REVOLUSI SAINTIFIK DALAM PERKEMBANGAN IL
REVOLUSI SAINTIFIK DALAM PERKEMBANGAN ILMU FISIKA:
Tinjauan Pada Perubahan Paradigma Sains Fisika Klasik dan Modern
Andi Mustari
1503390
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak:
Seiring perjalanan waktu, pengalaman, dan kreativitas pemikiran manusia,
ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan yang
terjadi dimulai dari perubahan pada sebagian teori sampai pada pergantian
keseluruhan teori menjadi teori baru (Revolusi). Revolusi saintifik dalam
ilmu pengetahuan merupakan suatu solusi dalam merubah paradigma yang
telah diterima masyarakat ilmiah melalui normal sains yang mereka anut.
Perubahan paradigma dapat terjadi jika normal sains yang telah di anut
perlahan mulai pudar karena anomali yang muncul baik berupa fakta hasil
eksperimen maupun fenomena alam. Munculnya normal sains yang baru
sebagai pengganti normal sains yang lama akan menjadi solusi dalam
merubah paradigma sains masyarakat ilmiah yang akhirnya akan
menghasilkan teori baru. Dalam cabang ilmu Fisika tercatat banyak sekali
fenomena atau fakta eksperimen yang menjadi anomali dalam sains normal
yang berarah kepada perubahan paradigma sains dan berakhir pada revolusi
saintifik. Salah satu revolusi saintifik dalam Fisika yang terkenal adalah
pemahaman mengenai sifat cahaya sebagai gelombang. Anomali yang terjadi
pada beberapa fenomena seperti radiasi benda hitam, efek fotolistrik, efek
compton, dan difraksi elektron ternyata gagal dijelaskan oleh teori gelombang
menurut normal sains fisika klasik. Dengan adanya kegagalan normal sains
fisika klasik dalam menjelaskan anomali yang terjadi, maka masyarakat sains
harus menemukan normal sains yang baru sebagai solusi. Teori modern
menawarkan konsep kuantum untuk menjelaskan anomali yang terjadi
sehingga paradigma sains mengenai cahaya harus berubah total. Perubahan
paradigma mengenai sifat cahaya sebagai gelombang harus berubah menjadi
dualisme gelombang dan partikel. Lahirnya cabang ilmu baru berupa
mekanika kuantum sesuai dengan teori revolusi sains yang di gagas oleh
Thomas Kuhn. Perkembangan mekanika kuantum seperti yang terjadi
sekarang ini bisa dikatakan mustahil jika tidak ada revolusi pada paradigma
sains dalam memahami konsep cahaya. Hal ini sesuai dengan teori revolusi
sains hasil pemikiran Kuhn bahwa perubahan paradigma akan menghasilkan
suatu teori baru.
Kata Kunci: Revolusi Saintifik, Paradigma sains, Revolusi Fisika,
Dualisme gelombang-partikel.
1
1. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan yang selama ini kita pelajari selalu mengalami
perubahan danperkembangan. Perubahan ini ada yang terjadi secara pelanpelan, ada pula yang terjadi secara drastis akibat pertentangan antara satu ilmu
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan yang baru, atau pertentangan antara
teori yang lama yang digantikan dengan penemuan teori baru dalam
pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan paradigm pada
sains normal yang dianut masyarakat sains. Paradigma lama dari suatu teori
atau ilmu pengetahuan dianggap tidak sesuai lagi bahkan dianggap salah
lantas kemudian digantikan dengan paradigma yang baru yang lebih diterima.
Menurut Thomas Kuhn (1996: 10) dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions “normal science means research firmly based upon one
or more past scientific achievements, achievements that some particular
scientific community acknowledges for atime as supplying the foundation for
its further practice. Apabila terjadi perubahan pada normal sains yang di anut
maka akan berdampak pada perubahan paradigm sehingga suatu teori akan
digantikan oleh teori baru yang dianggap lebih sesuai dengan normal sains
yang baru.
Jadi menurut Thomas Kuhn revolusi sains muncul jika paradigma yang
lama mengalami krisis sehingga ditinggalkan lalu merangkul paradigma yang
baru. Menurut Syarif Moeis (2009) Thomas Kuhn menggambarkan posisi
revolusi intelektual dan hubungannya diantara unsur-unsur/ tahap-tahap
perkembangan ilmu sebagai berikut:
2
Revolusi sains memang hanya tampak revolusioner bagi mereka yang
paradigmanya
terkena
revolusi
itu.
Sedangkan
bagi
mereka
yang
paradigmanya tidak terkena revolusi sains bisa jadi memandang revolusi ini
hanya sekedar tambahan pengetahuan belaka. (Mohammad Zamroni: 2009)
Dalam ilmu Fisika, banyak terdapat perubahan paradigm pada normal
sains yang menyebabkan perubahan teori dan tentunya berdampak pada
perubahan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Beberapa
contoh perubahan paradigm dalam normal sains Fisika adalah teori Geosentris
menjadi Heliosentris, teori eter, Dualisme gelombang-partikel, teori
relativitas, dan lain sebagainya.
Periode tahun 1800an sampai 1890an diformulasikan konsep-konsep
fisika yang mendasar yang sekarang kita kenal dengan sebutan Fisika Klasik.
Dalam periode ini Fisika berkembang dengan pesat terutama dalam
mendapatkan formulasi-formulasi umum dalam Mekanika, Fisika Panas,
Listrik-Magnet dan Gelombang, yang masih terpakai sampai saat ini. Dalam
Mekanika diformulasikan Persamaan Hamiltonian (yang kemudian dipakai
dalam Fisika Kuantum), Persamaan gerak benda tegar, teori elastisitas,
hidrodinamika.
Dalam
Fisika
Panas
diformulasikan
Hukum-hukum
termodinamika, teori kinetik gas, penjalaran panas dan lain-lain.
