Skrining Fitokimia dan Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Habitat

Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea Savanna Afrika Barat yang kering. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada daerah di luar habitat aslinya, yaitu 16º lintang utara hingga 15º lintang selatan. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).

2.1.2 Morfologi

Ciri-ciri morfologi tumbuhan kelapa sawit yaitu merupakan pohon yang tingginya dapat mencapai 24 meter, mempunyai akar serabut yang mengarah ke bawah dan samping. Selain itu terdapat beberapa akar yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Daunnya tersusun majemuk menyirip, berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun dan kemudian pelepah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa. (Sastrosayono, 2008).

2.1.3 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan kelapa sawit adalah Afrikaanse oliepalm (Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak minyak (Sunda) dan klapa sawit (Jawa) (Heyne, 1987).


(2)

2.1.4 Sistematika tumbuhan (Herbarium Medanense)

Sistematika tumbuhan kelapa sawit adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Nama lokal : Kelapa sawit

2.1.5 Kandungan kimia

Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan, 2010).

2.1.6 Khasiat tumbuhan

Semua bagian tumbuhan ini memiliki manfaat, daunnya merupakan obat tradisional untuk kanker, sakit kepala dan rematik. Ekstrak daun dan jus dari tangkai daun muda dapat mengobati luka (Balick, 1996). Daging buahnya digunakan dapat mengobati infeksi kulit, minyak dari buah dan bijinya digunakan untuk memasak, membuat sabun, krim, dan kosmetik lainnya. Kayunya sebagai bahan bangunan rumah, getah digunakan sebagai pencahar (Chong, 2008). Akar digunakan untuk mengobati sakit kepala di Nigeria. Bubuk akar ditambahkan ke minuman sebagai obat untuk gonore, menorrhagia, dan bronchitis (Sreenivasan, 2010).


(3)

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut maka perlu diserbuk sampai halus (Direktorat Jendral POM, 2000: Departemen Kesehatan, 1979).

Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu: 1. Maserasi

Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Dengan kata lain adalah proses pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Direktorat Jendral POM, 2000; Departemen Kesehatan, 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi berasal dari kata “percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator,


(4)

tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam. (Departemen Kesehatan, 1979; Direktorat Jendral POM, 2000).

2.3 Gel

Gel suatu sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif yang merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989; Aulton, 2007). Secara luas sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan, kosmetik dan makanan juga pada beberapa proses industri (Herdiana, 2007).

Gel dibuat dengan proses peleburan atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang dari gel (Lachman., dkk, 1994). Jika masa gel terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini dikelompokkan dalam sistem dua fase. Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. (Ansel, 1989). Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel meliputi gom alam, tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol (Aulton, 2007).

Dasar gel yang umum digunakan adalah gel hidrofobik dan gel hidrofilik. 1. Dasar gel hidrofobik

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara


(5)

spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989; Aulton, 2007).

2. Dasar gel hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Umumnya daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989; Aulton, 2007). Gel hidrofilik umummnya mengandung komponen bahan pengembang, air, humektan dan bahan pengawet (Voigt, 1995). Keuntungan sediaan gel :

Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1995) adalah sebagai berikut: 1. kemampuan penyebarannya baik pada kulit

2. efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit 3. tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis

4. kemudahan pencuciannya dengan air yang baik 5. pelepasan obatnya baik

Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Upaya stabilisasi dari segi mikrobial di samping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, khususnya untuk basis ini sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan


(6)

terhadap penguapan yaitu untuk menghindari masalah pengeringan (Voigt, 1995; Aulton, 2007).

2.3.1 Hidroksi propil metil selulose (HPMC)

HPMC merupakan turunan metilselulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol atau aseton, mudah larut dalam air panas dan segera menggumpal membentuk koloid. HPMC sebagai pengemulsi, pensuspensi dan sebagai penstabil pada sediaan topikal seperti gel dan salep mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya.. (Rowe., dkk, 2005; Reynold, 1989). Rumus bangun HPMC dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC 2.3.2 Propilen glikol

Propilen glikol adalah cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis. Dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dan minyak lemak (Departemen Kesehatan, 1979). Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam berbagai formulasi parental non parental. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan seperti kortikosteroid, obat-obatan sulfa,


(7)

barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid dan banyak anastetik lokal (Rowe., dkk, 2005; Reynold,1989). Rumus bangun propilen glikol dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Rumus bangun propilen glikol 2.3.3 Metil paraben

Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikiuti rasa tebal (Departemen Kesehatan, 1979; Rowe., dkk, 2005).

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi, digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Soni, 2002). Rumus bangun metil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(8)

2.3.4 Propil paraben

Propil paraben merupakan serbuk kristalin putih, tidak berbau, dan tidak berasa serta berfungsi sebagai pengawet (Steinberg, 2005). Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6 %. Propil paraben efektif sebagai pengawet pada rentang pH 4-8, peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air. (Wade, 1994; Reynold, 1989). Rumus bangun propil paraben dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben

2.4. Kulit

Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5- 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin (Perdanakusuma, 2007; Handoko, 2010).

Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung, terdiri atas 650 kelenjar keringat, 20 pembuluh darah, 60.000 melanosit dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit memiliki bagian pelengkap seperti rambut, kuku, dan kelenjar keringat/sebasea.


(9)

Kulit atau skin terdiri atas dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Beberapa referensi lainnya menyebutkan bahwa hipodermis menjadi bagian dari kulit sehingga kulit terdiri atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutis) (Arisanty, 2013; Wasitaatmadja, 2010). Sruktur kulit dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur kulit 2.4.1 Epidermis

Epidermis adalah lapisan paling luar dan paling tipis dari kulit. Epidermis tidak memiliki pembuluh darah dan sistem persarafan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak dan usia. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. (Arisanty, 2013; Wasitaatmadja, 2010).


(10)

Fungsi epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (Perdanakusuma, 2007).

Berikut ini adalah lapisan epidermis menurut Berger (2007), yaitu:

1. Stratum germinativum atau disebut stratum basale adalah lapisan paling dalam dari epidermis yang mulai melakukan pembelahan sel (mitosis) pada regenerasi sel keratinosit epidermis.

2. Stratum spinosum merupakan hasil pembelahan sel yang berikatan dan melakukan migrasi sel ke arah atas.

3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan keratin. Pada lapisan ini, sel berinti mulai mati dan terus terdorong ke atas.

4. Stratum lusidum hanya ditemukan di telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan ini terdapat sel mati yang tidak memiliki inti.

5. Stratum korneum adalah lapisan paling atas memiliki sel keratin mati, tipis, tidak berinti, dan berfungsi sebagai waterproof (anti air).

2.4.2 Dermis

Dermis adalah lapisan kedua dari kulit yang merupakan jaringan ikat, memiliki banyak pembuluh darah, sistem persarafan dan kelenjar tubuh. Dermis terdiri dari dua lapisan:

a. Lapisan papiler: tipis mengandung jaringan ikat jarang. b. Lapisan retikuler: tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kolagen dan elastin, fibroblas, sistem imun (makrofag, sel mast, limfosit), dan sistem saraf. Lapisan ini tebal pada paha, tangan dan kaki (Arisanty, 2013). Dermis juga mengandung beberapa


(11)

derivat epidermis yaitu folikel rambut dan kelenjar keringat. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007; Hunter, 2003).

2.4.3 Hipodermis

Hipodermis atau lapisan subkutan adalah lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat, fibroblast dan pembuluh darah. Hipodermis memiliki fungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga organ di sekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Hipodermis tebal pada gluteus, abdomen dan mammae (Boyle, 2009; Handoko, 2010). Hipodermis bukan merupakan bagian dari kulit, tetapi batasnya tidak jelas yang letaknya di bawah dermis (Arisanty, 2013)

2.5Luka

Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integritas epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fungsinya (Yuliani, 2012). Menurut Baroroh (2011) berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

c. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.


(12)

d. Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2009). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling (Arisanty, 2013).

Pada fase inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah luka dan peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013; Barankin, 2006).

Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan (Dewi, dkk., 2013). Proses ini sangat penting, karena tidak ada jaringan baru yang dapat dibentuk tanpa suplai oksigen dan nutrient yang dibawa oleh pembuluh darah yang baru (Boyle, 2009). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan


(13)

berkembang menjadi keropeng yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013; Hunter, 2003).

Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013; Morison, 2003). Pada fase ini kolagen bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan (Arisanty, 2013).

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidrrmis. Absorbsi perkutan didefinisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus lapisan stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman., dkk, 1994; Hunter, 2003).

Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permiabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989; David, 2007).


(14)

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien yang diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Daya dorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran (Martin., dkk, 1993; Rassner, 1995).

2.7Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

2.7.1Alkaloid

Alkaloid diduga memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Paju, 2013).

2.7.2Flavonoid

Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Flavonoid dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995; Barku, 2013). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, 2013).


(15)

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai astringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010).

2.7.4 Saponin

Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013). Menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

2.7.5Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).


(1)

Fungsi epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (Perdanakusuma, 2007).

Berikut ini adalah lapisan epidermis menurut Berger (2007), yaitu:

1. Stratum germinativum atau disebut stratum basale adalah lapisan paling dalam dari epidermis yang mulai melakukan pembelahan sel (mitosis) pada regenerasi sel keratinosit epidermis.

2. Stratum spinosum merupakan hasil pembelahan sel yang berikatan dan melakukan migrasi sel ke arah atas.

3. Stratum granulosum mengandung sel granular dan keratin. Pada lapisan ini, sel berinti mulai mati dan terus terdorong ke atas.

4. Stratum lusidum hanya ditemukan di telapak tangan dan telapak kaki. Pada lapisan ini terdapat sel mati yang tidak memiliki inti.

