DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM

DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM
DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN: AKAR TUMBUHNYA
DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM
A. Pengantar
Dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan sudah terlanjur terjadi. Hal ini
mengapresiasi para cendikiawan untuk dapat berfikir dan menggali lebih banyak tentang ilmu
pengetahuan. Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah timbulnya kesenjangan
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Para pendukung ilmu agama menganggap valid
sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber nonskriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati. Di pihak lain, ilmuanilmuan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi.
Sejarah mencatat bahwa peradaban islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia
sekitar abad ke-7 M. sampai abad ke-15 M. Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis,
bahkan terkesan mundur hingga abad ke-21 M. ini. Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan,
pendidikan islam yang berkembang adalah pendidikan islam non-dikotomis yang akhirnya
mampu melahirkan intelektual muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif
terhadap eksistensi kehidupan manusia. Cendikiawan muslim tidak hanya mempelajari ilmu
pengetahuan dan filsafat dari buku Yunani, tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil
penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran
mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu pengetahuan diberbagai
bidang termasuk ahli filsafat (filosof-filosof islam).
Dengan banyaknya ahli-ahli filsafat yang muncul pada masa keemasan islam tersebut,
maka terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan. Dan selanjutnya pada makalah ini akan dikupas

sedikit maupun banyak tentang hal-hal yang terkait dengan dikotomi ilmu pengetahuan dalam
peradaban islam seperti: pengertian dikotomi ilmu, akar tumbuhnya dikotomi ilmu pengetahuan
dalam peradaban islam, konsep islam tentang ilmu pengetahuan, faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya dikotomi ilmu, dan dampak dikotomi ilmu pengetahuan terhadap
pengembangan pendidikan islam.
B. Pengertian Dikotomi Ilmu
Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy” yang artinya
membedakan dan mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa Inggrisnya
“dichotomy” tersebut, digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi”
yang arti harfiahnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok
yang saling bertentangan.[1] Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian
atas dua konsep yang saling bertentangan.[2] Selanjutnya Pius A. Partanto dan M. Dahlan AlBarry mengartikan bahwa dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling
bertentangan. [3] Sedangkan Yuldelasharmi dalam Samsul Nizar mengartikan bahwa dikotomi

sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama
lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan
sebaliknya.[4] Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang saling berlawanan dan
antara dua kutub yang berbeda tersebut sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah menunjukkan
sikap dikotomi.
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara teliti dan jelas

menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling bertentangan serta sulit untuk
diintegralkan.[5] Dengan demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu
secara bertentangan adalah berarti dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah “ilmu
umum (non agama) dan ilmu agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam dan ilmu putih;
ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada pembagian yang sangat ekstrim dalam
pembagian ilmu pengetahuan dengan istilah seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu
syar’iyyahdan ilmu ghairu syar’iyyah.
C. Akar Tumbuhnya Dikotomi Ilmu Dalam Peradaban Islam
Istilah dikotomi ilmu merupakan sikap atau paham yang membedakan, memisahkan, dan
mempertentangkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum). Istilahistilah untuk diskursus ini beberapa diantaranya adalah “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Ada
juga yang menyebutkan dengan ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah, [6] bahkan ada
juga sebutan lainnya seperti al-‘ulum al-diniyyahdan al-‘ulum al-‘aqliyyah.[7]
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu
ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah
baik dalam kitabnya maupun hadis-hadis nabi Muhammad; dan ilmu-ilmu kauniyyah yaitu ilmuilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam. Semua klasifikasi ilmu
dengan varian istilah tersebut merupakan pemisahan dua arah keilmuan. Artinya semua ekstensi
ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam bingkai realitas yang
terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing berdiri sendiri.
Istilah lain dari dikotomi ilmu pengetahuan adalah hellenis untuk ilmu umum atau ilmu
modern dansemitis untuk ilmu agama. Gagasan hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri

menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap
rasional serta lebih menyukai ilmu-ilmu secular. Sedangkan gagasan semitis mewarnai alam
pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului islam, dengan
ciri menonjolnya memberikan porsi yang sangat besar terhadap otoritas wahyu, sikap patuh
terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan.[8] Sedangkan Harun Nasution
mengistilahkan dikotomi ilmu dengan istilah “dualisme ilmu”.[9] Dalam dualisme, unsur-unsur
yang paling mendasar dari setiap realitas itu cenderung dipertentangkan namun tidak saling
menafikan antara keduanya, misalnya kejahatan dan kebaikan, Tuhan dan alam semesata, ruhani
dan jasmani, jiwa dan badan, dan lainnya.
Jika istilah dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan atau mengklasifikasikan ilmu
menjadi “ilmu agama” dan “ilmu non-agama”, sebenarnya tidakmenjadi masalah selama tidak

berlebihan, apalagi sampai melakukan diskriminatif terhadap salah satu diantara keduanya.
[10] Tradisi dikotomik ilmu dalam islam tidak bisa diingkari, tetapi perlu diakui validasi dan
status ilmiah masing-masing kelompok keilmuan seperti yang terjadi di masa Nabi Muhammad
dan generasi sesudahnya. Secara klasfikasi, memang mereka membedakan keduanya, akan tetap
secara prinsip mereka memposisikan dalam status dan kedudukan yang sama, sehingga keduanya
mendapat porsi yang sama untuk dieksplorasi.
Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan
dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan islam. Pemikiran filsafat

diadopsi sebagai dasar pola pikir dalam ilmu kalam –padahal keduanya merupakan disiplin ilmu
yang berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi teori-teori yang fregmentatif-konfrontatif dengan
doktrin islam. Melihat fakta tersebut, tokoh-tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang
“membabi buta” hingga mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang
mempelajaridan mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali[11] dengan bukunya “Tahafut
al-Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat. Di tangannya, dunia islam dipenuhi dengan sisi
mistis (tasawuf).
Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tidak dapat diragukan lagi. Hingga dewasa ini karyakarya tulisannya masih digemaridan dibaca secara meluas di seluruh penjuru dunia. Lebih dari
pemikir-pemikir islam lainnya, buku-buku Al-Ghazali masih terus dibicarakan. Pengaruhnya
dalam masyarakat islam diperhitungkan jauh lebih besar dari pada ahli teologi muslim mana pun
dalam sejarah.
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan pertanyaan
besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar
mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban dan perkembangan dunia
intelekual umat islam bahkan non-islam?. Dan kecamana Al-Ghazali terhadap para filosof
dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut al-Falasifah masih belum cukup untuk
menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam rangka membunuh kreatifitas intelektual umat
islam, apalagi menjauhkan peradaban islam dari filsafat.[12] Justru sebaliknya ia memberikan
apresiasi yang sangat positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan,
karena yang dilakukannya adalah dalam rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas

wilayahnya.[13]
Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap para filosof muslim saat itu, ia
menilai mereka terlalu jauh terkontaminasi logika Yunani yang tidak dilandasi pada kebenaran
wahyu Tuhan.[14]Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika spektakuler filosof muslim dan
system pemikirirannya, tentang jaringan relasional antara sebab-akibat pada peristiwa dan
phenomena alam, merupakan sebuah perdebatan menarik dalam sejarah pemikiran islam. Hal ini
terbukti dengan munculnya counter kritis Ibnu Rusyd terhadap pandangan Al-Ghazali yang
dituangkan dalam Tahafut al-Tahafut.[15]
Terlepas dari kebesaran Al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca Al-Ghazali realitas ilmu
menunjukkan semakin dikotomik bahkan ada gab antara dualisme ilmu, antara “ilmu agama”
dan ilmu umum” terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi para ilmuan atau filosof
yang banyak dikucilkan, bahkan ada sebagian dari mereka yang kemudian ditangkap,

dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh al-Rukn dan
Ibnu Rusyd. Dengan demikian, sejak saat itu berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan
(“ilmu non agama”) dikalangan umat islam hingga berabad-abad lamanya.
D. Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
Epistimologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan. Di
dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai. Al-Qur’an
menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan dengan meneliti alam semesta ini, dan