Pada 1890an sampai sekarang. Pada akhir abad ke 19 ditemukan
beberapa fenomena yang tidak bisa dijelaskan melalui fisika klasik seperti
radiasi benda hitam, efek fotolistrik dan efek compton. Hal ini menuntut
pengembangan konsep fisika yang lebih mendasar lagi yang sekarang disebut
Fisika Modern. Dalam fisika modern, dikembangkan teori-teori yang lebih
umum yang dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan kecepatan yang
sangat tinggi (relativitas) dan yang berkaitan dengan partikel yang sangat kecil
(teori kuantum).
Fisika Modern merupakan pengembangan fisika klasik dalam objek
yang
sangat kecil dalam bentuk partikel atau elektron.
Perumusan-
perumusan yang digunakan sama dengan yang dirumuskan dalam fisika
klasik. Fisika modern diawali oleh prinsip besaran yang bersifat diskrit
3
(kuanta) sehingga sering disebut dengan fisika kuantum. Fisika modern
secara umum dibagi menjadi dua yaitu teori kuantum klasik/lama dan
teori kuantummodern. Teori kuantum lama didasari oleh konsep dualisme
partikel sebagai gelombang dan gelombang sebagai partikel sedangkan teori
kuantum baru dilandasi oleh persamaan Schroedinger untuk menentukan
energi partikelatau elektron. Penerapan fisika modern banyak yang kita
manfaatkan saat ini seperti teknologi laser, telekomunikasi kecepatan
tinggi, kedokteran dan masih banyak lagi.
Teori Relativitas yang dipelopori oleh Einstein menghasilkan beberapa
hal diantaranya adalah kesetaraan massa dan energi E = mc2 yang dipakai
sebagai salah satu prinsip dasar dalam transformasi partikel. Teori
Kuantumyang diawali oleh karya Max Planck dan Neils Bohr dan kemudian
dikembangkan oleh Schroedinger, Pauli , Heisenberg dan lain-lain,
melahirkan teori-teori tentang atom, inti, partikel sub atomik, molekul, dan zat
padat yang sangat besar perannya dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Dalam artikel ini kita akan berfokus pada perubahan paradigm dalam
perkembangan teori Kuantum fisika modern dimulai dari kegagalan teori
klasik dalam menjelaskan fakta ilmiah sampai keberhasilan teori kuantum
sebagai solusi dari anomali yang muncul dalam normal sains sehingga
menghasilkan paradigm baru dalam ilmu Fisika. Pembahasan akan kita
fokuskan pada teori modern mengenai konsep dualism gelombang-partikel.
2. Perubahan Paradigma pada Konsep Gelombang dan Partikel
Jika seberkas cahaya masuk ke dalam suatu medium misalnya air,
maka kita tahu apa yang akan terjadi pada cahaya tersebut, sebagian cahaya
yang datang tersebut akan dipantulkan oleh permukaan, sebagian akan
diteruskan dengan perubahan arah dan laju. Sifat ini berlaku umum untuk
gelombang, dan merupakan sifat khas gelombang. Sifat khas gelombang lain
juga berlaku bagi cahaya seperti difraksi dan interferensi. Beberapa
eksperimen dengan cahaya untuk menguji model gelombang lebih lanjut
4
dilakukan, dan hasilnya malah menunjukkan bahwa model ini tidak dapat
digunakan untuk menerangkan hasil eksperimen tersebut.
Dalam fisika klasik, cahaya digambarkan sebagai sebuah gelombang
(gelombang didefinisikan sebagai rambatan energi yang merambat dalam
bentuk getaran melalui medium). Sementara partikel merupakan suatu bagian
kecil dari benda atau materi. Dalam fisika klasik gelombang dan partikel
(materi) merupakan suatu hal yang sama sekali berbeda. Menurut teori
modern, cahaya merupakan bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik
dan juga merupakan sebuah partikel yang memiliki paket energi yang disebut
dengan foton. Oleh karena itu cahaya menganut dualisme gelombang-partikel,
yaitu cahaya dapat berupa gelombang dan juga dapat berupa partikel. Pada
periode klasik, kalor yang berpindah dari matahari ke bumi di anggap melalui
suatu medium yang disebut eter yang kemudian terbukti tidak ada berdasarkan
hasil percobaan Michelson-Morley. Pada periode modern, batas antara
gelombang dan partikel menjadi hilang sehingga keduanya dapat berganti
peran dan saling mempengaruhi dalam interaksi.
Gelombang sebagai Partikel
Benjamin Crowell (2008: 63) dalam bukunya The Modern Revolution
in Physics menjelaskan bahawa “The laws of physics describe light and
matter, and the quantum revolution rewrote both descriptions”. Gelombang
yang awalnya hanya bentuk rambatan energy akhirnya memiliki momentum
layaknya sebuah partikel yang bermassa. Sebaliknya, partikel yang awalnya
hanya unit kecil dari materi akhirnya dapat memiliki panjang gelombang
layaknya gelombang.
Lebih lanjut Benjamin Crowell (2008: 63) menjelaskan bahwa
pemahaman klasik tentang gelombang memungkinkan kita menemukan
gelombang radio dan radar meskipun teorinya masih gagal menjelaskan
beberapa fenomena penting yang terjadi di alam maupun eksperimen.
“However successful the classical wave theory of light had been —
allowing the creation of radio and radar, for example — it still failed
todescribe many important phenomena. An example that is currently of
greatinterest is the way the ozone layer protects us from the dangerous
5
short wavelength ultraviolet part of the sun’s spectrum. In the classical
description, light is a wave. When a wave passes into and back out of a
medium, itsfrequency is unchanged, and although its wavelength is
altered while it is in the medium, it returns to its original value when
the wave reemerges. Luckily for us, this is not at all what ultraviolet
light does when it passesthrough the ozone layer, or the layer would
offer no protection at all.”
