OPTIMALISASI PERAN MANTAN TERORIS DALAM

1

OPTIMALISASI PERAN MANTAN TERORIS
DALAM PROGRAM DERADIKALISASI
(Rahmad Yulianto)

Pendahuluan
Deradikalisasi telah menjadi program pemerintah dalam rangka kontra terorisme
namun banyak pihak yang menilai bahwa deradikalisasi telah gagal terbukti dari masih
banyaknya jaringan teroris yang ditangkap serta masih adanya upaya aksi terorisme dari
kelompok teroris. Ada beberapa faktor penyebab gagalnya deradikalisasi. Memang perlu
diakui bahwa belum ada pendekatan kontra terorisme yang dianggap paling efektif, masing –
masing pendekatan mempunyai kelebihan dan kelemahan masing – masing. Pada makalah ini
penulis mengkaji tentang faktor kegagalan deradikalisasi dari pendapat salah satu akademisi
serta pemanfaatan mantan teroris sebagai pendekatan alternatif deradikalisasi beserta upaya
mengatasi hambatan yang muncul dalam pemanfaatan mantan teroris.
Kegagalan Deradikalisasi
Ketika terjadi aksi teror di Indonesia akhir – akhir ini yang mengarah ke sasaran
anggota Polri termasuk pengungkapan para anggota jaringan teroris memunculkan pendapat
dari beberapa kalangan bahwa program deradikalisasi yang selama ini dijalankan dinilai
belum efektif bahkan cenderung gagal. Menurut Muradi, ada lima alasan mengapa program

deradikalisasi tersebut belum mampu menghentikan aksi teror dan penyebaran gerakan
terorisme di Indonesia.yaitu : 1
Pertama, program deradikalisasi memiliki asumsi bahwa program ini hanya ditujukan
kepada pelaku teror dan keluarganya serta jaringannya. Sedangkan menurut penulis bahwa
paham radikalisme dan kebencian yang disebar oleh jaringan teroris memiliki sasaran
terhadap semua lapisan dan kelompok masyarakat. Oleh karena itu deradikalisasi hendaknya
tidak tertuju khusus kepada pelaku teror, jaringan dan keluarganya saja karena hanya mampu
mengurangi atau membatasi menguatnya paham radikal dan terorisme pada kelompok
tertentu di Indonesia. Deradikalisasi hendaknya juga ditujukan kepada seluruh masyarakat
1

Muradi, (Dosen Sarjana dan Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Penulis Buku
Densus 88 AT: Konflik, Teror, dan Politik), Mengevaluasi program deradikalisasi, dalam
http://nasional.sindonews.com/read/2013/06/20/18/751866/mengevaluasi-program-deradikalisasi
diakses
tanggal 21 Desember 2013 pkl. 10.05 wib.

2

sehingga dapat mengurangi penyebaran paham radikal atas adanya gejala – gejala munculnya

radikalisme.
Kedua, program ini dikelola secara elitis dan tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam
media dan sasaran yang lebih luas. Keelitisan dari program ini salah satunya lebih
memanfaatkan para mantan pelaku teror yang telah “tobat”, kemudian memilih jalan
beriringan dengan aparat keamanan dalam pemberantasan terorisme. Muradi juga mengutip
pendapat Bruce Hoffman (2004) yang telah mengingatkan banyak pihak bahwa
memanfaatkan para mantan teroris dalam pemberantasan terorisme haruslah bersifat
sementara, bukan permanen. Hoffman mensinyalir bahwa memanfaatkan para mantan teroris
secara permanen adalah bentuk kemalasan dari aparat keamanan untuk memperluas
cakrawala pembongkaran jaringan terorisme. Tak mengherankan apabila kemudian setelah
lebih dari satu dekade, gerakan terorisme di Indonesia secara faktual masih kuat.
Ketiga, karena dikelola secara elitis, program deradikalisasi tidak mengikutsertakan
secara aktif pemangku kepentingan lain. Justru yang terjadi, bentuk keterlibatan pemangku
kepentingan hanya menjadi subordinasi dari program tersebut. Kondisi ini awalnya
dimaklumi saat Densus 88 AT yang mengelolanya, secara organisasi lebih berkarakter
sebagai kombatan. Namun setelah tiga tahun dikelola BNPT, harusnya program ini
mengikutsertakan secara aktif Kementerian Dalam Negeri yang merupakan atasan dari
pemerintah daerah (pemda) serta pemangku kepentingan lain, misalnya TNI dan BIN. Betul
para pemangku kepentingan tersebut dilibatkan dalam program deradikalisasi, tetapi seberapa
dalam keikutsertaan para pemangku kepentingan tersebut? Dalam pengamatan penulis,

