SUMBER DAYA LAUT DAN SEJARAH MARITIM

SUMBER DAYA LAUT DAN SEJARAH MARITIM

Disusun oleh :
Azwar asnan
E31114519
Fisip Unhas – ilmu komunikasi

A.sumber daya laut dan pengelolaan SDL

Sejarah telah mencatat bahwa jatuh dan bangunnya peradaban bangsa yang tinggal di
kepulauan nusantara sangat dipengaruhi oleh penguasaan lautan. Kerajaan-kerajaan
besar seperti Sriwijaya dan Majapahit berhasil menguasai dan memakmurkan
kerajaannya melalui kekuatan armada lautnya. Bahkan serikat dagang Belanda (VOC)
mampu menjajah nusantara selama 3,5 abad dengan kemampuannya menguasai
lautan. Tidak dapat dipungkiri bahwa laut merupakan suatu aset untuk kedaulatan dan
kemakmuran bangsa Indonesia.Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia
terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT
terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera
dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan
Benua Australia. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.508 pulau besar dan pulau kecil
dan memiliki garis pantai 81.000 km, serta luas laut terbesar di dunia yaitu 5,8 juta

km2.Wilayah laut Indonesia mencakup 12 mil laut ke arah luar garis pantai, selain itu
Indonesia memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) sejauh 200 mil dan landas kontinen sampai sejauh 350 mil dari garis pantai.
Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982, wilayah
laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 7.9 juta km2 terdiri
dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial dan 2.9 juta km2 perairan ZEE.
Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia,
dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.
Wilayah laut sangat penting dengan dicantumkannya pada GBHN tahun 1993, dan
didirikannya Departemen Kelautan dan Perikanan. Undang-undang no. 22 dan 25
tahun 1999 juga mencantumkan kelautan sebagai bagian dari otonomi daerah. Sangat
penting bahwa kawasan laut perlu diintegrasikan dalam perencanaan tata ruang
wilayah nasional, propinsi dan tingkat kabupaten.Lautan Indonesia merupakan
karunia Tuhan YME yang harus selalu disyukuri dengan cara mengelolanya secara
bijaksana untuk kesejahteraan seluruh bangsa.
Beberapa alasan pentingnya pembangunan laut antara lain :
1. Indonesia memiliki sumberdaya alam laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas
maupun keanekaragaman hasilnya.
2. Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (sebagian
besarnya), artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan,

namun harus memperhatikan kelestariannya
3. Pusat pertumbuhan ekonomi, dengan proses globalisasi perdagangan
4. Sumber protein hewani, sumberdaya ikan mengandung protein yang tinggi
khususnya untuk asam amino tak jenuh.
5. Penghasil devisa Negara,
6. Memperluas lapangan kerja,
7. Wilayah pesisir sebagai pusat pengembangan IPTEK dan industri kelautan, serta
sebagai zona strategis untuk pusat pengembangan jalur transportasi utama antar pulau
maupun menuju daerah-daerah di pedalaman.

Kebijakan pembangunan kelautan secara berkelanjutan, perlu diterjemahkan secara
seksama dalam bentuk langkah-langkah konkret yang dirumuskan sebagai sebuah
konsep. Konsep tersebut disusun atas dasar pertimbangan terhadap kepentingankepentingan semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Kata
lestari megisyaratkan adanya tuntutan terhadap pengetahuan secara kuantitatif dan
terukur sebagai acuan dalam perumusan kebijakan pemanfaatan sumberdaya laut yang
berkelanjutan. Selanjutnya setiap tindakan yang dilakukan terhadap pemanfaatan
sumberdaya ini, diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi peradaban manusia
yang memanfaatkannya baik pada masa kini maupun masa mendatang.Pemahaman
terhadap makna dan fungsi laut bagi negara kepulauan merupakan faktor
pertimbangan pendukung yang signifikan dalam perumusan kebijakan pemanfaatan

