Analisis Komparasi Efisiensi Tataniaga Kubis Secara Ekspor dan Lokal (Kasus:Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Tinjauan Agronomis
Nama kubis diduga berasal dari bahasa Inggris yaitu cabbage. Sedangkan
di beberapa daerah, kubis juga disebut kol. Kata kol ini konon berasal dari bahasa
Belanda yaitu kool . Secara taksonomi, kubis budi daya yang masuk dalam spesies
Brassica oleracea dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Famili : Cruciferae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica oleracea
(Pracaya, 2001).
Kubis akan tumbuh baik bila ditanam di daerah berhawa dingin.
Temperatur optimum yang dikehendaki antara 15°-20° C. Sedangkan kelembapan
yang baik pada kisaran antara 60-90%. Kalau temperatur melebihi 25° C,
pertumbuhan akan terlambat. Kubis menghisap air cukup banyak. Tanaman yang
masih muda membutuhkan air sebanyak 300cc per hari. Sedangkan kubis dewasa
(2)
memerlukan persentase kandungan air dari kapasitas lapangan 60-100 % atau
rata-rata kurang 80 % (Pracaya, 2001).
Sebelum dibudidayakan, kubis tumbuh liar di sepanjang pantai Laut
Tengah, Inggris, Denmark, dan Pantai barat Perancis sebelah utara. Kubis yang
tumbuh liar ini sering dianggap sebagai gulma. Tetapi oleh orang Mesir dan
Yunani kuno, tanaman kubis sangat dipuja dan dimuliakan. Dalam perkembangan
selanjutnya, kubis dibudidayakan di Eropa sekitar abad ke-9 Masehi. Di Amerika,
kubis mulai ditanam ketika para imigran Eropa menetap di benua itu. Pada abad
ke-16 atau ke-17, kubis mulai ditanam di Indonesia. Pada abad tersebut orang
Eropa mulai berdagang dan menetap di Indonesia (Sunarjono, 2004).
2.1.2. Tinjauan Ekonomis
Kubis merupakan salah satu jenis sayuran komersial yang mendapat
prioritas dalam pengembangannya dan mempunyai nilai ekonomi dan sosial yang
cukup tinggi karena dijadikan salah satu andalan sumber pendapatan petani.
Tanaman ini relatif cepat dipanen, yaitu usia 3 sampai 4 bulan dan dapat tumbuh
di berbagai jenis tanah. Permintaan sayuran kubis pun semakin berkembang.
Tidak hanya permintaan dalam lokal, permintaan luar negeri juga tak kalah
meningkatnya. Produksi yang dihasilkan akan dijual atau dipasarkan. Pemasaran
ada dua jenis, yaitu pemasaran lokal dan pemasaran non lokal (ekspor). Ekspor
adalah pemasaran produk ke luar negeri (Pracaya, 2001).
Apabila suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
(ekspor dan impor) maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Salah satu
(3)
akan menentukan besar kecilnya jumlah barang yang akan diperdagangkan. Teori
permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga barang yang merupakan suatu hipotesa yang menerangkan “Makin rendah harga suatu barang, makin banyak permintaan terhadap barang tersebut,
sebaliknya makin tinggi harga suatu barang makin rendah permintaan terhadap
barang tersebut (cateris paribus)” (Sukirno, 2003).
