PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM SISTEM HUKUM

PERANAN PENEGAK HUKUM DALAM
SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Oleh : Dr. Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H., M.Hum
Abstrak
Pendahuluan
Masih jelas teringat dalam memori saat jatuhnya orde baru yang
dipelopori oleh mahasiswa dikenal sebagai gerakan reformasi pada tahun
1998. Reformasi tersebut dilakukan melihat kondisi bangsa Indonesia yang
diperlakukan tidak adil oleh penguasa yang terkenal dengan praktek KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) setelah tiga puluh dua tahun lamanya.
Pengelolaan negara dilakukan tidak secara transparan dengan dalih
untuk kemakmuran dan untuk pembangunan sebagai pendukung dikeluarkan
berbagai peraturan dan kebijakan guna memperlancar dan memperkuat
kepentingan penguasa. Hal ini tidak hanya dilakukan pada satu bidang saja
melainkan dalam berbagai bidang yang menyangkut hajat hidup bangsa.
Sistem hirarki atau struktural dipakai sebagai alat penguasa dari tingkat yang
paling tinggi sampai tingkat paling rendah dengan berbagai macam bentuk
birokrasi pemerintahan.
Ketika masyarakat sadar bahwa untuk waktu yang cukup lama
pemerintah telah merugikan maka ada keinginan melakukan perombakan.
Merubah tatanan yang sudah mengakar dengan praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN) tidaklah mudah, masyarakat mengalami berbagai bentuk
kendala, penguasa tetaplah penguasa yang dapat melakukan apa saja yang
dikehendaki.

Saat

itu

tidak

ada

lembaga

yang

mengontrol

secara


independen, semua ada pada satu kendali. Indonesia yang dikatakan sebagai
negara hukum, justru hukum tidak berdaya, namun dijadikan alat penguasa.
Hukum masih belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar
yakni menjaga ketertiban dan memberikan jaminan keadilan bagi masyrakat
khususnya masyarakat kecil yang semakin dimarginalkan ibarat hukum tajam
ke bawah tumpul ke atas.
Pada masa orde baru berbagai kasus telah terjadi antara lain kasus
kedungombo, kasus nipah, kasus marsinah, kasus Aceh, tragedi 27 Juli,

tragedi Trisakti, kasus penculikan aktivis, kasus mobnas (mobil nasional) dan
masih banyak kasus-kasus lain yang dikategorikan pelanggaran HAM,
kejahatan perekonomian, sengketa tanah, serta bidang kehidupan lain yang
belum dapat terungkap dan terselesaikan secara tuntas dengan dalih
kurangnya alat bukti.
Tahun 1998 merupakan titik tolak berakhirnya masa orde baru yang
ditumbangkan kekuatan masyarakat yang menghendaki reformasi secara
total meliputi semua bidang. Menurut A.Muis, era reformasi diberi makna
reaktualisasi hakekat proklamasi kemerdekaan bangsa ini yang gagal
dilaksanakan orde baru yaitu kebebasan berbeda pendapat, kedaulatan
rakyat, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan indivisu,

keterbukaan, demokrasi, penghargaan kepada harkat dan martabat manusia
(HAM) dan pengakuan terhadap masyarakat madani (civil society).
Kegagalan

orde

baru

dalam

melaksanakan

tujuannya

sendiri

(melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen) telah
membawa malapetaka yang besar bagi bangsa Indonesia. Selama lebih 30
tahun hak-hak masyarakat tersebut dipasung, selama itu pula penguasa atau
pejabat mengidap arogansi kekuasaan dan perilaku represif. Negara hukum

dan keadilan menjadi tak ramah terhadap warga masyarakat yang lemah.
Hukum dan keadilan hanya berlaku bagi warga masyarakat yang kuat dalam
arti ekonomi dan politik, dan bagi penguasa (Kompas, 19 Agt’98, hlm. 4).
Masa reformasi merupakan jendela memasuki masa yang dicitacitakan bersama khususnya mewujudkan negara hukum yang ideal tidaklah
mudah, karena pengaruh kepentingan penguasa masih ada. Nyoman Serikat
Putera Jaya dalam tulisannya “Penegakan Hukum Dalam Reformasi Hukum”
menguraikan bahwa UUD 1945 melalui penjelasannya telah menetapkan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum
dan tidak berdasarkan kekuasaan. Ini berarti sudah saatnya dipikirkan
bersama bagaimana menciptakan negara hukum yang demokratis, dimana
rakyat yang seharusnya menentukan ke arah mana masyarakat negara dan
bangsa ini dibangun.
Sudah saatnya pada masa reformasi peranan hukum dikedepankan
artinya apabila pada jaman orde lama masalah politik yang mengedepan,
pada jaman orede baru masalah ekonomi yang mengedepan, maka pada era

