Tradisi Lisan Cenggok-Cenggok Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu-Sumatera Utara

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, KAJIAN PUSTAKA DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Konsep
Istilah konsep berasal dari bahasa Latin conceptum artinya sesuatu yang
dipahami. Soetriono dan Hanafie (2007:142) mengemukakan konsep adalah
istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena.
Koentjaraningrat (1985:4) memberi pengertian konsep sebagai deskripsi
singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Oleh karenanya dalam penelitian ini
konsep membantu pemahaman peneliti dalam melakukan kajian Tradisi lisan
cenggok-cenggok dalam upacara adat perkawinan Melayu Panai Labuhanbatu
Sumatera Utara . Konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
2.1.1

Tradisi

Tradisi berasal dari kata traditium yang berarti segala sesuatu yang diwarisi
dari masa lalu (Murgiyanto, 2004:2). Lebih lanjut, Murgiyanto menambahkan
bahwa tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih
melihat manfaat dan masih menyukainya. Sebagai milik masyarakat tradisi
dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau

norma-norma yan ada dalam masyarakat. Tradisi merupakan sesuatu yang
diturunkan dari warisan nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat. Tradisi
mencakup hasil cipta dan karya manusia, kepercayaan yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Finnegan (1992:7) tradisi digunakan sebagai istilah umum dan

19
Universitas Sumatera Utara

istilah khusus bagi antropolog, peneliti folklor dan sejarawan lisan. Makna tradisi
dapat digunakan dalam ujaran keseharian sebagai kebudayaan, sebagai
keseluruhan, cara-cara melakukan sesuatu berdasar metode yang telah ditentukan,
proses pewarisan praktek, ide, atau nilai; produk yang diwariskan; dan sesuatu
yang berkonotasi lampau. Sesuatu yang disebut dengan tradisi umumnya tidak
ditulis yang menjadi milik keseluruhan komunitas bukan milik individu atau
kelompok tertentu. Selanjutnya, Esten (1999:21) mendefinisikan bahwa tradisi
adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya
masyarakat yang bersangkutan. Ditegaskan oleh Esten lebih lanjut bahwa tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam
kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau

keagamaan.
Hosbown lebih jauh mengemukakan dalam bukunya yang berjudul ”The
Invention of Tradition” bahwa tradisi dapat menjadi bentuk yang berbeda karena
adanya penciptaan tradisi itu sendiri. Ditambahkan oleh Hosbown lagi bahwa
penciptaan tradisi dipahami sebagai proses dialogis antara orientasi ke luar dengan
orientasi ke dalam. Pada perkembangan berikutnya, penciptaan tradisi dipahami
secara luas antara lain tradisi yang diciptakan, dibangun dan terlembagakan.
Adanya legitimasi dari

tradisi lama yang disebutkan diatas dapat memunculkan

tradisi yang baru yang dapat berupa hasil dari adaptasi, reinterpretasi,
rekontekstualisasi terhadap situasi yang sedang berkembang dalam sebuah

20
Universitas Sumatera Utara

masyarakat.
2.1.2 Tradisi Lisan
Tradisi lisan adalah tradisi yang di sampaikan secara lisan dari generasi ke

generasi. Tradisi lisan merupakan segala wacana yang diucapkan atau
disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara yang
semuanya disampaikan secara lisan, baca (Pudentia, 2007:27). Sejalan dengan itu
Ong (1988:3) menyatakan “kelisanan suatu budaya yang sepenuhnya tak tersentuh
pengetahuan apapun mengenai tulisan atau cetakan sebagai kelisanan primer”.
Dalam pandangan Vansina (1985:27), tradisi lisan merupakan pesan verbal berupa
pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini,
kemungkinan dituturkan atau dinyanyikan dengan atau tanpa diiringi musik.
Tradisi lisan menurut Lord (2000:1) adalah sesuatu yang dituturkan dalam
masyarakat. Batasan tradisi lisan ini memberikan isyarat dalam menyampaikan
tradisi lisan unsur melisankan bagi penutur dan dan unsur mendengarkan bagi
penerima menjadi kata kuncinya. Si penutur tidak menuliskan apa yang dituturkan
dan penerima tidak membaca apa yang diterima. Menurut Pudentia (2009:59)
tradisi lisan diartikan sebagai sesuatu hal yang ditransmisikan melalui tuturan
meliputi yang beraksara dan tak beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri atas
cerita rakyat (folklore) maupun berbagai jenis cerita lainnya, tetapi juga berbagai
hal yang yang menyangkut sistem pengetahuan lokal, sistem genelogi, sejarah,
hukum, lingkungan, alam semesta, adat-istiadat, tekstil, obat-obatan, religi,

21

Universitas Sumatera Utara

kepercayaan, nilai-nilai moral, bahasa seni dan sebagainya. Tradisi lisan
membicarakan konteks masyarakat sebagai penghasil tradisi yang bersangkutan
dan masyarakat sebagai penikmatnya.
Studi kelisanan tidak selalu disusun dalam acara-acara yang sesuai dengan
analisis strukturalis yang dapat diterapkan pada suatu tradisi lisan. Struktur
kelisanan kadang-kadang runtuh meskipun keadaan itu tidak perlu menghalangi
penutur yang piawai. Garis naratif yang lurus tidak begitu bisa diterapkan dalam
penyampaian lisan dibanding dengan komposisi tulis. Komposisi lisan
dilaksanakan dengan inti informasional yang tidak menunjukkan susunan yang
biasanya dikaitkan dengan pikiran si penutur meskipun sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh penutur lain (Ong, 1982:165).
2.1.3

Performansi
Membicarakan tradisi lisan, tentu tidak akan terlepas dari konteks

pementasan atau performansinya. Sehubungan dengan hal tersebut, selain
berbicara tentang formula sebagai ciri utama kelisanan, Lord (1981: 13-29)

menekankan aspek-aspek kelisanan puisi Yugoslavia berupa komposisi,
performansi dan transmisi. Dikemukakannya lagi, bagi penyair lisan, pembuatan
komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi (pertunjukan) sehingga
komposisi dan performansi merupakan dua hal yang dilakukan pada saat
bersamaan . Dalam bukunya The Singer of Tales (1981), ia memberi deskripsi
eksplisit mengenai konsep komposisi, performansi, dan transmisi. Menurutnya

