PENDEKATAN ANALISIS MULTI KRITERIA DALAM

Prosiding Konferensi Nasional Pascasarjana Teknik Sipil (KNPTS 2010)
Bandung, 26 Mei 2010, ISBN 978-979-16225-5-4

PENDEKATAN ANALISIS MULTI KRITERIA DALAM PEMILIHAN
TRASE JALAN PADA KAWASAN TERISOLIR ARALLE
TABULAHAN MAMBI (ATM) PROVINSI SULAWESI BARAT
Fadly Ibrahim1, Lawalenna Samang2
1

Alumni Program Studi Magister Teknik Sipil, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, Email:
fadly_surur@yahoo.co.id
2
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRAK
Sebagai upaya peningkatan aksessibilitas kawasan dan mereduksi konflik yang terjadi di
Kawasan Aralle Tabulahan Mambi (ATM) akibat keterisolasian wilayah yang cukup
berkepanjangan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat mengusulkankan tiga alternatif trase
jalan yang dapat menghubungkan kecamatan-kecamatan di Kawasan ATM dengan pusat
pemerintahan provinsi dan pusat-pusat pemasaran hasil produksi pertanian yang
terkonsentrasi di Ibukota Kabupaten. Pemilihan trase yang efektif dan efesien harus

didasari atas pertimbangan multikriteria dan melibatkan kelompok stakeholders sebagai
bagian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan Analisis Multi Kriteri (AMK). Untuk menilai kriteria dan subkriteria pemilhan
trase jalan, dilakukan wawancara dengan kelompok stakeholders. Tahapan wawancara
dimulai dari penyeleksian kriteria dan subkriteria yang dianggap penting dalam pemilihan
trase menggunakan Skala Likert, selanjutnya melakukan wawancara untuk mengetahui
tingkat kepentingan antarkriteria dengan menggunakan Skala Saaty. Untuk menentukan
bobot prioritas atas tiga alternatif trase yang diusulkan, dilakukan dengan analisis secara
proposional. Berdasarkan hasil interaksi antar bobot setiap kriteria yang terpilih dengan
bobot setiap trase dapat disimpulkan bahwa trase yang memiliki prioritas tertinggi adalah
alternatif trase 1 dengan bobot prioritas 8,146, kemudian alternatif trase 2 dengan bobot
prioritas 7,641, dan yang terakhir adalah alternatif trase 3 dengan bobot prioritas 7,023.
Kata kunci: Pemilihan Trase, AMK, trase 1

1.

PENDAHULUAN

Provinsi Sulawesi Barat memiliki luas wilayah 16.937,16 km² dengan jumlah penduduk 962.713
jiwa dan terbagi ke dalam 5 Kabupaten, 51 kecamatan dan 482 desa. Secara goeografis wilayah

Provinsi Sulawesi Barat dipolarisasi menjadi 2 (dua) wilayah, yakni wilayah pegunungan dan
pesisir. Dengan mencermati polarisasi tersebut, maka sebagian besar kecamatan di Sulawesi Barat
berada di wilayah pegunungan. Kecamatan-kecamatan tersebut, umunya merupakan daerahdaerah yang terisolir dengan aksessibilitas yang terbatas. Diantara kecamatan tersebut, Kecamatan
Aralle, Tabulahan dan Mambi (ATM) merupakan salah satu kawasan yang paling terisolir namun
memiliki potensi perkebunan yang besar.
Selama ini, untuk menghubungkan Kawasan ATM dengan Ibukota Provinsi, masyarakat harus
berjalan kaki atau naik kuda sekitar 3 jam, kemudian memanfaatkan jalur jalan provinsi yakni
Ruas Polewali – Tabone - Mamasa dengan panjang 91 Km dan lebar 3 - 4,5 meter dengan rata-rata
waktu tempuh 5 jam. Selanjutnya adalah melewati jalan nasional (Trans Sulawesi) dengan panjang
253 Km. Karakteristik ruas jalan tersebut, sebagian besar melewati daerah pergunungan dengan
kelandaian berkisar antara 5% - 18% dan sangat rawan potensi longsor.

A – 79

Indikasi yang jelas terlihat adalah terjadinya longsor setiap tahun di beberapa titik, sehingga
mengganggu kelancaran lalu lintas, bahkan sering menimbulkan terputusnya arus lalu lintas
menuju Ibukota provinsi dan kabupaten-kapubaten lainnya di wilayah Provinsi Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan.
Dengan memperhatikan kondisi lingkungan kecamatan-kecamatan yang berada di sekitarnya,
kawasan ATM dapat diklasifikasikan sebagai daerah terisolir kategori Type A, yakni daerah yang