bagi orang yang menuntut ilmmu pengetahuan diberikan derajat yang tinggi. Bahkan al-Quran
menegaskan bahwa tidaklah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang
tidak berpengetahuan.[16] Dari ketegasan makna ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa
ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan
dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral.
Kemudian Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai
epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Al-Ghazali
(1058-1111). Al-Ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al-Ghazali
mengemukakan ilmu pengetahuan berdasarkan tiga kriteria:[17]
1. Sumber
a. Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khusus oleh para nabi dan rasul.
Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang
diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
b. Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal,
penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2. Kewajiban-kewajiban
a. Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting
sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan hukum sipil.
b. Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang
penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian, obat-obatan,

arsitektur dan teknik mesin.

3. Fungsi sosial
a. Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan
karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b. Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
c. Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri
sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral. Pertentangan
ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani dari
Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu
pengetahuan dan agama.

E. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Timbulnya Dikotomi Ilmu
Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal.Pertama, faktor
perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga
membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.Hal ini menyebabkan jarak
ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian
jauh.Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat
ilmu (philosophy of knowledge). Epistemologi membahas tentang apa itu “tahu”, bagaimana cara
mengetahui, untuk apa mengetahui, juga tentang dasar-dasar, sumber, tujuan dan klasifikasi

pengetahuan. dari epistemologi, muncullah struktur ilmu pengetahuan sampai ke anak cabang.
[18] Sebagai contoh, ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother off all sciences)
mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, anggap saja ilmu pendidikan, maka disiplin ilmu
pendidikan pun pecah menjadi cabang ilmu yang makin spesifik: teknolgi pendidikan, psikologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, dan seterusnya. Kemudian, cabang ilmu pendidikan tersebut
pecah lagi menjadi anak cabang, semisal perencanaan pendidikan, perencanaan kurikulum,
strategi belajar mengajr, dan seterusnya.Tak pelak lagi hal ini menyebabkan jarak antar filsafat
sebagai induk menjadi kian jauh dengan anak cabang ilmu.Hal ini menyebabkan munculnya
spesialisasi keilmuan, di mana pelakunya menjadi ahli atau profesioanl di bidangnya masingmasing.[19]
Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau
kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih
terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan
sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah
kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau
kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.
[20] Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal
jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan
umat dan negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan
upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum,

sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
[21] Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu
umum. Sebenarnya, asumsi mengenai dikotomik ini, bukanlah monopoli lembaga pendidikan.
Bagaikan sebuah wabah, symptom dikotomi ini menyerang ke seluruh penjuru kehidupan umat
Islam, seperti terjadinya polarisai Sunni-Syi’ah, bahkan faksi-faksi dalam Sunni sendiri,
ekstremitas dan fanatisme mazhab dan aliran teologi. Adapun dalam pendidikan Islam itu sendiri,
masih menghadapi pola pikir dikotomik, yakni dikotomisme antara urusan duniawi-ukhrawi,
akal-wahyu, iman-ilmu, Allah-manusia-alam, dan antara ilmu agama dengan ilmu
umum.Sehinggga mau tidak mau paradigma masyarakat kita sudah terjadi dikotomi
tersebut.Bahkan hal ini diperparah lagi kondisi pendidikan kita yang dipengaruhi oleh sistem
politik, budaya, hukum, dan seterusnya yang melanda umat Islam, sebagai krisis yang dialami
pendidikan Islam.

Setelah kita berbicara mengenai akar masalah dikotomi ilmu di Indonesia, sekarang akan
dipaparkan penyebab dan akibatnya dikotomi ini secara luas (sejarah Islam). Kemunculan
dikotomi pendidikan menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Jasa Ungguh
Muliawan, ia bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu
umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat
serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[22] Selain itu terjadinya krisis multidimensi dalam
pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi Azra ia melihat pada persoalan-persoalan yang