22
Universitas Sumatera Utara

bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukan saat ia melakukan performansi
(pertunjukan) sehingga komposisi dan performansi merupakan dua hal yang
dilakukan pada saat bersamaan.
Lebih lanjut Lord mengatakan

bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di

dalam performansi (1981: 13). Menurutnya

ada tiga tahap dalam proses


komposisi, yaitu peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan
penyerapan, penerapan atau aplikasi, dan pelantunan di hadapan pendengar.
Ditambahkannya

bahwa proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan

proses

mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah
ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama
persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama.
Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja,
sehingga dalam performansi terdapat perubahan dan penambahan. Dengan
demikian, hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi
dalam proses transmisi dalam tradisi lisan. Lord dalam bukunya The Singer of
Tales (1981), tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi,
performansi, dan transmisi; tetapi justru Finnegan, dengan berpijak pada paparan
Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut.
Menurut Finnengan komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau

proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan.
Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan,

23
Universitas Sumatera Utara

seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, keterkaitannya dengan
performansi, keterkaitannya dengan memorisasi, keterkaitannya dengan teks-pasti
dan teks-bebas.
Pembicaraan mengenai komposisi yang diungkapkan oleh Lord tersebut,
kemudian diuraikan Nagy (2001) sebagai lanjutan dari apa yang selama ini
menjadi pertanyaan Parry dan Lord dalam mengkaji puisi Homer.

Hal

terpenting dari hasil analisis Nagy (2001: 3-10) adalah ia merumuskan tentang
apa yang pernah dilakukan oleh Parry dan Lord, menjadi sepuluh kelompok
konsep yang menjadi unsur terpenting dalam mengkaji sebuah tradisi lisan.
Menurut Nagy, sepuluh unsur yang harus dipertimbangkan dalam mengkaji
komposisi tradisi lisan adalah : (1) fieldwork, (2) syncrony vs diachrony, (3)

composition-in-performance, (4) diffusion, (5) theme, (6) formula, (7) economy
(thrift),(8) tradition vs innovation, (9) unity and organization, and (10) author
and texs.
Diperlukan pendekatan sinkronis dan diakronis (syncrony vs diachrony)
untuk

melihat

perkembangan

dan

variasi

satu

tradisi

(tradition


vs

innovation).Perspektif sinkronis berkaitan dengan kerja lapangan (fieldwork)
kajian sastra lisan pada saat disajikan dengan tujuan menggambarkan sistem
aktual yang hidup terus menerus oleh sebuah tradisi (Nagy, 2001: 3-4).
Sedangkan pendekatan diakronis dilakukan untuk melihat bagaimana tradisi
tersebut, sejak pertama kali disajikan hingga sekarang.

24
Universitas Sumatera Utara

Pendekatan ini dimaksudkan bukan untuk mengklasisfikasi sejarahnya
sebagaimana ilmu lain seperti filologi, sejarah sastra, ataupun ilmu kritik sastra.
Karena sifat tradisi lisan dinamis dan komposisi disajikan pada saat penyajian
(composition-in-performansi) (Lord, 1981: 13), maka prinsip diakronis
diperlukan untuk melihat variasi yang muncul dan selalu berbeda disetiap
penyajian. Dengan kata lain tradisi lisan bukan objek mati, tetapi justru
merupakan tradisi komunikasi yang berbentuk dan berubah dalam interaksi
antara penyampai (author) dan khalayak. Dari interaksi ini, terjadilah proses
penyebaran (diffusion), baik pengetahuan maupun informasi yang diperoleh dari

teks lisan.
Ditegaskan

kembali

oleh

Nagy bahwa

selama

ini

telah

terjadi

kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang
ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra
ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari

hasil analisis tersebut, Nagy mengatakan bahwa tanpa performansi tradisi lisan
tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa performansi, gagasan utama tradisi
lisan akan kehilangan keutuhan (unity and organization) dan integritasnya.
Berkaitan

dengan performansi, perlu juga melihat pemikiran yang

dikemukakan oleh Ruth Finnengan. Walaupun ia adalah seorang antropolog,
Finnengan memperlihatkan hasil kajian di bidang lain berupa seni pertunjukan
dan tradisi lisan. Dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature,Significance and

25
Universitas Sumatera Utara

Social Contexs (1991), ia

mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting

yang harus diperhatikan dalam mengkaji penyajian sastra lisan yaitu (1)
composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah) dengan
mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang mampu
mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya, dan
gendre yang beragam seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun
ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun
proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan
melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsure khalayak atau
penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah performansi.
Lebih lanjut, Finnengan (1992: 91-111) menguraikan lebih luas bahwa pada
sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya seni
dan ekspresi lisan. Tapi, pendekatan pada performansi cenderung dapat dijadikan
sebagai ide sentral untuk mengkaji bagaimana kegiatan masyarakat pemiliknya
berkaitan dengan budaya lisan itu sendiri. Dalam pendekatan etnografi,
performansi dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain di samping teks sebagai
salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung
kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan.
Etnografi sebagai

sebuah pendekatan, menaruh perhatian pada tingkah

laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan
masyarakat tertentu. Beberapa komponen yang berperan dalam penyajian adalah

26
Universitas Sumatera Utara

penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang
didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1993:
3). Finnegan dalam buku Oral Tradition and Verbal Art (1992),

memperkaya

tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok,
yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan
tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk
sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar
dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang
karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat dalam diri dan
kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang (kelompok) yang
mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa (hlm. 98-100)
Lebih jauh, Finnengan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat
diaplikasikan

dalam

menganalisis

dan

membandingkan

teks

dengan

memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan
melalui

penerjemahan,

pendeskripsian,

dan

presentasi.