Terbukti dari besarnya ekspor kubis ke luar negeri. Di Sumatera Utara,
ekspor kubis sangat menjanjikan bagi peningkatan ekonomi petani kubis. Berikut
tabel perkembangan ekspor kubis Sumatera Utara dan Negara tujuan ekspor.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Sumatera Utara Komoditi Kubis dan Negara Tujuan Ekspor 2010-2011
Kode HS Negara
Berat Bersih (Kg) Nilai FOB (US$)
Jan-Juni'10
Jan- Juni'11
Perub (%)
Jan-
Juni'10 Jan- Juni'11 Perub (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 704901000 Jepang 12.362 - -100,00 8.532 - -100,00
Korea Selatan - 803.291 0,00 - 203.439 0,00 Singapura 4.193.615 3.602.310 -14,10 1.466.122 1.262.995 -13,85 Malaysia 4.062.483 4.977.048 22,51 996.615 873.376 -12,37 Pakistan - 24.000 0,00 - 4.597 0,00 Subtotal 8.268.460 9.406.649 -91.59 1.308.102 1.082.679.95 -126,22
(4)
Tabel 4. Volume dan Nilai FOB Ekspor Sayuran dari Sumatera Utara ke Singapura dari Januari sampai Juni 2010-2013
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, BPS Catatan: Angka dari Januari sampai dengan juni 2010-2013
Dari kedua tabel di atas, dapat dilihat bahwa komoditi kubis memiliki nilai
ekonomi yang cukup besar dan menjanjikan bagi peningkatan pendapatan
ekonomi petani.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pemasaran atau Tataniaga
Istilah tataniaga diartikan sama dengan pemasaran, yaitu semacam
kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari
produsen ke konsumen. Sistem tataniaga adalah kumpulan lembaga-lembaga yang
secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan pemasaran barang dan
jasa yang saling mempengaruhi dengan tujuan mengalokasikan sumber daya
langka secara efisien guna memenuhi kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya.
Komponen sistem tataniaga tersebut adalah produsen, penyalur, dan
lembaga-lembaga pemerintah, rumah tangga, perorangan, dan lembaga-lembaga-lembaga-lembaga lainnya
yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam proses pertukaran
barang dan jasa (Radiosunu, 1995). Jenis
Komoditi
Volume (Kg) Nilai FOB (US$)
2010 2013 Perubahan
(%) 2010 2013
Perubahan (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
Kentang 2,036,897 1,473,133 -27.68 821,273 772,709 -5.91
Kubis 4,193,615 3,602,310 -14.10 1,466,122 1,262,995 -13.85
Timun 16,365 18,703 14.29 13,466 20,867 54.96
Tomat 235,789 299,159 26.80 190,972 281,376 47.34
Bayam 60,711 70,200 15.63 49,793 85,976 72.67
(5)
Secara umum tataniaga atau pemasaran dianggap sebagai proses aliran
barang yang terjadi dalam pasar. Dalam pemasaran ini barang mengalir dari
produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk
melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna
waktu melalui proses penyimpanan. Pemasaran komoditi pertanian dari proses
konsentrasi yaitu pengumpulan produk-produk pertanian dari petani ke tengkulak,
pedagang pengumpul dan pedagang besar serta diakhiri proses distribusi yaitu
penjualan dari pedagang ke agen, pengecer dan konsumen (Sudiyono, 2004).
Kegunaan pemasaran komoditas pertanian terdiri atas kegunaan bentuk
(form utility), kegunaan tempat (place utility), kegunaan waktu (time utility), dan
kegunaan kepemilikan (possessing utility). Fungsi-fungsi pemasaran komoditas
pertanian yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemasaran pada prinsipnya
terdapat tiga tipe fungsi pemasaran antara lain fungsi pertukaran, yaitu
mengalihkan barang kepada pihak pembeli, fungsi pengadaan fisik, yaitu
pengangkutan, dan fungsi fasilitas/pelancar terdiri atas permodalan (pembiayaan)
(Rahim dan Hastuti, 2008).
Fungsi pertukaran menyangkut pengalihan hal pemilikan yang terdiri atas
fungsi penjualan dan pembelian. Fungsi pengadaan fisik meliputi
kegiatan-kegiatan yang secara langsung diberlakukan terhadap komoditi pertanian sehingga
komoditi pertanian tersebut mengalami tambahan guna tempat dan waktu. Fungsi
pengangkutan meliputi pengangkutan dan penyimpanan komoditi pertanian.