Sangat jelas apabila gelombang ultraviolet hanya merubah bentuk
panjang gelombang saat memasuki lapisan ozon (berinteraksi dengan
partikel) tanpa mengubah frekuensinya, maka akan sangat banyak gelombang
ultraviolet yang lolos kepermukaan bumi dan mengakibatkan bencana bagi
manusia. Namun kenyataannya adalah sinar ultraviolet diserap dan
dipantulkan oleh lapisan atmosfer bumi dan sebagian di teruskan. Penyerapan
sinar ultraviolet hanya dapat terjadi jika frekuensi sinar yang masuk berubah
karena diserap oleh gas, debu atau uap air yang ada di lapisan atmosfer,
sementara pemantulan hanya dapat terjadi apabila sinar bertumbukan dengan
partikel yang ada pada lapisan atmosfer. Kedua hal ini hanya dapat terjadi
jika sinar ultraviolet di anggap sebagai partikel dan bukan sebagai
gelombang. Hal inilah yang membuat teori gelombang fisika klasik gagal
mempertahankan definisinya mengenai gelombang cahaya.
Selain fenomena yang terjadi di alam, beberapa fenomena yang
diperoleh melalui eksperimen juga semakin menyudutkan konsep fisika
klasik mengenai gelombang dan partikel. Contoh yang paling terkenal adalah
Efek Fotolistrik dan Efek Compton.
Pada percobaan efek fotolistrik, berkas cahaya yang dating mengenai
plat logam, lalu electron akan keluar dari logam dan memunculkan arus
listrik. Efek fotolistrik membantu menjelaskan mengenai sifat dualisme
gelombang-partikel. Albert Einstein adalah orang yang menjelaskan
mengenai efek ini dan meraih Nobel Prize In Physics pada tahun 1921. Efek
fotolistrik hanya dapat dijelaskan apabila gelombang cahaya yang mengenai
logam di anggap sebagai partikel (foton).
Cahaya merupakan paket energi (foton), sehingga cahaya yang
terdapat di alam memiliki energi yang besarnya terkuantisasi secara diskrit.
6
Energi dari sebuah foton didefinisikan dengan persamaan Planck yaitu E = hf,
dimana h adalah konstanta Planck yang besarnya h = 8,85×10 -34 J.s dan f
adalah frekuensi dari foton (cahaya) tersebut.
Benjamin Crowell (2008: 65) menjelaskan bahwa “The photoelectric
effectoccurs when a photon strikes the surface of a solid object and knocks
out an electron. It occurs continually all around you. It is happening right now
atthe surface of your skin and on the paper or computer screen from which
you are reading these words. Efek fotolistrik terjadi saat electron dapat keluar
dari permukaan logam ketika terpapar oleh cahaya, namun ada suatu syarat
agar electron dapat keluar dari permukaan logam yaitu energy foton yang
terpapar pada permukaan haruslah lebih besar daripada energy ambang logam
(energy minimum untuk mengeluarkan elektron).
Dalam bukunya The Modern Revolution in Physics Benjamin Crowell
(2002: 66) menullis:
“The photoelectric effect was discovered serendipitously by
HeinrichHertz in 1887, as he was experimenting with radio waves. He
was notparticularly interested in the phenomenon, but he did notice
that the effectwas produced strongly by ultraviolet light and more
weakly by lowerfrequencies. Light whose frequency was lower than a
certain critical valuedid not eject any electrons at all. (In fact this was
all prior to Thomson’sdiscovery of the electron, so Hertz would not
have described the effect interms of electrons — we are discussing
everything with the benefit ofhindsight.) This dependence on
frequency didn’t make any sense in terms ofthe classical wave theory
of light.”
Dalam pemahaman klasik, energy cahaya tidak bergantung pada
frekuensi, namun energi bertambah jika intensitas cahaya diperbesar, Efek
fotolistrik dapat terjadi pada tiap frekuensi asal intensitasnya memenuhi.
Namun fakta yang diperoleh pada percobaan menunjukkan bahwa efek
fotolistrik tidak terjadi pada semua frekuensi meskipun intensitasnya sangat
besar. Sebaliknya, efek fotolistrik akan tetap terjadi pada suatu frekuensi
meskipun intensitasnya diperkecil mendekati nol. Hal ini sesuai dengan
pemahaman modern bahwa besarnya energy cahaya (foton) bergantung dari
frekuensinya.
7
Percobaan lainnya yang gagal dijelaskan oleh pemahaman klasik
adalah Efek Compton. Jika seberkas sinar-X ditembakkan ke sebuah elektron
bebas yang diam, sinar-X akan mengalami perubahan panjang gelombang
dimana panjang gelombang sinar-X menjadi lebih besar. Gejala ini dikenal
sebagai efek Compton, sesuai dengan nama penemunya, yaitu Arthur Holly
Compton.
Sinar-X digambarkan sebagai foton yang bertumbukan dengan
elektron seperti halnya dua bola bilyar yang bertumbukan. Dalam hal ini
Sinar-X yang sejatinya gelombang menurut teori klasik haruslah memiliki
momentum agar peristiwa ini dapat terjadi. Elektron bebas yang diam
menyerap sebagian energi foton sehingga bergerak ke arah membentuk sudut
terhadap arah foton mula-mula. Foton yang menumbuk elektron pun
terhambur dengan sudut θ terhadap arah semula dan panjang gelombangnya
menjadi lebih besar. Perubahan panjang gelombang foton setelah terhambur
disebabkan energinya yang berkurang (pengurangan frekuensi). Peristiwa ini
lagi-lagi mendukung teori fisika modern yang memandang cahaya sebagai
foton yang memiliki sifat dualisme gelombang-partikel.
Partikel sebagai Gelombang
Teori klasik merumuskan bahwa gelombang dan partikel merupakan
dua hal yang tidak memiliki kaitan. Sifat-sifat gelombang hanya dimiliki oleh
gelombang contohnya interferensi dan difraksi. Sedangkan sifat partikel
hanya dimiliki oleh partikel contohnya momentum. Ternyata perumusan
tersebut dapat dibantahkan pada abad ke-21 oleh ilmuwan asal Perancis yaitu
Louise de Broglie melalui persamaannya:
λ=
h
P
Dengan:
h= konstanta Planck yang nilainya 6,63 x 10-34 Js;
p = momentum satuannya kg.m/s; dan
λ = panjang gelombang de Broglie satuannya meter.