Selanjutnya,

ia

mengatakan bahwa performansi adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki
dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik.
Pertunjukan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat
ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Tindakan komunikasi
diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan

27
Universitas Sumatera Utara

kontekstualnya. Pertunjukan budaya merupakan konteks pertunjukan yang
menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.
Hal yang sama juga dikemukan oleh Fine bahwa ada tiga fokus yang perlu
diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model
estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3)
budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58). Oleh karena
itu, metode penelitian sastra lisan, harus diarahkan dalam dua aspek, yang pertama
adalah berkaitan dengan konten atau isi dari tradisi lisan, dan kedua adalah
berhubungan dengan performansi yang merupakan ruang tersendiri yang memiliki
hubungan dengan model komunikasi khusus yang berbeda dengan pidato, antara
performer dengan pendengarnya.
Selain itu, performansi sastra lisan juga merupakan ruang ekspresi
budaya yang berhubungan dengan peristiwa budaya tertentu di dalam suatu
masyarakat. Performansi juga merupakan variasi budaya yang penting dalam
studi lintas budaya. Oleh karena itu, kajian mengenai performansi sastra lisan
merupakan kekayaan kajian di masa yang akan datang. Lebih lanjut , Finnegan
mengatakan bahwa performansi dalam tradisi lisan dapat dibedakan menjadi dua
yaitu (1) performansi yang ditampilkan di hadapan audiens, dan performansi yang
tidak ditampilkan di hadapan audiens sesuai dengan kondisi tertentu.
Model performansi pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan, dan model
kedua dimanfaatkan untuk tujuan sakral. Ia juga mengatakan bahwa dalam

28
Universitas Sumatera Utara

performansi melibatkan unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan),
audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), serta media (sarana
dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material).
Konsep performansi yang digunakan dalam kajian ini aspek-aspek
kelisanan dari sebuah penyajian tradisi lisan diantaranya komposisi, transmisi,
dan audience. Analisis mengenai aspek-aspek tersebut dapat dianalisis melalui
prespektif sinkronis dan diakronis sehingga ditemukan perubahan-perubahan
yang muncul, baik dalam teks maupun dalam performansi tradisi lisan itu sendiri.
Selanjutnya menurut Sulkarnaen (2010:90) tindakan pertunjukan dalam
tradisi lisan merupakan bagian dari peritiwa sosial tertentu yang turut menentukan
makna pertunjukan. Seni pertunjukan berbeda dengan cabang seni yang lain, ia
bukanlah seni yang ”membenda”. Seni pertunjukan dimulai dan selesai dalam
waktu tertentu dan tempat tertentu pula,sesudah itu tak ada lagi wujud seni
pertunjukannya. Seni pertunjukan terjadi hanya sekali, pertunjukan yang lain
adalah ”wujud” seni yang lain, meskipun materi seninya tetap sama. Seni
pertunjukan diajarkan atau diwariskan secara lisan oleh guru kepada muridnya
(biasanya bapak kepada anaknya) dengan langsung melihat, mendengar, meniru
dan melakukannya (guru panggung ). Kelisanan seni pertunjukan menjadi multi
tafsir, sehingga penambahan, pengurangan, pengubahan bisa terjadi hanya dalam satu
atau dua generasi. Budaya lisan menyebabkan tumbuhnya varian suatu jenis seni
pertunjukan berkembang antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu kurun

29
Universitas Sumatera Utara

waktu. Jika dipandang dari konteksnya semua seni pertunjukan yang ada di
Indonesia sejak dahulu yang sampai sekarang masih hidup (living tradition) adalah
hasil dari konteks sosio budaya masa lalu bangsa Indonesia. Perubahan terjadi
apabila masyarakat pendukung atau pewarisnya mengalami perubahan , dan
perubahan terjadi jika suatu seni pertunjukan dipentaskan di wilayah lain atau
konteks lain. Mengkontekstualisasikan seni pertunjukan Indonesia merupakan
tugas intelektual seni yang lahir dari institusi pendidikan dengan menjelaskan
makna dan fungsi seni. Wujud dari seni pertunjukan ini selalu diselenggarakan
untuk alasan-alasan yang berhubungan dengan upacara peralihan 1 (rites de
passage, rites of passage). Konteks upacara dalam sebuah seni pertunjukan akan
melakonkan apa yang menjadi fenomena yang dialami masyarakatnya. Antara seni
pertunjukan dan upacara dapat kita bedakan dimana salah satunya adalah ritus
sebagai bentuk pertunjukan asli, sedangkan upacara terdiri dari bermacam-macam
jenis upacara yakni,
1. Upacara Besar

1

Upacara peralihan atau Rite of passage menurut antropolog adalah ritual yang dilakukan hanya

sekali yang dilakukan sebagai petunjuk bahwa seseorang telah mengalami masa peralihan.
Antropolog Arnold Van Gennep, menganalisis bahwa upacara ritual peralihan ini akan membawa
manusia melintasi krisis yang menentukan dalam hidupnya, seperti kelahiran, pubertas,
pernikahan, menjadi ayah atau ibu, naik ke kelas yang lebih tinggi spesialisasi pekerjaan dan
kematian (Soekadijo, 1993: 207). Victor Turner menjelaskan karya Arnold Van Gennep tentang
upacara perjalanan sebagai ritual yang menandai perubahan keadaan, khususnya upacara krisis
kehidupan. Rirual-ritual tersebut sering disimboliskan sebagai kelahiran kembali atau kelahiran
baru, untuk mencapai status baru dengan mematikan atau menghilangkan status lama ( Connolly
(ed), 2002: 48).

30
Universitas Sumatera Utara

Dilakukan oleh semua kelompok suku atau negara secara kolektif dan
periodik (jangka waktu lama).
2. Upacara Harian
Dilakukan oleh keluarga secara individu maupun kelompok, secara
individual maupun kolektif. Adapun bentuk-bentuk upacara mempunyai
tujuan tertentu antara lain,
(a) Menceritakan kembali mitos asal muasal
(b) Mementaskan atau mendramatisasi mitos
(c) Menyelenggarakan upacara adat
(d) Menyelenggarakan perayaan-perayaan atau pesta
(e) Mengadakan kurban
(f) Tari menari yang menghadirkan tata alam, dan sebagainya.