Fungsi penyediaan fasilitas pada hakekatnya untuk memperlancar fungsi
pertukaran dan fungsi fisik. Standarisasi yaitu menetapkan grade (tingkatan)
(6)
2.2.2. Saluran atau Lembaga Tataniaga
Lembaga tataniaga merupakan badan usaha atau individu yang
menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas mulai dari
produsen sampai ke konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan
usaha atau individu lainnya. Dengan kata lain, saluran tataniaga / saluran
distribusi terdiri dari seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan
(fungsi) yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status pemilikannya dari
produsen ke konsumen (Kotler, 2001).
Lembaga tataniaga juga memegang peranan penting dan juga menentukan
saluran pemasaran. Fungsi lembaga ini berbeda satu sama lain, dicirikan oleh
aktivitas yang dilakukan dan skala usaha (Soekartawi, 1989).
Lembaga tataniaga ini melakukan kegiatan fungsi pemasaran yang
meliputi kegiatan: Pembelian, Sorting atau grading (membedakan barang
berdasarkan ukuran atau kualitasnya), Penyimpanan, Pengangkutan, dan
Processing (pengolahan). Masing-masing lembaga tataniaga, sesuai dengan
kemampuan dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara berbeda-beda.
Karena perbedaan kegiatan (dan biaya) yang dilakukan, maka tidak semua
kegiatan dalam fungsi kegiatan pemasaran dilakukan oleh lembaga tataniaga.
Karena perbedaan inilah, maka biaya dan keuntungan pemasaran menjadi berbeda
di tiap tingkat lembaga pemasaran (Soekartawi, 1989).
Biaya pemasaran komoditas pertanian merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk kegiatan usaha pemasaran komoditas pertanian meliputi; biaya transportasi,
(7)
sama lain, hal ini diakibatkan lokasi pemasaran, macam lembaga pemasaran,
efektivitas pemasaran yang dilakukan serta macam komoditasnya. Keuntungan
pemasaran komoditas pertanian merupakan selisih antara harga yang dibayar ke
produsen (petani) dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Keuntungan
pemasaran dapat pula disebut margin pemasaran (Rahim dan Hastuti, 2008).
Margin tataniaga adalah selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen
dengan harga yang diterima oleh produsen. Margin ini akan diterima oleh
lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga tersebut. Semakin panjang
pemasaran (semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat) maka semakin
besar margin pemasaran (Daniel, 2002).
Margin pemasaran terdiri dari biaya-biaya untuk melakukan fungsi-fungsi
pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Setiap lembaga
pemasaran biasanya melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran yang berbeda
sehingga share margin yang diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran
yang terlibat akan berbeda pula (Sudiyono, 2004).
Daniel (2002) menyatakan bahwa besarnya biaya tataniaga berbeda satu
sama lain, tergantung pada:
a. Macam komoditas yang dipasarkan
Komoditas yang bobotnya besar, tetapi nilainya kecil sehingga membutuhkan
biaya tataniaga yang besar.
b. Lokasi/ daerah produsen
Bila lokasi produsen jauh dari pasar atau lokasi konsumen, maka biaya
(8)
c. Macam dan peranan lembaga niaga
Semakin banyak lembaga niaga yang terlibat dan semakin panjang rantai
tataniaga, maka semakin besar biaya tataniaganya.
2.2.3. Efisiensi Tataniaga
Menurut Mubyarto (1986) dalam Rahim dan Hastuti (2008), efisiensi
pemasaran untuk komoditas pertanian dalam suatu sistem pemasaran dianggap
efisien apabila mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada
konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan
pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada
semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran.
Efisiensi tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu
sistem pemasaran. Efisiensi tataniaga dapat terjadi jika sistem tersebut dapat
memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen,
konsumen akhir, dan lembaga-lembaga pemasaran.
Margin tataniaga adalah perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar
konsumen dengan harga yang diterima petani produsen. Margin pemasaran atau
marketing margin terdiri dari biaya-biaya untuk melakukan fungsi pemasaran dan
keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Setiap lembaga pemasaran biasanya
melaksanakan fungsi-fungsinya yang berbeda sehingga share margin diperoleh
pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat akan berbeda. Salah satu
kegunaan dari perhitungan marketing margin (price spread) dan share margin
(9)
bahwa semakin tinggi marketing margin suatu komoditi, maka semakin rendah
tingkat efisiensi sistem tataniaga (Gultom, 1996).
