatu) sebelum menghembuskan
13 Lih. Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 36-38.
14 Bdk. Threes Emir, Mengapa Saya (tetap) Katolik, Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2016. Hlm. 77.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
8
napas terakhir. Rama Ben yakin bahwa dalam saat yang pendek itu, pasti penderita
melihat Yesus15.
Kemudian Threes menuliskan pengalaman seorang teman yang menderita kanker
payudara.
Di dalam ruang perawatan di sebuah rumah sakit di Jakarta, ia bercerita
bahwa suatu saat ia seperti diajak oleh seseorang yang tidak jelas penampilannya,
digandeng ke tempat yang sangat jauh. Ia mengatakan, “Seolah saya melayang karena
berjalan dengan dia terasa sangat ringan. Saya melewati hamparan rumput yang
sangat luas, juga melihat taman bunga. Pokoknya pemandangannya indah sekali, dan
udaranya sejuk dan bersih. Awan putih tampak berarak-arak di langit biru. Ketika
saya akan diajak untuk pergi ke tempat yang lebih jauh, saya menolak dan ingin
kembali karena saya tiba-tiba ingat anak saya semata wayang yang baru berusia 5
tahun. Sosok itu mengabulkan dan melepaskan pegangannya. Lalu saya terbangun...
saya ragu apakah saya bermimpi atau mengalami halusinasi... 16”
Selain itu, Threes juga sedikit membicarakan tentang Ibu Maria Simma. Dan pada
bagian belakang dari pembahasannya tentang kematian, ia menegaskan pentingnya Misa
Kudus bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian.
b. Konsep Jawa: Jagading Lelembut
Berbicara tentang kematian orang Jawa sering mengenang setiap kejadian sebelum
kematian datang. Mereka mencoba mengingat apakah ada pesan atau kejadian tertentu yang
menjadi petunjuk bahwa yang meninggal itu benar-benar telah siap dan tenang. Mereka juga
bertanya pada paranormal tentang arwah dari yang telah meninggal bila dirasa tidak tenang
ketika meninggal. Sedangkan bagi yang telah meninggal, mereka mengenal jagading
lelembut (dunia arwah). Jagading lelembut ini tidak jauh dari manusia. Mereka hanya berada
pada alam atau dimensi yang berbeda.
Membicarakan jagading lelembut adalah hal yang menarik bagi orang Jawa. Hal ini
secara jelas tertuang dalam majalah Djaka Lodang, majalah mingguan berbahasa Jawa17.
Namun, sangat disayangkan pengetahuan tentang dunia itu bukan hal yang mudah dicerna.
15 Ibid. Hlm. 79.
16 Ibid. Hlm. 80.
17 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 161.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
9
Hanya ada 5,66% orang saja yang dapat mengaku melihat dunia itu secara normal, yaitu:
wong tuwo18, paranormal, serta para dukun19.
Jagading lelembut itu dihuni oleh arwah gentayangan, dhayang, dhemit, dan binatang.
Arwah gentayangan berasal dari roh-roh yang belum siap untuk mati 20. Mereka belum rela
pergi (meninggal). Mereka muncul dengan citra sesuai dengan saat terakhirnya di dunia.
Mereka dapat membuat takut orang-orang yang melihatnya karena citranya yang
menakutkan. Bisakah Anda membayangkan diri Anda bertemu arwah yang meninggal
sebagai korban kecelakaan dan menunjukkan citranya setelah kecelakaan itu sebelum para
dokter merawat jenazahnya? Betapa mengerikan hal itu.
Dhayang adalah arwah dari para leluhur yang menjadi cikal bakal dari suatu tempat.
Ia mungkin adalah orang-orang yang pertama membuka lahan dan mendirikan desa. Mereka
sering membisikkan peringatan melalui warganya apabila desa terancam bahaya atau
malapetaka. Setiap desa memiliki kebiasaan yang berbeda-beda untuk menghormati mereka 21.
Mereka yang memiliki wilayah yang luas telah dikenal banyak orang. Salah satunya masuk
dalam dunia perfilman Indonesia, yaitu: Nyai Roro Kidul.
Dhemit dikenal juga sebagai jin. Mereka mungkin adalah kelompok terbesar karena
ada di mana-mana. Ada banyak gambaran tentang mereka. Mereka inilah yang sering kali
mengganggu manusia, sebab mereka disebut juga setan. Mereka antara lain adalah gendruwo,
wewe, peri, sundel bolong, kuntilanak, wedon, thethekan, banaspati, buto ijo dan lain
sebagainya22.
