FALSAFAH HIDUP YANG TERSIRAT DI BALIK

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat adat Tana Lotong adalah sebutan bagi masyarakat adat yang
tersebar di Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau, Kabupaten
Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya sangat
terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan
menerobos kanopi hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang
masih dalam tahap perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap
menyebabkan akses menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit
dijangkau (Kompas.com, 5/9/2012)
Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat
adat Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di
antara penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah
Masyarakat adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih
memegang teguh adat istiadat, dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan
oleh nenek moyangnya.
Masyarakat adat Tana Lotong adalah sebutan bagi masyarakat adat yang

tersebar di Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau, Kabupaten
Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis, letak wilayahnya sangat
terpencil. Kondisi jalan tanah berbatu, melintasi sekitar 20 anak sungai, dan
menerobos kanopi hutan. Dengan medan yang cukup rawan, kondisi jalan yang
masih dalam tahap perbaikan, dan beberapa anak sungai yang berpotensi meluap
menyebabkan akses menuju wilayah masyarakat adat Tana Lotong cukup sulit
dijangkau (Kompas.com, 5/9/2012)
Kondisi geografis yang jauh dari perkotaan tersebut membuat masyarakat
adat Tana Lotong saat ini masih tetap eksis berusaha sendiri untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan harapan dengan dunia luar. Di

2

antara penyebab eksisnya masyarakat adat Tana Lotong sampai saat ini adalah
Masyarakat adat Tana Lotong sebagai salah satu komunitas adat yang masih
memegang teguh adat istiadat, dan kebudayaan yang turun temurun diwariskan
oleh nenek moyangnya.
Selain pada rumah adat, wujud kearifan lokal tersebut nampak pula pada
corak tenun ikat Kalumpang, yang menggambarkan kepemimpinan delapan orang
kepala kampung yang disebut To Baraq. Hal ini senada dengan penuturan Subyek

B:
“....Ini kain ada artinya....yang ciptakan ini perempuan namanya Rimun.
Motif Ulu Karua itu, menggambarkan delapan orang kepala kampung namanya
To Baraq....”
Sekomandi, salah satu motif kain tenun ikat Kalumpang merupakan
gambaran dari eratnya ikatan kekerabatan di antara masyarakat adat Tana Lotong.
Berikut penuturan Subyek A:
“....Jadi, contohnya itu pada waktu peristiwa gerombolan. Dengan tibatiba serempak bangkit tanpa komando melawan DI/TII. Itu komandannya dulu itu
kristen, kepala stafnya islam. Sama-sama melawan gerombolan DI/TII. Itu
komandannya itu namanya Martenan Dayo. Kepala stafnya namanya Muhammad
Amin orang Pabbettengan, ada juga satu di Leleng namanya Muhammad Anas....
Jadi di samping karya seni, juga karya konstruktif ...apa konstruksi, karna bikin
konstruksi bagaimana caranya bikin itu anu, jadi ada unsur
seninya,konstruksi....teknologi”
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai Falsafah Hidup yang tersirat di balik kain Sekomandi pada
masyarakat adat Tana Lotong.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Beberapa pertanyaan penelitian berikut ini disusun untuk memberikan arah
penelitian agar lebih terfokus pada tema-tema yang terkait. Berikut ini adalah

pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar yang telah disusun:
1. Bagaimana falsafah hidup Masyarakat Adat Tana Lotong?
2. Bagaimana falsafah hidup yang terkandung dalam kain Sekomandi pada
masyarakat adat Tana Lotong?

3

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
eksistensi pada wujud altruisme yang terkandung pada masyarakat adat Tana
Lotong.
2. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memperluas khazanah pengetahuan di bidang
psikologi khususnya psikologi sosial, dan psikologi kepribadian.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Masyarakat
Agar masyarakat dapat mengambil pelajaran dari budaya lokal Indonesia
yang masih dalam ranah budaya timur, sehingga dapat memperkuat karakter

bangsa. Bagi guru
Agar penelitian ini dapat menjadi bahan ajar dalam proses pendidikan
moral siswa.
2) Bagi Orangtua
Agar penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dalam mewujudkan pola
asuh yang sehat terhadap anak.
3) Bagi Masyarakat Adat Tana Lotong
Agar dapat mempertahankan tradisi dan budaya yang dapat memfilter
segala pengaruh negatif yang masuk dari luar.
4) Bagi Peneliti
Agar dapat memahami psikologi timur, yang sebenarnya lebih tepat
diterapkan dalam kehidupan Bangsa Indonesia yang berbeda dengan budaya barat.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Falsafah hidup
1. Pengertian

