TIA AMELLIA REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM
REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM POLITIK INDONESIA: PELUANG DAN
TANTANGAN MENYONGSONG PEMILU 2019
Tia Amellia
NIM 08011181621005
FMIPA Matematika Universitas Sriwijaya
2017
Abstrak: Artikel konseptual ini membahas represntasi perempuan dalam politik,
yang dikerucutkan pada peluang dan tantangan menyongsong pemilu 2019. Untuk
mengetahui bagaimana represntasi atau pemosisian perempuan, peluang, dan
tantangan perempuan dalam menyongsong pemilu 2019 digunakan studi pustaka dan
kasus dalam pembahasan artikel konseptual ini. Berdasarkan uraian-uraian dalam
pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Representasi perempuan masih
bersifat negatif, walaupun perempuan memiliki peluang yang sangat baik
untuk berkarir dalam dunia politik. Peluang tersebut haruslah digunakan
dengan baik, yaitu dengan cara menekan potensi tantangan menjadi peluang.
Dalam kaitannya dengan pemilu tahun 2019, potensi perempuan dalam pesta
demokrasi tersebut sangatlah terbuka lebar. Perepresentasian perempuan
dalam dunia politik Indonesia, mesti ditopang oleh beberapa hal, seperti
membangun paradigm positif, berpendidikan tinggi, ber-aktualisasi,
memenejemen diri, bergabung dengan partai politik, dan berperstasi.
Kata-kata Kunci: Representasi, Perempuan, Politik, Peluang dan Tantangan,
Pemilu
Pendahuluan
Representasi adalah pemosisian pihak tertentu dengan maksud tertentu juga.
Menurut Eriyanto (2012:113), istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang,
satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan; politik.
Representasi terhadap perempuan dalam dunia politik merujuk pada keberadaan dan atau
pemosisian perempuan dalam hingar-bingar politik baik dalam ranah legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif.
Representasi perempuan tersebut, senada dengan emansipasi perempuan. Emansipasi
perempuan merupakan perjuangan kaum perempuan demi memperoleh persamaan hak
dengan kaum pria (Damaiyanti, 2015:1) Penyuaraan emanspasi perempuan telah lama
diteriakkan di Indonesia. Hal ini telah dimuat dalam GBHN 1978, yang merumuskan 7
(Tujuh) esensi terkait dengan peranan perempuan, antara lain disebutkan bahwa wanita
mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
pembangunan nasional. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 1 UUD RI telah mengamanatkan bahwa
setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya, termasuk perempuan.
Lebih lanjut, hal ini diwijudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 12 tahun
2003 yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DAN DPRD,
yang dalam salah satu pasalnya (Pasal 65) mencantumkan tentang kuota minimal 30% bagi
keterwakilan perempuan. “Kelihatannya, dengan dicantumkan kuota 30% tersebut, peluang
bagi perempuan untuk memasuki rana public khususnya rana politik praktis semakin
terbuka (Sridanti, -:2).”
Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif kembali pasang-surut. Di era
Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan turun menjadi 25 kursi (5,1%)
dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru, keterwakilan politik
perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut. Pemilu pertama Orde Baru (1971–
1977) berhasil menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29
kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%) dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga
periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu 1987 berhasil menempatkan perempuan pada
65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus mengalami penurunan pada Pemilu 19921997, 1997–1999, dan 1999–2004 menjadi 62 kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46
kursi (9%) dari masing-masing 500 kursi yang berhasil di raih anggota DPR dari masingmasing periode pemilu tersebut. Berikutnya, Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah
anggota legislatif perempuan menjadi 63 orang (11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih,
dan Pemilu 2009 berhasil menempatkan 99 anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560
calon anggota DPR terpilih hasil Pemilu 2009.
Bagi Nur Iman Subono (dalam Jurnal Sosial dan Demokrasi, 2009:6):
“Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita
ingin menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif
demokrasi yang ramah jender (gender democracy). Berbeda dengan para
politisi laki-laki yang lebih asyik dengan “narasi-narasi politik besar”,
kalangan aktivis perempuan tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk
memperjuangkan kuota 30 persen representasi politik perempuan sebagai
agenda perjuangan bersama. Setidaknya, dalam satu dekade ini, kita
menyaksikan sebuah geliat kuat dari hampir seluruh organ dan elemen
perjuangan perempuan—baik dari kalangan politisi, aktivis LSM, ormas,
akademisi, jurnalis perempuan, bahkan para artis dan selebritis—yang
mengarahkan hampir seluruh energi politiknya ke satu titik: mengupayakan
representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan setara. Tak
berlebihan, jika banyak pengamat dan aktivis mengatakan, wacana
representasi politik perempuan kian nyaring dan menggema sejalan dengan
bergulirnya era liberalisasi politik hasil reformasi politik 1998.
Bagaimana realisasi representasi penyetaraan perempuan saat ini? Dalam dunia
politik, masyarakat juga tahu, baru Presiden Megawati Soekarno Puteri lah satu-satunya
yang dapat mewakili perempuan sebagai pemimpin negara di Indonesia ini. Selebihnya, di
ranah legislatif pun belum mencapai 30% dari kuota yang disediakan untuk perempuan. Di
kursi DPRD RI misalnya, kursi dewan rakyat ini banyak diisi oleh kaum lelaki, hanya
sedikit dewan perempuan, jika pun ada kebanyakan adalah perempuan dari kalangan artis
yang kesehariannya telah dikenal masyarakat dan terbiasa berkarir di luar rumah. Mengapa
hal ini terjadi? Apakah seorang perempuan masih dianggap sebagai gender yang lemah dan
tidak layak disejajarkan dengan laki-laki? Bukankah banyak pahlawan perjuangan negara
ini adalah perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini merumuskan masalah, yaitu “(1)
bagaimana seharusnya posisi seorang perempuan dalam dunia politik Indonesia? (2)
bagaimana peluang dan tantangan politik perempuan dalam pemilu yang akan datang? (3)
bagaimana solusi yang ditawarkan?”