Binatang adalah salah satu wujud yang cukup populer dicari oleh mereka yang
melakukan pesugihan, mencari pusaka atau kekuatan. Binatang menjadi penanda bagi mereka
itu. Binatang itu antara lain adalah ular, penyu, bulus, babi dan harimau 23. Binatang itu
disebut juga jelmaan. Binatang jelmaan yang paling terkenal dalam film horor Indonesia
adalah babi. Jelmaan babi itu sering disebut babi ngepet.
18 Secara harafiah kata ini berarti orang tua dalam bahasa Jawa. Namun, apa yang disebut orang tua itu bukan
melulu orang yang sudah berusia tua atau orang yang mempunyai anak-anak. Orang tua juga adalah orang yang
dituakan, dihormati, maupun mereka yang dianggap mempunyai ilmu atau kebijaksanaan lebih. Terkait dengan
ilmu, yang dimaksud ilmu di sini adalah suatu pengertian akan hal-hal yang di luar kemampuan orang biasa.
Dalam pengertian orang tua sebagai orang yang berilmu, mereka yang disebut demikian biasanya juga disebut
dukun, embah, atau simbah.
19 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 171.
20 Bdk. Ibid. Hlm. 162.
21 Bdk. Ibid. Hlm. 163.
22 Bdk. Ibid. Hlm. 164.
23 Bdk. Ibid.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
10
Jagading lelembut itu menjelaskan bahwa kematian yang menimpa manusia tidak
terjadi pada rohnya. Ke mana roh itu berada ditentukan oleh perbuatan mereka selama
hidupnya. Y. Tri Subagya menyatakan bahwa roh yang semasa hidupnya menjadi manusia
yang berlaku baik akan mencurahkan berkah pangestu24 kepada keluarga atau orang-orang
lain yang ditinggalkan sedangkan roh yang semasa hidupnya mengikuti jalan sesat niscaya
mengganggu ingatan bahkan kuburannya pun hilang ditelan waktu25.
c. Konsep Kristiani: Api Penyucian, Surga, dan Neraka
Menyikapi dunia kematian dan arwah, iman Katolik mengenal api penyucian sebagai
tempat bagi jiwa-jiwa sebelum bersatu dengan Tuhan Yesus. Api penyucian adalah tempat
bagi mereka yang telah meninggal dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah,
namun belum disucikan sepenuhnya. Mereka sudah pasti akan memperoleh keselamatan
abadi, namun masih perlu dikuduskan26. Namun, lebih tepatnya api penyucian itu adalah
keadaan mereka yang masih membutuhkan pemurnian27. Selain itu, api penyucian itu juga
bisa dipandang sebagai adanya tahap terakhir dalam proses pemurnian pada perjalanan
kepada Allah28. Ia adalah proses dan pengalaman pemurnian di dalam kematian. Dengan
demikian, api penyucian itu dapat berupa tempat, keadaan, maupun proses pemurnian. Dalam
hal ini persoalan utama dari api penyucian ini adalah pemurnian. Dalam pemurnian itu sudah
ada kepastian akan keselamatan kekal.
Selain api penyucian, ada pula surga dan neraka. Surga adalah tujuan terakhir dan
pemenuhan kerinduan terdalam manusia. Di sanalah kesempurnaan hidup dengan Tritunggal
Mahakudus. Mereka yang telah meninggal akan hidup selama-lamanya bersama Kristus 29. Di
sanalah persekutuan dengan para kudus menjadi nyata30. Ketika mereka yang meninggal
masuk ke surga mereka mengambil bagian dalam kemuliaan kebangkitan Kristus31.
24 Dalam bahasa Indonesia kata ini berarti rahmat.
25 Bdk. Op.Cit. Y. Tri Subagya. Hlm. 146.
26 Bdk. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Cetakan III, Ende: Penerbit Nusa Indah, 2014.
Hlm. 266. No. 1030.
27 Bdk. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015.
Hlm. 75. No. 210.
28 Bdk. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: Penerbit
Obor, 1996. Hlm. 468.
29 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 264-265. No. 1023-1027.
30 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Cetakan ke 10, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2015. Hlm. 75. No. 209.