4


Falsafah berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Philos/ Philoin
(suka, cinta, dan mencintai). Sophia (kebijaksanaan, hikmah, kepandaian, dan
ilmu. Secara lengkap, Philosophia memiliki arti cinta kepada kebijaksanaan atau
cinta kepada ilmu. Falsafah memiliki arti sebagai sebuah pandangan hidup,
anggapan, ide, pemikiran, dan sikap batin paling dasar yang dimiliki oleh
seseorang atau masyarakat (Wikipedia).
Jadi, Falsafah adalah sebuah cara yang digunakan untuk mengatur tata
kehidupan manusia dalam bermasyarakat agar memiliki pandangan hidup, dan
pedoman hidup yang memiliki aturan kebijaksanaan yang jelas dan tegas, untuk
mencapai cita-cita bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun falsafah
hidup adalah nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara
selektif oleh individu dan golongan di dalam masyarakat (Koentjaraningrat).
Berdasarkan defenisi di atas, Falsafah Hidup adalah pedoman hidup
bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya
untuk mencapai tujuan bersama.
a. Sumber Falsafah Hidup
Menurut Ir. Munandar Soelaiman (2000), falsafah hidup berdasarkan
sumbernya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Falsafah hidup yang bersumber dari agama
2) Falsafah hidup yang bersumber dari abstraksi nilai-nilai budaya suatu

bangsa
3) Falsafah hidup sebagai hasil dari perenungan seseorang sehingga dapat
merupakan ajaran atau etika untuk hidup, misalnya aliran-aliran kepercayaan.
B. Masyarakat Tana Lotong
1. Pengertian
Masyarakat lokal yang menerapkan cara hidup tradisional di daerah
pedesaan, yang nyaris tak tersentuh teknologi umumnya dikenal sebagai
masyarakat suku, komunitas asli atau masyarakat hukum adat, penduduk asli atau
masyarakat tradisional (Dasmaan dalam M. Indrawan, 2007).

5

Masyarakat adat Tana Lotong (Tanah Subur). Tana Lotong meliputi desa-desa di
Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan Bonehau di pedalaman Kabupaten
Mamuju. Masyarakat setempat menyebut diri sebagai masyarakat adat Tana
Lotong. Lokasi itu berjarak 135 kilometer dari pusat kabupaten dan provinsi di
Mamuju. Sejauh 60 kilometer di antaranya melalui jalan tanah berbatu, melintasi
sekitar 28 anak sungai, dan menerobos kanopi hutan. Tanah Lotong artinya tanah
subur. Diberkati dengan sumber mata air bersih yang melimpah dan dipagari bukit
dengan hutan yang asri.

Kecamatan Bonehau merupakan pemekaran dari Kecamatan Kalumpang
sejak 10 tahun yang lalu. Jumlah penduduk di kecamatan Bonehau pada tahun
2013 kurang lebih 6.000 jiwa (versi BKKBN) dengan jumlah penduduk wajib
pilih 1.823 jiwa, dan 729 Kepala Keluarga. Masing-masing jumlah penduduknya,
Kalumpang 13.536 jiwa, dan 9.257 jiwa untuk Bonehau. Ini menurut Data
Statistik Kabupaten Mamuju 2009.
Kata Bone dalam Bonehau bermakna sungai besar dalam cabang-cabang
bahasa austronesia. Awalnya, antara kata Bone dan Hau terpisah, namun karena
penyebutannya yang sering disambung maka disebutlah Bonehau untuk menyebut
sebuah kecamatan yang merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Kalumpang
(Ridwan Alimuddin, ). Para ahli etnografi mengkategorikan orang Kalumpang
dalam rumpun budaya Toraja. Hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab saat ini,
beberapa ragam budaya orang Kalumpang semisal penguburan di liang, dan
tebing batu, kain tenun juga bahasa mirip dengan budaya orang Toraja. Jadi,
meskipun secara geografis kalumpang masuk ke dalam wilayah mamuju atau
Sulawesi Barat (mandar), namun dari segi budaya berbeda dengan kebudayaan
Mandar, atau kebudayaan Mamuju secara umum. Berdasarkan penelitian terbaru,
terutama berdasarkan tradisi lisan, dan bukti arkeologis, kebudayaan orang
Kalumpang justru lebih tua, dan ada kemungkinan justru kebudayaan Toraja justru
berakar dari kebudayaan orang Kalumpang Purba.