memiliki keterbatasan aksessibilitas, jauh dari pusat pertumbuhan dan memiliki isolasi geografis
berupa gugusan pergunungan (Ditjen Ciptakarya, 2006). Kondisi yang sama juga didefinisikan
oleh Kodoatie (2004) bahwa kawasan terisolir merupakan kawasan yang memiliki kondisi sosial
ekonomi yang relatif tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang dicirikan oleh adanya
permasalahan rendahnya tingkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat, rendahnya aksessibilitas
dan terbatasnya ketersediaan infrastruktur kawasan, serta rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Kawasan tertinggal secara lokasi umumnya berada di kawasan kepulauan/gugus pulau
terpencil, pegunungan, dan kawasan perbatasan terpencil.
Sebagai akibat dari keterisolasian yang cukup berkepanjangan di Kawasan ATM, adalah
teralienasinya masyarakat dari budaya-budaya luar dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga pada anti klimaksnya bermetamorfosis dalam bentuk konflik horizontal selama
kurang lebih 3 tahun (tahun 2003 s/d 2005) dengan korban tewas puluhan jiwa. Hal ini dibenarkan
oleh pendapat sejumlah analis sosial yang mengatakan bahwa konflik di Kawasan ATM berakar
dari keterkungkungan masyarakat terhadap perkembangan informasi dan teknologi yang cukup
pesat dan terhambatnya proses transformasi sosial yang kemudian berakibat terjadinya
kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial yang terjadi ditengah masyarakat di Kawasan ATM yang diakibatkan oleh
kesenjangan spasial antara kawasan pergunungan yang terisolir dan kawasan pesisir yang
berkembang harus direduksi dengan meningkatkan interksi spasial melalui penyediaan jaringan
jalan. Menurut Kaiser, EJ, dkk (1995), bahwa interaksi antara sistem transportasi dengan tata guna

lahan betujuan untuk mencapai keseimbangan, dan interkasi tersebut dijadikan sebagai dasar
perencanaan mengingat transportasi merupakan determinan penting dalam proyeksi perkembangan
wilayah dan rencana tata guna lahan. Sedangkan menurut Wegener (1995) kebijaksanaan
transportasi merupakan cara cepat untuk mempengaruhi pertumbuhan wilayah, begitupun
sebaliknya kebijaksanaan tata guna lahan juga merupakan cara cepat untuk mempengaruhi sistem
transportasi.
Disamping itu menurut Tamin, O.Z (2002), bahwa sistem jaringan transportasi jalan dapat
dikatakan sebagai syarat utama terjadinya pengembangan ekonomi, hal ini disebabkan oleh karena
suatu daerah terpencil yang potensial dapat dihubungkan dengan pasar domestik dengan biaya
transportasi yang lebih terjangkau. Selanjutnya dikatakan bahwa semakin baik kondisi jaringan
jalan tersebut, maka akan semakin rendah biaya transportasinya dan semakin besar konstribusinya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal senada dikemukakan oleh Tarigan (2004), bahwa percepatan
pembangunan daerah perlu terus didayagunakan dengan meningkatkan pengembangan wilayah
beserta dengan aktivitasnya dengan dukungan infrastruktur kewilayahan yang memadai dan
terpadu dalam rangka mencapai kemandirian daerah dan pemerataan pembangunan.
Sebagai respon terhadap permasalahan yang dideskripsikan diatas dan dengan mempertimbangkan
urgensitas sektor transportasi, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah mengusulkan
pembangunan beberapa trase jalan alternatif yang menghubungkan antara Kabupaten Mamuju
dengan Kabupaten Mamasa (Kawasan ATM). Sasaran yang ingin dicapai terhadap pembangunan
jalan tersebut adalah untuk meningkatkan perekonomian pada daerah-daerah yang mempunyai

pendapatan rendah, sekaligus membuka daerah – daerah terisolir yang banyak tersebar di wilayah
Kabupaten Mamasa, Polewali, Majene dan Mamuju. Di samping orientasi tersebut, pembangunan
jalan yang menghubungkan Kawasan ATM dengan Kota Mamuju sebagai Ibukota Provinsi juga
diharapkan dapat mereduksi terjadinya konflik horizontal yang potensial terjadi di Wilayah Aralle

A – 80

Tabulahan Mambi. Namun pemilihan ketiga alternatif trase tersebut, diperhadapkan oleh banyak
faktor yang harus dipertimbangkan baik yang berkaitan dengan kondisi geografis, topografi,
geologi, lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Untuk itu pilihan trase yang tepat harus
mengakomodasi kompleksitas faktor yang ada dan perbedaan kepentingan dari berbagai kelompok
stakeholders. Adapun alternatif trase jalan yang akan dianalisis terdiri dari:
1)
2)
3)

2.

Alternatif trase 1 (satu), melalui Mamuju – Kalukku – Tabulahan – Mambi – Mala’bo –
Mamasa.

Alternatif trase 2 (dua), melalui Mamuju – Malunda – Urekang - Mambi – Mala’bo –
Mamasa
Alternatif trase 3 (tiga), melalui Mamuju – Malunda – Majene – Wonomulyo – Matangnga –
Keppe - Mala’bo – Mamasa

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk; 1) mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kepentingan kriteria
dan subkriteria yang menjadi pertimbangan pemilihan trase jalan di Kawasan ATM, 2) melakukan
analisis menyangkut karakteristik trase jalan di Kawasan ATM, 3) menentukan alternatif trase
jalan yang efektif dan efisien dalam mendukung pengembangan ekonomi dan meningkatkan
aksessibilitas pada kawasan terisolir di Kawasan ATM.