5. Stratum korneum adalah lapisan paling atas memiliki sel keratin mati, tipis, tidak berinti, dan berfungsi sebagai waterproof (anti air).

2.4.2 Dermis

Dermis adalah lapisan kedua dari kulit yang merupakan jaringan ikat, memiliki banyak pembuluh darah, sistem persarafan dan kelenjar tubuh. Dermis terdiri dari dua lapisan:

a. Lapisan papiler: tipis mengandung jaringan ikat jarang. b. Lapisan retikuler: tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Dermis terdiri atas jaringan ikat, protein kolagen dan elastin, fibroblas, sistem imun (makrofag, sel mast, limfosit), dan sistem saraf. Lapisan ini tebal pada paha, tangan dan kaki (Arisanty, 2013). Dermis juga mengandung beberapa


(2)

derivat epidermis yaitu folikel rambut dan kelenjar keringat. Fungsi dermis adalah sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007; Hunter, 2003).

2.4.3 Hipodermis

Hipodermis atau lapisan subkutan adalah lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak (paling besar), jaringan ikat, fibroblast dan pembuluh darah. Hipodermis memiliki fungsi sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur, penyangga organ di sekitarnya dan menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Hipodermis tebal pada gluteus, abdomen dan mammae (Boyle, 2009;

Handoko, 2010). Hipodermis bukan merupakan bagian dari kulit, tetapi batasnya

tidak jelas yang letaknya di bawah dermis (Arisanty, 2013)

2.5Luka

Luka merupakan suatu gangguan normal lepasnya integritas epitel kulit diikuti oleh gangguan struktur dari anatomi dan fungsinya (Yuliani, 2012). Menurut Baroroh (2011) berdasarkan kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

c. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.


(3)

d. Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak (Boyle, 2009). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling

(Arisanty, 2013).

Pada fase inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritrema, hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah luka dan peningkatan aliran darah ke daerah luka. Bersamaan dengan aliran darah, terjadi juga aliran fibrin untuk menutup pembuluh darah yang luka dan melindungi adanya infeksi bakteri. Pada fase ini juga terjadi pengerahan sel darah putih, monosit, dan makrofag yang berfungsi untuk memakan mikroorganisme dan sisa sel-sel yang mati (Dewi, dkk., 2013; Barankin, 2006).

Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-5 sampai ke-20. Pada fase ini fibroblas membentuk kolagen dan jaringan ikat. Di sini juga terjadi pembentukan kapiler baru yang dimulai saat terjadi peradangan (Dewi, dkk., 2013). Proses ini sangat penting, karena tidak ada jaringan baru yang dapat dibentuk tanpa suplai oksigen dan nutrient yang dibawa oleh pembuluh darah yang baru (Boyle, 2009). Proses ini menandakan terjadinya kesembuhan yang dimulai dari adanya pertumbuhan kapiler dan pertumbuhan jaringan granula yang dimulai dari dasar luka. Proses granulasi berjalan seiring dengan proses reepitelisasi. Sampai pada tahap akhir proses ini akan terjadi proses epitelisasi pada permukaan luka. Luka akan


(4)

berkembang menjadi keropeng yang terdiri dari plasma yang bercampur dengan sel-sel mati (Dewi, dkk., 2013; Hunter, 2003).

Fase selanjutnya adalah fase pematangan atau fase diferensiasi atau fase

remodeling yang dapat berlangsung di atas 21 hari sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Pada fase ini terjadi ikatan kolagen yang mengawetkan jaringan bekas luka dan proses epitelisasi yang melapisi kulit (Dewi, dkk., 2013; Morison, 2003). Pada fase ini kolagen bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerlukan perlindungan (Arisanty, 2013).

2.6 Pemberian Obat Melalui Kulit

Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidrrmis. Absorbsi perkutan didefinisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus lapisan stratum korneum (lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman., dkk, 1994; Hunter, 2003).

Absorbsi perkutan suatu obat umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permiabel, dan molekul obat berpenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989; David, 2007).


(5)

Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien yang diikuti bergeraknya molekul. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Daya dorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran (Martin., dkk, 1993; Rassner, 1995).

2.7Senyawa Kimia Tumbuhan Berkhasiat Penyembuh Luka

Senyawa kimia tumbuhan yang dapat berkhasiat terhadap penyembuhan luka antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid.

2.7.1Alkaloid

Alkaloid diduga memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan mekanisme mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Paju, 2013).

2.7.2Flavonoid

Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis tetapi juga dengan meningkatkan vaskularisasi dengan demikian melindungi lipid membran terhadap reaksi yang merusak. Flavonoid dapat menghambat pendarahan (Robinson, 1995; Barku, 2013). Flavonoid juga dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, 2013).


(6)

2.7.3 Tanin

Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak tanaman yang berkhasiat sebagai astringen dan mampu menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Mun’im, dkk., 2010).

2.7.4 Saponin

Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Mappa, dkk., 2013). Menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan sebagai pembersih dan antiseptik yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami infeksi yang berat.

2.7.5Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).