sumberdaya laut di Indonesia.
Dalam penyusunan kerangka pembangunan kelautan haruslah didasarkan pada suatu
pemahaman fungsi laut, diantaranya :
1. Laut sebagai wilayah kedaulatan bangsa.
2. Laut sebagai lingkungan dan sumberdaya.
3. Laut sebagai media kontak sosial dan budaya
4. Laut sebagai sumber dan media penyebar bencana alam.
Pemahaman terhadap makna dan fungsi laut ini secara selaras dan seimbang,
diharapkan dapat memberikan pemanfaatan sumberdaya laut yang komperhensif,
sekaligus mendukung prinsip pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Laut Indonesia
telahdimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, sebagai area pertambangan, jalur
transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, perikanan tangkap dan budi
daya, wisata bahari, area konservasi dan sebagainya.Seiring dengan meningkatnya
pemanfaatan sumberdaya laut maka paradigma pengelolaan laut secara sektoral, telah
berdampak pada meningkatnya nilai kerentanan konflik kepentingan. Dampak konflik
pemanfaatan ruang di laut dan/atau bahkan pemanfaatan sumberdaya laut adalah tidak
dapat tercapainya tujuan memberikan kesejahteraan secara berkelanjutan.Dikaitkan
dengan upaya menempatkan laut sebagai salah satu sumber perekonomian nasional,
maka tuntutan terhadap tindakan penataan wilayah laut menjadi semakin mendesak.
Paradigma pengelolaan laut secara sektoral perlu di telaah kembali dan secara

komperhensif dibandingkan dengan paradigma pengelolaan laut secara kewilayahan.
Artinya, laut dipahami sebagai wilayah dapat dimanfaatkan berbagai sektor perlu
ditata dengan batas-batas pemanfaatan yang tegas dengan memperhatikan berbagai
sektor terkait yang dilandaskan pada prinsip persatuan dan kesatuan wilayah
NKRI.Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sumberdaya laut secara multisektoral
telah memicu terbentuknya Dewan Maritim Indonesia yang kemudian dirubah
menjadi Dewan Kelautan Indonesia berdasarkan Keppres No. 21 tahun 2007. Dewan
tersebut terdiri dari berbagai elemen pemerintahan dan kelompok masyarakat, serta
bertugas untuk menyusun dan memberi pertimbangan pada presiden mengenai
kebijakan umum mengenai pengelolaan laut.

a. Perkembangan Wilayah Laut IndonesiaLaut teritorial dinyatakan sebagai wilayah
perairan yang membentang kearah laut sampai jarak 3 mil laut dari garis surut pulaupulau atau bagian-bagian pulau, termasuk karang-karang, batu-batu karang, dan
gosong-gosong, yang ada di atas permukaan laut padda waktu air surut. Sedangkan
perairan pedalaman Indonesia terdiri dari semua perairan yang terletak pada bagian
sisi barat dari laut territorial, termasuk sungai-sungai, terusan-terusan, danau-danau,
dan rawa-rawa. Di luar wilayah perairan tersebut merupakan laut bebas, yang terdapat
di antara pulau-pulau nusantara. Kondisi pembagian perairan ini seiring dengan
perkembangan waktu, telah disadari dapat menimbulkan kerawanan ekonomi,
keamanan atau bahkan politik. Mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia

sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat
dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan
negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus
dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan territorial
seperti yang termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie
1939.”Pada sidang dewan Menteri tanggal 13 Desember 1957 disampaikan
pengumuman pemerintah mehgenai wilayah perairan Negara Republik Indonesia
yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda, menyatakan bahwa “segala
peraturan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau sebagian
pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang
luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara
Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan keddaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil
yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau
Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”.Pengumuman
pemerintah tersebut selanjutnya dikenal sebagai Deklarasi Djuanda dan pendirian
pemerintah tersebut disampaikan pada konferensi internasional mengenai Hak-hak
Atas Lautan yang diselenggarakan pada bulan Februari 1958 di Jenewa, Swiss.
Walaupun keputusan tentang rezim kepulauan di dalam Konvensi Hukum Laut di