31 Bdk. Op.Cit. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta:
Penerbit Obor, 1996. Hlm. 464.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
11
Neraka adalah kutukan abadi bagi mereka yang telah meninggal dengan dosa berat
namun atas kehendak bebas pribadinya tetap berdosa32. Di neraka mereka tidak dapat
disatukan dengan Allah. Mereka akan tersiksa di sana untuk selama-lamanya 33. Maka, neraka
adalah lawan dari surga. Mereka yang masuk dalam neraka akan terpisah selamanya dari
Allah. Hal ini terjadi atas kehendak bebas mereka sendiri yang menolak Allah secara total34.
Berbicara mengenai api penyucian, surga dan neraka, tentunya tidak lepas dari
pengertian kematian bagi umat Kristiani. Kematian adalah terpisahnya jiwa manusia dari
badannya35. Hal ini adalah hal yang wajar. Setiap manusia pada dasarnya pasti akan mati
suatu ketika nanti. Namun, secara rohani kematian terjadi sebagai konsekuensi atas jatuhnya
manusia ke dalam dosa. Kematian adalah akibat dari dosa 36. Meskipun demikian dalam
kematian, Allah memanggil manusia kepada diri-Nya37.
Menanggapi pengalaman paranormal maupun jagading lelembut, Stefanus Pranjana
dalam bukunya yang berjudul Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru
memberikan refleksi yang menarik. Ia menyatakan bahwa untuk menyikapi berbagai
pengalaman akan jagading lelembut itu parlu mencontoh sikap Yesus. Dalam hal ini Yesus
tidak diam saja, melainkan terlibat dan tidak menolak adanya pengalaman itu. Dengan
demikian, umat dituntut untuk aktif. Maka baik bila umat saling menguatkan iman dalam doa
bersama dan saling berbagi hidup satu sama lain38.
d. Simpul I
Dunia setelah kematian bagi orang Jawa ternyata tidak sama dengan iman Katolik.
Iman Katolik mengenal ada tiga hal setelah kematian, yaitu surga, neraka dan api penyucian.
Orang Jawa hanya mengenal satu, yaitu jagading lelembut. Namun, ada hal yang nampak
sama. Dalam kematian ada pembedaan antara yang baik dan yang jahat, menerima Allah dan
menolak Allah, maupun pantas dan tidak pantas. Dalam iman Katolik, mereka yang baik,
menerima Allah, dan pantas akan masuk surga. Bilamana masih kurang murni, mereka
dimurnikan di api penyucian. Sedangkan yang sebaliknya akan masuk ke neraka. Dalam
pandangan orang Jawa, yang baik, menerima Allah, dan pantas akan menjadi berkat
pangestu. Mereka akan diingat selamanya seperti halnya dhayang, bahkan mungkin mereka
32 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 76. No. 212.
33 Bdk. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 267. No. 1033-1035.
34 Bdk. Op.Cit. KWI, Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. Hlm. 466-467.
35 Bdk. Op.Cit. KWI, Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 74. No. 205.
36 Lih. Op.Cit. KWI Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik. Hlm. 260. No 1008.
37 Lih. Ibid. Hlm. 261. No 1011.
38 Bdk. Stefanus Pranjana, Setan Menurut Orang katolik Perspektif Perjanjian Baru, cetakan kelima,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009. Hlm. 209-210.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
12
memang menjadi dhayang. Sedangkan yang melakukan kebalikannya akan dilupakan dan
hilang seiring berjalannya waktu.
III.
Tahun
a. Kepercayaan
Kematian masih tetap merupakan misteri besar. Kita tidak tahu kapan tepatnya hal itu
terjadi. Dalam konsep orang Jawa kita sering mendengar pandangan sedulur papat lima
pancer ketika berbicara mengenai kelahiran dan kematian. Ayu Utami pun memasukkan
pandangan ini. Berikut saya kutip apa yang ia tuliskan.
Orang Jawa mengenal konsep “sedulur papat lima pancer”. Empat saudara
dan si lima di tengahnya. Setiap manusia adalah si pusat itu. Ia memiliki empat
saudara yang senantiasa mengelilingi dia seperti mata angin. Saat manusia lahir,
empat saudara itu menjadi “saudara halus”. Tetapi kala dalam kandungan, empat
saudara itu adalah ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar. Mereka adalah kakak dan
adik kita. Orang Jawa suka menyebut kakang kawah dan adi ari-ari. Kakak ketuban
dan adik plasenta. Sebab ketuban lahir lebih dulu, dan plasenta belakangan. Darah
dan tapi pusar adalah kembaran kita39.