Pembahasan
Representasi Perempuan dalam Pemilu
Perepresentasian perempuan menentukan elektabilitasnya dalam panggung politik.
Pemosisian ini dapat dilihat dari jabatan struktural dan ditempatkannya dalam media massa.
Pertama, jabatan fungsional dan atau struktural perempuan dalam partai dan bangku
legislatif. Jabatan penting dalam partai politik pun biasanya diisi oleh “orang dekat”
pembesar partai politik tersebut, sisanya adalah para artis yang direkrut untuk
“memaniskan” partai. Kemudian, kedua, hasil pemilu legislatif. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008, bahwa porsi perempuan dalam pencalonan legislatif adalah
30% dari jumlah kandidat calon anggota dewan tersebut. Akan tetapi, “hasil pemilu 2004
untuk keanggotaan DPR RI, perempuan calon anggota legislatif, sudah mencapai 32,23
persen, tetapi yang terpilih hanya 10,73 persen, sedangkan calon perorangan anggota DPD
kurang dari 10 persen, yang terpilih malah 21 persen; di DPRD tingkat Provinsi rata-rata
terdapat sekitar 9 persen dan di DPRD tingkat Kabupaten/Kota rata-rata hanya sekitar 5
persen, bahkan masih banyak DPRD Kabupaten/Kota yang tidak ada anggota perempuan
(Sumbung dikutip Damaiyanti, 2015)”.
Persentase Kertewakilan Perempuan
Dalam Keanggotaan Lembaga Legislatif ( DPR-RI)
Dari Tahun 1971 – 2009
Periode Tahun
Keterlibatan Perempuan (%)
Keterlibatan laki-laki (%)
1971 – 1977
7,8
92,2
1977 – 1982
6,3
93,7
1982 – 1987
8,3
91,7
1987 – 1992
13
87
1992 – 1997
12,5
87,5
1997 – 1999
10,8
89,2
1999 – 2004
9
91
2004 – 2009
11,8
88,2
Sumber : Riniti (dikutip Sridanti, 2015:3)
Selain ketertiban perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada
Pemilu 2004, sebanyak 27 orang (21,1%) dari jumlah 128 Dewan Perwakilan Daerah adalah
perempuan. Pada tingkat provinsi, keterwakilan perempuan mencapai 10% (188 dari jumlah
1850), dan ditingkat kabupaten/kota hanya mencapai 8% (1090 dari jumlah 13125).
Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa masih rendahnya partisipasi dan
keterlibatan perempuan dalam pemilu Indonesia. Lantas mengapa demikian? Hal ini
diidentifikasi oleh faktor representasi penyetaraan perempuan ada di level negatif.
Perempuan masih dianggap sebagai kaum yang berbeda kasta dan belum pantas memimpin,
sebaliknya lelakilah yang diaggap lebih baik memimpin. Hal ini juga yang menyebabkan
pemosisian perempuan di media massa tampak negatif. Perempuan selalu menjadi objek
pembangunan, bukan subjek pembangunan. Perempuan selalu menjadi pasif dan
mengaktifkan lelaki dalam kalimat-kalimat media massa. Padahal perempuan memiliki
andil, peluang dan tantangan tersendiri untuk ikut berpartisipasi dalam panggung politik di
Indonesia.
Peluang dan Tantangan Perempuan dalam Pemilu 2019
Peluang bagi perempuan untuk masuk ke arena politik praktis selangkah lebih maju
dibandingkan sebelumnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 dan Pasal 55 Undang-
Undang No. 10 Tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan
DPRD yang baru. Dalam Pasal 53 ditentukan bahwa daftar bakal calon membuat paling
sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan dalam Pasal 55 ayat 2 menentukan bahwa dalam
daftar bakal calon yang dimaksud itu, setiap tiga bakal calon di dalamnya terapat sekurangkurangnya satu bakal calon perempuan (Syafi’ ie, dkk, 90—91). Pasal ini menunjukkan
adanya peluang yang cukup besar bagi perempuan, asalkan Partai Politik dengan konsekuen
dan betul-betul mempunyai komitmen melaksanakan amanat yang terkandung didalamnya.
Dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 merumuskan dengan lebih tegas dari undang-undang sebelumnya, dan lebih menjamin
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 2
ayat 5 yang menentukan sebagai berikut: “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, disusun dengan menyertakan paling rendah 30%
keterwakilan perempuan.” Dalam pasal 20 juga ditentukan bahwa : “Kepengurusan Partai
Politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2)
dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan rendah 30% yang
diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Berdasarkan UU dan uraian di atas tampak bahwa khans perempuan untuk mengisi
kursi di parlemen sangatlah besar. Hal tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
a. Perempuan memiliki jiwa ketelitian yang lebih baik
Percaya atau tidak, kebanyakan perempuan memiliki tingkat ketelitian yang luar
biasa, bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki. Hal ini berarti perempuan dapat
menjadikan modal ketelitian ini sebagai modal menjadi pemimpin.
b. Perempuan pandai mengatur waktu
Seorang perempuan juga selayaknya mengurus rumah tangga, artinya selain dapat
menjaga karirnya perempuan juga mengurus rumah tangga. Jika dikaitkan dengan
kepemimpinan, perempuan memiliki manajemen waktu dan disiplin yang tinggi, ini
dibutuhkan seorang pemimpin.
c. Perempuan lebih terbuka dan menjadi pendengar yang baik
Sifat perempua yang rajin mengobrol dengan lawan bicaranya memberikan poin
positif untuk mempimpin, ia akan lebih rajin mendengarka keluh-kesah rakyatnya
atau secara vertical maupun horizontal.
d. Perempuan dapat menyejajarkan dirinya dalam akademik
Di perguruan tinggi umum, perempuan mendominasi. Artinya perempuan lebih rajin
dan punya semangat untuk menjadikan dirinya cerdas. Hal inilah yang dijadikan
modal untuk perempuan memimpin.