Pasar yang tidak efisien akan terjadi bila biaya pemasaran semakin besar
dengan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Sedangkan
efisiensi pemasaran akan terjadi jika:
1. Harga pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih
tinggi
2. Elastisitas transmisi harga atau Persentase perbedaan harga yang
dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi
3. Adanya kompetisi pasar yang sehat (Soekartawi, 2002).
Elastisitas transmisi harga adalah perbandingan persentase perubahan
harga di tingkat konsumen dengan persentase perubahan harga di tingkat
produsen. Analisis transmisi ini memberikan gambaran bagaimana harga yang
dibayar konsumen akhir ditransmisikan kepada petani produsen. Pada umumnya
nilai elastisitas tranmisi ini lebih kecil dari satu, artinya pada volume dan harga
input konstan maka perubahan nisbi harga di tingkat petani pengecer tidak akan
melebihi perubahan nisbi harga di tingkat petani (Sudiyono, 2004).
2.3. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2011) dengan judul skripsi “Analisis Pemasaran Kentang dan Kubis untuk Tujuan Ekspor pada Tingkat Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kabupaten Karo” menyatakan bahwa lembaga pemasaran kubis untuk tujuan ekspor terdiri dari petani, pedagang
(10)
bermitra, dan eksportir. Saluran pemasaran kubis tujuan ekspor tersebut dinilai
sudah efisien baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra. Nilai efisiensi
tataniaga jalur ekspor untuk petani kubis yang bermitra dengan gapoktan sebesar
38,41% dan jalur ekspor untuk petani yang tidak bermitra sebesar 46,37%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2013) dengan judul skripsi “Analisis Tataniaga Kubis (Brasicca Oleracea l) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat” menyatakan bahwa untuk pemasaran kubis secara lokal terdapat tiga saluran tataniaga kubis. Saluran
pertama terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang
pengecer. Saluran tataniaga kedua terdiri dari petani, pedagang besar, dan
pedagang pengecer. Untuk saluran ketiga terdiri dari petani dan pedagang
pengecer. Ketiga saluran tataniaga tersebut dinilai efisien dan mampu memberi
keuntungan bagi setiap lebaga tataniaga.
Dalam penelitian Sinaga (2013) dengan judul skripsi “ Analisis Tataniaga Sayuran Kubis Ekspor di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun” menyimpulkan bahwa Saluran tataniaga kubis ekspor di daerah penelitian hanya terdapat satu saluran, yaitu Petani – Gapoktan – Eksportir. Lembaga tataniaga yang paling banyak mengeluarkan Biaya tataniaga eksportir,
yaitu sebesar Rp 442.00/kg. Margin keuntungan yang paling besar ada pada
eksportir, yaitu sebesar 758.00/kg dengan nisbah margin keuntungan sebesar 1.71.
Pada saluran tataniaga kubis ekspor di daerah penelitian efisien karena biaya
(11)
2.4. Kerangka Pemikiran
Di daerah penelitian, komoditi kubis dipasarkan melalui jalur tataniaga
ekspor dan jalur tataniaga lokal. Dalam tataniaga kubis secara lokal, ada beberapa
pihak yang terlibat. Antara lain petani kubis, pedagang pengumpul yang dalam hal
ini adalah gapoktan, pedagang pengecer, hingga akhirnya sampai ke konsumen.
Untuk jalur tataniaga ekspor, pihak yang terlibat antara lain petani, kelompok tani,
dan eksportir. Setiap pihak yang terlibat adalah lembaga tataniaga.
Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi
pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pengepakan, standarisasi,
pembiayaan, dan informasi pasar. Masing-masing lembaga tataniaga, sesuai
dengan kemampuan dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara
berbeda-beda. Karena perbedaan kegiatan yang dilakukan, maka tidak semua
kegiatan dalam fungsi kegiatan pemasaran dilakukan oleh lembaga tataniaga.