Terkait dengan konsep itu, maka orang Jawa mempunyai cara-cara tertentu untuk
mengingatnya. Salah satunya disebutkan oleh Ayu Utami demikian, aku pernah dengar orang
Jawa juga menaruh lantera minyak yang disebut sentir di makam ari-ari sampai 40 hari40. Hal
ini adalah cara orang Jawa mensyukuri kelahiran. Terkait dengan kematian, ada upacara
nyadran41 dan nyekar. Selain itu, ada peringatan tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus
hari, satu tahun, dua tahun, dan seribu hari. Pada peringatan-peringatan ini, orang Jawa
percaya arwah orang yang meninggal masih ada di dunia manusia42.
Dalam perkembangannya, Ayu Utami kemudian menuliskan perpaduan yang luar
biasa antara konsep Jawa ini dengan tanda salib seorang Katolik.
Ketika agak lebih besar, mudah pula bagiku mentransfer konsep sedulur
papat lima pancer itu ke dalam tanda salib. Empat penjuru itu menjadi empat penjuru
salib. Setiap kali membuat tanda salib, kami menyentuh empat penjuru di tubuh kami,
atas-bawah-kiri-kanan, dan biasanya terakhir kami mengingat hati kami sendiri di
porosnya43.
b. Sedulur Papat Lima Pancer dan doa arwah orang Jawa
39 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 61-62.
40 Lih. Ibid. Hlm. 62.
41 Lih. Ibid. Hlm. 67.
42 Bdk. Ibid. Hlm. 83.
43 Lih. Ibid. Hlm. 65.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
13
Konsep sedulur papat lima pancer terkait erat dengan kehidupan dan kematian.
Konsep ini ada di dalam tradisi perhitungan Jawa akan adanya hari baik untuk lahir, kerja,
menikah, membangun rumah dan meninggal dunia. Konsep ini adalah pandangan kosmologi
orang Jawa. Ia merupakan intisari rasa alam orang Jawa.
Dalam memandang alam dengan konsep ini, ada dua alam, yaitu jagad gedhe dan
jagad cilik. Dalam jagad cilik, pusat dunia adalah diri manusia. Konsep sedulur papat lima
pancer di jagad cilik adalah seperti yang digambarkan oleh Ayu Utami. Pada jagad gedhe,
sedulur papat mengacu pada empat arah mata angin dan lima pancer adalah titik pusatnya.
Dengan demikian, konsep ini melekat pada hidup orang Jawa. Ia menjadi patokan dalam
berbagai upacara tradisional44.
Dalam perhitungan hari, sedulur papat lima pancer mengacu pada lima hari
pasaran45. Kelima hari itu adalah Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Pon menjadi simbol
dari lor46 dengan angka empat, Wage adalah wetan dan angka lima, Kliwon menunjukkan
posisi tengah dan angka satu, Legi adalah kidul dan angka dua, dan Pahing melambangkan
kulon dan angka tiga47.
Dalam kematian melalui konsep ini, tubuh yang mati dipandang akan kembali
menjadi empat campuran anasir alam yang membentuknya, yaitu: api, tanah, angin, dan air 48.
Hal ini tentu saja mempengaruhi upacara maupun doa-doa dalam tradisi Jawa seputar
kematian orang Jawa. Berikut saya kutip penjabarannya dalam buku Menemui Ajal.
… Pertama, saat meninggal dunia sampai tiga hari disebut saat ngabuhabuhi. Roh si mati dianggap masih berada di dalam rumah. Kedua, pada hari ketujuh
disebut saat pecahing awak amblesing bumi (hancurnya badan dan masuk ke dalam
tanah). Roh dibayangkan masih berada di sekitar pekarangan rumah. Ketiga, tahap
hari keempatpuluh yang disebut wis rampung sing nakoni (segala pertanyaan yang
diajukan kepadanya telah selesai). Roh sudah keluar pekarangan rumah tetapi masih
sering pulang. Keempat, pada hari keseratus saat roh berpamitan yang terakhir pada
keluarganya. Dia masih sering berkunjung menengok keluarga dan anak cucunya.
Kelima, mendhak pisan atau setahun setelah kematian dan mendhak pindho yaitu dua
tahun kemudian yang dianggap roh sekali-kali suka datang melihat anak cucunya.
44 Bdk. Otto Sukatno CR, Nalar serta Rasionalitas Mistik dan Ilmu Gaib Pengantar Memahami dan
Menghayati Keberadaan dan Kompleksitas “Mistisisme, Ilmu, Dunia dan Alam Lain”, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2016. Hlm. 72-73. Lebih lanjut, Otto menyebutnya sebagai kiblat papat lima pancer.