reformasi di bidang politik ialah dengan menciptakan atau merubah
perundang-undangan di bidang politik yang mencerminkan semua kekuatankekuatan dalam masyarakat tertampung. Demikian halnya reformasi di
bidang ekonomi, harus diciptakan perundang-undangan yang menjamin
pelaksanaan kegiatan ekonomi sesuai dengan kehendak masyarakat. Dengan

bahasa yang lebih sederhana didesain sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan

uraian

latar

belakang

di

atas

maka

penulis

mengangkat


permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan sistem hukum dapat mewujudkan nilainilai dalam masyarakat?
2. Bagaimanakah peranan penegak hukum dalam sistem hukum di
Indonesia?
Pembahasan
I.
I.1.

Sistem hukum mewujudkan nilai-nilai dalam masyarakat
Sistem hukum
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum agar tetap

memelihara kelestarian Pancasila dan UUD 1945 serta persatuan dan
kesatuan bangsa maka perlu dikaji kembali mengenai komponen-komponen
yang membentuk suatu sistem hukum, yang terdiri dari 1) substansi hukum;
2) struktur hukum; 3) kultur hukum.
1.

Substansi hukum
Merupakan segi output sistem hukum. Ke dalam pengertian ini

dimasukkan norma-norma hukum itu sendiri, baik ia berupa peraturanperaturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan, sejauh semuanya ini
digunakan, baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.
Komponen substansi ini tidak terikat kepada formalitas tertentu, seperti
apakah ia undang-undang ataukah kebiasaan yang belum mendapatkan
pengakuan

secara

formal.

Yang

dipentingkan

adalah

apakah

ia


digunakan di dalam masyarakat.
Substansi hukum didesain sedemikian rupa sehingga betul-betul
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 menentukan negara
Republik Indonesia ini berdasarkan atas hukum. Apabila kita ingin

membangun

negara

hukum

yang

demokratis,

maka

perundang-

undangan bidang ekonomi harus dapat menjamin perkembangan

ekonomi yang maju dan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat atau
perundang-undangan yang diciptakanharuslah memihak kepada yang
lemah atau memihak kepentingan masyarakat.
2.

Struktur hukum
Merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu
dengan

berbagai

macam

fungsinya

dalam

rangka

mendukung


bekerjanya sistem tersebut. Salah satu dari lembaga-lembaga semacam
itu adalah pengadilan. Di dalam kerangka strukturalnya ini maka dapat
dibedakan antara jenis-jenis pengadilan yang diciptakan oleh sistem
hukum, seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi, pengadilan
agama dan sebagainya. Selanjutnya tentang ada atau tidaknya dasardasar peraturan yang melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut;
tentang pembagian kekuasaan di antara hakim, legislator, eksekutif dan
seterusnya.

Secara

mengemukakan

singkat

komponen

dapat

dikatakan


strukturalnya

ini

bahwa

dimungkinkan

dengan
untuk

melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap
penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
3.

Kultur hukum
Kultur hukum adalah ide-ide, konsep-konsep, sikap, keyakinan dan
harapan pendapat mengenai hukum dari masyarakat pada umumnya.
Secara sederhana bagaimana usaha kita supaya masyarakat percaya
bahwa hukum dapat memberikan perlindungan, memberikan keadilan
dan kejujuran. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang
merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum
itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan. Apabila kita
melihat bekerjanya hukum semata-mata dari komponen strukturalnya,
maka perhatian kita terutama hanya tertarik kepada jalannya atau
bekerjanya sistem itu menurut prosedur sebagaimana telah dibagankan
di dalam peraturan-peraturan hukum.
Ketiga unsur hukum berada di dalam proses interaksi satu sama lain dan

dengan demikian membentuk totalitas yang dinamakan sistem hukum.

Konsep yang terpenting di sini adalah kultur hukum, yang merupakan kunci
untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara sistem
hukum yang satu dengan yang lain. Unsur-unsur struktural serta substansi
saja belum dapat menonjolkan karakteristik yang terdapat pada sistem
hukum yang dipelajari apalagi untuk dapat memberikan jawaban tentang
mengapa yang satu berbeda dari yang lain. Seperti dikatakan oleh Friedman,
“Unsur kultur hukum ini adalah seperangkat nilai-nilai dan sikap-sikap yang
berkaitan dengan hukum, yang akan menentukan kapan dan mengapa dan
dimana rakyat itu datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindar
dari keduanya”.
I.2.