Karena perbedaan inilah, maka biaya tataniaga menjadi berbeda di tiap tingkat
lembaga pemasaran, dan begitu juga tingkat harga, share margin di setiap lembaga
pemasaran. Apabila nilai share margin telah diketahui, maka akan didapat nilai
efisiensi tataniaga. Setelah efisiensi tataniaga lokal dan ekspor didapat, maka
(12)
Tataniaga Kubis
Fungsi Tataniaga Petani Fungsi Tataniaga
1.Pembelian Poktan 1.Pembelian
2.Penjualan 2.Penjualan
3.Pengangkutan 3.Pengangkutan
4. Penyimpanan 4.Penyimpanan
5. Pengemasan Pedagang Pengecer Eksportir 5.Pengemasan
6.Standarisasi 6.Standarisasi
7.Pembiayaan Konsumen dalam negeri Kosumen luar negeri 7.Pembiayaan
Biaya Tataniaga Biaya Tataniaga
Harga Harga
Price Spread Price Spread
Share Margin Share Margin
Efisiensi Efisiensi
Komparasi
Keterangan: : Ada Hubungan
(13)
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Sistem tataniaga ekspor kubis di daerah penelitian efisien
2. Sistem tataniaga lokal kubis di daerah penelitian efisien
3. Tataniaga ekspor kubis di daerah penelitian lebih efisien dari tataniaga
(1)
c. Macam dan peranan lembaga niaga
Semakin banyak lembaga niaga yang terlibat dan semakin panjang rantai tataniaga, maka semakin besar biaya tataniaganya.
2.2.3. Efisiensi Tataniaga
Menurut Mubyarto (1986) dalam Rahim dan Hastuti (2008), efisiensi pemasaran untuk komoditas pertanian dalam suatu sistem pemasaran dianggap efisien apabila mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran.
Efisiensi tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi tataniaga dapat terjadi jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga pemasaran.
Margin tataniaga adalah perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen. Margin pemasaran atau
marketing margin terdiri dari biaya-biaya untuk melakukan fungsi pemasaran dan keuntungan lembaga-lembaga pemasaran. Setiap lembaga pemasaran biasanya melaksanakan fungsi-fungsinya yang berbeda sehingga share margin diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat akan berbeda. Salah satu kegunaan dari perhitungan marketing margin (price spread) dan share margin
(2)
bahwa semakin tinggi marketing margin suatu komoditi, maka semakin rendah tingkat efisiensi sistem tataniaga (Gultom, 1996).
Pasar yang tidak efisien akan terjadi bila biaya pemasaran semakin besar dengan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Sedangkan efisiensi pemasaran akan terjadi jika:
1. Harga pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran lebih tinggi
2. Elastisitas transmisi harga atau Persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi
3. Adanya kompetisi pasar yang sehat (Soekartawi, 2002).
Elastisitas transmisi harga adalah perbandingan persentase perubahan harga di tingkat konsumen dengan persentase perubahan harga di tingkat produsen. Analisis transmisi ini memberikan gambaran bagaimana harga yang dibayar konsumen akhir ditransmisikan kepada petani produsen. Pada umumnya nilai elastisitas tranmisi ini lebih kecil dari satu, artinya pada volume dan harga input konstan maka perubahan nisbi harga di tingkat petani pengecer tidak akan melebihi perubahan nisbi harga di tingkat petani (Sudiyono, 2004).