45 Hari pasaran adalah hari Jawa. Di sebut hari pasaran karena biasa digunakan sebagai patokan perdagangan di
pasar. Sebagai contoh, Pasar Godean disebut juga pasar Pon karena akan ramai untuk berdagang pada hari Pon,
sedangkan Pasar Gedongan disebut pasar klewonan karena ramai pada hari Kliwon.
46 Lor, wetan, kulon, dan kidul adalah empat arah mata angin dalam bahasa Jawa. Lor adalah utara. Wetan
adalah timur. Kulon adalah barat. Kidul adalah selatan.
47 Lih. Op.Cit. Otto Sukatno CR. Hlm. 77.
48 Lih. Op.Cit. Y. Tri Subagya. Hlm. 77.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
14
Tahap keenam yang disebut entek-entekane pada hari keseribu. Di sini, tubuh telah
kembali ke asalnya dan roh sampai ke tujuannya 49.
Dengan demikian upacara kematian dan doa-doanya dalam tradisi Jawa sangatlah
panjang. Maka dari itu, di sini hanya akan dibahas secara ringkas saja, artinya hanya hal-hal
yang tampak khusus saja akan dibahas. Pertama, dimulai dari upacara pemakaman. Pada saat
ini, tidak ada lagi orang Jawa dengan kepercayaan kejawen yang murni. Oleh sebab itu,
upacara pemakaman jenazah orang Jawa dilakukan menurut agama yang dipeluk pihak
keluarga yang ditinggalkan. Doa-doa yang dipanjatkan pun tidak lagi terikat keharusan
berbahasa Jawa. Namun demikian, bila dalam keluarga atau di desa ada seorang yang
dituakan dan memahami kejawen, terkadang ada doa-doa khusus yang mana hanya mereka
yang dituakan itu yang tahu dan memanjatkannya. Hal yang istimewa dan masih khas Jawa
dari upacara ini adalah tradisi brobosan.
Acara brobosan berlangsung sebelum jenazah diberangkatkan ke makam.
Para pelayat terutama yang masih muda mengangkat peti atau keranda ke luar rumah.
Mereka berhenti sejenak dan memberikan sedikit ruang pada bagian tengah. Para ahli
waris, terutama keluarga almarhum yang lebih muda berjalan memutar dari kiri ke
kanan masuk ke luar di bawah peti sebanyak tiga kali melewati sela-sela di antara
pengusung depan dan belakangnya. Dengan menembus ruang di bawah keranda itu,
orang memposisikan dirinya untuk memperoleh restu dari almarhum. Hal ini
merupakan kejadian transisional bagi keluarga almarhum. Brobosan di satu sisi
mengungkapkan perpisahan dari orang yang ditinggalkan dan sekaligus di sisi lain
menegaskan status kematian seseorang yang berdasar statusnya itu, dia diangkat lebih
tinggi dari yang masih hidup dengan kemampuan mengendalikan restu atau
pangestu50.
Proses pemakaman dalam tradisi Jawa tidak begitu mencolok. Semakin cepat
pemakaman dilakukan semakin baik. Selain itu, proses pemakaman di serahkan sepenuhnya
pada kepercayaan agama masing-masing. Keistimewaan orang Jawa baru tampak setelah
pemakaman. Dalam hal ini, ada peringatan tiga hari sampai seribu harinya almarhum. Bagi
umat Katolik di Keuskupan Semarang, peringatan ini sudah ada rumusan doa-doa
kristianinya yang disebut dengan memule. Namun, bagi umat Muslim, peringatan ini bukan
hal yang wajib. Bagi mereka yang memegang kepercayaan kejawen, ada acara nyadran dan
nyekar.
Nyadran adalah doa arwah memperingati almarhum, namun tidak ditentukan waktuwaktu tertentu seperti peringatan tiga sampai seribu harinya. Meskipun demikian, nyadran
49 Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005.
Hlm. 77-78.
50 Ibid. Hlm. 126-127.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
15
biasanya identik dengan acara tigapuluh lima harinya almarhum. Ini berkaitan dengan acara
selapanan. Selapanan adalah acara peringatan tigapuluh lima hari kelahiran. Nyadran adalah
tigapuluh lima harinya kematian. Acara nyadran juga identik dengan Islam, karena biasa
diadakan menjelang idul fitri. Dalam hal ini, nyadran adalah doa peringatan arwah sebelum
idul fitri. Adapun acara ini dilakukan di rumah dengan doa bersama-sama, lalu ada makan
bersama. Acara ini tidak jauh beda dengan kenduri51. Baru kemudian keesokan harinya
keluarga berziarah ke makam almarhum yang diperingati.