Jenewa tahun 1958 belum ada dan usaha memperoleh pengakuan internasional
tentang pengaturan lautberdasarkan konsepsi Negara kepulauan belum membawa
hasil, pemerintah Indonesia tetap konsisten pada kebijakan Deklarasi Djuanda. Hal ini
dilaksanakan dengan menetapkan UU No. 4 1960 tentang perairan Indonesia, yang
pada
intinya
menyatakan
:
1. Kepulauan dari perairan Indonesia menjadi satu kesatuan, sedangkan laut yang
menghubungkan pulau demi pulau merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari daratannya, untuk itu ditarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik
terluar atau bagian pulau-pulau terluar dalam wilayah Indonesia. Perairan pada sisi
dalam garis-garis pangkal/dasar tersebut sebagai Perairan Pedalaman.
2. Lebar laut wilayah dinyatakan 12 mil laut diukur mulai dari garis pangkal tersebut
menuju
keluar.
3. Kedaulatan Negara Republik Indonesia mencakup perairan Indonesia, ruang udara
di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, beserta sumber-sumber kekayaan yang
terkandung
di

dalamnya.
4. Di perairan pedalaman dijamin hak lintas damai bagi kendaraan air asnig yang

pengaturannya akan ditentukan tersendiri.Sejak dikeluarkan peraturan ini maka tidak
berlaku lagi rezim laut sesuai Ordonasi 1939. Perjuangan tentang wilayah laut Negara
kepulauan akhirnya berhasil meyakinkan dunia internasional. Pada 30 April 1982 di
New York, diadakan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS-United Convention on
the Law of the Sea) III. Pada konferensi ini telah disepakati pengaturan rezim-rezim
hukum laut dan bagi Indonesia pengakuan bentuk Negara kepulauan yang diatur hak
dan
kewajibannya.
Penataan Batas Maritim UU No. 17 Tahun 1985 mengamanatkan perlunya
penanganan secara serius penataan batas-batas maritime dengan Negara-negara
tetangga. Di laut Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) Negara, yakni India,
Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor
Leste.
Batas-batas
maritim
yang
harus

diselesaikan,
meliputi:
a. Laut Teritorial : Laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu Negara pantai,
meliputi rung udara serta dasar laut dan tanah di bawahnya, lebarnya tidak melebihi
12
mil
laut
diukur
dari
garis
pangkal
b. Zona Tambahan: Di luar laut teritorial terdapat laut-laut dimana Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu. Di Zona
tambahan, yaitu sampai batas 12mil laut di luar laut territorial atau 24 mil laut diukur
dari garis pangkal, Indonesia juga dapat melaksanakan kewenangan-kewenangan
tertentu untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea
cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin
pelaksanaan
hokum
di

wilayahnya
(H.
Djalal,
2003).
c. Zona Ekonomi Eksklusif: Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu daerah di
luar dan berdampingan dengan laut teritorial, lebar zona ini tidak lebih 200 mil laut
dari garis pangkal. Di ZEE Indonesia memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut,
seperti
energi
dari
air,
arus
dan
angin.
d. Landasan Kontinen: Landasan kontinen (continental shelf) pada awalnya
merupakan istilah geologi. Istilah ini merujuk pada fakta geologis bahwa daratan
pantai akan menurun ke bawah laut dengan kemiringan kecil hingga di suatu tempat
tertentu menurun secara terjal ke dasar laut. Bagian tanah dasar laut dengan

kemiringan kecil tersebut merupakan landasan kontinen. Sedangkan bagian atas dasar
tanah dengan kemiringan curam merupakan lereng kontinen. Menurut UNCLOS III
1982, landas kontinen suatu pantai meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang
kelanjutan alamiah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu
jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal
pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut (pasal 76 ayat 1).
Selanjutnya Negara pantai memiliki kesempatan untuk dapat menetapkan batasan luar
landasan kontinen lebih lebar dari 200 mil laut diukur dari garis pangkal dengan
ketentuan
berikut
:
1. Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis pangkal.