keterlibatan para pemangku kepentingan tidak lebih sebagai acara seremonial semata.
Keempat, program deradikalisasi tidak serta-merta memanfaatkan apa yang telah
dilakukan institusi lain semisal Polri dengan Babinkamtibmas dan perpolisian masyarakat
ataupun TNI dengan Babinsanya serta pemda dengan jaringan tokoh masyarakatnya. Seolaholah program tersebut cukup dapat dijalankan dengan dasar informasi dan jaringan para
mantan teroris tersebut. Tak aneh apabila keberadaan program tersebut justru seolah jalan
sendiri karena institusi yang telah memiliki jaringan luas di masyarakat tidak dimanfaatkan
secara optimal.
Kelima, program deradikalisasi juga minim partisipasi publik. Ada ambiguitas dalam
implementasi program ini, antara keinginan melibatkan publik secara luas dengan program
penyamaran dan pengintaian terduga jaringan terorisme. Karena ambiguitas tersebut, secara

3

praktis publik hampir tidak dilibatkan secara aktif. Bahkan ada ketakutan bahwa program
deradikalisasi yang dilakukan justru akan membongkar penyamaran dan pengintaian yang
tengah dilakukan. Pada prakteknya program tersebut membatasi sasaran hanya pada
kelompok atau institusi yang telah dipetakan memiliki kemungkinan untuk mengaplikasikan
paham radikal dan terorisme.
Dari lima alasan tersebut, perlu kiranya pemerintah, dalam hal ini BNPT dan Polri
untuk mengevaluasi pelaksanaan program deradikalisasi agar lebih optimal. Apalagi gerakan

teroris saat ini terjadi pergeseran sasaran aksi teror dan gerakan radikalisme yaitu aparat
kepolisian baik petugas maupun sarana kepolisian sehingga menunjukkan kelompok
terorisme sudah terang – terangan melawan pemerintah.
Pemanfaatan Mantan Teroris dalam Deradikalisasi
Pemanfaatan mantan teroris dalam program deradikalisasi merupakan salah satu
upaya dari berbagai alternatif yang lain. Menurut penulis, pemanfaatan mantan teroris tidak
menjamin deradikalisasi pasti berhasil. Mengingat upaya alternatif ini hanya efektif apabila
ditujukan kepada sebagian kelompok atau lapisan dari teroris saja. Dalam perekrutan jaringan
terorisme seperti juga dengan teknik perekrutan jaringan intelijen yaitu dengan
memanfaatkan motivasi dari calon jaringan. Motivasi seseorang menjadi bagian dari jaringan
teroris antara lain motif ideologi, motif ekonomi atau uang, motif balas dendam, dan motif
keterpaksaan karena adanya ancaman. Apabila dinilai dari luar permukaan pastinya motif
seseorang menjadi teroris adalah motif ideologi dan keyakinan karena kelompok teroris
terbentuk dari ideologi tertentu. Namun jika ditelaah lebih dalam ada motif lain yang menjadi
pendorong seseorang bergabung dengan kelompok teroris, bisa karena kekecewaan serta
tekanan terhadap kondisi ekonomi sehingga rasa frustasi kemudian terpengaruh untuk
menganut paham radikalisme. Kemudian ada perasaan dendam kepada perlakuan pemerintah
ataupun kelompok lain sehingga dirinya melakukan aksi –aksi terorisme sebagai bentuk aksi
balas dendam meskipun secara ideologi atau keyakinan yang dimiliki tidak kuat. Ada juga
motivasi seseorang menjadi teroris karena adanya ancaman atau tekanan dari kelompoknya,

misal ada ketakutan dirinya atau keluarganya akan dianggap kafir atau murtad jika tidak
mengikuti kelompoknya.
Berbagai kemungkinan motivasi seorang teroris tersebut hanya dapat diketahui dari
pengakuan pelaku teroris dan perlu ada pembuktian sebagai bentuk pertimbangan dalam
proses hukum, misalnya apabila karena keterpaksaan dibawah ancaman bisa saja menjadi