8
Hipotesa ini didukung oleh hasil eksperimen yang dilakukan Davisson
dan Germer melalui percobaan difraksi elektron. Mereka mengarahkan
seberkas elektron pada permukaan kristal nikel. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ternyata elektron mengalami difraksi. Difraksi elektron
tersebut sama dengan difraksi sinar X yang mengenai suatu kristal. Panjang
gelombang yang diperlihatkan oleh pola difraksi sesuai dengan prediksi
dalam hipotesa de Broglie. Selanjutnya eksperimen lain yang mendukung
hipotesa tersebut adalah percobaan celah ganda oleh Thomas Young. Hasil
interferensi celah ganda Young sama dengan hasil interferensi gelombang
yang diakibatkan oleh elektron.
Selain elektron, terdapat partikel lain yang berperilaku seperti
gelombang, contohnya adalah neutron. Neutron merupakan partikel tak
bermuatan yang biasa digunakan untuk mempelajari difraksi struktur kristal.
Meskipun semua partikel yang bergerak memiliki panjang gelombang de
Broglie, tetapi efek panjang gelombangnya hanya dapat diamati untuk
partikel yang massanya sangat kecil, seperti elektron atau neutron. Kecepatan
elektron jauh lebih kecil dibandingkan kecepatan cahaya, sehingga kita bisa
abaikan efek relativitas dengan menyatakan nilai momentum sebagai hasil
perkalian massa dan kecepatan.
Meskipun tampaknya electron sama dengan foton karena memiliki
sifat dualisme gelombang-partikel, namun ternyata kita tidak bias semertamerta menganggapnya sama. Benjamin Crowell (2008 : 79) berpendapat:
“It might seem as though all our work was already done for us, and
there would be nothing new to understand about electrons: they have
the same kind of funny wave-particle duality as photons. That's almost
true, but not quite. There are some important ways in which electrons
differ significantly from photons: (1) Electrons have mass, and
photons don't. (2) Photons always move at the speed of light, but
electrons can move at any speed less than c. (3) Photons don’t have
electric charge, but electrons do, so electric forces can act on them.
The most important example is the atom, in which the electrons are
held by the electric force of the nucleus. (4) Electrons cannot be
absorbed or emitted as photons are. Destroying an electron or creating
one out of nothing would violate conservation of charge.”
9
Bukti adanya sifat dualisme gelombang-partikel merupakan suatu
loncatan besar bagi para ilmuwan saat itu dan merupakan perubahan
paradigma pada normal sains yang mereka anut. Mau tidak mau mereka harus
menerima bukti kebenaran dan merubah paradigma normal sains mereka.
Berbagai perubahan besar harus dibuat dan terjadi dalam waktu singkat
seiring dengan penemuan ini.
Meminjam istilah Kuhn, mekanika kuantum merupakan paradigma
sains revolusioner pada awal abad 20. Lahirnya mekanika kuantum, tidak
terlepas dari perkembangan- perkembangan teori, terutama teori atom.
Mekanika kuantum bukan untuk menghapus teori dan hukum sebelumnya.
Mekanika kuantum tidak lebih untuk merevisi dan menambal pandangan
manusia terhadap dunia, terutama dunia mikrokosmik. Bisa jadi, sebenarnya
hukum-hukum yang berlaku bagi dunia telah tersedia dan berlaku bagi setiap
fenomena alam, tetapi pengalaman manusialah yang terbatas. Oleh sebab itu,
sampai di sini kita harus sadar dan meyakini bahwa sifat sains itu sangat
tentatif. (Paul Strathern, 2002:viii)
3. Kesimpulan
Perubahan paradigma dalam sains normal merupakan suatu kajadian
yang sering terjadi pada masyarakat ilmiah. Hal ini diperlukan sebagai suatu
solusi dalam menyikapi anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh normal
sains yang berlaku. Sehingga, diperlukan suatu normal sain baru yang dapat
menjelaskan anomali yang terjadi.
Perubahan paradigma dalam memahami sifat cahaya sebagai
gelombang menjadi cahaya sebagai gelombang sekaligus partikel merupakan
langkah yang tepat. Langkah ini memang berat, namun merupakan satusatunya solusi dalam menyelesaikan anomali yang terjadi sehingga
masyarakat ilmiah dapat terus melanjutkan petualangannya dalam menjawab
teka-teki sains yang lain.
Berdasarkan uraian perubahan paradigma dari fisika klasik ke fisika
modern di atas, lahirnya mekanika kuantum sesuai dengan teori revolusi sains
10
oleh Thomas Kuhn. Pada mulanya terdapat suatu masalah yang tidak dapat
dipecahkan dengan sains normal yang kemudian dapat dijelaskan dengan
munculnya suatu paradigma. Hingga dari paradigma baru tersebut munculah
suatu cabang sains baru yang disebut mekanika kuantum. Perkembangan
mekanika kuantum seperti yang sekarang ini bisa dikatakan hampir mustahil
jika tidak ada sebuah revolusi seperti diatas. Hal ini sesuai dengan teori
revolusi sains hasil pemikiran Kuhn.
Perubahan paradigma fisika klasik menjadi fisika modern tidak akan
berhenti. Selama masih ada pertanyaan yang belum terjawab dan sisi alam
semesta yang belum terjamah, maka kemungkinan akan terjadinya perubahan
paradigma yang berakhir pada lahirnya teori atau cabang ilmu baru sangatlah
besar.
11
Daftar Pustaka
Crowell, Benjamin. (2008). The Modern Revolution in Physics 3rd ed. California:
Fullerton.
Kuhn, Thomas S. (1996). The structure of scientific revolutions 3rd ed. United
States of America: The University of Chicago Press.
Moeis, Syarif. (2009). Revolusi Intelektual Sebagai Dasar Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Modern. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Strathern, Paul. (2002). Philosophy in 90 Minutes series. Jakarta: Pena Nusa.