memang secara riil dihadapi oleh sistem pemikiran dan pendidikan Islam pada umumnya.
Sedangkan secara gamblang Azyumardi Azra menyebutkan bahwa permasalahan
dikotomi pendidikan (ilmu) pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu
adanya krisis konseptual baik itu pada tataran epistemologisnya. Krisis konseptual tentang
defenisi atau terjadinya pembatasan ilmu-ilmu dalam sistem pendidikan Islam itu sendiri, atau
melihat konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional.[23]
Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat
kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan
Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan
ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam.[24]
Krisis konseptual yang dimaksud adalah terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam
Islam. Kita sering mendengarkan adanya istilah ilmu-ilmu profane, yaitu ilmu-ilmu keduniaan
(general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum aldiniyyah / religious sciences) atau menurut Azyumardi Azra yaitu ilmu-ilmu sacral (transenden).
[25] Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi
juga hal ini menyebabkan terjadinya pengkotakan (adanya gap) pada bidang kelembagaan, yang
selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan.
Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan
yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama
ataukah ilmu-ilmu umum. Ini jelas sekali terefleksi di Indonesia; misalnya dengan adanya
dulaisme sistem pendidikan, pendidikan agama yang diwakili madrasah dan pesantren dengan

pendidikan umum; di tingkat pendidikan tinggi terdapat IAIN (sekarang UIN) dan perguruan
tinggi umum.[26] Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang
dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat
berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana. Akan tetapi seiring waktu UIN dengan segala
perkembangannya membuka Fakultas Tadris yang membuka jurusan-jurusan ilmu-ilmu
umum.Hal ini menjadi babak baru buat memecahkan masalah dikotomi pendidikan di Indonesia.
Sedangkan menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua (2) penyebab pokok terjadinya
dikotomi pendidikan dan dunia Islam, sebagai berikut:
1) Imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim
kepada umat di abad ke-6 dan ke-7 H./ abad ke-12 dan ke13M., yakni serbuan tentara Tartar dari
Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan tidak
mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka mengalami

bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk menjaga identitas
dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk inovasi dan
mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu mereka meninggalkan
sumber utama kreativitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan pintu ijtihad tertutup, mereka memperlakukan syari’ah sebagai
hasil karya yang sempurna dari para leluhur.Mereka menyatakan bahwa setiap penyimpangan
dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.Sebagaimana yang
dijelaskan di sekolah-sekolah,syari’ah harus menjadi beku dan karenanya menjaga keselamatan
Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan,
Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakantindakan konservatif tersebut.[27]
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di
Eropa.Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena di sini
kekuatan Barat berhasil diusir.Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik untuk
dijadikan daerah jajahan.Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin sebesar
mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai respon
terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua abad
terakhir ini, para pemimpin muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan westernisasi
terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi, dan militer.
[28]
2) Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah
pemimpin.Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan
Islam di dalam sejarah menentukan semua tingkah laku.Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat
Islam.Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan
kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada
waktu
yang
bersamaan,
seorang faqih (ahli
fiqih)
adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani
atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di
sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua
orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah.Saat keduanya
terpisah, masing-masing kondisinya memburuk.Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan
mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdikpandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang
membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin.Untuk
mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin
banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan
aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk
otoritas politik.