3.

ANALISIS MULTI KRITERIA (AMK)

Communities and Local Government (2009) mendefiniskan bahwa Analisis Multi Kriteria
merupakan suatu pendekatan untuk menilai permasalahan yang rumit dengan memilah
permasalahan dan kemudian mengintegrasikannya kembali untuk memberikan gambaran yang

menyeluruh kepada pembuat keputusan. Metode ini bertujuan untuk membantu pengambil
keputusan untuk berpikir dalam pengambilan keputusan yang tepat. Sebagai sebuah teknik sistem,
AMK menyediakan jalan yang dapat memisahakan perbedaan ukuran dalam permasalahan yang
kompleks, diantaranya mengukur tingkat keterpilihan dalam mencapai sasaran hasil, menimbang
sasaran hasil, dan mengintegrasikannya.
Sejalan dengan definisi tersebut, Tamin, O.Z (2002) menjelaskan bahwa Analisis Multi Kriteria
merupakan alternatif teknik yang mampu menggabungkan sejumlah kriteria dengan besaran yang
berbeda (multi-variable) dan dalam persepsi pihak terkait yang bermacam-macam (multi-facet).
Lebih lanjut Tamin, O.Z, (2004), menjelaskan bahwa dalam pengembangan sistem jaringan jalan
harus dikembangkan pola partisipatif (bottom – up planning) dan memperhatikan keinginan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders), maka salah satu pendekatan perencanaan yang
memungkinkan diakomodasikannya sejumlah kepentingan dan sejumlah kriteria dalam proses
pengambilan keputusan adalah Analisis Multi Kriteria (AMK). Menurut Syafruddin, A (2004)
pihak yang berkepentingan (stakeholders), secara garis besar terdiri dari; 1) Regulator, merupakan
kelompok penentu kebijakan transportasi jalan. 2) Operator, merupakan kelompok yang sesuai
dengan kewenangannya dapat mengoperasikan dan melakukan pemeliharaan transportasi jalan. 3)
User, merupakan kelompok masyarakat pengguna tranportasi jalan, dan 4) Non User, merupakan
kelompok masyarakat bukan pengguna jalan tapi terpengaruh akibat adanya jalan.
Salah satu metode pendekatan yang diterapkan selama ini dalam pengambilan keputusan yang
bersifat multi kriteria adalah Analisis Hirarki Proses (AHP), sebagaimana dijelaskan oleh Cheng

and Li (2005) bahwa Metode Analisis Hirarki Proses dapat digunakan untuk menyelesaiakan
Analisis Multi Kriteria (AMK), karena AHP merupakan suatu metode yang tepat berkaitan
dengan keputusan kompleks yang memiliki saling ketergantungan dalam suatu model keputusan.
Efektifitas penggunaan AHP dalam pengambikan keputusan yang kompleks lebih lanjut dijelaskan
oleh Hemanta dan Xiao Hua (2008) bahwa AHP mengakomodasi ukuran-ukuran yang bersifat

A – 81

kualitatif dan kuantitatif yang mempengaruhi keputusan melalui pendekatan hirarkis, dengan
merinci masalah keputusan kedalam suatu hirarki unsur-unsur keputusan yang saling berhubungan.
Struktur keputusan AHP merupakan suatu hirarki yang menentukan ukuran dan determinasi
tingkat kepentingan kriteria dan subkriteria melalui perbandingan berpasangan. Saaty, L (1988)
menjelaskan bahwa melalui proses AHP akan diperoleh perangkingan antar prioritas sesuai dengan
kemampuannya dalam memenuhi tingkat kepentingan kriteria yang dikembangkan. Oleh karena
itu dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami,
diantaranya adalah decomposition, comparative judgment, synthesis of priority, dan logical
consistency.

4.


METODE PENELITIAN

Tahap pertama, menyeleksi kriteria dan subkriteria yang akan menjadi parameter penelitian. Pada
tahap ini akan dilakukan pengkategorian sikap dan persepsi kelompok stakeholders sesuai hasil
wawancara dengan menggunakan skala likert. Kecenderungan sikap dan persepsi responden menjadi
tolak ukur dalam menilai penting tidaknya suatu kriteria dan subkriteria sebagai paramter
pertimbangan pemilihan trase.
Tabel 1. Skala penilaian tingkat kepentingan setiap kriteria dan subkriteria (Riduwan, 2005)
Rentang