2.1.4

Teks, Konteks, dan Koteks

2.1.4.1 Teks
Sibarani dan Talhah (2015) mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan teks adalah teks tertulis, teks lisan, dan teks pertunjukan. Teks tertulis
adalah teks yang ditemukan dalam bentuk tulisan yang bersifat tetap karena
direkam dalam tulisan. Teks lisan adalah teks yang dilisankan atau diucapkan saat
pertunjukan. Teks lisan ini sangat lentur, tergantung sekali pada saat pertunjukan.
Teks lisan bisa menjadi teks tertulis jika ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan.

31
Universitas Sumatera Utara

Teks ini tidak berdiri sendiri di dalam seni tradisi, tetapi wujudnya selalu
muncul dalam setiap pertunjukan.
Pertunjukan merupakan objek tontonan yang melibatkan pelaku dan penonton.
Sebuah upacara ritual yang masih dianggap sakral, juga melibatkan publik yang
mungkin hanya menonton atau pada saat tertentu, ikut terlibat. Oleh karenanya,
peristiwa sosial semacam itu menjadi pertunjukan dan dibaca sebagai teks
pertunjukan. Pada teks pertunjukan terdapat unsur verbal dan nonverbal. Unsur
verbal berbentuk bahasa yang diucapkan oleh penyanyi, pemantun, dan pepantun
saat kelompok kesenian cenggok-cenggok mengadakan pertunjukan.
Menurut Fox (1986:44) teks sebagai wadah makna yang memaparkan
dunia ide, dalam setiap teks terdapat seperangkat hubungan internal yang mengatur
koherensinya, hubungan asosiatif yang menghubungkannya dengan teks-teks lain
dalam sebuah korpus budaya, acuan yang menunjuk pada satuan-satuan tertentu,
dan kondisi di luar teks itu sendiri. Koherensi internal, pola asosiatif, dan tata
acuannya membentuk struktur komunikatif teks dan interaksi yang rumit antara
hubungan teks yang satu dan hubungan teks yang lain itu berdasarkan asumsi
budaya para penuturnya.
2.1.4.2 Ko-teks
Koteks merupakan bagian penting dalarn memberikan pemaknaan terhadap
teks tradisi lisan. Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh
unsur-unsur nonverbal yang disebut dengan “ko-teks” (co-text) Ko-teks bisa saja

32
Universitas Sumatera Utara

terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic
(penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan
untuk mengana1isis tradisi lisan yang berbentuk upacara.
2.1.4.3 Konteks
Konteks mempunyai peranan penting dalam pengkajian makna sebuah teks
wacana. Bertalian dengan fungsinya dalam konteks, menurut Osch (1988:8),
wacana merupakan seperangkat makna yang menghubungkan struktur bahasa
dengan konteks yang melatarinya yang dirajut oleh penutur dan pendengar dalam
proses memproduksi dan menafsirkan makna.
Dalam tradisi lisan konteks memberikan keutuhan pemaknaan sebuah tradisi.
Pertunjukan tradisi lisan akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila
konteksnya berbeda. Konteks adalah segala keadaan atau kondisi yang berada di
sekitar suatu tradisi lisan yang membuat tradisi itu hidup dan tercipta. Melalui
konteks pemahaman terhadap keseluruhan tradisi lisan tercipta.
Konteks dapat dipilah atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi
adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur
pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar atau situasi,
saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap
dan perilaku bahasa milik bersama, suatu kelompok masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi
antaranggota masyarakat, wujud sikap, pola perilaku lain secara bersama-sama

33
Universitas Sumatera Utara

berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu
(Hesselgrave dan Edward, 1989:200).
Konteks dalam tradisi lisan dapat diketahui dengan memahami di mana,
kapan, siapa, dan untuk apa tradisi lisan itu dipertunjukkan. Selain itu, yang juga
termasuk dalam konteks adalah keyakinan apa yang ada dalam pertunjukan itu dan
apa fungsinya. Konteks yang ada berkaitan dengan konteks situasi, konteks budaya,
konteks sosial, dan konteks ideologi. Konteks situasi adalah yang

berkaitan

dengan waktu, tempat, suasana, dan cara; konteks budaya berkaitan dengan siklus
mata pencaharian, siklus kehidupan; konteks sosial adalah jenis kelamin,
pendidikan, usia, stratifikasi sosial, dan etnis; dan konteks ideologi menyangkut
paham, pengetahuan, aliran, keyakinan, dan latar belakang (Sibarani dan Talhah,
2015:25).
2.1.5

Konsep Formula
Formula diwujudkan dalam bentuk kata, frasa, klausa, dan larik atau baris.

Untuk menciptakan unsur-unsur tersebut, pencerita menggunakan daya ingatnya
yang biasanya dilakukan melalui analogi atau perumpamaan. Menurut Tuloli
(1994:15), ide dan formula itu adalah apa yang ada dalam pikiran pencerita yang
bisa berbentuk; (1) sifat-sifat sesuatu benda atau manusia, (2) perasaan-perasaan
tertentu seperti kasih sayang, benci, dan sindiran, dan (3) menunjukkan nama
tokoh, kegiatan khusus, waktu, dan tempat.