Di saat itulah stagnasi pemikiran di kalangan umat Islam tampak nyata, karena tidak
padunya berbagai pemikiran dan aksi di dalamnya. Stagnasi pemikiran di dunia Islam itu terjadi
juga karena umat Islam terlena dalam kelesuan politik dan budaya.[29] Mereka cenderung
menengok ke belakang ke romantisme kejayaan Islam masa silam. Para sarjana Barat seolah
mengatakan bahwa rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para
sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal
bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan dapat mengasimilasikan
ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.
Menurut al-Faruqi, sebagai prasyarat untuk menghilangkan dulaisme sistem pendidikan,
yang selanjutnya juga menghilangkan dulaisme kehidupan, demi mencari solusi dari malise yang
dihadapi umat, pengetahuan harus diIslamisasikan, sambil menghindari perangkap dan
kekurangan metodologi tradisional. Islamisasi pengetahuan itu harus mengamati sejumlah
prinsip yang merupakan esensi Islam.[30] Untuk menuang kembali disiplin-disipilin di bawah
kerangka Islam berarti membuat teori, metode, prinsip, dan tujuan untuk tunduk kepada: keesaan
Allah, kesatuan alam semesta, kesatuan pengetahuan dan kebenaran, kesatuan hidup, dan
kesatuan umat manusia.[31]
Dengan demikian, tawaran al-Faruqi sebagai solusi problem dikotomi kehidupan umat
Islam (termasuk dikotomi pendidikan) adalah islamisasi ilmu dalam pendidikan; yakni pemaduan
kedua sistem pendidikan antara Islam klasik dan Barat modern melalui filterisasi ilmu. Sistem
pendidikan Islam yang terdiri dari madrasah-madrasah dasar dan menengah, juga kuliah-kuliah
dan jami’ah-jami’ah pada tingkat perguruan tinggi harus dipadukan dengan sistem sekular dari
sekolah-sekolah dan universitas-universitas umum dengan proses islamisasi ilmu.
F. Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi
pendidikan dalam dunia Islam, yaitu:
1) Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam
Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim
kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan tentara
Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan
tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka
mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk
menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala bentuk
inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepadasyari’ah. Saat itu mereka
meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.
Mereka
mencanangkan
penutupan
pintu
ijtihad.
Mereka
memperlakukan syari’ah sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka
menyatakan bahwa setiap penyimpangan dari syari’ahadalah inovasi, dan setiap inovasi tidak
disukai dan terkutuk. Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi
beku dan karenanya menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan
ekspansi kaum Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8
dan ke-12 tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut.

Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di
Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena disini
kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak menarik
untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum Muslimin
sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia Islam. Sebagai
respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di dunia Islam dalam dua
abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India mencoba melakukan
westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan secara politik, ekonomi,
dan militer.
Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam
kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan
Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat sering
menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara upaya untuk
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan waktu itu, yang
terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum sekuler.[32]
2) Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.
Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di dalam
sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat Islam. Setiap
Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan kesempatankesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu
yang
bersamaan,
seorang faqih (ahli
fiqih)
adalah imam, mujtahid, qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani
atau pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di
sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu. Semua
orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat keduanya
terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan pemilik kebijakan
mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa berkonsultasi kepada para cerdikpandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka. Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang
membuat warga cerdik merasa asing dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk
mempertahankan posisi mereka, para pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin
banyak dan besar. Di pihak lain, para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan
aktif di dalam urusan umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk
otoritas politik.
Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam.
Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa lampau
telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan oleh para
sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia Muslim akan
dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.[33]

1.

2.

3.
4.

Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol jatuhnya umat
Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi Islam dalam
ketiga
sumbu
tauhid.Pertama,
kesatuan
pengetahuan; kedua, kesatuan
hidup;
dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan
umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad
stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak negatif terhadap
kemajuan Islam.
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat
dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:
Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini, lembaga-lembaga
semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam
dengan coraktafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka;
sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum
ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil
adin tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya
menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan
yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam
dan ilmu-ilmu umum.
Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem (modern/umum)
Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya atau egoisme.[34]
Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena
pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan
bahwa, dikotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang
lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan
dan agama.
Upaya pembendungan dikotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu
dalam Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model
purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.[35]
1. Islamisasi Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi
berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma
Islam secarakaffah, lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan
Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga
dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta bersedia dan
mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-masing
dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Adapun
empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu

pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi
kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d)
rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan
ideal Islam.
2. Islamisasi Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini
berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya
pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan
agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung
mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif
terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan
proses modernisasi.[36]
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk
melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt)
sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti
bersikap ilmiah, rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat
bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun dari
keterpurukan dan ketertinggalan.
3. Islamisasi Model Neo-Modernisme
Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik
serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK.[37]
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalanpersoalan kotemporerumat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama
terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam
tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya
menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama
tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang
merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi
dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas
persoalan yang dihadapi umat tersebut.[38]
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata
rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran intelektual
dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Quran
dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku seorang pendidik, kita memahami krisis dan
kemelut umat ini dengan baik agar dapat menghindari keberlanjutan praktik dikotomi ilmu ini
dalam dunia pendidikan yang digeluti.
G. Penutup
Secara prinsip dan konseptual, sebenarnya dikotomi terhadap ilmu –dalam arti yang
berlebihan yang berlebihan, mempertentangkan dan diskriminatif- tidak terformulasi secara