Kelebihan perempuan dengan sifatnya di atas, senada dengan Tilaar (dikutip
Pasya, 2015:10) bahwa jika perempuan ingin sejajar dengan laki-laki, ia harus
memiliki nilai kepemimpinan dasar sebagai berikut:
a. Intelegensi yang relatif tinggi
b. Berfikir positif
c. Kedewasaan social dan jangkauan social yang luas
d. Menjadi panutan
e. Memiliki keterbukaan
f. Menjadi pendengar yang baik.
Dari nilai yang distandarkan di atas pun perempuan cukup layak menjadi seorang
pemimpin.
Lantas bagaimana realisasi dalam kehidupan politik di Indonesia? Ya,
peluang perempuan akan tetap terbuka lebar. Pada pemilu 2014 yang lalu,
perempuan memliki keterwakilan yang cukup luar biasa di dalam bursa pemilihan,
akan tetapi angkanya tidak lebih dari 12 % yang masuk ke kursi parlemen RI pusat
maupun daerah. Untuk menyongsong pemillu 2019 nanti, perempuan harus
menyediakan strategi jitu.
Beragam perspektif dan strategi perjuangan perempuan yang ada
sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai alat pencerdasan dan penyadaran,
tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam membangun koalisi besar gerakan
perempuan Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, toleransi, dan
demokrasi. Pun beragamnya organisasi perempuan yang tumbuh di Tanah Air harus
dilihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya, yakni saling mengisi dan
melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah koalisi besar gerakan
perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum perempuan vis a vis negara.
Nyata, perjuangan untuk mencapai keadilan jender dan mewujudkan
representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di
negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang untuk dibuktikan, karena ia
menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis
secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta
visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga
harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat. Jika kita meyakini “politik
tak bermula dari kebencian, tetapi dari rasa sayang dan nalar untuk membangun
bangsa”, maka aspirasi politik perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik bangsa bisa dimaknai sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama
ini kental beraroma maskulin dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan
agresif. Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai
makhluk lemah dan kurang cerdas, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna
mengonstruksi isu representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang
setara dan partisipatif dan wacana jender dalam frame pluralismedemokratis (nonpatriarkis) sebagai prioritas kebijakan negara ke depan agar tatanan masyarakat
demokratis yang berkeadilan jender bisa sungguh-sungguh terwujud (dalam Jurnal
Sosial dan Demokrasi, 2009:6—7).
Perlu pemikiran dan pembuktian agar
representasi perempuan dalam panggung politik bukan hanya sekadar pemanis, tetapi
memang muri untuk berpolitik dan membangun negeri ini.
Akan tetapi, di balik peluang yang mumpuni panggung politik perempuan di
atas, terdapat tantangan yang mesti dihadapi. Tantangan tersebut tidaklah mudah,
perempuan harus banyak bersosialisasi, mempelajari, dan ikut serta dalam
melaksanakannya. Ada beberapa tantangan yang menjadi penghambat perempuan
untuk berkecimpung dalam dunia politik, antara lain (Pasya 2015:9):
a. Hambatan fisik
Perempuan memilki fisik yang sedikit menyulitkannya bergerak lebih bebas.
Perempuan akan mensturasi, hamil, dan melahirkan, ia juga akan mengasuh
anaknya dengan waktu yang tidak sebentar. Hal ini menjadi salah satu tantangan
bagi perempuan.
b. Hambatan teologis
Perempuan diciptakan untuk mendampingi laki-laki, perempuan diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan merupakan bagian dari laki-laki
bukan pesaing ataupunn sejajar.
c. Hambatan sosial budaya
Perempuan merupakan insane yang pasif, lemah, perasa, dan bergantung pada
laki-laki. Pandangan inilah yang disoroti bahwa perempuan belum juga bisa
setera dengan laki-laki.
d. Hambatan sikap pandang
Perempuan selalu dipandang sebagai pengurus rumah, suami, dan anak, bukan
pekerja yang berkarir di luar.
e. Hambatan historis
Secara historis, perempuan kurang tercatat sebagai pemimpin, lebih banyak lakilaki. Hal ini juga yang melemahkan perempuan dalam politik.
Di sisi lain, dari penelitian yang dilakukan oleh Hidayatulloh dan Marlina (2011:223)
bahwa penghambat politik bagi perempuan salah satunya adalah perkawinan di bawah
umur. Perkawian di bawah umur selain melanggar HAM, juga menjadikan wanita “mati”
berkarir, menjadikan wanita hanya di rumah, mengurus rumah tangga—anak dan suami.