Zamroni, Mohammad. (2009). Perkembangan Teknologi Komunikasi dan
Dampaknya terhadap Kehidupan. JURNAL DAKWAH, Vol. X No. 2.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
http://syahalam693.blogspot.co.id/2013/04/sejarah-perkembangan-ilmufisika.html
12
Tinjauan Pada Perubahan Paradigma Sains Fisika Klasik dan Modern
Andi Mustari
1503390
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak:
Seiring perjalanan waktu, pengalaman, dan kreativitas pemikiran manusia,
ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan yang
terjadi dimulai dari perubahan pada sebagian teori sampai pada pergantian
keseluruhan teori menjadi teori baru (Revolusi). Revolusi saintifik dalam
ilmu pengetahuan merupakan suatu solusi dalam merubah paradigma yang
telah diterima masyarakat ilmiah melalui normal sains yang mereka anut.
Perubahan paradigma dapat terjadi jika normal sains yang telah di anut
perlahan mulai pudar karena anomali yang muncul baik berupa fakta hasil
eksperimen maupun fenomena alam. Munculnya normal sains yang baru
sebagai pengganti normal sains yang lama akan menjadi solusi dalam
merubah paradigma sains masyarakat ilmiah yang akhirnya akan
menghasilkan teori baru. Dalam cabang ilmu Fisika tercatat banyak sekali
fenomena atau fakta eksperimen yang menjadi anomali dalam sains normal
yang berarah kepada perubahan paradigma sains dan berakhir pada revolusi
saintifik. Salah satu revolusi saintifik dalam Fisika yang terkenal adalah
pemahaman mengenai sifat cahaya sebagai gelombang. Anomali yang terjadi
pada beberapa fenomena seperti radiasi benda hitam, efek fotolistrik, efek
compton, dan difraksi elektron ternyata gagal dijelaskan oleh teori gelombang
menurut normal sains fisika klasik. Dengan adanya kegagalan normal sains
fisika klasik dalam menjelaskan anomali yang terjadi, maka masyarakat sains
harus menemukan normal sains yang baru sebagai solusi. Teori modern
menawarkan konsep kuantum untuk menjelaskan anomali yang terjadi
sehingga paradigma sains mengenai cahaya harus berubah total. Perubahan
paradigma mengenai sifat cahaya sebagai gelombang harus berubah menjadi
dualisme gelombang dan partikel. Lahirnya cabang ilmu baru berupa
mekanika kuantum sesuai dengan teori revolusi sains yang di gagas oleh
Thomas Kuhn. Perkembangan mekanika kuantum seperti yang terjadi
sekarang ini bisa dikatakan mustahil jika tidak ada revolusi pada paradigma
sains dalam memahami konsep cahaya. Hal ini sesuai dengan teori revolusi
sains hasil pemikiran Kuhn bahwa perubahan paradigma akan menghasilkan
suatu teori baru.
Kata Kunci: Revolusi Saintifik, Paradigma sains, Revolusi Fisika,
Dualisme gelombang-partikel.
1
1. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan yang selama ini kita pelajari selalu mengalami
perubahan danperkembangan. Perubahan ini ada yang terjadi secara pelanpelan, ada pula yang terjadi secara drastis akibat pertentangan antara satu ilmu
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan yang baru, atau pertentangan antara
teori yang lama yang digantikan dengan penemuan teori baru dalam
pengetahuan. Perubahan ini terjadi karena adanya perubahan paradigm pada
sains normal yang dianut masyarakat sains. Paradigma lama dari suatu teori
atau ilmu pengetahuan dianggap tidak sesuai lagi bahkan dianggap salah
lantas kemudian digantikan dengan paradigma yang baru yang lebih diterima.
Menurut Thomas Kuhn (1996: 10) dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions “normal science means research firmly based upon one
or more past scientific achievements, achievements that some particular
scientific community acknowledges for atime as supplying the foundation for
its further practice. Apabila terjadi perubahan pada normal sains yang di anut
maka akan berdampak pada perubahan paradigm sehingga suatu teori akan
digantikan oleh teori baru yang dianggap lebih sesuai dengan normal sains
yang baru.
Jadi menurut Thomas Kuhn revolusi sains muncul jika paradigma yang
lama mengalami krisis sehingga ditinggalkan lalu merangkul paradigma yang
baru. Menurut Syarif Moeis (2009) Thomas Kuhn menggambarkan posisi
revolusi intelektual dan hubungannya diantara unsur-unsur/ tahap-tahap
perkembangan ilmu sebagai berikut:
2
Revolusi sains memang hanya tampak revolusioner bagi mereka yang
paradigmanya
terkena
revolusi
itu.
Sedangkan
bagi
mereka
yang
paradigmanya tidak terkena revolusi sains bisa jadi memandang revolusi ini
hanya sekedar tambahan pengetahuan belaka. (Mohammad Zamroni: 2009)
Dalam ilmu Fisika, banyak terdapat perubahan paradigm pada normal
sains yang menyebabkan perubahan teori dan tentunya berdampak pada
perubahan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Beberapa
contoh perubahan paradigm dalam normal sains Fisika adalah teori Geosentris
menjadi Heliosentris, teori eter, Dualisme gelombang-partikel, teori
relativitas, dan lain sebagainya.
Periode tahun 1800an sampai 1890an diformulasikan konsep-konsep
fisika yang mendasar yang sekarang kita kenal dengan sebutan Fisika Klasik.
Dalam periode ini Fisika berkembang dengan pesat terutama dalam
mendapatkan formulasi-formulasi umum dalam Mekanika, Fisika Panas,
Listrik-Magnet dan Gelombang, yang masih terpakai sampai saat ini. Dalam
Mekanika diformulasikan Persamaan Hamiltonian (yang kemudian dipakai
dalam Fisika Kuantum), Persamaan gerak benda tegar, teori elastisitas,
hidrodinamika.
Dalam
Fisika
Panas
diformulasikan
Hukum-hukum
termodinamika, teori kinetik gas, penjalaran panas dan lain-lain.