paradigmatic dalam islam. Islam tidak pernah memformulasikan apalagi memisahkan secara
diametral-konfrontatif antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam pemahaman dan konsep islam
–sebagai konsep universal- segala ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah bersumber dari satu,
yakni Allah swt.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap ilmu pengetahuan mempunyai pengaruh
dan dampak yang positif maupun dampak yang negatif terhadap zaman dan pendengarnya.
Setiap ilmu mempuyai kelebihan tersendiri, walaupun pada akhirnya terjadi perdebatan yang
hebat sesuai dengan pendapat dan alasan yang rasional dalam memunculkannya. Dan semua
pendapat yang membentuk ilmu itu terdikotomi, membuktikan bahwa manusia mempunyai
kelebihan, yang selanjutnya menjadi renungan bahwa Allah-lah pemilik segala ilmu
pengetahuan.
Wallahu A’lam Bi Al-Shawab.

[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), 264.
[2]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik,
(Jakarta: Erlangga, 2006), 74.
[3] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 110.
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Nabi
Muhammad Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 230.
[5] Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 44.
[6] Istilah yang dikemukakan oleh al-Ghazali, kemudian banyak berkembang di dunia islam
khususnya di Indonesia dikalangan pesantren.
[7] Sebutan lain untuk al-‘ulum al-‘aqliyyah adalah ilmu klasik (‘ulum al-Qudama atau Awail). Ahmad
Munir Mursyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha Wa Tathawwuruha, (Kairo: Maktabah Dar al-‘Alam,
1986), 193.
[8] A. Malik Padjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia,
1999), 99-100.
[9] Harun Nasution, Islam Rasioinal: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung:
Mizan, 1995), 40.
[10] Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat
Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 4.
[11] Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2003), xii.
[12] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, diterjemahkan oleh M. Fahmi Muqoddas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), vi.
[13] Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal Al-Tahrir,
2001), 174.
[14] Al-Ghazali bukan mengkafirkan semua pendapat para filosof, akan tetapi dari 20 masalah (16
metafisika dan 4 fisika) hanya 3 persoalan yang diklaim telah melenceng dari agama yaitu: qadimnya alam,
pengetahuan Tuhan, dan masalah kebangkitan jasmani. Anggapannya bahwa filsafat telah melampaui
wewenangnya.
[15] Karya Ibnu Rusyd ini merupakan serangan frontal terhadap buku Tahafut al-Falasifah karya AlGhazali. Karya ini disusun 85 tahun setelah Tahafut al-Falasifah. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa “mengingkari
hokum sebab-akibat (kausalitas) berarti juga menolak ilmu pengetahuan, dan berarti pula menyatakan bahwa

tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat diketahui secara pasti”. Lihat Abu al-Walid Ibn Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, Edit.: Sulaiman Dunya, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1963), 319.
[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
Sampai Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2009), 228.
[17] http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html. Diakses tanggal
25 Oktober 2014, pukul 23.00 Wita.
[18] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008), 101.
[19] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), vii-ix.
[20] Azyumardi Azra, Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pndidikan Islam, dalam Abdul Munir Mulkhan,
dkk., Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 87.
[21] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar ………………….., viii.
[22] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), 94.
[23] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru
Pendidikan
Nasional,
Rekontruksi
dan
Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), 114.
[24] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru
Pendidikan
Nasional,
Rekontruksi
dan
Demokratisasi, (Jakarta : Kompas, 2006), 217-221.
[25] Azyumardi Azra, Paradigma Baru…………………, 115-116.
[26] Azyumardi Azra, Paradigma Baru…………………, 116-117.
[27] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Work plan, (Hemdon :
HIT, 1982), 40-41.
[28] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Work plan (Hemdon :
HIT, 1982), 41-42.
[29] M. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: Ircisod-UMG Press. 2004),10-13.
[30] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work
plan (Hemdon: HIT, 1982), 55-96.
[31] Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999),
160.
[32] http://restuillahi.blogspot.com/2011/07/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html,
diakses tanggal
5
Nopember 2014, pukul 22.00 Wita.
[33] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 9.
[34] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), 26-27.
[35] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2005), 38.
[36] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 21.
[37] Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Insan Media Group, 2010), 48.
[38] Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Presada Media Group. 2010), 28.