2. Tidak melibihi lebar 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m
3. Tidak melebihi lebar 60 mil laut diukur dari kaki lereng kontinen.
4. Garis terluar dengan titik-titik dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit
1% dari jarak terdekat antara titik tetap terluar dan kaki lereng kontinen.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa dalam
penetapan batas landas kontinen, Indonesia memiliki kepentingan menyangkut

(1) batas landas kontinen dengan Negara tetangga yang berhadapan atau berdamping
yang dilakukan dengan persetujuan atas dasar hubungan internasional,
(2) batas landas kontinen hingga 200mil dari garis pangkal dan
(3) kemungkinan dapat diajukannya batas landas kontinen di luar 200 hingga
maksimal 350 mil laut. Khusus untuk batas landas kontinen ini PBB memberikan
batasan waktu pengajuan hingga tahun 2009.
Pemanfaatan laut menuntut adanya pengaturan yang tegas guna menghindari konflik
pemanfaatan ruang laut. Mengingat luas perairan dan kompleksitas karakter perairan
di Indonesia, maka diperlukan suatu konsepsi melalui pendekatan secara makro dan
mikro dalam penataan wilayah laut.Pendekatan secara makro dimaksudkan sebagai
langkah pengenalan karakter dan perkiraan prioritas pemanfaatan yang dapat
ditetapkan pada suatu kawasan perairan, melalui pengelompokkan kawasan perairan.
Sedangkan pendekatan secara mikro merupakan langkah-langkah penetapan jenis dan
batas-batas pemanfaatan lahan laut berdasarkan prioritas pemanfaatan di suatu
kawasan
perairan
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya.
a. Pendekatan Makro Penataan Kawasan Perairan dan PulauKondisi dinamika
oseanografi menyangkut gelombang, pasang surut, arus, salinitas, suhu, dan lainnya di
perairan dangkal seperti halnya kawasan Kepulauan Riau, akan berbeda pada kawasan
pulau diperairan dengan kedalaman lebih besar di daerah Maluku dan sekitarnya.
Selanjutnya apabila diamati secara seksama, maka morfologi pantai dan jenis bencana
alam yang dapat terjadi pun berbeda dari satu kawasan ke kawasan yang lain.Kondisi
alam ini memberikan keanekaragaman hayati yang berbeda pula. Jenis ikan yang
hidup dan ditangkap oleh masyarakat sekitar merupakan karakteristik masing-masing
kawasan. Pola kehidupan, adat istiadat, perkembangan teknologi, dan budaya
masyarakat setempat secara langsung dan tidak langsung terbentuk oleh kondisi alam
yang ada. Kenyataan ini merupakan salah satu dampak yang diakibatkan oleh
karakteristik alam yang berbeda dengan salah satu penyebabnya adalah genesis atau
proses pembentukan pulau dan perairan sekitarnya.Wilayah Indonesia secara geologi
mempunyai genesis yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan wilayah ini merupakan
hasil dari proses interaksi pergerakan lempeng tektonik yang sangat besar, yaitu
Lempeng Benua Asia, Lempeng Samudra Hindia, Lempeng Benua Australia, dan
Lempeng Samudra Pasifik, maupun lempeng lain yang lebih kecil. Tumbukan
lempeng tersebut secara fisik akan membentuk topografi yang khas, di antarnya
adalah munculnya daratan yang lebih tinggi dari muka air laut pada saat pasang atau
lebih dikenal sebagai pulau dan kawasan yang terendam air membentuk laut antar
pulau.
Selanjutnya penetapan prioritas pemanfaatan suatu kawasan perairan dilakukan
berdasarkan
fungsi
pemanfaatan,
meliputi
:

1. Fungsi Ekonomi: Fungsi ekonomi dimaksudkan sebagai kebijakan secara makro
bahwa suatu kawasan perairan ditetapkan sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi.
2. Fungsi Pertahanan dan Keamanan: Dalam konsep Negara maritim, laut memiliki
arti penting pada konteks kedaulatan dan keamanan Negara. Fungsi pertahanan dan
keamanan dimaksudkan sebagai upaya menempatkan fungsi pulau-pulau kecil di
suatu kawasan perairan sebagai titik pangkal teritorial maupun basis pangkalan
pertahanan Negara dalam rangka menjaga kedaulatan wilayah nusantara.
3. Fungsi Konservasi: Fungsi ini dimaksudkan sebagai langkah mempertahankan
kelangsungan suatu kondisi alam, sosial, budaya, ataupun kearifan lokal ditemukan
pada
suatu
kawasan
perairan
dan
pulau.
b. Konflik Pemanfaatan Ruang laut Mengingat fungsi laut sebagai sumberdaya yang
dapat dikonversi sebagai nilai ekonomi, maka aktivitas manusia dalam kaitan
kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut memperlihatkan adanya kecenderungan
tidak memperhatikan fungsi laut lainnya. Tanpa pengaturan yang tegas dalam
pemanfaatan laut akan dapat berdampak pada terjadinya konflik pemanfaatan ruang di
laut. Kegiatan penambangan pasir laut dapat berdampak negatif pada ekosistem
pulau-pulau kecil, kelangsungan hidup nelayan tradisional, wisata bahari dan sektor
terkait lainnya. Pembangunan bagan-bagan ikan di laut ataupun lahan budidaya
rumput laut yang pada akhir-akhir ini berkembang cukup pesat, telah meningkatkan
nilai kerawanan terhadap konflik pemanfaatan ruang laut.c. Penataan Wilayah
LautPenataan wilayah laut pada dasarnya diperlukan dalam kaitannya pengaturan
pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomodasi semua kepentingan untuk
menghindari adanya konflik pemanfaatan ruang laut. Pengertian ini mengarah pada
suatu pemahaman, bahwa pemanfaatan suatu sumberdaya laut diberikan batas yang
jelas antara zona pemanfaatan yang satu dengan zona yang lain.
Aspek
yang
diperhatikan
dalam
zonasi
adalah
:
a.
Sifat
Dinamis
Laut.
Air sebagai media penghantar yang baik sehingga sensitif terhadap setiap perubahan.
Perubahan suhu akan berpengaruh pada perubahan salinitas dan sifat fisik lainnya.
Kondisi ini mengakibatkan laut sangat sensitive terhadap perubahan cuaca. Arus dan
gelombang merupakan salah satu bukti gejala dinamika laut.Aspek sifat laut yang
dinamis perlu diperhatikan dalam penarikan zona untuk peruntukan tertentu. Sifatsifat keseimbangan sistem yang terkait pada zona tersebut perlu diketahui, sehingga
penetapan zona apakah dapat dilakukan hanya secara spasial atau juga spasialtemporal untuk menjaga keseimbangan yang ada. Prinsip ini dapat dikembangkan
sebagai salah satu dasar pemanfaatan sumberdaya laut yang lestari.
b.
Penafsiran
Nilai
Ekonomi
dan
Nilai
Beban
Lingkungan
Kawasan perairan mengandung beraneka ragam sumberdaya. Sumberdaya laut ini
perlu didata secara seksama meliputi jenis, sebaran dan rekaan kandungan
cadangannya. Di kaitkan dengan penarikan zona pemanfaatan untuk peruntukan
tertentu ada 2 (dua) unsure utama yang harus diperhatikan yakni:
1. Potensi Pasokan, merupakan kondisi sumberdaya laut baik fisik maupun biologi
yang mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang serta dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat
untuk
memenuhi
kebutuhannya.
2. Potensi Permintaan, yang meliputi kondisi social dan ekonomi masyarakat yang
dalam perkembangannya memerlukan potensi pasokan yang memadai.
c.
Sosial
Budaya
Masyarakat
Pesisir
dan
Pulau
Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau di Indonesia sangatlah
beragam. Perkembangan sosial budaya ini secara langsung dan tidak langsung
dipengaruhi oleh faktor alam di sekitarnya. Perilaku sosial budaya ini memiliki kaitan
erat dengan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam di
sekitarnya.Kondisi demografi menyangkut masalah perkembangan penduduk, taraf
pendidikan, suku bangsa, agama serta tingkat arus informasi yang dapat diterima,
merupakan faktor-faktor terkait dalam mengkaji permasalahan sosial budaya
masyarakat pesisir untuk perumusan kebijakan penataan wilayah laut.
d. Kepastian Hukum Pemanfaatan Lahan Laut UU No. 24 tahun 1992 pasal 1 tentang
Penataan Ruang secara tegas menyebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan dan ruangudara. Dalam kaitannya ini ruang
terjemahannya sebagai salah satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dikembangkan suatu konsep
bahwa laut merupakan kesatuan wilayah Negara yang perlu ditata dan diatur tanpa
mengurangi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B.sejarah maritim

(683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur
pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang
digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya.
Tidak hanya itu, Ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh Singasari di
bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut
yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi
bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersamasama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284,
ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit
(1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada,
Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan
sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja),
Anam, India, Filipina, China.
Kilasan sejarah itu tentunya memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di
Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain
karena, paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi Maritim sebagai
bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial.
3.