34
Universitas Sumatera Utara

Niles (1981:398) menjelaskan lebih lanjut bahwa formula adalah hasil dari
suatu sistem formulaik. Dasar bagi penyair/pencerita untuk mengekspresikan
makna dalam cerita secara tepat dalam bentuk metrik tertentu merupakan fungsi
dari sistem formulaik. Formula mengikuti susunan yang mengikuti pola-pola
tertentu dalam bentuk komposisi. Formula memiliki berbagai jenis. Storl yang
dikutip oleh Tuloli (1994:16) mengemukakan penjenisan formula. Menurutnya
penjenisan formula meliputi (1) formula kata demi kata yaitu pengulangan yang
tepat, (2) formula yang salah satu unsur variabelnya (hanya satu unsur yang diulang
tetap), (3) formula yang kedua unsurnya (yaitu paruhan awal dan akhir) variabel
atau dengan kata lain keseluruhannya hanya dibangun dengan pola-pola struktural,
dan (4) formula struktural tunggal. Lebih jauh, Tuloli (1994:20) membagai formula
dalam empat kategori, yakni (1) formula satu baris, (2) formula setengah baris, (3)
formula yang salah satu unsurnya variable, dan (4) formula afiks pada baris-baris
yang terdiri dari satu kata. Selanjutnya, Tuloli (1990:16) mengemukakan bahwa
setiap pencerita atau tukang tutur telah menguasai bentuk-bentuk formula yang siap
pakai untuk mempermudah dan memperlancar penciptaan cerita.
Batasan formula dikemukakan oleh Lord (2000:30) sebagai, “ a group of
words which is regularly employed under the same metrical conditions to expres a
given essential idea” (sekelompok kata-kata yang dimanfaatkan dalam kondisi
matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki). Menurut Lord
(2000:4) formula mempunyai hubungan yang erat dengan tema yang didefinisikan

35
Universitas Sumatera Utara

sebagai “ the repeated incident and descriptive passages in the traditional song”
Tema mengalami perkembangan secara terus menerus dalam pikiran pencerita.
Pencerita menguasai rangkaian adegan tertentu yang ditambah atau dikurangi
ketika dipertunjukkan atau ditampilkan. Tema yang ada bisa yang lama dan bisa
yang baru. Tema juga bisa diambil dari kejadian atau peristiwa yang benar-benar
terjadi atau yang hanya dalam khalayan, mite, legenda, dan dongeng. Peristiwa
yang benar-benar terjadi dan khalayan itu kemudian diberikan gaya tambahan
sedemikian rupa sehingga menjadi indah ketika dipertunjukkan.
Formula memiliki fungsi yang penting dalam cerita atau nyanyian. Tuloli
(1994:21) menjelaskan fungsi formula, yaitu (1) mempermudah daya ingat tukang
cerita yang utuh pada saat penampilan atau yang disebut dengan skema oleh
Sweeney, (2) mempermudah pencerita untuk menyusun baris-baris yang sama
polanya dalam waktu yang singkat pada saat bercerita, (3) memperindah cara
penceritaan karena irama akan teratur oleh adanya pengulangan formula-formula
pada pola-pola baris yang sama, dan (4) pencerita melahirkan arti atau makna cerita
secara tepat dalam baris atau bentuk sintaksis dan ritme tertentu.
Konsep formula dan formulaik merupakan teori yang pertama kali
dipopulerkan oleh Parry dan Lord. Dalam perkembangannya, teori ini kemudian
dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Dikatakan sebagai

teori formula

Parry-Lord karena ide dasar teori tersebut muncul dari Parry kemudian
disempurnakan oleh muridnya Lord. Pemikiran mengenai formula, bermula dari

36
Universitas Sumatera Utara

temuan Milman Parry mengenai komposisi yang ada dalam tradisi lisan yang
dinyanyikan oleh Homer. Ia menemukan bahwa komposisi puisi-puisi Yunani
Kuno yang ada dalam Illiad dan Odissey yang dinyanyikan oleh Homer
merupakan suatu yang istimewa.
Parry kemudian mempertanyakan siapa sesungguhnya Homer yang
mampu menyusun komposisi yang begitu indah dan panjang, serta bagaimana ia
menyusun komposisi tersebut, pada hal Homer tidak mengenal tulisan. Rasa
penasaran ini kemudian membawa Parry pada sebuah ketetapan bahwa karya
Illiad dan Odissey merupakan hasil kreasi kolektif dari sejumlah generasi
penyanyi yang bekerja tidak secara individual, namun dalam tradisi puitik,
(Foley,1986: 3-6).
Implikasi dari hasil penelitian Milman Parry tersebut, diwujudkan Foley
dan Albert B. Lord dengan melakukan penelitian bersama di beberapa wilayah
Yugoslawia.

Mereka

merekam

dan

mewawancarai

sejumlah

„penyanyi

tradisional‟ (guslar). Hasil penelitian itu menghasilkan maha karya yang berjudul
Milman Parry Collection of Oral Literature di Harvard University. Dalam buku
itu,

terdapat

sejumlah

buku

yang

sudah

diedit,

diterjemahkan

dan

dipublikasikandalam seri Serbo-Croatian Heroic Songs. Di antara hasil editan
tersebut adalah TheWendding of Smailogic Meho, teks yang memiliki panjang
13.000 larik tersebut memiliki struktur yang sama dengan kesejajaran
(paralelisme) dalam Odissey-nya Homer. Dalam kronologi perjalanan puisi

37
Universitas Sumatera Utara

Homer, puisi ini telah dibicarakan sejak 1600 sebelum Masehi hingga tahun
1990-an. Parry dalam tulisannya memperlihatkan kajiannya dengan memberikan
gambaran stilistika pada puisi-puisi Homer. Menurutnya, aspek stilistika pada
puisi-puisi Homer berasal dari teknik-teknik penciptaan sajak dan syair secara
lisan yang diimprovisasi pada setiap penyajian. Kajiannya ini dianggap paling
komprehensif dan berpengaruh dalam kajian-kajian komposisi tradisi lisan
(Hopkins, 1999: xi). Kemudian pada buku The Singer of Tales (1960), Lord
menghasilkan karya perbandingan yang monumental dengan mengaplikasikan
pengetahuan baru yang diperolehnya dari bahan-bahan puisi Yugoslavia. Dari
hasil pengaplikasian ilmu pengetahuan baru tersebut, Lord kemudian menemukan
satu konsep yang sangat mendasar yang banyak memancing minat para peneliti
sastra lisan di seluruh dunia. Salah satu konsep mendasar yang ditemukan Lord
tersebut adalah lahirnya konsep formula.Menurut Lord (1981: 59) formula adalah
kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama
untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Sementara itu, ekspresi formulaik
adalah larik atau parolarik yang disusun atas dasar pola formula. Menurut Ong,
(1989: 35) penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana
ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu mengingat kembali dengan
mudah, cepat dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup
secara lisan.