6

BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
1. Kajian Fenomenologi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Fenomenologi.
Penelitian ini berlokasi di tiga desa yakni Tamalea, Pabbettengan, dan

7

Kalumpang. Ketiga desa ini terletak di dua kecamatan yakni Kecamatan Bonehau,
dan Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Kedua
kecamatan ini merupakan wilayah masyarakat adat Tana Lotong. Penelitian ini
dilakukan selama dua hari. Adapun Subyek penelitian berjumlah 2 orang. Subyek
pertama adalah seorang tokoh masyarakat adat Tana Lotong (Subyek A). Subyek
kedua adalah Kepala Desa Pabbettengan, sebuah desa di kecamatan Bonehau
(Subyek B).
B. BATASAN ISTILAH

Dalam rangka menghindari kesalahan interpretasi dan anggapan yang
keliru dari berbagai pihak terhadap judul dan pembahasan ini, maka peneliti perlu
merumuskan batasan istilah yang digunakan. Adapun batasan istilah yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Falsafah Hidup adalah pedoman hidup bermasyarakat yang mengandung
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya untuk mencapai tujuan
bersama.
2. Masyarakat adat Tana Lotong (Tanah Subur) adalah masyarakat yang
bermukim di desa-desa di Kecamatan Kalumpang, dan Kecamatan
Bonehau di pedalaman Kabupaten Mamuju.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.

Falsafah hidup yang tersirat dari kain tenun ikat
Menurut penuturan Subyek A, bahwa falsafah hidup masyarakat Adat Tana

Lotong adalah sebagai berikut:


8

a. Titanan Tallu, Tibamban Sanguyun (Tertanam Tiga, Tercabut Sekaligus), tiga
hal ini meliputi:
1) Unrundunan Lalona (Menelusuri Kekerabatan)
2) Maerreq Sisekomandi (Kuat Terikat)
3) Teroraq ri Marilotong (Hanya dapat dipisahkan oleh dunia orang mati)
“....Dari pariental itulah muncul Unrundunan Lalona artinya dia menelusuri
kekerabatannya, Maerreq Sisekomandi artinya kuat terikat, dan hanya boleh
teroraq, ikatan itu boleh teroraq oleh marilotong, artinya dunia orang mati,
itulah yang saya berikan nama titanan tallu, tibamban sanguyun. Tertanam tiga
artinya satu dua tiga,tapi kalau tercerabut sekaligus....”
Falsafah hidup masyarakat adat Tana Lotong ini diwujudkan, dan diabadikan
dalam kain tenun ikat orang Kalumpang.
“....Yah, itulah filosofinya. Semacam butir-butirnya itu, yaitulah itu Unrundunan
Lalona, Maerreq Sisekomandi, dan Marilotong. Itu diwujudkan, diabadikan lewat
tenunan ikat orang Kalumpang. Jadi di samping karya seni, juga karya
konstruktif ...apa konstruksi, karna bikin konstruksi bagaimana caranya bikin itu
anu, jadi ada unsur seninya,konstruksi....teknologi”
b. Ada tiga buah motif kain tenun ikat yang merupakan perwujudan falsafah

hidup masyarakat adat Tana Lotong, yakni:
1)

Marilotong, berwarna hitam dan polos.

2)

Sekomandi. Ada beberapa motif Sekomandi, yakni:

a)

Ulu karua kaselle, menggambarkan 8 penguasa setiap kampung sebagai

dewan adat yang merupakan pilar, yaitu To baraq Pondan, To baraq Timbaq, To
baraq Lolo, To pakkaloq, To Maq Dewata, Totumado, Tomakaka, dan To Kamban.
b)

Leleq sepu, sebagai lambang persahabatan dan kekeluargaan

c)

Tomoling, lambang tawakkal kepada Tuhan.

3)

Rundun Lolo bermotif pula. Namun yang membedakannya dengan

Sekomandi terletak pada corak garis-garis panjangnya. Rundun Lolo motif atau
coraknya garis panjang. Memang sekilas mirip, tapi Rundun Lolo lebih dominan
garis-garis panjangnya. Rundun Lolo bermakna kekerabatan.