Definisi/Kategori

100 - 80
79 - 60
59 - 40
39 - 20
19 - 0

Sangat Penting
Penting

Cukup Penting
Kurang Penting
Tidak Penting

Untuk menghindari persepsi yang bersifat subjektif terhadap kepentingan kelompok tertentu, maka
dalam penelitian ini responden dibagi menjadi 4 (empat) kelompok stakeholders yakni:
a). Kelompok Regulator; 1) Pemerintah, dalam hal ini adalah BAPPEDA, Dinas Cipta Karya,
Dinas Pengembangan Sumber Daya Air dan Pertambangan, Dinas Pertanian dan Kantor
Analisa Dampak Lingkungan. 2) DPRD Provinsi Sulbar.
b). Kelompok User; 1) Masyarakat umum pengguna jalan, yaitu masyarakat umum yang akan
memanfaatkan dan merasa bermanfaat dengan adanya jalan alternatif. 2) Sopir dan pemilik
kendaraan.
c). Kelompok Operator; 1) Dinas Binamarga, bertanggungjawab dalam penanganan secara teknis
jalan dan jembatan. 2) Dinas Perhubungan, bertanggungjawab dalam kenyamanan dan
keselamatan lalu lintas.
d). Kelompok Non User; adalah masyarakat yang mendapatkan manfaat secara tidak langsung
terhadap pembangunan jalan pada Kawasan ATM.
Tahap kedua, dilakukan pengumpulan data baik di lapangan maupun data dokumentasi. Jenis data
yang akan diinventarisasi disesuaikan dengan kriteria dan subkriteria yang terpilih pada tahap
pertama penelitian.

Tahap ketiga, mengidentifikasi faktor prioritas yang mempengaruhi pemilihan trase jalan pada
kawasan ATM berdasarkan persepsi responden yang sama dengan tahap pertama. Pada tahap ini
dilakukan wawancara dengan menggunakan skala saaty (kusioner AHP) yang menekankan pada
perbandingan antara masing-masing kriteria sebagaimana diuraikan pada tabel 2. Selanjutnya hasil
wawancara dikembangkan dalam bentuk matrik perbandingan berpasangan (matriks pairwise
comparison) dan dianalisis menggunakan program expert choice versi 11.0.

A – 82

Hasil analisis akan menghasilkan bobot prioritas masing-masing kriteria. Menurut Saaty (1988)
jika CR < 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan
konsisten. Jika CR > 0,1, maka nilai perbandingan berpasangan yang diberikan tidak konsisten,
dalam hal ini pengisian nilai-nilai pada matriks berpasangan pada unsur kriteria harus diulang.
Tabel 2.
Tingkat
kepentingan

Skala penilaian antar kriteria (Saaty, 1988)

Definisi

Penjelasan

1

Sama Penting

Sama pentingnya dibanding yang lain.

3

Relatif lebih penting

Moderat pentingnya dibanding yang lain.

5

Lebih Penting

Kuat pentingnya dibanding yang lain.

7

Sangat Penting

Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain.

9

Jauh Lebih Penting

Ekstrim pentingnya dibanding yang lain.

2, 4, 6, 8

Nilai Antara

Nilai di antara dua penilaian yang berdekatan.
Kebalikan Jika elemen i memiliki salah satu angka di atas ketika
dibandingkan elemen j, maka memiliki nilai kebalikannya ketika
dibandingkan elemen i.

Kebalikan

Tahap keempat akan dilakukan proses skooring terhadap masing-masing trase berdasarkan kriteria dan
subkriteria yang terpilih pada tahap pertama penelitian. Proses skooring kriteria dan subkriteria akan
dilakukan dengan pendekatan proporsional sebagai perbandingan langsung dari nilai subkriteria yang
ditampilkan setiap alternatif trase. Nilai skooring masing-masing subkriteria yang didapatkan kemudian
dikomulatifkan menjadi nilai skooring setiap alternatif trase. Untuk subkriteria dengan nilai tertinggi
menggunakan persamaan (1), sedangkan untuk subkriteria dengan nilai terendah menggunakan
persamaan (2).
Nilai Subkriteria x
(1)
Skor Subkriteria x =
× 10
Subkriteria terbaik

Skor Subkriteria x =

Subkriteria terbaik
× 10
Nilai Subkriteria x

(2)

Tahap kelima, melakukan proses komparasi antara bobot prioritas setiap kriteria berdasarkan
persepsi kelompok stakeholders dengan nilai skoring setiap alternatif trase. Hasil interaksi tersebut
menghasilkan bobot komposit yang akan mengindikasikan tingkat prioritas setiap alternatif trase.

5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penilaian Tingkat Kepentingan Setiap Kriteria dan Subkriteria

Bedasarkan hasil analisis tingkat kepentingan masing-masing kriteria dan subkriteria dengan
menggunakan skala likert, mengindikasikan bahwa terdapat kriteria dan subkriteria yang dianggap
kurang penting untuk dijadikan pertimbangan pemilihan trase pada kawasan terisolir ATM di
Provinsi Sulawesi Barat karena didasari atas pertimbangan bahwa kriteria dan subkriteria tersebut
bukan suatu hal yang menjadi kendala dan permasalahan yang mempengaruhi pemilihan trase
jalan di Kawasan ATM. Kriteria tersebut adalah kriteria dampak sosial, sedangkan subkriteria
yang tidak penting adalah subkriteria hubungan antar hirarki yang efisien, jumlah KK yang harus
dipindahkan, gangguan sosail, pembebasan lahan, gangguan kebisingan, dan polusi udara. Kriteria
dan subkriteria yang kurang penting dan tidak penting tersebut selanjutnya tidak dijadikan
sebagai parameter dalam analisis pemilihan trase. Untuk lebih jelasnya tingkat kepentingan kriteria
dan subkriteria pemilihan trase jalan dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