Hukum dan nilai-nilai dalam masyarakat
Selain

mengenai

sistem

hukum

dalam

negara

hukum

perlu

diperhatikan tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya
dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang
hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu menunjuk pada hal
yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili
suatu perspektif sosial, sedangkan melihat nilai dari sudut perspektif
individual. Hal menarik yang dikatakan oleh John Finley Scott bahwa manusia
sebagai makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat
kuat terhadap interaksi

yang dilakukannya dengan sesama

anggota

masyarakat yang lain, sehingga nilai yang dipandang olehnya sebagai paling
kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan
perkataan lain bahwa norma-norma itu sekaligus merupakan nilai-nilai yang
baginya terkuat.
Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan
tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan di sini adalah pada
usaha,

maka

dengan

sendirinya

ia

mengandung

resiko

kegagalan.

Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energy, wawasan (insight),
intelegensia dan kejujuran (conscientiousness) dari mereka yang harus
menjalankan hukum itu. Menurut Fuller, ada delapan nilai-nilai yang harus
diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut, yang dinamakan
“delapan prisnip legalitas” adalah :

1. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa
tidak ada tempat lagi bagi keputusan-keputusan secara ad hoc, atau
tindakan-tindakan yang bersifat arbiter;
2. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak;
3. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut;
4. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus
dimengerti oleh rakyat;
5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin;
6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu
sama lain;
7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat
hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut bukan
hanya menyebabkan timbulnya sistem hukum yang jelek, tetapi lebih
daripada itu, hukum yang demikian itu adalah sama sekali tidak disebut
hukum.
Seperti juga Fuller, maka Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu
mengandung dalam dirinya nilai-nilai yang intrinsik sehingga hukum itu
dapat disebut sebagai suatu sistem nilai-nilai intrinsik. Kehidupan hukum
suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya (Gestalt visie)
mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya intrinsik
ada pada hukum. Apa yang nantinya harus diwujudkan sebagai hukum di
dalam

masyarakat

yang

bersangkutan

tergantung

dari

titik

tolak

pandangannya mengenai apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu.
II. Peranan penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia
II.1.

Tinjauan penegakan hukum
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga
karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu
harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi
kenyataan.

Dalam

menegakkan

hukum

ada

tiga

unsur

yang

harus

diperhatikan,

yaitu:

kepastian

hukum

(rechtssicherheit),

kemanfaatan

(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).
Hukum

harus

dilaksanakan

dan

ditegakkan.

Setiap

orang

mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang
konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya
tidak dibolehkan menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia
ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu

yang

diharapkan

dalam

keadaan

tertentu.

Masyarakat

mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian
hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan
hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau
ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepantingan
bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan.
Dalam pelaksanaann atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identic
dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan.

Barangsiapa

mencuri

harus

dihukum:

setiap

orang

mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri.
Sebaliknya

keadilan

bersifat

subjektif,

individualistis

dan

tidak

menyamaratakan: adil bagi si Suto belum tentu dirasakan adil bagi si Noyo.
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum
saja, maka unsur-unsur lainnya dkorbankan. Demikian pula kalau yang
diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan
dikorbankan dan begitu selanjutnya. Dalam menegakkan hukum harus ada
kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat
perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu
mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga
unsur tersebut.

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian
hukum, terlalu mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan
menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah
demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering
terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat : lex dura, sed tamen scripta
(undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya).
II.2.

Peran penegak hukum dalam sistem hukum di Indonesia
Aspek yang paling penting dalam penegakan hukum termasuk dalam

pelaksanaan hukum adalah elemen aparatur dan penegak hukum. Baik
buruknya hasil dari penegakan hukum itu tidak tergantung pada baiknya
hukum atau perundang-undangan, walaupun perundang-undangan sangat
baik, namun apabila para penegaknya berwatak jelek, maka hasilnya jelek
juga.
Para penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan advokat harus
betul-betul professional dan dimulai pembenahannya dari awal yaitu dari
rekruitment. Rekruitmen para penegak hukum haruslah secara terpadu dan
ketat yang diambil dari lulusan Sarjana Hukum dengan Indeks Prestasi
tertentu dan melalui berbagai tes, seperti tes psikologis, tes akademik,
kemudian diadakan pendidikan khusus secara bersama-sama agar pada
mereka ada persamaan persepsi dan pandangan dalam penegakan hukum.
Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan
peranan etika profesi hukum. Etika profesi hukum ini harus dijadikan
pedoman oleh para penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Kode etik profesi
ini jangan hanya dijadikan pajangan yang menghiasi dinding. Menurut O.Noto
Hamidjojo, ada 4 (empat) norma yang wajib ditaati oleh para penegak hukum
atau pemeliharaan hukum, yaitu :
1. Kemanusiaan,

norma

kemanusiaan

menuntut

supaya

dalam

penegakan hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia,
sebab ia memiliki keluhuran budi.
2. Keadilan, keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk
memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.