Diposkan 19th November 2014 oleh harto rajih
Label: akar tumbuhnya dikotomi ilmu dalam peradaban islam

DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN: AKAR TUMBUHNYA
DIKOTOMI ILMU DALAM PERADABAN ISLAM

A. Pengantar

Dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan sudah terlanjur terjadi. Hal ini mengapresiasi para
cendikiawan untuk dapat berfikir dan menggali lebih banyak tentang ilmu pengetahuan. Implikasi yang
bisa muncul dari dikotomi ilmu adalah timbulnya kesenjangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum. Para pendukung ilmu agama menganggap valid sumber Ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi
kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan
kebenaran sejati. Di pihak lain, ilmuan-ilmuan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh
melalui pengamatan indrawi.
Sejarah mencatat bahwa peradaban islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad
ke-7 M. sampai abad ke-15 M. Setelah itu masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan terkesan
mundur hingga abad ke-21 M. ini. Ketika menjadi kiblat ilmu pengetahuan, pendidikan islam yang
berkembang adalah pendidikan islam non-dikotomis yang akhirnya mampu melahirkan intelektual
muslim yang memiliki karya sangat besar dan berpengaruh positif terhadap eksistensi kehidupan
manusia. Cendikiawan muslim tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat dari buku Yunani,
tetapi menambahkan ke dalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam ilmu filsafat. Dengan demikian lahirlah ahli-ahli ilmu
pengetahuan diberbagai bidang termasuk ahli filsafat (filosof-filosof islam).
Dengan banyaknya ahli-ahli filsafat yang muncul pada masa keemasan islam tersebut, maka terjadilah
dikotomi ilmu pengetahuan. Dan selanjutnya pada makalah ini akan dikupas sedikit maupun banyak
tentang hal-hal yang terkait dengan dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam seperti:
pengertian dikotomi ilmu, akar tumbuhnya dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban islam, konsep
islam tentang ilmu pengetahuan, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dikotomi ilmu, dan dampak
dikotomi ilmu pengetahuan terhadap pengembangan pendidikan islam.

B.

Pengertian Dikotomi Ilmu

Secara harfiah dikotomi berasal dari bahasa Inggris yaitu “dichotomy” yang artinya membedakan dan
mempertentangkan dua hal yang berbeda. Kata yang dalam bahasa Inggrisnya “dichotomy” tersebut,
digunakan sebagai serapan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “dikotomi” yang arti harfiahnya dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.[1]
Mujamil Qomar mengatakan bahwa dikotomi adalah pembagian atas dua konsep yang saling
bertentangan.[2] Selanjutnya Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry mengartikan bahwa dikotomi
sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. [3] Sedangkan Yuldelasharmi dalam
Samsul Nizar mengartikan bahwa dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain, dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukkan ke
dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[4] Maka ketika menempatkan sesuatu pada dua kutub yang
saling berlawanan dan antara dua kutub yang berbeda tersebut sulit diintegrasikan. Sikap tersebut telah
menunjukkan sikap dikotomi.
Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua
bentuk atau dua jenis yang dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan.[5] Dengan

demikian, apapun bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah
berarti dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah “ilmu umum (non agama) dan ilmu agama;
ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu non-eksak, dan lain-lain.
Bahkan ada pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian ilmu pengetahuan dengan istilah seperti
ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah.

C. Akar Tumbuhnya Dikotomi Ilmu Dalam Peradaban Islam
Istilah dikotomi ilmu merupakan sikap atau paham yang membedakan, memisahkan, dan
mempertentangkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama (ilmu umum). Istilah-istilah untuk
diskursus ini beberapa diantaranya adalah “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Ada juga yang menyebutkan
dengan ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah, [6] bahkan ada juga sebutan lainnya seperti al-‘ulum
al-diniyyah dan al-‘ulum al-‘aqliyyah.[7]
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas dua bagian besar yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang
dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah baik dalam kitabnya maupun
hadis-hadis nabi Muhammad; dan ilmu-ilmu kauniyyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia
karena interaksinya dengan alam. Semua klasifikasi ilmu dengan varian istilah tersebut merupakan
pemisahan dua arah keilmuan. Artinya semua ekstensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu
dengan lainnya dalam bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing
berdiri sendiri.

Istilah lain dari dikotomi ilmu pengetahuan adalah hellenis untuk ilmu umum atau ilmu modern dan
semitis untuk ilmu agama. Gagasan hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya memberikan
porsi yang sangat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta lebih menyukai ilmuilmu secular. Sedangkan gagasan semitis mewarnai alam pikiran kaum agamawan, terutama agama
Yahudi dan Nasrani yang mendahului islam, dengan ciri menonjolnya memberikan porsi yang sangat
besar terhadap otoritas wahyu, sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu
keagamaan.[8] Sedangkan Harun Nasution mengistilahkan dikotomi ilmu dengan istilah “dualisme ilmu”.
[9] Dalam dualisme, unsur-unsur yang paling mendasar dari setiap realitas itu cenderung
dipertentangkan namun tidak saling menafikan antara keduanya, misalnya kejahatan dan kebaikan,
Tuhan dan alam semesata, ruhani dan jasmani, jiwa dan badan, dan lainnya.
Jika istilah dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan atau mengklasifikasikan ilmu menjadi “ilmu
agama” dan “ilmu non-agama”, sebenarnya tidakmenjadi masalah selama tidak berlebihan, apalagi
sampai melakukan diskriminatif terhadap salah satu diantara keduanya.[10] Tradisi dikotomik ilmu dalam
islam tidak bisa diingkari, tetapi perlu diakui validasi dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan seperti yang terjadi di masa Nabi Muhammad dan generasi sesudahnya. Secara klasfikasi,
memang mereka membedakan keduanya, akan tetap secara prinsip mereka memposisikan dalam status
dan kedudukan yang sama, sehingga keduanya mendapat porsi yang sama untuk dieksplorasi.

Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan dalam islam,
terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan islam. Pemikiran filsafat diadopsi sebagai dasar
pola pikir dalam ilmu kalam –padahal keduanya merupakan disiplin ilmu yang berbeda- , maka terkesan
adanya infiltrasi teori-teori yang fregmentatif-konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut,
tokoh-tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga mengharamkan
filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan mengajarkannya. Salah satunya adalah alGhazali[11] dengan bukunya “Tahafut al-Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat. Di tangannya,
dunia islam dipenuhi dengan sisi mistis (tasawuf).
Pengaruh Al-Ghazali dalam islam tidak dapat diragukan lagi. Hingga dewasa ini karya-karya tulisannya
masih digemaridan dibaca secara meluas di seluruh penjuru dunia. Lebih dari pemikir-pemikir islam
lainnya, buku-buku Al-Ghazali masih terus dibicarakan. Pengaruhnya dalam masyarakat islam
diperhitungkan jauh lebih besar dari pada ahli teologi muslim mana pun dalam sejarah.
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan pertanyaan besar, apakah masih
belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan
bagi kemajuan peradaban dan perkembangan dunia intelekual umat islam bahkan non-islam?. Dan
kecamana Al-Ghazali terhadap para filosof dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut alFalasifah masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam rangka
membunuh kreatifitas intelektual umat islam, apalagi menjauhkan peradaban islam dari filsafat.[12]
Justru sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen
mencari pengetahuan, karena yang dilakukannya adalah dalam rangka mendudukkan akal manusia pada
batas-batas wilayahnya.[13]
Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap para filosof muslim saat itu, ia menilai mereka
terlalu jauh terkontaminasi logika Yunani yang tidak dilandasi pada kebenaran wahyu Tuhan.[14]
Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika spektakuler filosof muslim dan system pemikirirannya,
tentang jaringan relasional antara sebab-akibat pada peristiwa dan phenomena alam, merupakan
sebuah perdebatan menarik dalam sejarah pemikiran islam. Hal ini terbukti dengan munculnya counter
kritis Ibnu Rusyd terhadap pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam Tahafut al-Tahafut