9

“....Itu Ulu Karua menggambarkan delapan penguasa dalam setiap kampung,
yang dibilang Leleq Sepu’ itu lambang kekerabatan, Tomoling itu telaten,
tawakkal....”
Falsafah hidup inilah yang mempersatukan masyarakat adat Tana Lotong. Dengan
sistem kekerabatan yang cukup erat terjalin, tanpa memandang status sosial, dan
perbedaan agama masyarakatnya selalu bersatu, dan hidup dalam kedamaian.
“....Jadi, contohnya itu pada waktu peristiwa gerombolan. Dengan tiba-tiba
serempak bangkit tanpa komando melawan DI/TII. Itu komandannya dulu itu
kristen, kepala stafnya islam. Sama-sama melawan gerombolan DI/TII. Itu
komandannya itu namanya Martenan Dayo. Kepala stafnya namanya Muhammad
Amin orang Pabbettengan, ada juga satu di Leleng namanya Muhammad
Anas....”
Petikan wawancara di atas memperlihatkan bahwa dengan falsafah hidup “Titanan
Tallu, Tibamban Sanguyun” yang telah mengakar di dalam kehidupan masyarakat
adat Tana Lotong, maka terwujudlah kerukunan, dan kedamaian yang membuat
kehidupan menjadi aman, dan tenteram.
Disebut tenun ikat, sebab mengikat kumpulan benang adalah salah satu teknik
sebelum mewarnai benang yang akan ditenun. Menurut Ridwan Alimuddin dalam
bukunya Ekspedisi Bumi Mandar, adapun prosedur lengkap pembuatan kain tenun
ikat adalah sebagai berikut:
a)

Dalam pembuatan tenun ikat digunakan beberapa alat, yaitu: Apiq atau alat

pengikat pinggang penenun (To Paq Tannun)
i) Talekoq atau alat menahan benang yang berada di belakang penenun
ii) Baloq atau alat menahan benang yang dipasang di perut penenun
iii) Tittiq atau alat mengangkat/mengatur benang yang digerakkan secara
bergantian dengan baloq
iv) Balido atau alat untuk merapatkan benang

10

v) Kalimuran / Laso Katadan atau alat untuk menahan benang pada saat diikat
agar motif tertata rapi dan menjadi tempat mengukir motif.
b) Tahapan pembuatan terbagi atas tiga, yakni pemintalan, pewarnaan benang,
dan penenunan. Proses tersebut bisa memakan waktu enam sampai dua belas
bulan. Itulah alasan, hingga saat ini, sarung ikat Kalumpang amat mahal
harganya.Dulu, sarung ikat menggunakan kapas yang ditanam sendiri oleh
masyarakat Kalumpang. Tapi sekarang, benang didatangkan dari luar. Sewaktu
masih menggunakan kapas produk sendiri, untuk pengolahannya sebagai berikut:
i) Kapas dijemur sampai kering lalu dibuat menjadi benang dengan
menggunakan Unuran. Benang yang dihasilkan kemudian digulung ke Balekoan.
ii) Berikutnya adalah tahap pewarnaan. Tahap pertama adalah pemberian bahan
perekat warna. Bahannya berupa campuran cabe (Marisa atau Pendawa), kemiri,
lengkuas, dan kaju pallin. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus lalu
dimasak.
iii) Di wadah lain, dibuat rendaman abu yang terbuat dari kayu bakkudu. Air
rendaman abu, hanya diambil bagian atas yang agak jernih setelah terjadi
pengendapan. Air rendaman dan bahan campuran perekat warna selanjutnya
dipoles ke benang sampai meresap. Setelah itu, dijemur selama 30 hari terus
menerus agar warna yang diberi kuat dan tidak luntur.
iv) Benang yang sudah diberi warna dasar, yang terlihat kekuning-kuningan,
dimasukkan ke dalam kalimuran. Bentuknya segi empat, kira-kira panjangnya
hampir dua meter dan lebar sekitar 60cm. Benang direntang. Nah, rentangan
benang diikat per kelompok, kira-kira terdiri dari 10 helai benang. Susunan
benang yang diikat itulah yang akan membentuk motif atau corak kain.Dulu,
digunakan kulit batang pisang (Kuli’ Puttiq) tapi saat ini digunakan tali rafiah.
Alasannya, lebih praktis. Kalau kulit batang pisang, harus diolah. Hal tersebut
dapat memakan waktu lama.

11

v) Pada pengikatan pertama, warna yang diberikan adalah warna dasar yaitu
merah (bakkudu, sebab bahannya akar pohon mengkudu) dan biru (tarun,
digunakan daun tarun). Daun tarun juga digunakan orang Kajang, Bulukumba
dalam membuat sarung. Bahasa Inggris warna yang dihasilkan tarun adalah
indigo.
vi) Warna tidak diberikan langsung ke benang yang berada di kalimuran,
melainkan direbus. Bahan, seperti bakkudu diiris tipis dulu kemudian ditumbuk
halus. Direbus bersama benang sekiatar 12 jam.
vii) Setelah proses tersebut, kembali diulang proses memasang benang ke
kalimuran untuk kembali diukir (baca: diikat) dengan tali rafiah. Fungsi ikatan
adalah untuk menutupi (melindungi) warna merah yang tercipta berkat direbus
bersama bakkudu. Adapun yang tidak diikat, akan berubah warnanya bila direbus
dengan bahan lain, misalnya tarun untuk warna biru. Jadi, disitulah tercipta motifmotifnya. Makin unik motifnya, makin rumit ikatannya.
viii)