Langkah Menyongsong Representasi Perempuan dalam Panggung Politik
Kepemimpinan wanita dimanapun juga perlu diberi kesempatan yang sama seperti yang
dikemukakan Tan dikutip Damayanti (2015:7—8) yaitu:
a. Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan sekarang dan masa yang akan
datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik,
ekonomi, social - budaya, dan agama bangsa.
b. Kepemimpinan perempuan dapat berkembang jika pendidikan perempuan dapat
ditingkatkan sama dengan laki - laki.
c. Kepemimpinan perempuan harus dinyatakan perlu dan penting untuk dikembangkan
disegala bidang dan bagi semua tingkat.
d. Pemimpin laki - laki perlu diyakinkan pentingnya kepemimpinan perempuan, dan
diyakinkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan menyaingi potensi
kepemimpinan laki - laki. Namun justru akan melengkapi dan memperkaya
kepemimpinan laki - laki. Untuk itu kepemimpinan laki - laki perlu memberikan
kesempatan yang sebanyak - banyaknya kepada pemimpin perempuan.
e. Pemerintah bersama - sama dengan organisasi - organisasi perempuan perlu
menyusun
“masterplan”,
tentang
bagaimana
meningkatkan
kepemimpinan
perempuan di segala bidang kehidupan bagsa dan negara.
Artinya, perempuan harus diberikan ruang untuk meniti karir politiknya dengan baik,
hal ini juga telah digandeng oleh pemerintah yang disahkan dalam UU, yang menjadi alasan
partai politik selalu merekrut perempuan dalam politiknya. Lantas apa yang harus dilakukan
perempuan untuk memuluskan rekam politiknya, berikut solusi yang ditawarkan dalam
artikel konseptual ini:
a. Bangun paradigma positif
Hal mendasar yang menjatuhkan perempuan adalah paradigma bahwa perempuan
tidak begitu pantas memimpin. Artinya, perempuan harus mengubahnya dengan
paradigman positif bagi perepresentasian perempuan dalam politik, misalnya dengan
menciptakan pemikiran, ide, gagasan yang mampu dijual untuk kemajuan Indonesia.
b. Berpendidikan tinggi
Setelah memiliki pandangan positif, bahwa perempuan juga bisa berkarir politik,
mulailah dengan
bersekolah setinggi-tingginya.
Mengapa?
Karena
dengan
bersekolah perempuan dapat menemukan pemikiran-pemikiran baru dan menyadari
pentingnya berpolitik. Hal ini juga agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum
laki-laki.
c. Ber-aktualisasi, memanajemen waktu, dan memantaskan diri
Sebagai perempuan yang dikodratkan sebagai ibu rumah tangga, seharusnya
perempuan bisa mengubahnya. Perempuan harus bisa memiliki pemikiran yang
cerdas—ditopang oleh pendidikan tinggi—lalu pandai mengatur waktu—antara di
rumah dan berkarir—dengan demikian terfikirlah bahwa pantas atau tidakkah
perempuan berpolitik.
d. Bergabung dengan partai politik
Partai politik sebagai mesin politik tentunya ini merupakan jembatan yang baik
untuk karir politik perempuan. Pilihlah partai politik yang pro-rakyat dan pro-
perempuan, atau dirikanlah partai khusus perempuan, karena rakyat Indonesia punya
banyak perempuan yang luar bisa, bukan tidak mungkin banyak pula kandidat hebat
untuk memimpin negeri ini. Pemilih pun banyak perempuan.
e. Berprestasi
Terakhir, perempuan harus berprestasi. Untuk menyeterakan atau bahkan menyaingi
laki-laki, dalam dunia politik ini perlu tunjangan prestasi yang mumpuni. Misalnya
perempuan harus berprestasi dalam akademik, atau pun memiliki terobosanterobosan yang tidak difikirkan laki-laki.
Dalam kaitannya dengan pemilihan umum tahun 2019, perempuan masih sangat
berpeluang untuk paling tidak mengisi kuota 30% anggota legislatif dalam parlemen. Bukan
sekadar mengisi kekosongan, lebih dari itu, yakni dengan benar-benar memiliki jiwa
kepemimpinan dan memikirkan kemajuan negeri ini.
Penutup
Pemosisian perempuan atau representasi perempuan dalam politik di Indonesia
masih didikte oleh politik kaum laki-laki. Hal ini dibuktikan oleh statistik keterlibatan dan
pemetaan perempuan dalam politik praktis.
Representasi perempuan masih bersifat negatif, walaupun perempuan memiliki
peluang yang sangat baik untuk berkarir dalam dunia politik. Peluang tersebut haruslah
digunakan dengan baik, yaitu dengan cara menekan potensi tantangan menjadi peluang.
Dalam kaitannya dengan pemilu tahun 2019, potensi perempuan dalam pesta demokrasi
tersebut sangatlah terbuka lebar. Perepresentasian perempuan dalam dunia politik Indonesia,
mesti ditopang oleh beberapa hal, seperti membangun paradigm positif, berpendidikan
tinggi, ber-aktualisasi, memenejemen diri, bergabung dengan partai politik, dan berperstasi.
Daftar Pustaka
Damayanti, Fitria. 2015. Peran Kepemimpinan Wanita dan Keterlibatannya dalam Bidang
Politik di Indonesia. Unwir: Indramayu.
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Jurnal Sosial dan Demokrasi. 2009. Representasi Politik Perempuan: Sekadar Ada Pemberi
Warna. Edisi ke-6, tahun ke-2, Juni—Agustus 2009.
Hidayatulloh dan Leni Marlina. 2011. Perkawinan di Bawah Umur: Studi Kasus di Desa
Bulunghinit, Labuhan Batu, Sumatera Utara. UII: Yogyakarta.
Sridanti, L. Putu. Tanpa tahun. Peranan Politik Perempuan di Indonesia
Peluang Dan Hambatan. Journal Selebaran Online.
Syafi’ ie, dkk. 2011. Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia.