Catatan Penting Dalam Sejarah Maritim Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang
sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim besar
di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut Indonesia yang
merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau,
Nusantara diwarnai dengan berbagai kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah
terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan
Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar,
Afrika Selatan. Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih
merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi
kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia

yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh
penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan
menurunnya jiwa bahari. Nenek moyang Bangsa Indonesia telah memahami dan
menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai
kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi. Pada sekitar abad ke14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial
zones).
1.

Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di
India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.

2.

Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka.

3.

Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka,
Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan
perdagangan Laut Cina Selatan.

4.

Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon,
Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).

5.

Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan
Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan
perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit. Selain itu, banyak
bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguniyang diperkirakan merupakan hasil
budaya manusia sekitar tahun 10.000sebelum masehi!
Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula
peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan
perantau dari Nusantara yang ditemukan diwilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan
kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan
membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih
dari 4.000 mil.

4.

Kemaritiman Indonesia Saat Ini
Berkaca dari masa lalu, melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh
karena mengoptimalkan potensi laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian
dan ketahanan politik suatu negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang
ini Indonesia harus lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional.
Indonesia menyandang predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan, predikat ini

mustahil ditinggalkan, lain halnya dengan predikat “Negara Agraris” yang suatu saat
bisa berganti dengan industri. Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah
pada terwujudnya aktifitas pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa
Indonesia sebagai negara kepulauan dalam membangun perekonomian akan
senantiasa dilandasi oleh aktivitas pelayaran.
Kilasan sejarah itu tentunya memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di
Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain
karena, paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi Maritim sebagai
bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial.
Laut Indonesia merupakan urat nadi perekonomian nasioaldan penggerak lalu
lintas ekonomi dunia. Indonesia secara natural lahir dan tumbuh sebagai Negara dan
bangsa maritim, luar dan dalam. Hanya faktanya, Indonesia saat ini masih belum
menjadi Negara maritime dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebab, hingga
sekarang Indonesia belum menjadi actor atau pelaku kelautan yang cukup mempuni,
baik ditingkat domestic maupun global. Padahal, laut Indonesia merupakan urat nadi
perekonomian nasional dan penggerak lalu lintas ekonomi dunia.
Dunia maritim Indonesia telah mengalami kemunduran yang cukup signifikan,
kalau pada zaman dahulu mencapai kejayan baik dalam bidang politik maupun
ekonomi, sekarang ini tidak tampak sedikit pun kemajuan yang dapat dilihat. Ironis
memang, Indonesia yang mempunyai potensi laut sangat besar di dunia kurang begitu
memperhatikan sektor ini. Padahal, laut menjadi salah satu faktor dalam
mempertahankan eksistensi wilayah suatu negara “Bahkan barang siapa yang
menguasai laut, ia akan menguasai dunia”, demikian dalil yang dikemukakan oleh
Mahan, wajar saja kalau Mahan mengeluarkan pernyataan tersebut, dalam karyanya
yang berjudul “The Influence of Sea Power Upon History” (1660-1783), yang terbit
untuk pertama kalinya pada tahun 1890 dan telah mengalami cetakan ulang beberapa
kali.
Berdasarkan tinjuan sejarah dari berbagai kerajaan di Nusantara pada masa
lalu, Indonesia sebenarnya adalah negara yang berwatak maritim. Namun demikian,
watak kemaritiman tersebut saat ini sudah tidak lagi eksis, beberapa kalangan
berkesimpulan agar dapat menjadi bangsa yang kuat dan disegani dimata internasional
maka Indonesia harus kembali berwawasan maritim dan bukannya berorientasi
daratan (land minded).