38
Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Pantun
Pantun merupakan puisi asli yang dimiliki oleh masyarakat Melayu serta
paling awal muncul dibanding puisi yang lain (Piah, 1989-22). Bahkan menurut
Ahmad (1981-178), tentu tiada dinafikan bahwa pantun sudah ada dalam
masyarakat Melayu sebelum orang-orang Melayu mengetahui cara menulis dan
membaca. Pantun dituturkan dan disebarkan secara lisan.
Pantun terdiri dari sampiran da nisi pantun. Sampiran itu bisa menjadi kiasan.
Pantun juga bisa disebut sugesti bunyi dan unsur estetik pada irama, bahkan
menjadi teka-teki pengertian terhadap isi pantun. Karena ada kegaiban dalam
hubungan sampiran dengan isi. Kegaiban itu terkesan dari sesudah baris 2 pertama
tiba-tiba disusul 2 baris terakhir, sedangkan pada bagian isi dalam 2 baris terakhir.
Selain itu menurut Chee (1981:188) pantun adalah suatu gejala dalam suatu
masyarakat Melayu yang secara langsung memperkenalkan nilai-nilai dasar
kemelayuan dan mengukuhkan pengaruhnya dalam hidup sehari-hari orang
Melayu. Sedangkan menurut Mahayana (2004:5) menyatakan bahwa pantun dapat
dianggap sebagai ikon kebudayaan Melayu berdasarkan tiga alasan. Pertama,
pantun tercatat sebagai salah satu produk kebudayaan Melayu telah sejak lama
menjadi objek pengkajian para peneliti dari mancanegara. Sejak tahun 1688 hingga
kini telah ratusan kali atau lebih yang melakukan penelitian mengenai pantun.
Kedua, dibanding jenis kesenian lain yang lahir di alam Melayu, pantun relatif

39
Universitas Sumatera Utara

tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan
darah.
2.1.7 Kearifan Lokal
Pengertian kearifan lokal

(local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata

kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus Inggris Indonesia John M.
Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat dan sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh masyarakatnya. Dalam istilah antropologi dikenal dengan local genius.
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah
kebenaran merupakan perpaduan nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai
yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat
setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan
produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap
sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber
pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh
populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian,

40
Universitas Sumatera Utara

pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan.
Dalam kearifan

adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu

dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya serta diekspesikan dalam tradisi
dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Sibarani (2012: 119) merujuk pada UNESCO dan NUFFIC (2002)
memberi pengertian pengetahuan lokal sebagai berikut:
Indigenous or local knowledge refers to a complete body of knowledge,know-how
and practise, maintened and developed by people, generally in
rural areas who
have
histories of interaction with the natural environment These sets of
understanding,
interpretations, and meanings are
part of cultural complex
that encompasses of language, naming and classification systems, practises for
using resources, ritual,
sprituality and
worldview. It provides that basis for
local level decision-making
about many fundamental aspects of day-to-day
life: for example hunting, fishing,
gathering, agriculture and husbandary, food
production, water, health, and adaptation to enviromental or social change.
Non-formal knowledge – in
contrast with formal knowledge – is handed over
orally, from generation
to generation, and is therefore seldom documented.

Pengertian kearifan lokal ini berdasarkan
kesamaan cara pandang

panduan dalam UNESCO didapati

tentang pengertian local genius (kecerdasan lokal).

Lebih lanjut Ife (2002) dalam Endaswara (2002), mengemukakan enam dimensi
kearifan lokal yaitu pengetahuan lokal, nilai lokal, ketrampilan lokal, sumber daya
lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal dan solidaritas kelompok lokal.
Tradisi lisan dalam masyarakat Melayu sangat beraneka ragam. Hal ini
dapat terlihat pada bentuk-bentuk kepercayaan dan permainan rakyat. Bentuk
kepercayaan ini

direalisasikan di dalam pengetahuan tradisional (local

knowledge) masyarakat Melayu seperti peraturan dalam bentuk pepatah dan

41
Universitas Sumatera Utara

pantun. Ungkapan-ungkapan ini dipilih untuk tujuan pengungkapan aspek-aspek
alam dan pelestarian lingkungan. Falsafah yang diterapkan kepada masyarakat ini
adalah hutan hanya dirambah jika diperlukan misalnya untuk berladang,
pembukaan dusun baru, pembuatan alat sebagai sarana kehidupan dan kebutuhan
konsumsi serta ramuan dalam pengobatan.
Begitu pula pada upacara-upacara sebagai suatu seni tradisi dalam
kebudayaan lisan yang mencerminkan adat dalam komunitas masyarakat Melayu
misalnya

upacara

menyambut

tamu,

memberi

gelar

kehormatan

adat,

menyemarakkan panen padi,upacara jamuan laut, upacara tolak bala, ritual lukah,
mandi berminyak, dan sebagainya, di dalam kehidupan manusia antara lain hari
kelahiran, upacara turun sungai, sunat rasul, perkawinan dan juga kematian tidak
terlepas dari ungkapan-ungkapan verbal yang mengandung petuah-petuah sebagai
kearifan lokal masyarakatnya.
Secara umum, kearifan lokal memiliki ciri dan fungsi berikut ini.
(1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas.
(2) Sebagai elemen perekat kohesi sosial.
(3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, eksis dan berkembang dalam
masyarakat; bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas.
(4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
(5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok
dengan meletakkannya di atas commonground.
(6) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme
bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan terjadinya gangguan

42
Universitas Sumatera Utara

ataupengrusakan solidaritas kelompok sebagai komunitas yang utuh dan
terintegrasi.
Sebagai bagian dari suatu kebudayaan manusia tradisi lisan umumnya
dilandasi oleh nilai-nilai keyakinan yang relatif menetap, dan pandangan hidup
tertentu yang saling berkaitan dari suatu masyarakat. Pemahaman tentang
nilai-nilai budaya dalam kaitannya dengan tradisi lisan akan lebih jelas apabila
pemahaman akan pengertian nila-nilai budaya. Sistem nilai budaya ini menjadi
pedoman dan pendorong prilaku manusia dalam hidup bermasyarakat yang
manifestasi konkritnya dapat terlihat dalam bentuk pola prilaku anggota-anggota
suatu masyarakat. C.Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1981:246) berpendapat
bahwa sistem nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala
tindakan manusia dalam hidup. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian
dari konsep luas bagi segala tindakan dari konsep luas dan abstrak yang hidup
dalam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang harus
dianggap penting dan berharga dalam hidup. Secara rinci ada ada 5 (lima) masalah
dasar yang universal sebagai nilai orientasi budaya dalam semua kebudayaan di
dunia yag berhubungan dengan perikehidupan manusia, yaitu: (1) masalah
hakekat hidup manusia; (2) masalah hakekat karya manusia; (3) masalah hakekat
dari kedudukan manusia dalam ruang waktu; (4) masalah hakekat dari hubungan
manusia dengan alam sekitar; dan (5) masalah hakekat dari hubungan manusia
dengan sesamanya.