A – 83

Tabel 3. Tingkat kepentingan masing-masing kriteria dan subkriteria pemilihan trase
Kriteria/Subkriteria
1. Integrasi Terhadap Hirarki Jaringan Jalan
a. Memberikan akses terhadap jalan lokal dan kolektor
b. Hubungan Antar Hirarki yang Efiesien
2. Integrasi Terhadap Tata Ruang
a. Kawasan Permukiman
b. Kawasan Pertanian
c. Kawasan Perkebunan
3. Aspek Biaya dan Finansial
a. Biaya Pembebasan Lahan
b. Biaya Pembangunan Jalan
c. Waktu Perjalanan
d. Biaya Operasional Kendaraan
4. Dampak Sosial
a. Jumlah KK yang Dipindahkan
b. Gangguan Sosial
5. Dampak Lingkungan
a. Rusaknya Ekosistem Kawasan Lindung
b. Gangguan Kebisingan
c. Polusi Udara
6. Aspek Fisik dan Teknik
a. Kondisi Topografi
b. Kondisi Geometrik (Alinement Horizontal)
c. Kondisi Geoteknik
d. Kondisi Daya Dukung Tanah

Tingkat Kepentingan
Skor
Kategori
55.00 %
Cukup Penting
72.67 %
Penting
37.33 %
Kurang Penting
87.11 %
Sangat Penting
84.00 %
Sangat Penting
88.67 %
Sangat Penting
88.67 %
Sangat Penting
68.33 %
Penting
36.67 %
Kurang Penting
80.00 %
Penting
78.00 %
Penting
78.67 %
Penting
37.67 %
Kurang Penting
38.67 %
Kurang Penting
36.67 %
Kurang Penting
35.56 %
Cukup Penting
36.67 %
Sangat Penting
34.00 %
Kurang Penting
36.00 %
Kurang Penting
72.67 %
Sangat Penting
84.00 %
Sangat Penting
81.33 %
Sangat Penting
66.00 %
Penting
59.33 %
Cukup Penting

Matriks Komparatif Kriteria Berdasarkan Persepsi Kelompok Stakeholders
Hasil analisis persepsi masing-masing kelompok responden mengindikasikan adanya perbedaan
bobot dari masing-masing kriteria yang diusulkan. Oleh karena itu dilakukan penggabungan
pendapat kelompok dengan merata-ratakan bobot dari keempat kelompok responden yang
diwawancara. Hasil rata-rata bobot selanjutnya merupakan bobot prioritas masing-masing kriteria.
Hasil analisis penggabungan tersebut selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil penggabungan pendapat masing-masing kelompok responden
Kriteria
Integrasi Hirarki Jalan
Integrasi Tata Ruang
Biaya dan Finansial
Dampak Lingkungan
Fisik dan Teknik

Kelompok Stakeholders
Regulator
Operator
User
0,092
0,188
0,128
0,229
0,131
0,267
0,232
0,188
0,167
0,093
0,169
0,129
0,347
0,332
0,309

Non-user
0,111
0,304
0,273
0,050
0,262

Rata-rata
0,129
0,233
0,215
0,110
0,312

Terpilihnya kriteria teknik sebagai kriteria prioritas dalam pemilihan trase pada kawasan terisolir
ATM didasari oleh pertimbangan bahwa aspek teknik jauh lebih penting dibanding dengan aspek
lainnya, mengingat kondisi topografi dari masing-masing trase alternatif merupakan daerah
pegunungan dengan kondisi geologi yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan rekayasa teknik yang
lebih spesifik. Sedangkan terpilihnya kriteria integrasi terhadap tata ruang sebagai kriteria prioritas
kedua didasari oleh kepentingan untuk mengakomodasi seluruh kebutuhan perjalanan masyarakat
sekitar Kawasan ATM, sehingga dapat meningkatkan aksessibilitas kawasan yang tentunya akan
berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pada Kawasan ATM.