4

pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman yang meringankan. Setelah mengetahui
motivasi atau latar belakang seseorang menganut paham radikal, akan sangat membantu
dalam menentukan pendekatan apa yang tepat untuk menetralisir paham yang dianut.
Misalnya pelaku yang bermotif ekonomi dan keterpaksaan akan lebih mudah dilakukan
upaya penetralisiran paham agar tidak melalukan kegiatan – kegiatan teror, tidak ada larangan
seseorang untuk fanatik terhadap keyakinannya namun fanatik tersebut tidak boleh dilakukan
dengan cara – cara kekerasan yang mengarah ke teror.
Ketika seorang mantan teroris yang sudah sadar dapat diberdayakan untuk membantu
deradikalisasi. Namun upaya deradikalisasi oleh mantan teroris hanya efektif bagi mereka
yang memiliki motif ekonomi, keterpaksaan dan mungkin bisa juga bagi mereka yang
memiliki motif dendam. Bagi mereka yang mempunyai motif murni berdasarkan ideologi
akan mengalami kesulitan meskipun ada kemungkinan bisa namun keberhasilan tersebut

hanya bersifat sementara. Sebaga contoh Yazid Sufaat adalah terhukum kasus terorisme yang
dianggap berhasil direhabilitasi oleh pemerintah Malaysia. Ia adalah pakar senjata biologis alQaeda yang pernah memberi tempat bermalam di Kuala Lumpur bagi dua pembajak pesawat
peristiwa serangan 11 September. Yazid bebas dari penjara Malaysia pada 2008 setelah
menjalani tujuh tahun kurungan. Dalam waktu empat tahun setelahnya, Yazid membuka
sebuah warung makan di gedung pengadilan Kuala Lumpur. Namun, pada 8 Februari 2013, ia
kembali ditangkap dan dituntut atas tuduhan merekrut warga Malaysia untuk misi bunuh diri
di Suriah.2
Sebagai salah satu bentuk kontra terorisme dengan memanfaatkan mantan teroris yang
berbicara secara luas menentang kelompok terorisme. Beberapa negara Asia Tenggara
menilai bahwa para teroris yang memutuskan untuk meninggalkan Jemaah Islamiyah (JI)
secara sukarela biasanya menjadi penganjur gerakan antikekerasan dan antiteror yang
mumpuni. Namun dari contoh kasus tersebut di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan
mantan terorisme tidak selamanya berhasil dan hanya bersifat sementara karena ternyata
mantan trorisme tersebut masih memiliki paham radikal yang kuat sehingga kembali terlibat
dalam aksi terorisme.
Menurut penulis, pemanfaatan mantan terorisme lebih efektif selain digunakan kepada
mereka yang mempunyai motif ekonomi dan keterpaksaan, juga bisa digunakan untuk
propaganda tingkat masyarakat luas sehingga testimoni serta pertaubatan mantan teroris dapat
2


Susan Sim (mantan diplomat dan analis Departemen Keamanan Dalam Negeri Singapura), Seni
Memanfaatkan Mantan Terorisme, dalam http://indo.wsj.com/posts/2013/02/22/seni-memanfaatkan-mantanteroris/ diakses tgl 21 Desember 2013 pkl 11.02 wib

5

tersebar luas yang dapat menetralisir paham – paham radikal di lingkungan masyarakat.
Pernyataan – pernyataan mantan terorisme yang mengakui bahwa kekerasan dan teror
merupakan sesuatu yang salah harus didukung pula oleh para ulama sehingga semakin
memperkuat argumen penolakan terhadap terorisme. Dengan demikian masyarakat umum
semakin yakin bahwa pernyataan dari mantan teroris bukanlah bentuk sandiwara atau
skenario berdasarkan tekanan dan pesanan dari pemerintah seperti yang selama ini
dipropagandakan oleh kelompok teroris
Upaya Mengatasi Hambatan
Dalam program deradikalisasi dengan memanfaatkan mantan teroris masih
mengalami banyak hambatan. Hambatan yang jelas dan cukup berat adalah adanya tentangan
dari kelompok teroris sendiri yang notabene merupakan teman dari para mantan teroris. Para
mantan teroris yang turut membantu dalam program deradikalisasi akan dianggap
pengkhianat oleh bekas kelompoknya bahkan tak mustahil juga akan mendapat ancaman
terhadap keselamatan jiwa dan keluarganya. Perlu adanya keyakinan dan tekad yang kuat dari
para mantan teroris terhadap tekanan dan ancaman tersebut karena muncul kerawanan para