43
Universitas Sumatera Utara

Sehubungan dengan pemahaman terhadap kelima masalah dasar inilah, maka
pemahaman terhadap nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat Melayu
Labuhanbatu dan pewarisannnya dapat ditelusuri melalui tradisi lisan
– acara

pada acara

yang dimiliki masyarakat Melayu sebagai salah satu genre tradisi lisan

yang dapat mencerminkan kebudayaan masyarakat Melayu Labuhanbatu.
2.1.8

Revitalisasi
Pengertian revitalisasi adalah perubahan komunitas karena kesadaran

baru untuk mencapai suatu cita-cita atau menempuh suatu cara hidup dengan
sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah
lampau. Keesing lebih menekankan pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya
perubahan kehidupan masyarakat yang sudah menyimpang dari tradisi-tradisi
lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup yang sesuai dengan perkembangan
zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh para leluhur
ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama yang telah diturun-temurunkan dari
suatu generasi kegenerasi berikutnya (Keesing, 1999:257).
Konsep yang sama

diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) yang menyebutkan

bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha memvitalkan
kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuat kebudayaan
menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan
harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya. Budaya lokal harus
diusahakan

dapat

bermanfaat

dalam

kehidupan

manusia

untuk

lebih

44
Universitas Sumatera Utara

menyejahterakan masyarakat.
2.1 Landasan Teori
2.2.1

Teori Tradisi Lisan

Tradisi selalu dikaitkan dengan sesuatu yang telah ada dan tersedia dalam suatu
masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi sebelumnya
ke generasi berikutnya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Lord (2000:1)
memberikan batasan tradisi lisan sebagai sesuatu yang dituturkan di dalam
masyarakat. Batasan tradisi lisan yang dikemukakan oleh Lord ini memberikan
isyarat bahwa dalam menyampaikan tradisi lisan unsur melisankan bagai penutur
dan unsur mendengarkan bagi penerima menjadi kuncinya. Artinya penutur tidak
menuliskan apa yan ingin dituturkannya dan penerima tidak membaca apa yang
diterimanya. Lebih lanjut Hoed (2008:184) mengatakan tradisi lisan sebagai
kumpulan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun
disampaikan secara lisan.
Selanjutnya Hoed mengemukakan bahwa tradisi lisan mencakup seperti apa
yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995:2) bahwa tradisi lisan tidak
hanya mencakup cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng, tetapi juga
mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitasnya
pemiliknya,

misalnya kearifan lokal, system nilai, pengetahuan tradisional,

sejarah, hukum adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi dan
berbagai hasil seni. Hoed (2008:185) membedakan antara tradisi lisan dengan

45
Universitas Sumatera Utara

bahasa lisan. Menurut pandangannya tradisi lisan lebih luasa dari bahasa dalam
komunikasi lisan seperti yang dikenal dalam linguistik. Hanya saja tradisi lisan bila
ditinjau dari sudut pandang linguistik pengertian dikatakan dan didengar
merupakan dasarnya. Lebih lanjut Hoed menyatakan bahwa penelitian tradisi lisan
dilakukan atas komunikasi lisan yang dalam perekamannya dapat tertulis dan lisan .
Tradisi dapat berwujud barang atau jasa, bahkan perpaduan antara keduanya.
Sebagai barang, tradisi dapat dikatakan merupakan produk masa lalu. Sementara
sebagai jasa, tradisi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang
jenis dan caranya sudah tertentu. Produk dan kegiatan yang demikian itu
diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam produk barang dan
jasa itu terkandung simbol-simbol dan makna serta nilai-nilai dan norma yang juga
ikut diwariskan bersama-sama dengan barang dan jasa yang dikandungnya.
Vansina mengemukakan ungkapan tradisi lisan ditinjau pada dua aspek, yaitu
aspek proses dan produknya. Prosesnya adalah pewarisan pesan-pesan melalui
mulut ke mulut sepanjang waktu sampai hilangnya pesan itu, sedangkan produknya
adalah pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan dari generasi sebelumnya.
“the expression of “oral tradition” applies both to a process and to its product.
The products are oral messages at least a generation old. The process is the
transmission of such messages by word of mouth over the time until the
disappearance of the message” (Vansina, 1985: 1)
Yang dimaksud dengan tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000:
1069), tradisi adalah 1) adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang

46
Universitas Sumatera Utara

masih dijalankan masyarakat, 2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang
telah ada, merupakan cara yang paling baik dan benar.
Tradisi yang ada pada masyarakat itu diteruskan dalam ruang dan waktu
dengan perbuatan atau praktik berbahasa, baik secara lisan maupun tertulis, dan
dengan perbuatan pengindraan, perbuatan jasmani serta perbuatan rohani. Secara
garis besar, tradisi berdasarkan medium transmisi yang digunakan, yang dapat
dikelompokan atas tradisi lisan dan tulisan. Tradisi lisan ada yang diteruskan
dengan bahasa tulis yaitu dalam bentuk naskah dan ada yang hanya dalam bentuk
lisan.
Ruang lingkup kajian tentang tradisi itu sangat luas, meliputi berbagai hal yang
menjadi konteks dalam kejadiannya dan selalu ditautkan dengan kehidupan
masyarakat itu. Terdapat tradisi yang berkenaan dengan alam fisik (tanah, air,
udara, cahaya, benda-benda langit, dsb), alam hayati (tumbuhan, binatang),
masyarakat, budaya dan kehidupan beragama.
Tradisi dapat menjadi dasar bagi penciptaan kebudayaan baru, yaitu dalam
membentuk dan mengembangkan kehidupan budaya bangsa serta menangkal
penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa hal ini dikarenakan
1. Tradisi merupakan bagian dari budaya serta mempunyai kandungan unsur
budaya yang banyak.
2. Tradisi merupakan bagian dari budaya yang sekaligus mencerminkan pula
budaya keseluruhannya.