Nyekar adalah doa keluarga di makam. Acara ini disebut juga ziarah kubur, tilik kubur
atau ngirim. Nyekar lebih sederhana dari pada nyadran maupun peringatan-peringatan
jenazah orang Jawa. Dalam acara ini, biasanya keluarga juga membersihkan makam dari
almarhum. Biasanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta acara ini dilakukan pada hari Jumat
Kliwon, sedangkan di Jawa Timur lebih khas Jumat Legi. Meskipun demikian, ada pula yang
mengadakan nyekar pada hari-hari lain sesuai dengan kemampuan mereka.
Tradisi tilik kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan
melainkan bermakna kesuburan. Orang-orang yang menjalankan tilik kubur
menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh
rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan
serta keselamatan dari segalanya. Manakala bakul ingin laris dagangannya, anak
sekolah hendak menghadapi ujian, mendapatkan pekerjaan, memperoleh jodoh yang
tepat, atau salah seorang anggota sakit secara khusus mereka sering mohon berkah
pangestu kepada leluhurnya. Mempelai yang hendak melakukan pernikahan juga
disarankan agar tidak lupa mengunjungi makam leluhurnya terlebih dahulu. Bahkan
kadang-kadang tanda yang berasal dari kuburan entah berupa sedikit bunga, daun
atau tanah mereka bawa serta pulang menjadi sarana keselamatan, penyembuhan atau
mengalirnya rejeki52.
c. Upacara Pemakaman, peringatan arwah dan doa arwah Kristiani
Pemakaman Kristiani di Indonesia mempunyai banyak cara. Banyak hal dalam
upacara kematian orang Katolik di Indonesia nampaknya adalah hasil inkulturasi budaya
dimana doa-doanya tetap khas Katolik namun dalam liturginya ada beberapa nuansa budaya.
Dengan demikian, bukan hal yang salah bila di Keuskupan Agung Semarang upacara
kematian telah dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan budaya Jawa. Berkaitan dengan
51 Kenduri adalah acara doa bersama. Biasanya dilakukan oleh warga satu dusun. Doa bersama ini dilakukan
sesuai dengan ujub dari warga maupun pihak keluarga. Hal ini tergantung dari siapa yang mengadakan acara.
Biasanya selesai acara ada pembagian sedikit rejeki dari pihak yang mengadakan. Selain itu, dalam acara ini ada
pula makan bersama. Dalam makan bersama itu, orang Jawa biasa membuat tumpeng dengan berbagai hiasan.
Ujub menentukan bentuk, warna, hiasan dan jumlah tumpeng. Ujub juga menentukan sebutan dari kenduri itu,
misalnya kenduri untuk bayi yang berumur tigapuluh lima hari disebut selapanan.
52 Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press, 2005.
Hlm. 147-148.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
16
hal ini, buku Memule ingkang Sampun Sumare memberikan suatu intisari yang menarik
mengenai pemakaman orang Jawa Katolik.
Pasamuwan Katolik ngurmati sanget dhateng kebudayan lokal umat lan
mrayogekaken supados kabudayan wau kaluluhaken dhateng liturgi lan
pangibadahipun Pasamuwan suci. Ingkang menika ing sawetawis papan ing Indonesia
wonten padatan nyembahyangaken lan mengeti arwah miturut padatan pengetan
dinten lan warsa (dinten kaping 3, 7, 40, 100, 1 taun, 2 taun, 1.000 dinten, lst) 53.
Selain buku Memule ingkang Sampun Sumare, ada pula buku Ngintun Sukma.
Pengantar buku Ngintun Sukma menunjukkan bahwa ada keselarasan nilai iman antara
peringatan-peringatan arwah orang Jawa dengan Kitab Suci. Berikut saya kutip sebagian dari
pengantar tersebut.
Dene makna angka-angka (3, 7, 40, 100, lsp.) ing dinten pengetan punika kita
salarasaken kaliyan piwulang iman ingkang kapethik saking ayat-ayat Kitab Suci,
amrih boten namung ela-elu, tanpa mangertos tujuwanipun. Upaminipun pengetan 40
dintenipun, saged kasalarasaken kaliyan siyam Dalem Gusti Yesus selami 40 dinten
wonten ing ara-ara samun54.