A – 84

Sedangkan terpilihnya kriteria finansial sebagai prioritas ketiga dalam pemilihan trase di Kawasan
ATM didasari atas pertimbangan bahwa aspek ini penting untuk diperhatikan mengingat berkaitan
langsung dengan kemampuan pendanaan pemerintah untuk membiayai pembangunan jaringan
jalan pada kawasan tersebut, di samping itu aspek ini juga berkaitan langsung dengan nilai manfaat
yang didapatkan masyarakat baik dari segi pengurangan waktu tempuh maupun pengurangan
Biaya Operasional Kendaraan (BOK) sebagai dampak positif dari pengurangan jarak tempuh.
Khusus untuk kriteria keterpaduan hirarki jaringan jalan, merupakan kriteria dengan prioritas
keempat yang harus dijadikan pertimbangan. Terpilihnya kriteria ini didasari oleh karena sebagian
besar responden dari 4 (empat) kelompok stakeholders berpendapat bahwa upaya untuk
menciptakan keterpaduan hirarki jaringan jalan bukanlah suatu hal yang sangat penting untuk
diperhatikan bila dibandingkan dengan 3 (tiga) kriteria sebelumnya. Terpilihnya kriteria dampak
lingkungan sebagai kriteria terendah nilai prioritasnya, didasari atas pertimbangan bahwa dampak
lingkungan adalah konsekwensi logis yang harus dihadapi ditengah tuntutan akan peningkatan
aksessibilitas kawasan dan pembebasan masyarakat dari keterisolasian wilayah. Namun demikian
upaya-upaya minimalisasi dampak lingkungan tetap menjadi pertimbangan pemilihan trase
walaupun bobot pengaruhnya relatif kecil.
Pembobotan Masing-masing Trase
Sistem jaringan jalan yang ideal adalah jaringan yang memilki hirarki yang terstruktur berdasarkan
fungsinya, dan masing-masing jaringan mampu memberikan akses terhadap jaringan jalan yang
lainnya. Oleh karena itu semakin panjang jalan tarse jalan yang diusulkan, maka semakin baik
karena memungkinkan lebih banyak mengakses jalan lokal dan kolektor. Seperti tersaji dalam
Tabel 5, dapat diinterpretasikan bahwa alternatif trase 2 lebih ideal karena trasenya lebih panjang
dari pada alternatif lainnya.
Tabel 5. Skor trase berdasarkan kriteria integrasi terhadap hirarki sistem jaringan jalan
Kriteria Integrasi terhadap Hirarki
Sistem Jaringan Jalan
Akses terhadap jalan lokal dan kolektor
Rata-rata

Panjang (Km)
Trase 1 Trase 2 Trase 3
146,80 281,40 156,40

Trase 1
5,22
5,22

Skor
Trase 2
10,00
10,00

Trase 3
5,56
5,56

Tabel 6. Skor trase berdasarkan kriteria integrasi terhadap tata ruang
Kriteria Integrasi Terhadap Tata Ruang
Kawasan permukiman
Kawasan pertanian
Kawasan perkebunan
Rata-rata

Trase 1
1.995
23.490
93.224

Luas (Ha)
Trase 2 Trase 3
2.898
1.380
70.356 35.193
64.024 50.444

Trase 1
6,88
3,34
10,00
6,74

Skor
Trase 2
10,00
10,00
6,87
8,95

Trase 3
4,76
5,00
5,41
5,05

Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia melakukan perjalanan dengan menggunakan sistem
jaringan transportasi. Hal ini akan menyebabkan timbulnya pergerakan arus manusia, kendaraan
dan barang. Pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang akan mengakibatkan berbagai macam
interaksi, misalnya; interaksi antara kota sebagai pasar dengan daerah pertanian, kota sebagai
konsumen hasil pertanian dengan daerah pertanian, kota dengan daerah pariwisata dan antara
pabrik dengan lokasi bahan mentah dan pasar (Tamin, OZ, 1997). Untuk itu jaringan jalan harus
mampu mendukung akses kawasan dan mengakomodasi kebutuhan perjalanan, baik yang berbasis
permukiman, pertanian, maupun perkebunan. Dengan menggunakan data spasial, trase 1 memiliki
skoor tertinggi dalam mendukung akses terhadap kawasan perkebunan, selanjutnya trase 2 yang
memiliki skoor tertinggi dalam mendukung akses terhadap kawasan permukiman dan pertanian.

A – 85

Tabel 7. Skor trase berdasarkan kriteria biaya dan finansial
Kriteria Biaya dan Finansial
Biaya pembangunan jalan
(Rp x 1.000.000)
Waktu perjalanan (Jam)
Biaya Operasional Kendaraan (Rp)
Rata-rata

Trase 1

Trase 2

Trase 3

Trase 1

Skor
Trase 2

Trase 3

98.074

129.959

97.621

9,95

7,51

10,00

2,45
185.262

4,69
355.127

2,61
197.377

10,00
10,00
9,985

5,22
5,22
5,982

9,39
9,39
9,591

Perkiraan biaya proyek pada tahapan siklus proyek dimaksudkan untuk mendapatkan perkiraan
biaya setepat mungkin dari suatu proyek berdasarkan dari data yang. Disampig itu penting juga
dilakukan analisis manfaat berupa pengurangan waktu tempuh dan Biaya Operasional Kendaraan
(BOK). Oleh karena itu secara finansial jaringan jalan yang ideal adalah jaringan jalan yang
memiliki investasi yang kecil namun memberikan manfaat yang besar.
Untuk subkriteria pertama, biaya pembangunan fisik pada 3 ruas tersebut didapatkan berdasarkan
harga satuan dari alternatif tipikal desain cross section yang diusulkan,dan dihitung dengan
menggunakan metode Bina Marga. Sedangkan waktu tempuh didapat dari panjang jalan dibagi
dengan kecepatan standar untuk luar kota (60 km/jam). Adapun subkriteria Biaya Operasional
Kendaraan (BOK) dihitung dengan menggunakan pedoman Bina Marga berdasarkan asumsi harga
kontrak berlaku dan mempertimbangkan kondisi geometrik yang diasumsikan, adapun nilai BOK
untuk kendaraan ringan (HV) yang didapatkan adalah Rp. 1.262/km. Hasil analisis menunjukkan
bahwa trase 1 memiliki waktu perjalanan yang lebih cepat dan Biaya Operasional Kendaraan
(BOK) yang relatif lebih kecil dibandingkan trase lainnya. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek
biaya pembangunan, maka trase 3 lebih rendah biaya investasinya dibanding trase lainnya.
Tabel 8. Skor trase berdasarkan kriteria dampak lingkungan
Kriteria Dampak Lingkungan