TANTANGAN MENYONGSONG PEMILU 2019
Tia Amellia
NIM 08011181621005
FMIPA Matematika Universitas Sriwijaya
2017
Abstrak: Artikel konseptual ini membahas represntasi perempuan dalam politik,
yang dikerucutkan pada peluang dan tantangan menyongsong pemilu 2019. Untuk
mengetahui bagaimana represntasi atau pemosisian perempuan, peluang, dan
tantangan perempuan dalam menyongsong pemilu 2019 digunakan studi pustaka dan
kasus dalam pembahasan artikel konseptual ini. Berdasarkan uraian-uraian dalam
pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Representasi perempuan masih
bersifat negatif, walaupun perempuan memiliki peluang yang sangat baik
untuk berkarir dalam dunia politik. Peluang tersebut haruslah digunakan
dengan baik, yaitu dengan cara menekan potensi tantangan menjadi peluang.
Dalam kaitannya dengan pemilu tahun 2019, potensi perempuan dalam pesta
demokrasi tersebut sangatlah terbuka lebar. Perepresentasian perempuan
dalam dunia politik Indonesia, mesti ditopang oleh beberapa hal, seperti
membangun paradigm positif, berpendidikan tinggi, ber-aktualisasi,
memenejemen diri, bergabung dengan partai politik, dan berperstasi.
Kata-kata Kunci: Representasi, Perempuan, Politik, Peluang dan Tantangan,
Pemilu
Pendahuluan
Representasi adalah pemosisian pihak tertentu dengan maksud tertentu juga.
Menurut Eriyanto (2012:113), istilah representasi menunjuk pada bagaimana seseorang,
satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan; politik.
Representasi terhadap perempuan dalam dunia politik merujuk pada keberadaan dan atau
pemosisian perempuan dalam hingar-bingar politik baik dalam ranah legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif.
Representasi perempuan tersebut, senada dengan emansipasi perempuan. Emansipasi
perempuan merupakan perjuangan kaum perempuan demi memperoleh persamaan hak
dengan kaum pria (Damaiyanti, 2015:1) Penyuaraan emanspasi perempuan telah lama
diteriakkan di Indonesia. Hal ini telah dimuat dalam GBHN 1978, yang merumuskan 7
(Tujuh) esensi terkait dengan peranan perempuan, antara lain disebutkan bahwa wanita
mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
pembangunan nasional. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 1 UUD RI telah mengamanatkan bahwa
setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya, termasuk perempuan.
Lebih lanjut, hal ini diwijudkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 12 tahun
2003 yaitu Undang-undang tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, DAN DPRD,
yang dalam salah satu pasalnya (Pasal 65) mencantumkan tentang kuota minimal 30% bagi
keterwakilan perempuan. “Kelihatannya, dengan dicantumkan kuota 30% tersebut, peluang
bagi perempuan untuk memasuki rana public khususnya rana politik praktis semakin
terbuka (Sridanti, -:2).”
Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif kembali pasang-surut. Di era
Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan turun menjadi 25 kursi (5,1%)
dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru, keterwakilan politik
perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut. Pemilu pertama Orde Baru (1971–
1977) berhasil menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29
kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%) dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga
periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu 1987 berhasil menempatkan perempuan pada
65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus mengalami penurunan pada Pemilu 19921997, 1997–1999, dan 1999–2004 menjadi 62 kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46
kursi (9%) dari masing-masing 500 kursi yang berhasil di raih anggota DPR dari masingmasing periode pemilu tersebut. Berikutnya, Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah
anggota legislatif perempuan menjadi 63 orang (11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih,
dan Pemilu 2009 berhasil menempatkan 99 anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560
calon anggota DPR terpilih hasil Pemilu 2009.
Bagi Nur Iman Subono (dalam Jurnal Sosial dan Demokrasi, 2009:6):
“Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita
ingin menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif
demokrasi yang ramah jender (gender democracy). Berbeda dengan para
politisi laki-laki yang lebih asyik dengan “narasi-narasi politik besar”,
kalangan aktivis perempuan tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk
memperjuangkan kuota 30 persen representasi politik perempuan sebagai
agenda perjuangan bersama. Setidaknya, dalam satu dekade ini, kita
menyaksikan sebuah geliat kuat dari hampir seluruh organ dan elemen
perjuangan perempuan—baik dari kalangan politisi, aktivis LSM, ormas,
akademisi, jurnalis perempuan, bahkan para artis dan selebritis—yang
mengarahkan hampir seluruh energi politiknya ke satu titik: mengupayakan
representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan setara. Tak
berlebihan, jika banyak pengamat dan aktivis mengatakan, wacana
representasi politik perempuan kian nyaring dan menggema sejalan dengan
bergulirnya era liberalisasi politik hasil reformasi politik 1998.
Bagaimana realisasi representasi penyetaraan perempuan saat ini? Dalam dunia
politik, masyarakat juga tahu, baru Presiden Megawati Soekarno Puteri lah satu-satunya
yang dapat mewakili perempuan sebagai pemimpin negara di Indonesia ini. Selebihnya, di
ranah legislatif pun belum mencapai 30% dari kuota yang disediakan untuk perempuan. Di
kursi DPRD RI misalnya, kursi dewan rakyat ini banyak diisi oleh kaum lelaki, hanya
sedikit dewan perempuan, jika pun ada kebanyakan adalah perempuan dari kalangan artis
yang kesehariannya telah dikenal masyarakat dan terbiasa berkarir di luar rumah. Mengapa
hal ini terjadi? Apakah seorang perempuan masih dianggap sebagai gender yang lemah dan
tidak layak disejajarkan dengan laki-laki? Bukankah banyak pahlawan perjuangan negara
ini adalah perempuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini merumuskan masalah, yaitu “(1)
bagaimana seharusnya posisi seorang perempuan dalam dunia politik Indonesia? (2)
bagaimana peluang dan tantangan politik perempuan dalam pemilu yang akan datang? (3)
bagaimana solusi yang ditawarkan?”