Selain menyusun upacara itu dengan renungan Kitab Suci, Komisi Liturgi KAS juga
memberikan tema-tema yang khas sesuai hari-hari peringatan itu, sehingga dapat
memperoleh makna Kristiani dari kematian sesuai nilai kebudayaan Jawa. Tema-tema itu
dapat dilihat dalam buku
Memule ingkang Sampun Sumare. Dengan demikian upacara
peringatan arwah orang Jawa Katolik telah dirumuskan dengan rapi oleh Keuskupan Agung
Semarang.
Dalam hal umum (terlepas dari budaya Jawa), upacara pemakaman dan penguburan
jenazah telah dirumuskan dengan baik dalam buku Kumpulan Upacara Ibadat. Dalam buku
ini, upacara tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu bagi anak-anak dan bagi orang
dewasa. Buku ini juga menunjukkan satu upacara yang khas Katolik, yaitu upacara
penanaman salib di atas kuburan.
53 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Persekutuan umat Katolik sangat menghormati
kebudayaan lokal umat dan mendalaminya supaya kebudayaan itu dapat diterima dalam liturgi dan peribadatan
suci. Dalam hal ini di beberapa tempat di Indonesia ada kebiasaan mendoakan dan memperingati arwah menurut
perhitungan hari dan tahun (hari ke 3, 7, 40, 100, 1 tahun, 2 tahun, 1.000 hari, dst).
Komisi Liturgi KAS, Memule ingkang Sampun Sumare, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.
Hlm. 19.
54 Dalam bahasa Indonesia secara harafiah dapat diartikan: Sedangkan makna dari angka-angka (3, 7, 40, 100,
dst.) dalam hari peringatan itu kita sesuaikan dengan ajaran iman yang diambil dari ayat-ayat Kitab Suci, supaya
jangan hanya memanjatkan doa, tanpa mengerti tujuannya. Sebagai contoh peringatan empatpuluh hari, dapat
disesuaikan dengan peristiwa Tuhan Yesus berpuasa selama empatpuluh hari di padang gurun.
M. Martono, Ngintun Sukma, cetakan kelima, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012. Hlm. 5.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
17
Upacara penanaman salib sungguh khas Katolik. Melalui upacara ini umat diingatkan
kembali akan kemenangan salib Kristus. Berkaitan dengan hal ini, pengatar upacara tersebut
sangat menarik bagi saya. Pengantar itu berbunyi demikian,
Saudara sekalian yang terkasih dalam Kristus. Salib itu adalah sebuah
lambang, yaitu lambang kemenangan Kristus atas dosa dan kematian. Sambil
menanamkan salib di atas kubur saudara kita yang telah dipanggil Tuhan, kita
menyatakan kepercayaan kita akan kebangkitan orang mati.
Kebangkitan dan hidup kekal itu diperoleh Kristus bagi kita dengan wafat di
kayu salib. Maka patutlah kita bangga akan salib Tuhan kita Yesus Kristus; sebab
berkat salid itu seluruh bumi dipenuhi sukacita55.
d. Simpul II
Kebudayaan Jawa mengenai kehidupan dan kematian sangatlah kompleks. Dalam hal
kematian ada berbagai peringatan bagi mereka yang telah meninggal. Hal ini oleh Keuskupan
Agung Semarang telah dirumuskan dengan baik dalam nilai iman Kristiani. Dengan rumusan
liturgi dan ibadat Katolik yang sesuai dengan kebudayaan lokal itu, umat Jawa Katolik tidak
lagi jatuh pada pemahaman akan dunia roh di mana dia yang meninggal masih sering datang
sampai peringatan seribu harinya. Rumusan itu menjadikan peringatan-peringatan itu sebagai
pengajaran akan misteri iman Kristiani akan kebangkitan badan bersama Kristus.
IV.
Tuhan
a. Pengalaman Berjumpa dengan Arwah
Berbicara mengenai kematian tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan akan adanya
kebangkitan badan. Dalam hal ini, muncul berbagai kisah mengenai perjumpaan dengan
mereka yang telah meninggal. Berikut saya kutip apa yang Ayu Utami tuliskan mengenai
perjumpaan dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Suatu hari ia berkata, “Semalam aku merasa Bapak ada di sini.” Ia diam
sebentar. “Apa hari ini Selasa Kliwon?”
Sejak Ayah wafat, tak pernah Ibu merasa suaminya menengok dia. Kadang ia
berharap melihat penampakan, sayang tak sekalipun, Ibu telah tak tahu tanggal dan
hari sejak ia masuk rumah sakit. Aku mengecek pada situs internet kalender Jawa,
dan memang – cukup mengherankan – hari itu Selasa Kliwon.