3. Kepatutan, kepatutan atau equality adalah hal yang wajib dipelihara
dalam

pemberlakuan

menghilangkan

undang-undang

ketajamannya.

dengan

Kepatutan

ini

maksud

perlu

untuk

diperhatikan

terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
4. Kejujuran, pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap
jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani
“justiciable” yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan
dengan kata lain setiap jurist diharapkan sedapat mungkin memelihara
kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang curang dalam mengurus perkara.
Dalam penegakan hukum yang terpenting haruslah didasarkan pada hati
nurani yang dapat melihat tindakan seseorang sudah manusiawi, adil, patut
dan jujur. Peranan dari penegak hukum dalam menciptakan tertib sosial akan
nampak

lebih

mencolok

begitu

timbul

suatu

kejadian

yang

dinilai

menimbulkan suatu kerawanan di dalam masyarakat.
Jika tidak ada langkah yang lebih aktif dapat dimungkinkan akan muncul
tindakan yang bersifat akumulatif/massal dari masyarakat di mana suatu
kasus timbul. Masyarakat akan menyelesaikan dengan caranya sendiri, maka
kondisi tertib sosial akan terancam. Hal demikian perlu diwaspadai, bahwa
mengendalikan nilai positif dari lembaga yang disebut “gropyok” di mana
orang beramai-ramai melakukan tindakan yang sifatnya emosional perlu
dikendalikan dan diarahkan lewat peran aktif dari penegak hukum. Penegak
hukum harus dapat mengarahkan lewat tokoh masyarakat yang disegani
masyarakat setempat sehingga tidak muncul suasana konflik. Ini berarti
bahwa tindakan preventif dan persuasive justru lebih ditampilkan daripada
tindakan yang sifatnya represif.
Tindakan represif merupakan alternatif terakhir yang sifatnya mengarah
pada penindakan. Inipun harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang
bersangkutan. Dengan demikian maka apa yang dilakukan oleh pihak
penegak hukum memang telah seperti yang diharapkan oleh warga
masyarakat. Artinya apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
memang telah sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat
yang bersangkutan. Sedemikian rupa sehingga rasa keadilan yang muncul
ialah rasa keadilan yang sifatnya substansial bukan keadilan secara formal.

Dari apa yang terurai di atas maka penegak hukum dalam menciptakan
tertib sosial sekaligus harus menampilkan diri sebagai pengayom yang dapat
menimbulkan rasa optimis. Antisipasi yang dapat dilaksanakan untuk
menciptakan suasana tertib yang dipandang ideal oleh masyarakat tidak lain
ialah menciptakan harmoni. Ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus
segera tanggap terhadap adanya kasus-kasus yang dipandang rawan dalam
suatu masyarakat. Langkah-langkah awal tersebut dapat dilakukan berbagai
instrument yang tersedia dalam masyarakat.
Jalur yang dapat ditempuh antara lain ialah dengan mengaktifkan
lembaga-lembaga pengendali sosial (social control institution) yang ada
dalam masyarakat yang bersangkutan. Langkah demikian akan menimbulkan
risiko timbul gejolak yang mungkin akan muncul.
Penutup
Indonesia dengan

era barunya yakni

era reformasi,

menghendaki

reformasi di segala bidang, khususnya reformasi hukum yang dapat
memberikan keadilan, kepastian hukum sehingga dapat tercipta suatu kondisi
yang tertib dan tenang dalam masyarakat. Diperlukan pembaharuan sistem
hukum yang meliputi 3 (tiga) komponen yakni substansi hukum, struktur
hukum, dan kultur hukum dengan harapan hukum dapat kembali pula
fungsinya semula bukan lagi sebagai alat penguasa. Selain itu perlu
diperhatikan pula nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dalam mewujudkan negara hukum diperlukan keterpaduan antara peran
aktif

dari

para

penegak

hukum/pemegang

otoritas

dengan

kondisi

masyarakat yang memang secara sadar memerlukan kehadiran mereka.
Daftar Pustaka
Buku
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung,
1980
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1985
Jurnal

Arief Hidayat, Masalah Kepatuhan Masyarakat Terhadap Hukum,
Majalah Masalah-Masalah Hukum UNDIP-Semarang No. 5 Tahun 1993.
Nyoman Serikat Putera Jaya, Penegakan Hukum Dalam Era Reformasi
Hukum, Majalah Masalah-Masalah Hukum UNDIP Semarang, Edisi II,
Juli-September 1998.
Sulaiman Mubarak, Penegak Hukum dalam Menyelesaikan Perkara
Tertentu dan Upaya Pemeliharaan Tertib Sosial, Majalah
Masalah-Masalah Hukum UNDIP Semarang No. 5 Tahun 1995.