Pembahasan
Representasi Perempuan dalam Pemilu
Perepresentasian perempuan menentukan elektabilitasnya dalam panggung politik.
Pemosisian ini dapat dilihat dari jabatan struktural dan ditempatkannya dalam media massa.
Pertama, jabatan fungsional dan atau struktural perempuan dalam partai dan bangku
legislatif. Jabatan penting dalam partai politik pun biasanya diisi oleh “orang dekat”
pembesar partai politik tersebut, sisanya adalah para artis yang direkrut untuk
“memaniskan” partai. Kemudian, kedua, hasil pemilu legislatif. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008, bahwa porsi perempuan dalam pencalonan legislatif adalah
30% dari jumlah kandidat calon anggota dewan tersebut. Akan tetapi, “hasil pemilu 2004
untuk keanggotaan DPR RI, perempuan calon anggota legislatif, sudah mencapai 32,23
persen, tetapi yang terpilih hanya 10,73 persen, sedangkan calon perorangan anggota DPD
kurang dari 10 persen, yang terpilih malah 21 persen; di DPRD tingkat Provinsi rata-rata
terdapat sekitar 9 persen dan di DPRD tingkat Kabupaten/Kota rata-rata hanya sekitar 5
persen, bahkan masih banyak DPRD Kabupaten/Kota yang tidak ada anggota perempuan
(Sumbung dikutip Damaiyanti, 2015)”.
Persentase Kertewakilan Perempuan
Dalam Keanggotaan Lembaga Legislatif ( DPR-RI)
Dari Tahun 1971 – 2009
Periode Tahun
Keterlibatan Perempuan (%)
Keterlibatan laki-laki (%)
1971 – 1977
7,8
92,2
1977 – 1982
6,3
93,7
1982 – 1987
8,3
91,7
1987 – 1992
13
87
1992 – 1997
12,5
87,5
1997 – 1999
10,8
89,2
1999 – 2004
9
91
2004 – 2009
11,8
88,2
Sumber : Riniti (dikutip Sridanti, 2015:3)
Selain ketertiban perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada
Pemilu 2004, sebanyak 27 orang (21,1%) dari jumlah 128 Dewan Perwakilan Daerah adalah
perempuan. Pada tingkat provinsi, keterwakilan perempuan mencapai 10% (188 dari jumlah
1850), dan ditingkat kabupaten/kota hanya mencapai 8% (1090 dari jumlah 13125).
Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa masih rendahnya partisipasi dan
keterlibatan perempuan dalam pemilu Indonesia. Lantas mengapa demikian? Hal ini
diidentifikasi oleh faktor representasi penyetaraan perempuan ada di level negatif.
Perempuan masih dianggap sebagai kaum yang berbeda kasta dan belum pantas memimpin,
sebaliknya lelakilah yang diaggap lebih baik memimpin. Hal ini juga yang menyebabkan
pemosisian perempuan di media massa tampak negatif. Perempuan selalu menjadi objek
pembangunan, bukan subjek pembangunan. Perempuan selalu menjadi pasif dan
mengaktifkan lelaki dalam kalimat-kalimat media massa. Padahal perempuan memiliki
andil, peluang dan tantangan tersendiri untuk ikut berpartisipasi dalam panggung politik di
Indonesia.
Peluang dan Tantangan Perempuan dalam Pemilu 2019
Peluang bagi perempuan untuk masuk ke arena politik praktis selangkah lebih maju
dibandingkan sebelumnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 dan Pasal 55 Undang-
Undang No. 10 Tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan
DPRD yang baru. Dalam Pasal 53 ditentukan bahwa daftar bakal calon membuat paling
sedikit 30% keterwakilan perempuan, dan dalam Pasal 55 ayat 2 menentukan bahwa dalam
daftar bakal calon yang dimaksud itu, setiap tiga bakal calon di dalamnya terapat sekurangkurangnya satu bakal calon perempuan (Syafi’ ie, dkk, 90—91). Pasal ini menunjukkan
adanya peluang yang cukup besar bagi perempuan, asalkan Partai Politik dengan konsekuen
dan betul-betul mempunyai komitmen melaksanakan amanat yang terkandung didalamnya.
Dalam Undang-Undang Partai Politik yang baru, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 merumuskan dengan lebih tegas dari undang-undang sebelumnya, dan lebih menjamin
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 2
ayat 5 yang menentukan sebagai berikut: “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, disusun dengan menyertakan paling rendah 30%
keterwakilan perempuan.” Dalam pasal 20 juga ditentukan bahwa : “Kepengurusan Partai
Politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2)
dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan rendah 30% yang
diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Berdasarkan UU dan uraian di atas tampak bahwa khans perempuan untuk mengisi
kursi di parlemen sangatlah besar. Hal tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
a. Perempuan memiliki jiwa ketelitian yang lebih baik
Percaya atau tidak, kebanyakan perempuan memiliki tingkat ketelitian yang luar
biasa, bahkan lebih baik dibandingkan laki-laki. Hal ini berarti perempuan dapat
menjadikan modal ketelitian ini sebagai modal menjadi pemimpin.
b. Perempuan pandai mengatur waktu
Seorang perempuan juga selayaknya mengurus rumah tangga, artinya selain dapat
menjaga karirnya perempuan juga mengurus rumah tangga. Jika dikaitkan dengan
kepemimpinan, perempuan memiliki manajemen waktu dan disiplin yang tinggi, ini
dibutuhkan seorang pemimpin.
c. Perempuan lebih terbuka dan menjadi pendengar yang baik
Sifat perempua yang rajin mengobrol dengan lawan bicaranya memberikan poin
positif untuk mempimpin, ia akan lebih rajin mendengarka keluh-kesah rakyatnya
atau secara vertical maupun horizontal.
d. Perempuan dapat menyejajarkan dirinya dalam akademik
Di perguruan tinggi umum, perempuan mendominasi. Artinya perempuan lebih rajin
dan punya semangat untuk menjadikan dirinya cerdas. Hal inilah yang dijadikan
modal untuk perempuan memimpin.