Pada 1890an sampai sekarang. Pada akhir abad ke 19 ditemukan
beberapa fenomena yang tidak bisa dijelaskan melalui fisika klasik seperti
radiasi benda hitam, efek fotolistrik dan efek compton. Hal ini menuntut
pengembangan konsep fisika yang lebih mendasar lagi yang sekarang disebut
Fisika Modern. Dalam fisika modern, dikembangkan teori-teori yang lebih
umum yang dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan kecepatan yang
sangat tinggi (relativitas) dan yang berkaitan dengan partikel yang sangat kecil
(teori kuantum).
Fisika Modern merupakan pengembangan fisika klasik dalam objek
yang
sangat kecil dalam bentuk partikel atau elektron.
Perumusan-
perumusan yang digunakan sama dengan yang dirumuskan dalam fisika
klasik. Fisika modern diawali oleh prinsip besaran yang bersifat diskrit
3
(kuanta) sehingga sering disebut dengan fisika kuantum. Fisika modern
secara umum dibagi menjadi dua yaitu teori kuantum klasik/lama dan
teori kuantummodern. Teori kuantum lama didasari oleh konsep dualisme
partikel sebagai gelombang dan gelombang sebagai partikel sedangkan teori
kuantum baru dilandasi oleh persamaan Schroedinger untuk menentukan
energi partikelatau elektron. Penerapan fisika modern banyak yang kita
manfaatkan saat ini seperti teknologi laser, telekomunikasi kecepatan
tinggi, kedokteran dan masih banyak lagi.
Teori Relativitas yang dipelopori oleh Einstein menghasilkan beberapa
hal diantaranya adalah kesetaraan massa dan energi E = mc2 yang dipakai
sebagai salah satu prinsip dasar dalam transformasi partikel. Teori
Kuantumyang diawali oleh karya Max Planck dan Neils Bohr dan kemudian
dikembangkan oleh Schroedinger, Pauli , Heisenberg dan lain-lain,
melahirkan teori-teori tentang atom, inti, partikel sub atomik, molekul, dan zat
padat yang sangat besar perannya dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Dalam artikel ini kita akan berfokus pada perubahan paradigm dalam
perkembangan teori Kuantum fisika modern dimulai dari kegagalan teori
klasik dalam menjelaskan fakta ilmiah sampai keberhasilan teori kuantum
sebagai solusi dari anomali yang muncul dalam normal sains sehingga
menghasilkan paradigm baru dalam ilmu Fisika. Pembahasan akan kita
fokuskan pada teori modern mengenai konsep dualism gelombang-partikel.
2. Perubahan Paradigma pada Konsep Gelombang dan Partikel
Jika seberkas cahaya masuk ke dalam suatu medium misalnya air,
maka kita tahu apa yang akan terjadi pada cahaya tersebut, sebagian cahaya
yang datang tersebut akan dipantulkan oleh permukaan, sebagian akan
diteruskan dengan perubahan arah dan laju. Sifat ini berlaku umum untuk
gelombang, dan merupakan sifat khas gelombang. Sifat khas gelombang lain
juga berlaku bagi cahaya seperti difraksi dan interferensi. Beberapa
eksperimen dengan cahaya untuk menguji model gelombang lebih lanjut
4
dilakukan, dan hasilnya malah menunjukkan bahwa model ini tidak dapat
digunakan untuk menerangkan hasil eksperimen tersebut.
Dalam fisika klasik, cahaya digambarkan sebagai sebuah gelombang
(gelombang didefinisikan sebagai rambatan energi yang merambat dalam
bentuk getaran melalui medium). Sementara partikel merupakan suatu bagian
kecil dari benda atau materi. Dalam fisika klasik gelombang dan partikel
(materi) merupakan suatu hal yang sama sekali berbeda. Menurut teori
modern, cahaya merupakan bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik
dan juga merupakan sebuah partikel yang memiliki paket energi yang disebut
dengan foton. Oleh karena itu cahaya menganut dualisme gelombang-partikel,
yaitu cahaya dapat berupa gelombang dan juga dapat berupa partikel. Pada
periode klasik, kalor yang berpindah dari matahari ke bumi di anggap melalui
suatu medium yang disebut eter yang kemudian terbukti tidak ada berdasarkan
hasil percobaan Michelson-Morley. Pada periode modern, batas antara
gelombang dan partikel menjadi hilang sehingga keduanya dapat berganti
peran dan saling mempengaruhi dalam interaksi.
Gelombang sebagai Partikel
Benjamin Crowell (2008: 63) dalam bukunya The Modern Revolution
in Physics menjelaskan bahawa “The laws of physics describe light and
matter, and the quantum revolution rewrote both descriptions”. Gelombang
yang awalnya hanya bentuk rambatan energy akhirnya memiliki momentum
layaknya sebuah partikel yang bermassa. Sebaliknya, partikel yang awalnya
hanya unit kecil dari materi akhirnya dapat memiliki panjang gelombang
layaknya gelombang.
Lebih lanjut Benjamin Crowell (2008: 63) menjelaskan bahwa
pemahaman klasik tentang gelombang memungkinkan kita menemukan
gelombang radio dan radar meskipun teorinya masih gagal menjelaskan
beberapa fenomena penting yang terjadi di alam maupun eksperimen.
“However successful the classical wave theory of light had been —
allowing the creation of radio and radar, for example — it still failed
todescribe many important phenomena. An example that is currently of
greatinterest is the way the ozone layer protects us from the dangerous
5
short wavelength ultraviolet part of the sun’s spectrum. In the classical
description, light is a wave. When a wave passes into and back out of a
medium, itsfrequency is unchanged, and although its wavelength is
altered while it is in the medium, it returns to its original value when
the wave reemerges. Luckily for us, this is not at all what ultraviolet
light does when it passesthrough the ozone layer, or the layer would
offer no protection at all.”