Yang menarik, untuk membuat motif, tidak digunakan sketsa

atau menggambarkan ke benang yang ada di kalimuran. Tetapi berada di imajinasi
penenun. Ada banyak motif di kain Kalumpang, seperti motif “ulu karua kaselle”,
“ulu karua barinni”, “toboalang”, “rundun lolo”, “leleq sepu”, dan lain-lain. Motif
tersebut memiliki makna.
ix) Berikutnya adalah tahap terakhir, yaitu penenunan. Benang yang telah direbus
bersama bahan pewarna dibuka tali pengikatnya. Agar susunan benang tidak rusak
(susunan warna tidak bergeser), benang diangkat satu per satu dengan hati-hati
untuk selanjutnya dipasang ke alat tenun. Sebelumnya, benang terlebih dahulu
Diittoq, yaitu menganyam dengan menggunakan lidi.
x) Dulu, selain digunakan sendiri (hanya dipakai dalam upacara atau pakaian
adat, tikar untuk tamu terhormat), tenun ikat dijadikan sebagai alat penukaran
(barter) dengan kerbau atau babi. Sebab memang tenun ikat amat mahal harganya.

12

Saat ini pengrajin tenun ikat sangat sedikit. Di Desa Kalumpang saja,
menurut R. E. Sipayo mungkin hanya dua orang saja. Selain di Desa Kalumpang,
juga ada di Malolo dan Kampung Batuisi. Gabungan atas keduanya kira-kira ada
30 pengerajin. Ironis memang, padahal motif tenun ikat dari Kalumpang dikenal
sebagai salah satu motif tertua di dunia.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

13

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)
2) Kekerabatan, dan kekeluargaan yang sangat erat terjalin, serta
kerukunan umat beragama yang menyelaraskan kehidupan masyarakat
adat Tana Lotong. Ketika di tempat lain nampak ramai dengan isu
konflik antar agama, maka hal ini tidak ditemukan di daerah tersebut.
b. Saran
1) Bagi Subjek Penelitian
Diharapkan dengan adanya pengetahuan tentang altruisme dapat
menjadikan masyarakat adat Tana Lotong lebih bijak memandang hidup,
sehingga berbagai wujud altruisme ini dapat dijadikan sebagai filter yang
dapat meminimalisir efek negatif yang datang dari luar.
2) Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti yang ingin tertarik mengadakan penelitian yang
sejenis diharapkan dapat mempertimbangkan faktor-faktor geografis, dan
ekologis sehingga penelitian yang dilakukan dapat lebih maksimal.
3) Bagi Peneliti
Peneliti berharap agar peneliti dapat kembali melakukan penelitian
lebih lanjut, disertai dengan dukungan dana yang memadai, dan pemandu
yang mengenal wilayah tersebut dengan sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA
1) Alimuddin, M.R. 2013. Ekspedisi Bumi Mandar.
2) http://andipampang.wordpress.com/2012/02/25/ekspedisi-save-ourkalumpang-oleh-harian-fajar (Online, diakses pada tanggal 22
Mei, pukul 01.14)

14

3) http://moershaell.blogspot.com/2009/12/pendekatan-fenomenologidalam.html (Online, diakses pada tanggal 22 Mei 2014, pukul
01.11)
4) http://radar-sulbar.com/sosial-budaya/catatan-ekspedisi-save-ourkalumpang

09kalumpang-dan-bonehau-korban-plta-karama/

(Online, diakses pada tanggal 22 Mei 2014, pukul 01. 55)
5) Soelaiman, M. Munandar. 2002. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar.
PT. Refika Aditama: Bandung.
6) Sudarsyah, Asep. 2013. Kerangka Analisis Data Fenomenologi (contoh
analisis teks sebuah catatan harian). Jurnal Penelitian
Pendidikan. Vol. 14 No.1, 23-25. (Online, diakses pada
tanggal 21 Mei 2014, pukul 02.15)
7) Wahyuni, Siti. 2012. Keberagaman dan Makna Nilai Kearifan Lokal
sebagai Sumber Inspirasi Pembelajaran Seni Budaya yang
Berkarakter. IKIP PGRI Madiun, hal 126. (Online, diakses
pada tanggal 21 Mei 2014, pukul 02. 35)