Kelebihan perempuan dengan sifatnya di atas, senada dengan Tilaar (dikutip
Pasya, 2015:10) bahwa jika perempuan ingin sejajar dengan laki-laki, ia harus
memiliki nilai kepemimpinan dasar sebagai berikut:
a. Intelegensi yang relatif tinggi
b. Berfikir positif
c. Kedewasaan social dan jangkauan social yang luas
d. Menjadi panutan
e. Memiliki keterbukaan
f. Menjadi pendengar yang baik.
Dari nilai yang distandarkan di atas pun perempuan cukup layak menjadi seorang
pemimpin.
Lantas bagaimana realisasi dalam kehidupan politik di Indonesia? Ya,
peluang perempuan akan tetap terbuka lebar. Pada pemilu 2014 yang lalu,
perempuan memliki keterwakilan yang cukup luar biasa di dalam bursa pemilihan,
akan tetapi angkanya tidak lebih dari 12 % yang masuk ke kursi parlemen RI pusat
maupun daerah. Untuk menyongsong pemillu 2019 nanti, perempuan harus
menyediakan strategi jitu.
Beragam perspektif dan strategi perjuangan perempuan yang ada
sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai alat pencerdasan dan penyadaran,
tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam membangun koalisi besar gerakan
perempuan Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, toleransi, dan
demokrasi. Pun beragamnya organisasi perempuan yang tumbuh di Tanah Air harus
dilihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya, yakni saling mengisi dan
melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah koalisi besar gerakan
perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum perempuan vis a vis negara.
Nyata, perjuangan untuk mencapai keadilan jender dan mewujudkan
representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di
negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang untuk dibuktikan, karena ia
menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis
secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta
visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga
harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat. Jika kita meyakini “politik
tak bermula dari kebencian, tetapi dari rasa sayang dan nalar untuk membangun
bangsa”, maka aspirasi politik perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik bangsa bisa dimaknai sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama
ini kental beraroma maskulin dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan
agresif. Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai
makhluk lemah dan kurang cerdas, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna
mengonstruksi isu representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang
setara dan partisipatif dan wacana jender dalam frame pluralismedemokratis (nonpatriarkis) sebagai prioritas kebijakan negara ke depan agar tatanan masyarakat
demokratis yang berkeadilan jender bisa sungguh-sungguh terwujud (dalam Jurnal
Sosial dan Demokrasi, 2009:6—7).
Perlu pemikiran dan pembuktian agar
representasi perempuan dalam panggung politik bukan hanya sekadar pemanis, tetapi
memang muri untuk berpolitik dan membangun negeri ini.
Akan tetapi, di balik peluang yang mumpuni panggung politik perempuan di
atas, terdapat tantangan yang mesti dihadapi. Tantangan tersebut tidaklah mudah,
perempuan harus banyak bersosialisasi, mempelajari, dan ikut serta dalam
melaksanakannya. Ada beberapa tantangan yang menjadi penghambat perempuan
untuk berkecimpung dalam dunia politik, antara lain (Pasya 2015:9):
a. Hambatan fisik
Perempuan memilki fisik yang sedikit menyulitkannya bergerak lebih bebas.
Perempuan akan mensturasi, hamil, dan melahirkan, ia juga akan mengasuh
anaknya dengan waktu yang tidak sebentar. Hal ini menjadi salah satu tantangan
bagi perempuan.
b. Hambatan teologis
Perempuan diciptakan untuk mendampingi laki-laki, perempuan diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan merupakan bagian dari laki-laki
bukan pesaing ataupunn sejajar.
c. Hambatan sosial budaya
Perempuan merupakan insane yang pasif, lemah, perasa, dan bergantung pada
laki-laki. Pandangan inilah yang disoroti bahwa perempuan belum juga bisa
setera dengan laki-laki.
d. Hambatan sikap pandang
Perempuan selalu dipandang sebagai pengurus rumah, suami, dan anak, bukan
pekerja yang berkarir di luar.
e. Hambatan historis
Secara historis, perempuan kurang tercatat sebagai pemimpin, lebih banyak lakilaki. Hal ini juga yang melemahkan perempuan dalam politik.
Di sisi lain, dari penelitian yang dilakukan oleh Hidayatulloh dan Marlina (2011:223)
bahwa penghambat politik bagi perempuan salah satunya adalah perkawinan di bawah
umur. Perkawian di bawah umur selain melanggar HAM, juga menjadikan wanita “mati”
berkarir, menjadikan wanita hanya di rumah, mengurus rumah tangga—anak dan suami.