Sangat jelas apabila gelombang ultraviolet hanya merubah bentuk
panjang gelombang saat memasuki lapisan ozon (berinteraksi dengan
partikel) tanpa mengubah frekuensinya, maka akan sangat banyak gelombang
ultraviolet yang lolos kepermukaan bumi dan mengakibatkan bencana bagi
manusia. Namun kenyataannya adalah sinar ultraviolet diserap dan
dipantulkan oleh lapisan atmosfer bumi dan sebagian di teruskan. Penyerapan
sinar ultraviolet hanya dapat terjadi jika frekuensi sinar yang masuk berubah
karena diserap oleh gas, debu atau uap air yang ada di lapisan atmosfer,
sementara pemantulan hanya dapat terjadi apabila sinar bertumbukan dengan
partikel yang ada pada lapisan atmosfer. Kedua hal ini hanya dapat terjadi
jika sinar ultraviolet di anggap sebagai partikel dan bukan sebagai
gelombang. Hal inilah yang membuat teori gelombang fisika klasik gagal
mempertahankan definisinya mengenai gelombang cahaya.
Selain fenomena yang terjadi di alam, beberapa fenomena yang
diperoleh melalui eksperimen juga semakin menyudutkan konsep fisika
klasik mengenai gelombang dan partikel. Contoh yang paling terkenal adalah
Efek Fotolistrik dan Efek Compton.
Pada percobaan efek fotolistrik, berkas cahaya yang dating mengenai
plat logam, lalu electron akan keluar dari logam dan memunculkan arus
listrik. Efek fotolistrik membantu menjelaskan mengenai sifat dualisme
gelombang-partikel. Albert Einstein adalah orang yang menjelaskan
mengenai efek ini dan meraih Nobel Prize In Physics pada tahun 1921. Efek
fotolistrik hanya dapat dijelaskan apabila gelombang cahaya yang mengenai
logam di anggap sebagai partikel (foton).
Cahaya merupakan paket energi (foton), sehingga cahaya yang
terdapat di alam memiliki energi yang besarnya terkuantisasi secara diskrit.
6
Energi dari sebuah foton didefinisikan dengan persamaan Planck yaitu E = hf,
dimana h adalah konstanta Planck yang besarnya h = 8,85×10 -34 J.s dan f
adalah frekuensi dari foton (cahaya) tersebut.
Benjamin Crowell (2008: 65) menjelaskan bahwa “The photoelectric
effectoccurs when a photon strikes the surface of a solid object and knocks
out an electron. It occurs continually all around you. It is happening right now
atthe surface of your skin and on the paper or computer screen from which
you are reading these words. Efek fotolistrik terjadi saat electron dapat keluar
dari permukaan logam ketika terpapar oleh cahaya, namun ada suatu syarat
agar electron dapat keluar dari permukaan logam yaitu energy foton yang
terpapar pada permukaan haruslah lebih besar daripada energy ambang logam
(energy minimum untuk mengeluarkan elektron).
Dalam bukunya The Modern Revolution in Physics Benjamin Crowell
(2002: 66) menullis:
“The photoelectric effect was discovered serendipitously by
HeinrichHertz in 1887, as he was experimenting with radio waves. He
was notparticularly interested in the phenomenon, but he did notice
that the effectwas produced strongly by ultraviolet light and more
weakly by lowerfrequencies. Light whose frequency was lower than a
certain critical valuedid not eject any electrons at all. (In fact this was
all prior to Thomson’sdiscovery of the electron, so Hertz would not
have described the effect interms of electrons — we are discussing
everything with the benefit ofhindsight.) This dependence on
frequency didn’t make any sense in terms ofthe classical wave theory
of light.”
Dalam pemahaman klasik, energy cahaya tidak bergantung pada
frekuensi, namun energi bertambah jika intensitas cahaya diperbesar, Efek
fotolistrik dapat terjadi pada tiap frekuensi asal intensitasnya memenuhi.
Namun fakta yang diperoleh pada percobaan menunjukkan bahwa efek
fotolistrik tidak terjadi pada semua frekuensi meskipun intensitasnya sangat
besar. Sebaliknya, efek fotolistrik akan tetap terjadi pada suatu frekuensi
meskipun intensitasnya diperkecil mendekati nol. Hal ini sesuai dengan
pemahaman modern bahwa besarnya energy cahaya (foton) bergantung dari
frekuensinya.
7
Percobaan lainnya yang gagal dijelaskan oleh pemahaman klasik
adalah Efek Compton. Jika seberkas sinar-X ditembakkan ke sebuah elektron
bebas yang diam, sinar-X akan mengalami perubahan panjang gelombang
dimana panjang gelombang sinar-X menjadi lebih besar. Gejala ini dikenal
sebagai efek Compton, sesuai dengan nama penemunya, yaitu Arthur Holly
Compton.
Sinar-X digambarkan sebagai foton yang bertumbukan dengan
elektron seperti halnya dua bola bilyar yang bertumbukan. Dalam hal ini
Sinar-X yang sejatinya gelombang menurut teori klasik haruslah memiliki
momentum agar peristiwa ini dapat terjadi. Elektron bebas yang diam
menyerap sebagian energi foton sehingga bergerak ke arah membentuk sudut
terhadap arah foton mula-mula. Foton yang menumbuk elektron pun
terhambur dengan sudut θ terhadap arah semula dan panjang gelombangnya
menjadi lebih besar. Perubahan panjang gelombang foton setelah terhambur
disebabkan energinya yang berkurang (pengurangan frekuensi). Peristiwa ini
lagi-lagi mendukung teori fisika modern yang memandang cahaya sebagai
foton yang memiliki sifat dualisme gelombang-partikel.
Partikel sebagai Gelombang
Teori klasik merumuskan bahwa gelombang dan partikel merupakan
dua hal yang tidak memiliki kaitan. Sifat-sifat gelombang hanya dimiliki oleh
gelombang contohnya interferensi dan difraksi. Sedangkan sifat partikel
hanya dimiliki oleh partikel contohnya momentum. Ternyata perumusan
tersebut dapat dibantahkan pada abad ke-21 oleh ilmuwan asal Perancis yaitu
Louise de Broglie melalui persamaannya:
λ=
h
P
Dengan:
h= konstanta Planck yang nilainya 6,63 x 10-34 Js;
p = momentum satuannya kg.m/s; dan
λ = panjang gelombang de Broglie satuannya meter.