47
Universitas Sumatera Utara

3. Tradisi dalam suatu unsur budaya mempunyai kaitan yang erat dengan
unsur-unsur budaya lainnya
Tradisi juga mempunyai potensi yang dapat diwujudkan untuk
pengembangan budaya. Potensi ini menjadi potensi yang terpendam apabila tidak
dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengelola tradisi itu. Oleh karena
itu, perlu dilakukan usaha agar tradisi dapat hadir dan berfungsi dalam kehidupan
masyarakat masa kini dan yang akan datang.
Kebenaran dan keyakinan yang telah mentradisi dalam suatu masyarakat
disebut kearifan lokal (local genius). Kearifan lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang didasari oleh keyakinan dan keimanan
masyarakat dan berbagai nilai yang pada masyarakat tersebut.
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai

makhluk

sosial

yang

digunakannya

untuk

memahami

dan

menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi
tingkah-lakunya.

Dengan

demikian,

kebudayaan

merupakan

serangkaian

aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang
terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan
digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana
terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Suparlan, 2003:2).
Berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia menimbulkan suku bangsa yang
memiliki keanekaragaman budaya yang masing-masing memiliki kekhasan

48
Universitas Sumatera Utara

tersendiri. Dari keanekaragaman tersebut melahirkan suatu kehidupan tradisi lisan
yang unik. Pengkajian terhadap tradisi lisan

merupakan kajian yang cukup

menarik. Dengan menggunakan media lisan sebagai bentuk penyebarannya dan
pada umumnya melalui tutur kata, karenanya

disebut

sebagai tradisi lisan

(oral tradition).
Menurut Ki-Zerbo (1990)

Tradisi lisan dapat didefinisi sebagai

kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Persifatan khusus sedemikian adalah tentang keverbalannya dan cara
bagaimana ia disampaikan."
"Oral tradition may be defined as being a testimony transmitted verbally
from one
generation to another. Its special characteristics are that it is
verbal and the manner in which it is transmitted." (Ki-Zerbo 1990:7)
Karena cakupan tradisi itu khususnya tradisi lisan, sangat luas, Unesco (2003)
mengelompokkannya menjadi beberapa bidang, antara lain (1) sastra lisan, (2)
teknologi tradisional, (3) pengetahuan tentang masyarakat (folk), (4) unsur-unsur
religi dan kepercayaan masyarakat, dan (5) hukum adat.
Rincian contoh tradisi itu dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Sastra: terdiri atas : (1) dongeng : mite, legenda, (2) cerita pantun babad dan
hikayat (umumnya dalam bentuk naskah), (3) mantra (ajian, jampi-jampi, dan
sejenisnya), (4) sindiran, (5) puji-pujian, (6) sawer, dan lain-lain.
2) Teknologi tradisional: terdiri atas : (1) peralatan produktif, (2) peralatan
upacara, (3) alat bunyi-bunyian, (4) senjata tradisional, (5) wadah, (6) pakaian dan

49
Universitas Sumatera Utara

tekstil, (7) anyaman, (8) bangunan permukiman, (9) alat transportasi, (10) makanan
dan minuman.
3) Pengetahuan tentang Masyarakat (folk) meliputi : (1) lingkungan alam, (2)
alam flora, (3) tanaman berkhasiat, (4) alam fauna, (5) zat dan bahan mentah, (6)
tubuh manusia, (7) sifat manusia (ilmu firasat), dan (8) ruang waktu dan angka
(ilmu patangan)
4) Peristiwa dalam kehidupan beragama meliputi tradisi yang menyertai peristiwa
keagamaan. Dalam hal ini praktik beragama dilakukan dengan menyertakan unsur
budaya.
5) Kesenian: misalnya : patung, relief, ukir, lukis, gambar, tenun, rias, vokal, tari,
olah kapuragan, karawitan, perwayangan, dan lain-lain.
Vansina lebih lanjut mendefinisikan tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa
pernyataan dilaporkan dari, masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan
itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan dinyanyikan, atau diiringi alat
musik";

"Haruslah

ada

penyampaian

melalui

tutur

kata

dari

mulut

sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Dia mengemukakan bahwa "Definisi
kami adalah definisi yang berfungsi bagi kalangan sejarawan. Para sosiolog,
bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing,
yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan
umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan
fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)."

50
Universitas Sumatera Utara

"verbal messages which are reported statements from present generation"
which "specifies that the message must be oral statements spoken, sung or
called out on
musical instruments only"; "There must be transmission by
word of mouth over at
least a generation". He points out that "Our
definition is a working definition for the use of historians. Sociologists,
linguists or scholars of the verbal arts propose their
own, which in, e.g.,
sociology, stresses common knowledge. In linguistics, features that
distinguish the language from common dialogue
(linguists), and in the
verbal arts features of form and content that define art
(folklorists).(Vansina,
1985:272-8)
Tradisi lisan menurut Sibarani (2000) adalah semua kesenian, pertunjukan,
atau permainan yang menggunakan tuturan lisan. Jika suatu kesenin tidak
menggunakan atau tidak disertai ucapan lisan tidak termasuk tradisi lisan.
Sebaliknya, jika suatu cerita tidak ditradisikan (dipertunjukkan) di hadapan
masyarakat pendukungnya, tidak termasuk tradisi lisan, walaupun itu sastra lisan
dan potensial jadi tradisi lisan.
Berdasarkan apa yang dikemukakan para ahli dari pembahasan di atas
dapat dipahami bahwa tradisi li