Panjang (Km)
Trase 1 Trase 2 Trase 3
Rusaknya ekosistem pada kawasan lindung 16,15
15,48
13,40
Rata-rata

Trase 1
8,30
8,298

Skor
Trase 2
8,66
8,656

Trase 3
10,00
10,000

Pelaksanaan pembangunan maupun operasional infrastruktur dapat mengganggu habitat fauna
tertentu karena jalan dapat menjadi pembatas pergerakan binatang sehingga wilayah jelajah
binatang tertentu berkurang. Selain itu, jalan dapat membahayakan migrasi beberapa hewan melata
ataupun burung-burung yang mungkin akan mempengaruhi populasi hewan-hewan tersebut
(Puslitbang PU, 2005). Berdasarkan ploting koordinat trase alternatif pada peta GIS diidentifikasi
bahwa trase 1 melintasi kawasan hutan lindung sepanjang 16,15 km, trase 2 sepanjang 15,48 km
dan trase 3 melintasi kawasan hutan lindung sepanjang 13,40 km. Oleh karena itu apabila ditinjau
dari aspek dampak lingkungan, maka trase 3 merupakan terase yang memberikan kotribusi yang
lebih kecil terhadap potensi rusaknya ekosistem pada kawasan lindung dibandingkan dengan trase
lainnya, walaupun kontribusi skornya relatif hampir sama.
Tabel 9. Skor trase berdasarkan kriteria fisik dan teknik
Kriteria Fisik dan Teknik
Kondisi topografi (%)
Kondisi geometrik (rata2 jumlah PI/km)
Kerentenan gerakan tanah (Kali/tahun)
Kondisi daya dukung tanah (%)
Rata-rata

Trase 1
8,71
21
2,00
5,34

Kondisi
Trase 2
21,25
31
4,00
8,39

A – 86

Trase 3
15,75
28
3,00
4,55

Trase 1
10,00
10,00
10,00
6,36
9,091

Skor
Trase 2
4,10
6,70
5,00
10,00
6,468

Trase 3
5,53
7,55
6,67
5,42
6,280

Daerah yang memiliki topografi berupa pergunungan umumnya memiliki kondisi geometrik yang
tidak nyaman dan aman. Kondisi tersebut, diakibatkan oleh besarnya nilai kelandaian dan kecilnya
jari-jari lengkung atau memiliki jumlah lengkung horizontal yang cukup banyak. Berdasarkan
standar Bina Marga kelandaian maksimum yang disayaratkan untuk jalan antar kota adalah 10%
dengan panjang jari-jari minimum 50 meter. Untuk itu semakin besar nilai kelandain dan semakin
kecil jari-jari suatu jalan maka trase tersebut semakin buruk. Disamping itu trase jalan yang ideal
adalah trase yang melintasi kawasan dengan stabilitas lereng dan daya dukung tanah yang tinggi.
Berdasarkan pradesain geometrik dengan menggunakan bantuan land development dapat
diidentifikasi bahwa masing-masing alternatif trase memiliki jumlah lengkung horizontal dan
kelandaian maksimum yang bervariasi. Begitupula kondisi daya dukung tanah yang diidentifikasi
melalui pengujian Dynamic Cone Penetrometer (DCP) juga memperlihatkan angka yang
bervariasi dari masing-masing alternatif trase. Dari data tersebut, apabila ditinjau dari aspek fisik
dan teknik maka trase 1 merupakan trase terbaik karena memiliki kondisi topografi maksimum
8,71% dan jumlah lengkung horizontal yang lebih sedikit yakni rata-rata 21 lengkung/km, serta
frekuensi longsor relative lebih kecil dibandingkan dengan trase lainnya. Sedangkan apabila
ditinjau dari aspek kondisi daya dukung tanah, maka trase 3 merupakan trase dengan daya dukung
yang lebih tinggi.
Pemilihan Trase Alternatif
Hasil penetapan bobot prioritas masing-masing trase di atas, hanya merupakan penilaian secara
kuantitatif berdasarkan kondisi di lapangan, maka untuk mendapatkan hasil pemilihan yang
objektif, maka perlu dikomparasikan antara penilaian kuantitatif yang didapatkan dari hasil
analisis bobot prioritas masing-masing trase dengan penilaian kualitatif berdasarkan persepsi
responden sebagaimana yang telah dianalisis sebelumnya. Untuk mengkomparasikan kedua
penilaian tersebut, maka dilakukan perkalian antara bobot masing-masing kriteria dengan bobot
setiap trase kemudian dikomulatifkan untuk mendapatkan alternatif trase yang terbaik.
Tabel 10. Hasil komparasi antara bobot kriteria dengan skoor setiap alternatif trase
Kriteria