...
Aku menginap dan esoknya bekerja dengan komputerku di ruang duduk
seperti biasa. Suamiku Rik datang. Lalu kami sama-sama sibuk dengan dokumen
55 Lih. Mgr. Dr. M. Coomans MSF, Kumpulan Upacara Ibadat, Cetakan ke 22, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit
Obor, 2016. Hlm. 343-344.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
18
masing-masing. Tiba-tiba aku melihat ada yang berkelap-kelip. Layar monitor pada
sofa pijat di tengah ruangan. Sofa itu hadiah dari suami Marietta untuk Ayah, dulu.
Hitam kecoklatan warnanya, sehingga sesuatu yang menyala kecil pun jadi kelihatan.
Tapi, aku dan Rik tak tahu apakah monitor penyetelnya tadi mati atau hidup. Rasanya,
dari kemarin tidak ada yang memakainya. Aku dan Rik berpandang-pandangan.
Adakah benda itu tiba-tiba menyala, seolah ada yang mau memakainya? Atau tadi
kami tidak mengamatinya?
“Ya sudah! Bapak pijat bareng aku ya!” kata Rik. Lalu ia duduk di sofa pijat
dan menyetel ukuran yang ia mau. Ia menikmati tekanan dan pukulan mesin sambil
tertawa-tawa56.
...
Hari itu asisten Marietta melapor padaku, suatu peristiwa aneh.
“Kemarin saya telepon lagi ke Telkom, sambil marah-marah,” katanya.
“Terus?”
“Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah.”
“rasanya sih belum pernah ada petugas Telkom yang datang.”
“Itulah! Masa katanya, mereka sudah datang ke rumah dan ditemui oleh
pemilik rumah yang bilang bahwa teleponnya tidak ada masalah. Jadi mereka pulang
lagi. Masa dibilang, yang menemui mereka adalah Pak Sutaryo.”
“Masa?”
Pak Sutaryo adalah ayahku.
...
Yang lucu adalah itu terjadi berdekatan dengan peristiwa-peristiwa lain. Ibu
merasa Ayah datang. Aku merasa melihat monitor sofa pijat menyala tiba-tiba.
Beberapa hal jika terjadi bersama-sama akan menciptakan makna baru 57.
b. Kebangkitan badan orang Jawa
Dalam kepercayaan Jawa ada banyak kisah mengenai kedatangan orang-orang yang
telah meninggal seperti yang dituliskan Ayu Utami di atas. Bahkan pada bagian yang
membahas mengenai doa arwah orang Jawa di atas pun telah disebutkan bahwa selama masa
peringatan peringatan arwah, mulai dari tiga hari sampai dengan seribu harinya almarhum,
roh masih ada dan kadang-kadang mengunjungi keluarga yang ditinggalkan. Dengan
demikian, tampak ada hubungan antara dunia manusia dengan dunia orang yang telah
meninggal dalam budaya Jawa.
Terkait dengan hal ini, orang Jawa percaya bahwa ada dua dunia atau alam kehidupan.
Kedua alam itu adalah alam wadag dan alam kelanggengan58. Alam wadag adalah dunia
manusia saat ini. Dalam dunia ini, manusia dilahirkan, hidup, bekerja, menikah, dan
meninggal secara fisik. Dunia ini adalah dunia nyata manusia.
56 Ayu Utami, Simple Miracles Doa dan Arwah, Jakarta: KPG, 2014. Hlm. 141-143.
57 Ibid. Hlm. 144-145.
58 Bdk. Y. Tri Subagya, Menemui Ajal Etnografi Jawa Tentang Kematian, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press,
2005. Hlm. 87.
Alvarian Utomo | Analisa Novel dengan Budaya Jawa dan Agama Katolik
19
Alam kelanggengan adalah dunia setelah kematian manusia. Dalam dunia ini, roh dari
mereka yang telah meninggal akan tinggal selama-lamanya. Berdasarkan bagian yang
membahas mengenai jagading lelembut di atas, nampaknya alam ini adalah jagading
lelembut itu juga. Dengan demikian, sangat dimungkinkan pengalaman seperti yang Ayu
Utami tuliskan itu terjadi.
Baik alam wadag maupun kelanggengan tampaknya tidak ada sekat, bila benar bahwa
alam kelanggengan itu juga jagadin