2.3. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2011) dengan judul skripsi “Analisis Pemasaran Kentang dan Kubis untuk Tujuan Ekspor pada Tingkat Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kabupaten Karo” menyatakan bahwa lembaga pemasaran kubis untuk tujuan ekspor terdiri dari petani, pedagang pengumpul untuk petani yang tidak bermitra atau gapoktan untuk petani yang
(3)
bermitra, dan eksportir. Saluran pemasaran kubis tujuan ekspor tersebut dinilai sudah efisien baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra. Nilai efisiensi tataniaga jalur ekspor untuk petani kubis yang bermitra dengan gapoktan sebesar 38,41% dan jalur ekspor untuk petani yang tidak bermitra sebesar 46,37%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2013) dengan judul skripsi “Analisis Tataniaga Kubis (Brasicca Oleracea l) di Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat” menyatakan bahwa untuk pemasaran kubis secara lokal terdapat tiga saluran tataniaga kubis. Saluran pertama terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga kedua terdiri dari petani, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Untuk saluran ketiga terdiri dari petani dan pedagang pengecer. Ketiga saluran tataniaga tersebut dinilai efisien dan mampu memberi keuntungan bagi setiap lebaga tataniaga.
Dalam penelitian Sinaga (2013) dengan judul skripsi “ Analisis Tataniaga Sayuran Kubis Ekspor di Desa Saribudolok Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun” menyimpulkan bahwa Saluran tataniaga kubis ekspor di daerah penelitian hanya terdapat satu saluran, yaitu Petani – Gapoktan – Eksportir. Lembaga tataniaga yang paling banyak mengeluarkan Biaya tataniaga eksportir, yaitu sebesar Rp 442.00/kg. Margin keuntungan yang paling besar ada pada eksportir, yaitu sebesar 758.00/kg dengan nisbah margin keuntungan sebesar 1.71. Pada saluran tataniaga kubis ekspor di daerah penelitian efisien karena biaya tataniaga yang dikeluarkan lebih kecil dari nilai produk yang dipasarkan.
(4)
2.4. Kerangka Pemikiran
Di daerah penelitian, komoditi kubis dipasarkan melalui jalur tataniaga ekspor dan jalur tataniaga lokal. Dalam tataniaga kubis secara lokal, ada beberapa pihak yang terlibat. Antara lain petani kubis, pedagang pengumpul yang dalam hal ini adalah gapoktan, pedagang pengecer, hingga akhirnya sampai ke konsumen. Untuk jalur tataniaga ekspor, pihak yang terlibat antara lain petani, kelompok tani, dan eksportir. Setiap pihak yang terlibat adalah lembaga tataniaga.
Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pengepakan, standarisasi, pembiayaan, dan informasi pasar. Masing-masing lembaga tataniaga, sesuai dengan kemampuan dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara berbeda-beda. Karena perbedaan kegiatan yang dilakukan, maka tidak semua kegiatan dalam fungsi kegiatan pemasaran dilakukan oleh lembaga tataniaga. Karena perbedaan inilah, maka biaya tataniaga menjadi berbeda di tiap tingkat lembaga pemasaran, dan begitu juga tingkat harga, share margin di setiap lembaga pemasaran. Apabila nilai share margin telah diketahui, maka akan didapat nilai efisiensi tataniaga. Setelah efisiensi tataniaga lokal dan ekspor didapat, maka dapat dikomparasikan jalur tataniaga yang paling efisien antara lokal dan ekspor.
(5)
Tataniaga Kubis
Fungsi Tataniaga Petani Fungsi Tataniaga
1.Pembelian Poktan 1.Pembelian
2.Penjualan 2.Penjualan
3.Pengangkutan 3.Pengangkutan
4. Penyimpanan 4.Penyimpanan
5. Pengemasan Pedagang Pengecer Eksportir 5.Pengemasan
6.Standarisasi 6.Standarisasi
7.Pembiayaan Konsumen dalam negeri Kosumen luar negeri 7.Pembiayaan
Biaya Tataniaga Biaya Tataniaga
Harga Harga
Price Spread Price Spread
Share Margin Share Margin
Efisiensi Efisiensi
Komparasi
Keterangan: : Ada Hubungan
(6)
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Sistem tataniaga ekspor kubis di daerah penelitian efisien 2. Sistem tataniaga lokal kubis di daerah penelitian efisien
3. Tataniaga ekspor kubis di daerah penelitian lebih efisien dari tataniaga kobis secara lokal.