mantan teroris bisa kembali atau mengulang aksi teror akibat pengaruh dan tekanan
kelompoknya.
Para mantan teroris yang sudah menyadari kesalahannya tidak dapat dilibatkan secara
optimal dalam deradikalisasi karena kurangnya perhatian pemerintah dalam memberdayakan
potensi tersebut. Mantan teroris kemungkinan besar tidak akan turut serta dalam
deradikalisasi tanpa adanya pihak yang mendorong dan menjadi sponsor yang membiayainya
mengingat rangkaian kegiatan deradikalisasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi
mantan teroris juga memiliki keluarga serta kebutuhan ekonomi yang harus mereka cukupi
sendiri.
Dengan mengkaji motif dari masing – masing narapidana teroris atau mantan teroris
diharapkan dapat mengetahui pemicu yang menyebabkan mereka terlibat aksi terorisme.
Deradikalisasi lebih melalui pendekatan sisi psikologi yaitu merubah pemahaman misalnya
dengan menyentuh sisi kemanusiaan serta sisi pengakuan atas eksistensi pada diri mantan
terorisme. Namun mengubah ideologi sangatlah sulit paling jauh sebatas membatasi
pemahaman atau ideologi yang mereka anut tidak mengarah kepada suatu tindakan yaitu
teror.

6

Di Indonesia, keberadaan pihak – pihak non pemerintah yang mempunyai perhatian

serta melakukan upaya deradikalisasi secara mandiri juga masih sedikit. Hal tersebut
kemungkinan karena masih terlalu banyak ketergantungan kepada pemerintah. Padahal
pemerintah sendiri banyak memiliki keterbatasan baik pada kemampuan anggaran maupun
sumber daya manusia. Seringkali pihak – pihak non pemerintah baik perorangan maupun
organisasi mempunyai kelebihan atau kemampuan yang lebih baik daripada pemerintah,
misalnya kemampuan riset dan analisis kontra terorisme. Potensi yang ada tersebut
hendaknya bisa dimanfaatkan secara optimal dengan memberdayakan para pihak non
pemerintah baik LSM, swasta, akademisi serta lembaga riset untuk dilibatkan dalam program
pemerintah dalam mengkaji serta merumuskan langkah dan upaya melibatkan peran mantan
teroris untuk deradikalisasi agar lebih efektif. Dalam konteks yang lebih strategis, program
deradikalisasi harus juga dianggap sebagai bagian dari penguatan partisipasi publik dan
pemangku kepentingan yang lain. Tanpa pelibatan publik dan pemangku kepentingan lain,
upaya pemberantasan terorisme di Indonesia melalui program deradikalisasi hanya menjadi
formalitas atas respons dari ancaman teror dan gerakan radikal semata.
Penutup
Dalam menanggulangi terorisme tidaklah semudah yang dibayangkan termasuk upaya
kontra terorisme. Berbagai pendekatan yang telah dilakukan belum ada yang bisa dinilai
sebagai cara yang paling efektif. Namun begitu, bukan menjadi suatu alasan untuk berhenti
melawan terorisme. Masing – masing upaya kontra terorisme termasuk program
deradikalisasi pasti memiliki kelebihan tersendiri. Kita tidak boleh menyerah dan pesimis atas

penilaian kegagalan dari deradikalisasi. Oleh karena itu peran serta dari semua pihak dalam
upaya penanggulangan terorisme sangat dibutuhkan, tidak tergantung pada pemerintah saja.
Peran serta masing – masing pihak dilandasi oleh kebutuhan atas keselamatan dan keamanan
dari ancaman terorisme dengan melakukan upaya sesuai dengan porsi serta kemampuanya
masing – masing.

7

DAFTAR REFERENSI

Susan Sim (mantan diplomat dan analis Departemen Keamanan Dalam Negeri Singapura),
Seni
Memanfaatkan
Mantan
Terorisme,
diakses
dari
http://indo.wsj.com/posts/2013/02/22/seni-memanfaatkan-mantan-teroris/
Muradi, Konflik, Teror, dan Politik), Mengevaluasi program deradikalisasi, diakses dari
http://nasional.sindonews.com/read/2013/06/20/18/751866/mengevaluasi-programderadikalisasi