bobot

Hirarki
Integrasi
Finansial
Lingkungan
Teknik
Bobot Komulatif
Prioritas

0,129
0,233
0,215
0,110
0,312
1,000

Trase 1
0,675
1,570
2,145
0,916
2,840
8,146
I

Skor Terbobot
Trase 2
1,295
2,085
1,285
0,955
2,021
7,641
II

Trase 3
0,720
1,178
2,061
1,103
1,962
7,023
III

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 3 alternatif trase yang diusulkan, trase 1(satu) merupakan
trase yang memiliki bobot prioritas tertinggi untuk dijadikan pilihan dalam rangka meningkatkan
aksessibilitas pada kawasan terisolir ATM di Provinsi Sulawesi Barat. Sedangkan alternatif trase 2
dan 3, merupakan trase yang memiliki prioritas kedua dan ketiga.

6.

KESIMPULAN

Dari beberapa kriteria yang diidentifikasi, terdapat 5 (lima) kriteria yang dianggap penting untuk
menjadi pertimbangan penentuan trase jalan di Kawasan ATM. Kriteria tersebut meliputi; aspek
keterpaduan hirarki jaringan jalan, aspek integrasi terhadap tata ruang wilayah, aspek finansial dan
ekonomi, aspek dampak lingkungan, dan aspek fisik dan teknis. Adapun kondisi ketiga alternatif
trase yang ada di Kawasan ATM memiliki karakteristik yang bervariasi.

A – 87

Secara deskriptif, apabila ditinjau dari aspek keterpaduan hirarki jaringan jalan, maka trase yang
terbaik adalah alternatif trase 2, apabila ditinjau dari aspek integrasi dengan tata ruang wilayah,
maka trase yang terbaik adalah trase 2. Selanjutnya apabila ditinjau dari sisi aspek finansial dan
ekonomi trase 1 merupakan alternatif terbaik. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek dampak
lingkungan yang ditimbulkan, maka trase 3 merupakan trase terbaik dibadingkan dengan trase
lainnya. Adapun dari aspek fisik dan teknik, maka trase 1 memilki karakteristik yang terbaik untuk
dikembangkan.
Dari ketiga alternatif trase yang dianalisis, maka trase yang terbaik ditinjau dari keseluruhan
kriteria dan subkriteria yang menjadi pertimbangan penilaian adalah alternatif trase 1. Hal ini
sangat beralasan karena trase 1 selain memiliki karakteristik teknis yang terbaik dari aspek
topografi, geometrik, geoteknik dan daya dukung tanah, serta memiliki biaya investasi yang
rendah dengan konstribusi manfaat yang tinggi, disamping itu juga dapat dintegrasikan dengan
jaringan jalan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Cheng, E.W.L. and Li, H. (2005). “Analytical Network Process Applied to Project Selection”,
Journal of Construction Engineering and Management, 131 (4), 459-466.
Departement for Communities and Local Government. (2009). Multi Criteria Analysis: a Manual,
Communities and Local Government Publication, London.
Guillermo A, Mandoza, dan Phill Macaun. (1999). Panduan Untuk Menerapkan Anlisis Multi
Kriteria Untuk Menilai Kriteria dan Indikator, Center for International Forestry Research.
Jakarta.
Hemanta, dan Xiao-Hua. (2008). “Modelling Multi-Criteria Decision Analysis for Benchmarking
Management Practices in Project Management”, International Conference On Information
Technology In Construction. Oktober 2008.
Kodoatie, R. J. (2005). Pengantar Manajemen Infrastruktur. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kaiser, E. J. David, Godshalck, dan Chapin, F.S. (1995). Urband Land Use Palnning. University of
Illionis Press. Urbana and Chicago.
Sjafruddin A.(2004), Studi Kelayakan dan Pendanaan Infrastruktur, Institut Teknologi Bandung.
Saaty, T.L. (1988). Multicriteria Decision Making : The Analytic Hierarchy Process. British
Library. USA.
Sekaryadi, Y. (2006). Penentuan Trase Jalan dengan AMK, Jurnal Teknik Sipil, 2 (1), 34-43.
Rozann, W.S. (2003). Decision Making In Complex Environments: The Analytic Hierarchy
Process (AHP) for Decision Making and The Analytic Network Process (ANP) for Decision
Making with Dependence and Feedback. Super Decisions Tutorial.
Riduwan. (2007). Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Edisi 5. Alfabeta, Bandung.
Tamin, O. Z. Syafruddin, A. (2005). “Determination Priority Of Road Improvement Alternatives
Based On Region Optimization Case Study: Bandung City Indonesia”, Proceedings of the
Eastern Asia Society for Transportation Studies, 5, 1040 – 1049.
Tamin, O. Z. (2004). Manajemen Operasi Lalu-lintas, ITB.
Tarigan, R. (2004). Perencanaan dan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara Jakarta.
Tamin, O. Z. (2002). “Konsep Pengembangan Transportasi Wilayah di Era Otonomi Daerah”.
Makalah pada Kuliah Tamu Program Pascasarjana Universtas Hasanuddin. 17-18 Januari
2002.

A – 88