8
Hipotesa ini didukung oleh hasil eksperimen yang dilakukan Davisson
dan Germer melalui percobaan difraksi elektron. Mereka mengarahkan
seberkas elektron pada permukaan kristal nikel. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ternyata elektron mengalami difraksi. Difraksi elektron
tersebut sama dengan difraksi sinar X yang mengenai suatu kristal. Panjang
gelombang yang diperlihatkan oleh pola difraksi sesuai dengan prediksi
dalam hipotesa de Broglie. Selanjutnya eksperimen lain yang mendukung
hipotesa tersebut adalah percobaan celah ganda oleh Thomas Young. Hasil
interferensi celah ganda Young sama dengan hasil interferensi gelombang
yang diakibatkan oleh elektron.
Selain elektron, terdapat partikel lain yang berperilaku seperti
gelombang, contohnya adalah neutron. Neutron merupakan partikel tak
bermuatan yang biasa digunakan untuk mempelajari difraksi struktur kristal.
Meskipun semua partikel yang bergerak memiliki panjang gelombang de
Broglie, tetapi efek panjang gelombangnya hanya dapat diamati untuk
partikel yang massanya sangat kecil, seperti elektron atau neutron. Kecepatan
elektron jauh lebih kecil dibandingkan kecepatan cahaya, sehingga kita bisa
abaikan efek relativitas dengan menyatakan nilai momentum sebagai hasil
perkalian massa dan kecepatan.
Meskipun tampaknya electron sama dengan foton karena memiliki
sifat dualisme gelombang-partikel, namun ternyata kita tidak bias semertamerta menganggapnya sama. Benjamin Crowell (2008 : 79) berpendapat:
“It might seem as though all our work was already done for us, and
there would be nothing new to understand about electrons: they have
the same kind of funny wave-particle duality as photons. That's almost
true, but not quite. There are some important ways in which electrons
differ significantly from photons: (1) Electrons have mass, and
photons don't. (2) Photons always move at the speed of light, but
electrons can move at any speed less than c. (3) Photons don’t have
electric charge, but electrons do, so electric forces can act on them.
The most important example is the atom, in which the electrons are
held by the electric force of the nucleus. (4) Electrons cannot be
absorbed or emitted as photons are. Destroying an electron or creating
one out of nothing would violate conservation of charge.”
9
Bukti adanya sifat dualisme gelombang-partikel merupakan suatu
loncatan besar bagi para ilmuwan saat itu dan merupakan perubahan
paradigma pada normal sains yang mereka anut. Mau tidak mau mereka harus
menerima bukti kebenaran dan merubah paradigma normal sains mereka.
Berbagai perubahan besar harus dibuat dan terjadi dalam waktu singkat
seiring dengan penemuan ini.
Meminjam istilah Kuhn, mekanika kuantum merupakan paradigma
sains revolusioner pada awal abad 20. Lahirnya mekanika kuantum, tidak
terlepas dari perkembangan- perkembangan teori, terutama teori atom.
Mekanika kuantum bukan untuk menghapus teori dan hukum sebelumnya.
Mekanika kuantum tidak lebih untuk merevisi dan menambal pandangan
manusia terhadap dunia, terutama dunia mikrokosmik. Bisa jadi, sebenarnya
hukum-hukum yang berlaku bagi dunia telah tersedia dan berlaku bagi setiap
fenomena alam, tetapi pengalaman manusialah yang terbatas. Oleh sebab itu,
sampai di sini kita harus sadar dan meyakini bahwa sifat sains itu sangat
tentatif. (Paul Strathern, 2002:viii)
3. Kesimpulan
Perubahan paradigma dalam sains normal merupakan suatu kajadian
yang sering terjadi pada masyarakat ilmiah. Hal ini diperlukan sebagai suatu
solusi dalam menyikapi anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh normal
sains yang berlaku. Sehingga, diperlukan suatu normal sain baru yang dapat
menjelaskan anomali yang terjadi.
Perubahan paradigma dalam memahami sifat cahaya sebagai
gelombang menjadi cahaya sebagai gelombang sekaligus partikel merupakan
langkah yang tepat. Langkah ini memang berat, namun merupakan satusatunya solusi dalam menyelesaikan anomali yang terjadi sehingga
masyarakat ilmiah dapat terus melanjutkan petualangannya dalam menjawab
teka-teki sains yang lain.
Berdasarkan uraian perubahan paradigma dari fisika klasik ke fisika
modern di atas, lahirnya mekanika kuantum sesuai dengan teori revolusi sains
10
oleh Thomas Kuhn. Pada mulanya terdapat suatu masalah yang tidak dapat
dipecahkan dengan sains normal yang kemudian dapat dijelaskan dengan
munculnya suatu paradigma. Hingga dari paradigma baru tersebut munculah
suatu cabang sains baru yang disebut mekanika kuantum. Perkembangan
mekanika kuantum seperti yang sekarang ini bisa dikatakan hampir mustahil
jika tidak ada sebuah revolusi seperti diatas. Hal ini sesuai dengan teori
revolusi sains hasil pemikiran Kuhn.
Perubahan paradigma fisika klasik menjadi fisika modern tidak akan
berhenti. Selama masih ada pertanyaan yang belum terjawab dan sisi alam
semesta yang belum terjamah, maka kemungkinan akan terjadinya perubahan
paradigma yang berakhir pada lahirnya teori atau cabang ilmu baru sangatlah
besar.
11
Daftar Pustaka
Crowell, Benjamin. (2008). The Modern Revolution in Physics 3rd ed. California:
Fullerton.
Kuhn, Thomas S. (1996). The structure of scientific revolutions 3rd ed. United
States of America: The University of Chicago Press.
Moeis, Syarif. (2009). Revolusi Intelektual Sebagai Dasar Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Modern. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Strathern, Paul. (2002). Philosophy in 90 Minutes series. Jakarta: Pena Nusa.
Zamroni, Mohammad. (2009). Perkembangan Teknologi Komunikasi dan
Dampaknya terhadap Kehidupan. JURNAL DAKWAH, Vol. X No. 2.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
http://syahalam693.blogspot.co.id/2013/04/sejarah-perkembangan-ilmufisika.html
12