Langkah Menyongsong Representasi Perempuan dalam Panggung Politik
Kepemimpinan wanita dimanapun juga perlu diberi kesempatan yang sama seperti yang
dikemukakan Tan dikutip Damayanti (2015:7—8) yaitu:
a. Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan sekarang dan masa yang akan
datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik,
ekonomi, social - budaya, dan agama bangsa.
b. Kepemimpinan perempuan dapat berkembang jika pendidikan perempuan dapat
ditingkatkan sama dengan laki - laki.
c. Kepemimpinan perempuan harus dinyatakan perlu dan penting untuk dikembangkan
disegala bidang dan bagi semua tingkat.
d. Pemimpin laki - laki perlu diyakinkan pentingnya kepemimpinan perempuan, dan
diyakinkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan menyaingi potensi
kepemimpinan laki - laki. Namun justru akan melengkapi dan memperkaya
kepemimpinan laki - laki. Untuk itu kepemimpinan laki - laki perlu memberikan
kesempatan yang sebanyak - banyaknya kepada pemimpin perempuan.
e. Pemerintah bersama - sama dengan organisasi - organisasi perempuan perlu
menyusun
“masterplan”,
tentang
bagaimana
meningkatkan
kepemimpinan
perempuan di segala bidang kehidupan bagsa dan negara.
Artinya, perempuan harus diberikan ruang untuk meniti karir politiknya dengan baik,
hal ini juga telah digandeng oleh pemerintah yang disahkan dalam UU, yang menjadi alasan
partai politik selalu merekrut perempuan dalam politiknya. Lantas apa yang harus dilakukan
perempuan untuk memuluskan rekam politiknya, berikut solusi yang ditawarkan dalam
artikel konseptual ini:
a. Bangun paradigma positif
Hal mendasar yang menjatuhkan perempuan adalah paradigma bahwa perempuan
tidak begitu pantas memimpin. Artinya, perempuan harus mengubahnya dengan
paradigman positif bagi perepresentasian perempuan dalam politik, misalnya dengan
menciptakan pemikiran, ide, gagasan yang mampu dijual untuk kemajuan Indonesia.
b. Berpendidikan tinggi
Setelah memiliki pandangan positif, bahwa perempuan juga bisa berkarir politik,
mulailah dengan
bersekolah setinggi-tingginya.
Mengapa?
Karena
dengan
bersekolah perempuan dapat menemukan pemikiran-pemikiran baru dan menyadari
pentingnya berpolitik. Hal ini juga agar tidak dipandang sebelah mata oleh kaum
laki-laki.
c. Ber-aktualisasi, memanajemen waktu, dan memantaskan diri
Sebagai perempuan yang dikodratkan sebagai ibu rumah tangga, seharusnya
perempuan bisa mengubahnya. Perempuan harus bisa memiliki pemikiran yang
cerdas—ditopang oleh pendidikan tinggi—lalu pandai mengatur waktu—antara di
rumah dan berkarir—dengan demikian terfikirlah bahwa pantas atau tidakkah
perempuan berpolitik.
d. Bergabung dengan partai politik
Partai politik sebagai mesin politik tentunya ini merupakan jembatan yang baik
untuk karir politik perempuan. Pilihlah partai politik yang pro-rakyat dan pro-
perempuan, atau dirikanlah partai khusus perempuan, karena rakyat Indonesia punya
banyak perempuan yang luar bisa, bukan tidak mungkin banyak pula kandidat hebat
untuk memimpin negeri ini. Pemilih pun banyak perempuan.
e. Berprestasi
Terakhir, perempuan harus berprestasi. Untuk menyeterakan atau bahkan menyaingi
laki-laki, dalam dunia politik ini perlu tunjangan prestasi yang mumpuni. Misalnya
perempuan harus berprestasi dalam akademik, atau pun memiliki terobosanterobosan yang tidak difikirkan laki-laki.
Dalam kaitannya dengan pemilihan umum tahun 2019, perempuan masih sangat
berpeluang untuk paling tidak mengisi kuota 30% anggota legislatif dalam parlemen. Bukan
sekadar mengisi kekosongan, lebih dari itu, yakni dengan benar-benar memiliki jiwa
kepemimpinan dan memikirkan kemajuan negeri ini.
Penutup
Pemosisian perempuan atau representasi perempuan dalam politik di Indonesia
masih didikte oleh politik kaum laki-laki. Hal ini dibuktikan oleh statistik keterlibatan dan
pemetaan perempuan dalam politik praktis.
Representasi perempuan masih bersifat negatif, walaupun perempuan memiliki
peluang yang sangat baik untuk berkarir dalam dunia politik. Peluang tersebut haruslah
digunakan dengan baik, yaitu dengan cara menekan potensi tantangan menjadi peluang.
Dalam kaitannya dengan pemilu tahun 2019, potensi perempuan dalam pesta demokrasi
tersebut sangatlah terbuka lebar. Perepresentasian perempuan dalam dunia politik Indonesia,
mesti ditopang oleh beberapa hal, seperti membangun paradigm positif, berpendidikan
tinggi, ber-aktualisasi, memenejemen diri, bergabung dengan partai politik, dan berperstasi.
Daftar Pustaka
Damayanti, Fitria. 2015. Peran Kepemimpinan Wanita dan Keterlibatannya dalam Bidang
Politik di Indonesia. Unwir: Indramayu.
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Jurnal Sosial dan Demokrasi. 2009. Representasi Politik Perempuan: Sekadar Ada Pemberi
Warna. Edisi ke-6, tahun ke-2, Juni—Agustus 2009.
Hidayatulloh dan Leni Marlina. 2011. Perkawinan di Bawah Umur: Studi Kasus di Desa
Bulunghinit, Labuhan Batu, Sumatera Utara. UII: Yogyakarta.
Sridanti, L. Putu. Tanpa tahun. Peranan Politik Perempuan di Indonesia
Peluang Dan Hambatan. Journal Selebaran Online.
Syafi’ ie, dkk. 2011. Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia.