Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menggunakan Mencit Jantan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL
DAUN KELAPA SAWIT (
Elaeis guineensis
Jacq.)
MENGGUNAKAN MENCIT JANTAN
SKRIPSI
OLEH:
Yetri Wahyuni
NIM 131524025
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
(2)
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL
DAUN KELAPA SAWIT (
Elaeis guineensis
Jacq.)
MENGGUNAKAN MENCIT JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakuktas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
YETRI WAHYUNI
NIM 131524025
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL DAUN
KELAPA SAWIT (
Elaeis guineensis
Jacq.)
MENGGUNAKAN MENCIT JANTAN
OLEH:YETRI WAHYUNI NIM 131524025
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal : 28 Agustus 2015
Disetujui Oleh:
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195709091985112001 NIP195301011983031004
Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Pembimbing II, NIP 195709091985112001
Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt. Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 197506102005012003 NIP 195208241983031001
Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001
Medan, September 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pejabat Dekan,
Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP 195707231986012001
(4)
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini,
serta shalawat beriring salam untuk Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri
tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera
Utara, dengan judul “Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) Menggunakan Mencit Jantan ”.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada, Ibu Dr. Masfria, M.S., Apt. selaku
Pejabat Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan fasilitas
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dr. Marline Nainggolan,
M.S., Aptselaku pembimbing I, serta Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, M.Si.,
Apt. selaku pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan petunjuk
serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr.
Urip Harahap, Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., dan Ibu Dra. Aswita
Hafni Lubis, M.si., Apt. selaku dosen pengujiyang telah memberikan kritik, saran
dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak Drs. Ismail,
M.Si., Apt selaku pembimbing akademik dan Bapak, Ibu staf pengajar Fakultas
Farmasi USU yang telah mendidik selama perkuliahan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus tiada terhingga kepada
(5)
v
dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi
maupun motivasi serta doa yang tulus yang tidak pernah berhenti. Kakak- kakak
dan adikku tersayang serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan
memberikan semangat.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
ekstensi farmasi angkatan 2013, dan sahabat-sahabatku yang telah memberikan
bantuan dan semangat tak terhingga.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2015 Penulis,
Yetri Wahyuni NIM 131524025
(6)
vi
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL
DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
MENGGUNAKAN MENCIT JANTAN ABSTRAK
Penggunaan tanaman berkhasiat obat telah lama dikenal dan banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat karena dinilai lebih aman dibandingkan dengan obat modern.Daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dapat digunakan sebagai obat penyembuhan luka, antimikroba, antioksidan, antidiabetes, antihipertensi dan hepatoprotektor. Penelitian uji toksisitas subkronik daun kelapa sawit belum diketahui.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan dari penggunaan daun kelapa sawit dalam jangka waktu tertentu.
Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan denganrotary evaporator40 – 50oC dandilakukan freeze dryer -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkronik terhadap kelompok kontrol dan uji selama 28 hari, sedangkan untuk kelompok uji reversibel 42 hari. Penelitian ini menggunakan mencit sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok (Na CMC 0,5%), kelompok uji diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dengan variasi dosis 500, 1000, 2000 mg/kg BB, kelompok satelit kontrol (Na CMC 0,5%), dan kelompok satelit dosis tinggi (dosis 2000 mg/kg BB). Pada akhir pengujian diukur kadar enzim ALT (Alanin
Aminotransferase)dan diamati gambaran histopatologi hati mencit.
Hasil uji toksisitas subkronik menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kelapa sawit sampai dosis 2000 mg/kg BB tidak menyebabkan kematian, tidak mempengaruhi perilaku fisik, jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, berat badan, berat organ relatif, serta makropatologi hati. Hasil pengamatan enzim ALT (Alanin Aminotransferase)dan histopatologi hati ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 500 mg/kg BB tidak meningkatkan kadar enzimALT (Alanin
Aminotransferase)dengan nilai p = 0,123 (p > 0,05) dan tidak menyebabkan
kerusakan pada sel hati, sedangkan dosis 1000 dan 2000 mg/kg BB meningkatkan kadar enzim Alanin Aminotransferase (ALT) dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), serta menyebabkan kerusakan pada sel hati yaitu terjadi kongesti pada vena sentral juga sinusoid dan adanya sel nekrosis berupa kariopiknosis. Tetapi efek toksik yang terjadi bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan.Ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) aman digunakan pada dosis 500 mg/kg BB.
(7)
vii
THE SUBCHRONIC TOXICITY TEST OF ETHANOLIC
EXTRACTPALMLEAVES(Elaeis guineensis Jacq.)
USING MALE MICE ABSTRACT
Medicinal plants have been known and used mostly by people and they are more safe than modern medicine. One of them is palm leaves which is used as an injury healing, antimicrobial, antioxidant, antidiabetic, antihypertensive and hepatoprotector. However, subchronic toxicity of palm leaves haven’tbeen known.The purpose ofthis research wasto determine the safetyofpalm leavesat a certain periode.
Simplicia of palm leaves was macerated with ethanol 80% and evaporated using rotary evaporator at temperature 40 – 50oC and freeze dried at temperature -40oC then the extract was tested to kontrol group for 28 days and to satellite group for 42 days to know the subchronic toxicity. This research was using 30 mice which were divided into 6 treatment groups, they are the kontrol group (group 1) (Na CMC 0.5%), group 2,3,4 (ethanol extract of palm leaves dose 500, 1000, 2000 mg/kg BW), satellite group consist to group 5 (Na CMC 0.5%),and group 6 (ethanol extract of oil palm leaves high dose 2000 mg/kg BW). At the final test, the serum ALT (Alanine Aminotransferase) level was measured and the liver histopathology of mice was observed.
The result of Subchronic toxicity showed that the ethanol extract of palm leaves dose until 2000 mg/kg bw didn’t lead mortality, didn’t affect the physical behavior, the total consumed food and drink, body weight, relative organ weight and liver macropathology of mice. The result showed thatethanol extract of palm leaves didn’t affect ALT (Alanine Aminotransferase) levels at dose 500 mg/kg BW with p = 0.123 (p > 0.05) and didn’t lead the demage of liver cells. While the ethanol extract of palm leaves dose 1000 and 2000 mg/kg BW with a value of p = 0.000 (p < 0.05) lead the demage of liver cells central venous and sinusoid bleeding and liver necrosis. But these effect were reversible after the extract discontinued. Ethanol extract of palm leaves is safe to be used at 500 mg/kg BW.
(8)
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Tumbuhan Kelapa Sawit ... 6
2.1.1 Habitat ... 6
2.1.2 Morfologi ... 6
(9)
ix
2.1.4 Sistematika tumbuhan ... 7
2.1.5 Kandungan kimia ... 7
2.1.6 Khasiat tumbuhan ... 7
2.2 Metode Ekstraksi ... 8
2.3 Toksisitas ... 10
2.3.1 Toksisitas umum ... 10
2.3.1.1 Toksisitas akut ... 10
2.3.1.2 Toksisitas subkronik ... 12
2.3.1.3 Toksisitas kronik ... 13
2.3.2 Toksisitas khusus ... 13
2.3.2.1 Uji teratogenik ... 13
2.3.2.2 Uji mutagenik ... 14
2.3.2.3 Uji karsinogenik ... 14
2.4 Hati ... 14
2.4.1 Anatomi hati ... 14
2.4.2 Gambaran histopatologi hati ... 15
2.4.3 Pemeriksaan fungsi hati ... 17
BAB III METODE PENELITIAN... 18
3.1 Alat dan Bahan ... 18
3.1.1 Alat-alat ... 18
3.1.2 Bahan-bahan ... 18
3.2 Penyiapan Sampel ... 19
3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 19
(10)
x
3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 19
3.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit ... 19
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit ... 20
3.4.1 Penetapan kadar air ... 20
3.4.2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 21
3.4.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ... 21
3.4.4 Penetapan kadar abu total ... 21
3.4.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 22
3.4.6 Pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun kelapa sawit ... 22
3.5 Pengujian Efek Toksisitas Subkronik ... 22
3.5.1 Pemeriksaan fungsi hati ... 24
3.5.2 Pengamatan makropatologi organ ... 24
3.5.3 Penimbangan organ ... 24
3.5.4 Pemeriksaan histopatologi ... 24
3.6 Analisis Data ... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 27
4.2 Hasil Ekstraksi Serbuk Daun Kelapa Sawit ... 27
4.3 Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit ... 27
4.4 Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (EEDKS) ... 28
4.4.1 Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik hewan ... 28
(11)
xi
minuman hewan uji setelah pemberian EEDKS ... 29
4.3.3 Hasil pengamatan berat badan mencit setelah pemberian EEDKS ... 31
4.5 Hasil Pengamatan Kadar ALT (Alanin Aminotransferase) Mencit ... 32
4.6 Hasil Penimbangan Bobot Relatif Organ Hati, Jantung, dan Ginjal Mencit ... 34
4.7 Hasil Pengamatan Makropatologi Organ Hati ... 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
4.1 Kesimpulan ... 40
4.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
(12)
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5
2.1 Gambar skematis struktur hati ... 16
4.1 Grafik kadar ALT mencit uji toksisitas subkronik EEDKS ... 33
4.2 Makropatologi hati mencit yang diberi Na-CMC 0,5% dan
EEDKS ... 36
4.3 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi Na-
CMC 0,5% ... 36
4.4 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi EEDKS
dosis 500 dan 1000 mg/kg BB ... 37
4.5 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi EEDKS
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Kategori penggolongan sediaan uji ... 11
4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak ... 27
4.2 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan ... 29
4.3 Hasil konsumsi makanan rata-rata hewan uji setelah diberi
EEDKS ... 30
4.4 Hasil konsumsi minuman rata-rata hewan uji setelah diberi
EEDKS ... 30
4.5 Hasil berat badan mencit rata-rata setelah diberikan EEDKS ... 31
4.6 Hasil pengukuran kadar ALT rata-rata mencit setelah diberikan
EEDKS ... 32
4.7 Hasil penimbangan bobot relatif organ hati, jantung, dan ginjal
mencit ... 34
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil identifikasi tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) ... 45
2. Tumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ... 46
3. Gambar helai daunkelapa sawit dan simplisia daun kelapa sawit ... 47
4. Gambarkandang mencit yang dilengkapi tempat makan dan minum ... 48
5. Gambar hati setelah dipotong ... 48
6. Bagan alur penelitian ... 49
7. Bagan pengerjaan uji toksisitas subkronik pada mencit ... 50
8. Perhitungan volume pemberian EEDKS dosis 500, 1000, dan 2000 mg/kg BB ... 51
9. Perhitungan hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak etanoldaunkelapasawit ... 52
10. Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan ... 57
11. Hasil pemeriksaan kadarALT(Alanin Aminotransferase )/ SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transferase) ... 58
12. Cara kerja Reagen kit ALT ... 59
13. Hasil analisis statistik jumlah konsumsi makanan mencit pada minggu ke-1,2,3,4,5,6 ... 61
14. Hasil analisis statistik jumlah konsumsi minuman mencit pada minggu ke-1,2,3,4,5,6 ... 64
15. Hasil analisis statistik berat badan mencit pada hari ke- 1,7,14,21,28,35,42 ... 67
(15)
xv
17. Hasil analisis statistik berat relatif organ hati, ginjal, dan
Jantung ... 71
18. HasilHasil pengamatan data konsumsi makanan dan minuman ... 73
19. Hasil pengamatan data berat badan mencit ... 83
20. Hasilpengamatan data bobot organ relatif ... 90
(16)
vi
UJI TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL
DAUN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
MENGGUNAKAN MENCIT JANTAN ABSTRAK
Penggunaan tanaman berkhasiat obat telah lama dikenal dan banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat karena dinilai lebih aman dibandingkan dengan obat modern.Daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dapat digunakan sebagai obat penyembuhan luka, antimikroba, antioksidan, antidiabetes, antihipertensi dan hepatoprotektor. Penelitian uji toksisitas subkronik daun kelapa sawit belum diketahui.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keamanan dari penggunaan daun kelapa sawit dalam jangka waktu tertentu.
Serbuk simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 80% kemudian diuapkan denganrotary evaporator40 – 50oC dandilakukan freeze dryer -40oC selanjutnya ekstrak yang diperoleh diuji toksisitas subkronik terhadap kelompok kontrol dan uji selama 28 hari, sedangkan untuk kelompok uji reversibel 42 hari. Penelitian ini menggunakan mencit sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok (Na CMC 0,5%), kelompok uji diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dengan variasi dosis 500, 1000, 2000 mg/kg BB, kelompok satelit kontrol (Na CMC 0,5%), dan kelompok satelit dosis tinggi (dosis 2000 mg/kg BB). Pada akhir pengujian diukur kadar enzim ALT (Alanin
Aminotransferase)dan diamati gambaran histopatologi hati mencit.
Hasil uji toksisitas subkronik menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kelapa sawit sampai dosis 2000 mg/kg BB tidak menyebabkan kematian, tidak mempengaruhi perilaku fisik, jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, berat badan, berat organ relatif, serta makropatologi hati. Hasil pengamatan enzim ALT (Alanin Aminotransferase)dan histopatologi hati ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 500 mg/kg BB tidak meningkatkan kadar enzimALT (Alanin
Aminotransferase)dengan nilai p = 0,123 (p > 0,05) dan tidak menyebabkan
kerusakan pada sel hati, sedangkan dosis 1000 dan 2000 mg/kg BB meningkatkan kadar enzim Alanin Aminotransferase (ALT) dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), serta menyebabkan kerusakan pada sel hati yaitu terjadi kongesti pada vena sentral juga sinusoid dan adanya sel nekrosis berupa kariopiknosis. Tetapi efek toksik yang terjadi bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan.Ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) aman digunakan pada dosis 500 mg/kg BB.
(17)
vii
THE SUBCHRONIC TOXICITY TEST OF ETHANOLIC
EXTRACTPALMLEAVES(Elaeis guineensis Jacq.)
USING MALE MICE ABSTRACT
Medicinal plants have been known and used mostly by people and they are more safe than modern medicine. One of them is palm leaves which is used as an injury healing, antimicrobial, antioxidant, antidiabetic, antihypertensive and hepatoprotector. However, subchronic toxicity of palm leaves haven’tbeen known.The purpose ofthis research wasto determine the safetyofpalm leavesat a certain periode.
Simplicia of palm leaves was macerated with ethanol 80% and evaporated using rotary evaporator at temperature 40 – 50oC and freeze dried at temperature -40oC then the extract was tested to kontrol group for 28 days and to satellite group for 42 days to know the subchronic toxicity. This research was using 30 mice which were divided into 6 treatment groups, they are the kontrol group (group 1) (Na CMC 0.5%), group 2,3,4 (ethanol extract of palm leaves dose 500, 1000, 2000 mg/kg BW), satellite group consist to group 5 (Na CMC 0.5%),and group 6 (ethanol extract of oil palm leaves high dose 2000 mg/kg BW). At the final test, the serum ALT (Alanine Aminotransferase) level was measured and the liver histopathology of mice was observed.
The result of Subchronic toxicity showed that the ethanol extract of palm leaves dose until 2000 mg/kg bw didn’t lead mortality, didn’t affect the physical behavior, the total consumed food and drink, body weight, relative organ weight and liver macropathology of mice. The result showed thatethanol extract of palm leaves didn’t affect ALT (Alanine Aminotransferase) levels at dose 500 mg/kg BW with p = 0.123 (p > 0.05) and didn’t lead the demage of liver cells. While the ethanol extract of palm leaves dose 1000 and 2000 mg/kg BW with a value of p = 0.000 (p < 0.05) lead the demage of liver cells central venous and sinusoid bleeding and liver necrosis. But these effect were reversible after the extract discontinued. Ethanol extract of palm leaves is safe to be used at 500 mg/kg BW.
(18)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Menurut perkiraan badan kesehatan dunia 80% dari enam miliar penduduk
di dunia telah menggunakan obat-obatan berasal dari hewan dan tumbuhan
(WHO, 2003).Obat tradisional dapat digunakan dalam pemeliharaan kesehatan,
pencegahan dan pengobatan penyakit terutama untuk penyakit kronis (WHO,
2013).Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam
lingkungan.Secara umum toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, sub kronik
dan kronik (Priyanto, 2009).
Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat adalah daun
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.), family Arecaceae yaitu sebagai obat
penyembuhan luka (Hasibuan, 2014), antioksidan dan antimikroba (Yin, dkk.,
2013; Sasidharan, dkk., 2009), antidiabetes (Tan, dkk., 2011; Sharafi dan
Al-Dawah, 2013), antihipertensi (Juliana, 2011),dan hepatoprotektor (Vijayarathna,
dkk., 2009). Daun kelapa sawit mengandung senyawa polifenol yang tinggi
(terutama flavonoid, karotenoid, dan katekhin) (Runnie, dkk., 2003). Dan
alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, steroid/triterpenoid dan tanin
(Sreenivasan, 2010; Bate’e, 2014; Hasibuan, 2014).Pengujian tentang toksisitas
perlu dilakukan agar penggunaannya aman. Pengujian toksisitas akut ekstrak
etanol daun kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang menyatakan tidak
(19)
2
penggunaan komersial (Syahmi, dkk., 2010). Ekstrak etanol daun kelapa sawit
telah dilakukan uji toksisitas akut (Anyanji, dkk., 2013) sehingga pada penelitian
ini dilakukan uji toksisitas subkronik.
Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama 28 atau 90 hari (OECD, 2008).
Prinsip uji toksisitas subkronik yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis
diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji.Selama waktu pemberian
sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas
(BPOM RI, 2011). Tujuan uji toksisitas subkronik adalah untuk memperoleh
informasi adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji untuk mengetahui
dosis yang tidak menimbulkan efek toksik, untuk memperoleh informasi adanya
efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut (OECD, 2008), selain
itu uji tersebut digunakan untuk mengetahui adanya efek toksisitas setelah
pemberian sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, dan
mempelajari adanya efek reversibilitas zat tersebut (BPOM RI, 2011).
Salah satu parameter pengamatan uji toksisitas subkronik adalah
pengamatan fungsi hati dengan parameter biokimia pemeriksaan terhadap kadar
ALT (Alanin Aminotransferase ) (Casarett dan Doull’s, 2008). Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh.Organ ini
terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksin.Hati
merupakan organ utama tempat biotransformasi zat-zat kimia dan hati juga
(20)
3
Berdasarkan uraian di atas, maka penting dilakukan uji toksisitas subkronik
terhadap ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS).Daun kelapa sawit
mempunyai potensi cukup tinggi untuk dijadikan sebagai pelayanan farmasi
sehingga perlu dibuktikan keamanannya.Oleh karena itu perlu dilakukan
pengujian dari daun kelapa sawit berupa uji toksisitas subkronik.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
a. apakah ekstrak etanol daun kelapa sawit dapat menyebabkan gejala toksik
mencit jantan?
b. apakahekstrak etanol daun kelapa sawit dapat meningkatkan kadar enzim
ALT (Alanin Aminotransferase) mencit jantan?
c. apakahekstrak etanol daun kelapa sawitmenyebabkan efek toksik pada organ
hati mencit jantan?
d. apakah ekstrak etanol daun kelapa sawitbersifat reversibel setelah pemberian
ekstrak dihentikan pada mencit jantan?
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian ini
adalah:
a. ekstrak etanol daun kelapa sawit menyebabkan gejala toksik mencit jantan.
b. ekstrak etanol daun kelapa sawit meningkatkan kadar enzim ALT (Alanin
(21)
4
c. ekstrak etanol daun kelapa sawit menyebabkan efek toksik pada organ hati
mencit jantan.
d. ekstrak etanol daun kelapa sawit bersifat reversibel setelah pemberian ekstrak
dihentikan.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek toksik ekstrak etanol
daun kelapa sawit setelah pemberian selama 28 hari pada mencit, serta untuk
mengetahui efek reversibel setelah pemberian ekstrak dihentikan.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi tentang keamanan penggunaan ekstrak etanol daun kelapa sawit.
1.6Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu ekstrak etanol daun kelapa sawit
dosis 500, 1000, 2000 mg/kg BB dan waktu pengujian sebagai variabel bebas,
efek toksik, kadar ALT, makropatologi organ, gambaran histopatologi hati
sebagai variabel terikat, parameternya meliputi kematian, perilaku fisik, konsumsi
makan dan minum, berat organ relatif, kadar mencit normal, warna, permukaan,
konsistensi, kariolisis, karioreksis dan kariopiknosis. Kerangka pikir penelitian
(22)
5
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian. Simplisia daun
kelapa sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) 1. Kematian hewan
2. Perilaku fisik 3. Konsumsi makan
dan minum 4. Berat organ relatif Ekstrak etanol daun kelapa sawit (EEDKS) Kadar ALT Gambaran histopatologi hati Makropatologi organ 1. Warna 2. Permukaan 3. Konsistensi 1. Kariolisis 2. Kariopiknosis 3. Karioreksis Kadar mencit normal
17 – 77 U/L Kelompok kontrol :
-Na CMC 0,5 % Kelompok uji
-Dosis 500 mg/kg BB -Dosis 1000 mg/kg BB -Dosis 2000 mg/kg BB Kelompok satelit
-Na CMC 0,5 % (Satelit kontrol) -Dosis 2000 mg/kg BB
(Satelit dosis tinggi)
Efek toksik
Waktu pengujian 28 hari dan 42 hari
(23)
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Kelapa Sawit 2.1.1 Habitat
Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea
Savanna Afrika Barat yang kering.Tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada daerah
di luar habitat aslinya.Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur
Sumatra, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).
2.1.2. Morfologi
Ciri-ciri morfologi tumbuhan kelapa sawit yaitu merupakan pohon yang
tingginya dapat mencapai 24 meter, mempunyai akar serabut.Daunnya tersusun
majemuk menyirip, berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda.
Batang tanaman diselimuti berkas pelepah hingga umur 12 tahun dan kemudian
pelepah yang menggering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip
dengan kelapa (Sastrosayono, 2008). Daun kelapa sawit terdiri dari beberapa
bagian yaitu kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai helaian (lamina) dan
tulang anak daun (midrib), rachis yang merupakan tempat anak daun melekat,
tangkai daun (petiole) yang merupakan bagian antara daun dan batang, selundang
daun (sheath) yang berfungsi sebagai pelindung dari kuncup dan memberi
kekuatan pada batang. Bunga kelapa sawit merupakan bunga yang majemuk yang
terdiri dari kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen yang berbentuk spiral
(24)
7
2.1.3. Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan kelapa sawit adalah afrikaanse oliepalm
(Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak
minyak (Sunda), dan kelapa sawit (Jawa) (Heyne, 1987).
2.1.4Sistematika tumbuhan
Menurut herbarium medanense (2013), sistematika kelapa sawit sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
Nama lokal : Kelapa sawit
2.1.5 Kandungan kimia
Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida,
steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan, 2010; Bate’e, 2014;
Hasibuan, 2014).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
Semua bagian tumbuhan ini memiliki manfaat, daunnya merupakan obat
tradisional untuk kanker, sakit kepala dan rematik.Ekstrak daun dan jus dari
tangkai daun muda dapat mengobati luka (Balick, 1996).Daging buahnya
(25)
8
sebagai bahan bangunan rumah, getah digunakan sebagai pencahar (Chong, dkk.,
2008). Akar digunakan untuk mengobati sakit kepala di Nigeria.Bubuk akar
ditambahkan keminuman sebagai obat untuk bronkitis (Sreenivasan, 2010). Daun
mempunyai senyawa polifenol tinggi yang efektif sebagai antioksidan (Yin, dkk.,
2013; Runnie, dkk., 2003).
2.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan
diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 1995).Ekstrak adalah
sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau
hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari
langsung (Depkes RI, 1979).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi
dengan menggunakan pelarut yaitu:
a. Cara dingin
i. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada suhu kamar.
Penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama
dan seterusnya disebut remaserasi. Maserasi dilakukan dengan cara masukkan
10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok
ke dalam bejana, tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama
(26)
9
dengan cairan penyari secukupnya sehingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan
ke dalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya
selama 2 hari. Enap tuangkan dan saring (Depkes RI, 1979).
ii. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada
temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan
ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 – 5 kali
bahan.
b. Cara panas
i. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur
lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40 – 50oC.
iii.Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu
baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
iv.Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90oC selama 15 menit.
v. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
(27)
10
2.3 Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan
(Priyanto, 2009).Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu
zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji.Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai derajatbahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD,
2008).
Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji
untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009).Umumnya uji
toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik)
dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Priyanto, 2009;
Lu, 1994).
2.3.1Toksisitas umum
2.3.1.1Toksisitas akut
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik
yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan
secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu
24 jam (BPOM RI, 2011).
Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat
dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji kemudian dilakukan
pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian sebagai parameter akhir
(28)
11
Tujuan toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat,
untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk merancang uji
toksisitas selanjutnya serta untuk menentukan LD50(potensi ketoksikan) akut dari
suatu senyawa (Priyanto, 2009; BPOM RI, 2011).
LD50 didefinisikan sebagai “dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik
diharapkan akan membunuh 50% hewan coba”.Pengujian ini juga dapat
menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya,
serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam
pengujian yang lebih lama (Lu, 1994).LD50 adalah dosis perkiraan ketika suatu zat
diberikan langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi
di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hudgson dan Levi, 2004).
Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya yang dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kategori penggolongan sediaan uji
Kategori LD50
Supertoksik 5 mg/kg atau kurang Amat sangat toksik 5-50 mg/kg
Sangat toksik 50-500 mg/kg Toksik sedang 0,5-5 g/kg
Toksik ringan 5-15 g/kg
Praktis tidak toksik >15 g/kg
b. Evaluasi dampak keracunan yang tidak sengaja; perencanaan penelitian
toksisitas subkronik dan kronik pada hewan, memberikan informasi tentang
mekanisme toksisitas, pengaruh umur, seks, faktor lingkungan dan variasi
respons antar spesies dan antar strain hewan; memberikan informasi tentang
(29)
12
2.3.1.2 Toksisitas subkronik
Uji toksisitas subkronik adalah suatu pengujian untuk mengetahui efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis yang diberikan
secara oral pada hewan uji, biasanya setiap hari atau lima hari dalam seminggu
selama 28 hari (BPOM RI, 2011).
Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu (OECD, 2008), untuk memberikan informasi dosis
yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek reversibilitas
zat tersebut (BPOM RI, 2011).
Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari (OECD, 2008), bila diperlukan
ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek yang bersifat reversibel
(BPOM RI, 2011).
Studi subkronik dapat dilakukan pada tikus dan mencit dengan rute
pemberian yang lazim yaitu oral.Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok
dosis yang berbeda, 1 kelompok kontrol dan 2 kelompok satelit (kelompok dosis
tinggi dan kelompok kontrol).Dosis sediaan uji yang paling tinggi harus
menimbulkan efek toksik tetapi tidak menimbulkan kematian atau gejala toksik
yang berat, dosis menengah menimbulkan gejala toksik yang lebih ringan
sedangkan dosis yang paling rendah tidak menimbulkan gejala toksik (BPOM RI,
(30)
13
Parameter efek toksik adalah mortalitas, pertambahan berat badan, berat
organ relatif, konsumsi makanan dan minuman, uji laboratorium klinik, serta
gambaran histopatologi organ.Berat badan dan konsumsi makanan diukur setiap
minggu.Berkurangnya pertambahan berat badan merupakan indeks efek toksik
yang sederhana namun sensitif.Konsumsi makanan juga merupakan indikator
yang berguna, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek
yang mirip manifestasi toksik suatu zat (BPOM RI, 2011).Uji laboratorium klinik
biasanya mencakup pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan
histopatologi.Disamping itu, berat relatif organ harus diukur karena merupakan
indikator yang berguna bagi toksisitas (Lu, 1994).
2.3.1.2Toksisitas kronik
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji
berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto,
2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas
subkronik, hanya pada toksisitas kronik sediaan uji yang diberikan lebih lama
yaitu tidak kurang dari 12 bulan (BPOM RI, 2011).
2.3.2Toksisitas khusus 2.3.2.1Uji teratogenik
Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi
adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa
perkembangan embrio (Priyanto, 2009).
Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan
kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa
(31)
14
sebelumwaktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus
(OECD, 2008).
2.3.2.2Uji mutagenik
Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa.Efek mutagenik
merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel
tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).
2.3.2.3Uji karsinogenik
Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi
mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1994) dan
untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat
menimbulkan kanker (Priyanto, 2009).
2.4Hati
2.4.1 Anatomi hati
Hati adalah organ terbesar di tubuh dengan berat 1,5 kg, organ ini terletak
dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati merupakan organ tempat
pengolahan dan penyimpanan nutrient yang diserap dari usus halus untuk dipakai
oleh bagian tubuh lainnya.Seluruh materi yang diserap melalui usus tiba di hati
melalui vena porta.Pada bagian bawah permukaan hati terdapat pembuluh darah
masuk (vena porta dan arteri hepatika), duktus hepatikus kiri dan kanan yang
keluar dari organ ini di daerah yang disebut portal hepatis (Junqueira dan
Carneiro, 2003).Hati terdiri dari dua lobus utama, yakni lobus kanan dan kiri yang
(32)
15
terdiri dari dua segmen. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior.Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral.
Menurut Syaifuddin (2006) fungsi hati adalah sebagai berikut:
a. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu tempat
dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.
b. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu dan
urin.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam system
retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.
e. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum,
dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.
f. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.
2.4.2. Gambaran histopatologi hati
Komponen struktur utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit.Hepatosit
tersusun berupa lempeng-lempeng yang saling berhubungan dan bercabang
membentuk anyaman tiga dimensi (Junqueira dan Carneiro, 2003).
Hati mendapat aliran darah ganda.Vena porta membawa darah dari usus dan
organ tertentu, sedangkan arteri hepatika membawa darah bersih yang
mengandung oksigen.Vena porta dan arteri hepatika bercabang-cabang menuju
lobus, disebut arteri atau vena interlobaris, seterusnya bercabang-cabang
membentuk arteri dan vena interlobularis yang terdapat di daerah portal.Vena
(33)
16
merupakan sumbu asinus hati.Venula pendek berasal dari vena pembagi dan
berakhir langsung pada sinusoid (Delman dan Brown, 1992). Vena sentral
merupakan sebuah pembuluh vena yang dikelilingi oleh sel endotel yang tersusun
rapat, terletak dipusat lobulus dengan hepatosit yang tersusun secara radier kearah
vena sentral (Price, 1997), berperan pada proses sirkulasi dimana vena sentral
menerima darah dari sinusoid-sinusoid yaitu 25% dari arteri hepatika dan 75%
dari vena porta (Underwood, 1997).
Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus, yang
membawa darah dari arteri dan vena interlobularis masuk ke sinusoid dan menuju
vena sentralis.Susunan percabangan ini menjamin hepatosit memiliki permukaan
yang berhadapan dengan sinusoid yang hanya dibatasi oleh ruang perisinusoid
yaitu ruang sempit diantara sinusoid dan sel-sel hati.Ruang demikian tidak tampak
dalam biopsy hati manusia atau hati hewan uji (Delman dan Brown, 1992;
Junqueira dan Carneiro, 2003).Gambar skematis struktur hati dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
(34)
17
2.4.3 Pemeriksaan fungsi hati
Tujuan pemeriksaan fungsi hati adalah untuk mengetahui ketidaknormalan
fungsi hati yang dilakukan dengan menentukan kadar enzim yang terlibat di dalam
proses metabolisme hati. Penetapan aktivitas enzim dalam serum yang saat ini
banyak dilakukan di laboratorium klinik sebagai test rutin untuk keperluan
diagnosa kerusakan hati, antara lain penentuan kadar enzim transminase yaitu
Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat Piruvat
Transaminase (SGPT) (Kang, dkk., 2008).
Transminase merupakan jenis enzim intraseluler yang terlibat dalam
metabolisme karbohidrat dan asam amino.Enzim transminase terdapat di dalam
sel-sel beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan pankreas.SGOT terdapat
dalam jantung, otot rangka, otak, dan ginjal sedangkan SGPT terdapat dalam sel
hati (Widmann, 1995).
Kadar SGPT dan SGOT meningkat pada hampir semua penyakit hati.Kadar
yang tertinggi ditemukan dalam hubungannya dengan keadaan yang menyebabkan
nekrosis hati yang luas.Ketika sel hati mengalami kerusakan, enzim tersebut
bearada dalam darah, sehingga dapat diukur kadarnya.Hal ini disebabkan karena
kerusakan pada struktur dan fungsi membran sel hati. Apabila kerusakan yang
ditimbulkan pada hati, kadar SGPT lebih dini dan lebih cepat meningkat dari
(35)
18
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental meliputi
pengumpulan, pengolahan bahan, pembuatan ekstrak etanol daun kelapa sawit,
pemeriksaan karakterisasi simplisia dan ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan
pengujian efek toksisitas. Data hasil penelitian dianalisis dengan metode One Way
Analysis of Variance (ANOVA).
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas
laboratorium (beaker glass, labu tentukur, gelas ukur, gelas arloji),lumpang dan
alu, spatula, blender (national),rotary evaporator (Heidolph WB 2000), kandang
mencit, tempat makan dan minum mencit, lemari pengering, neraca listrik
(vibra), neraca hewan (Presica), pinset, oral sonde, microtube, sentrifuse (velocity
18 R), mikroskop digital (Boeco germany), spektrofotometer UV(Shimadzu), spuit
(one med).
3.1.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan
tumbuhan, helai daun kelapa sawit.Bahan kimia yang digunakan adalah akuades,
etanol 96%,formalin 37%, Hematoxylin, eosin,Na-CMC (natrium-Carboxy
(36)
19
3.2 Penyiapan Sampel
3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kelapa sawit
yang diambil dariPT. Perkebunan Nusantara II Jalan Pasar 13 Km. 10 Tanjung
Morawa Kabupaten DeliSerdang, Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposif tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain
(Bate’e, 2014).
3.2.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanense,
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara (Bate’e, 2014).
3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan
Pengolahan daun kelapa sawit dilakukan terhadap daun yang dewasa
berwarna hijau, yaitu daun dipisahkan dari tulang daunnya sehingga yang dipakai
yaitu helai daunnya, dicuci bersih, ditiriskan, ditimbang, lalu dikeringkan di dalam
lemari pengering pada suhu 40 – 50°C.selanjutnya sampel dihaluskan atau
diserbukan menggunakan blender, dimasukkan kedalam wadah plastik yang
tertutup rapat dan disimpan di dalam suhu kamar.
3.3Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit
Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut
etanol. Sebanyak 1,2 kg serbuk simplisia dimasukkan kedalam suatu bejana,
dituangi dengan 9 L (75 bagian) etanol, ditutup. dibiarkan selama 5 hari
(37)
20
pelarut etanol secukupnya hingga diperoleh 3 L (100 bagian).Pindahkan maserat
ke dalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk terlindung dari cahaya selama
2 hari, enap tuangkan (Depkes RI, 1979).Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat
rotary evaporator pada suhu40 – 50oC hingga diperoleh ekstrak kental,
selanjutnya defreeze dryer pada suhu -40oC hingga diperoleh ekstrak kering.
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelapa
Sawit
Pemeriksaan karakterisasi simplisiadan ekstrak meliputipenetapan kadar
air, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang larut
dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu yang tidak larut
dalam asam.
3.4.1 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi
toluena). Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu
alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2
jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume
air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam
labu yang berisi toluen jenuh tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah
ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen
mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian
air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap
detik.Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan
(38)
21
dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah
sempurna, volume dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air
dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa
(WHO, 1998).
3.4.2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml
air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu
bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan
selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai
kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa
dipanaskan pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap.Kadar sari yang larut
dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.4.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml
etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam.Kemudian disaring cepat untuk menghindari
penguapan etanol.Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan
penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara.Sisa dipanaskan
pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap.Kadar sari yang larut dalam etanol
96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.4.4 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian
(39)
22
ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.Kadar abu dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.4.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan, kemudian didinginkan
dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
3.4.6 Pemeriksaankarakterisasi ekstrak etanol daun kelapa sawit
Penetapan kadar ekstrak dilakukan sama seperti penetapan kadar serbuk
simplisia ekstrak etanol daun kelapa sawit.
3.5 Pengujian Efek Toksisitas Subkronik
Pengujian toksisitas dilakukan berdasarkan pada pedoman uji toksisitas
nonklinik secara in vivo (BPOM RI, 2011).Hewan yang digunakan adalah mencit
jantan berumur 6 – 8 minggu sebanyak 30 ekor yang didapat dari laboratorium
farmakologi fakultas farmasi Universitas Sumatera Utara.Sebelum percobaan
dimulai, hewan diaklimatisasi di ruang percobaan selama 7 – 14 hari.Hewan
dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan
merata untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak lebih 20% dari
rata-rata berat badan. Hewan dikelompokkan dalam enam kelompok,
masing-masing terdiri dari lima ekor mencit:
Kelompok I : Diberi suspensi Na-CMC 0,5% b/v dosis 1 % BB
(40)
23
Kelompok II : Diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 500 mg/kg BB
(kelompok uji I)
Kelompok III : Diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 1000 mg/kg BB
(kelompok uji II)
Kelompok IV : Diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 2000 mg/kg BB
(kelompok uji III)
Kelompok V : Diberi suspensi Na-CMC 0,5% b/v dosis 1 % BB
(kelompok satelit kontrol)
Kelompok VI : Diberi ekstrak etanol daun kelapa sawit dosis 2000 mg/kg BB
(Kelompok satelit dosis tinggi)
Sediaan uji diberikan secara oral setiap hari selama 28 hari. Kemudian
dilakukan pengamatan hewan uji terhadap gejala toksik yang muncul, untuk
kelompok uji pengamatan dilakukan setiap hari selama 28 hari. Sedangkan untuk
kelompok satelit pengamatan dilanjutkan selama 14 hari untuk mendeteksi proses
penyembuhan kembali dari pengaruh toksik. Hewan ditimbang setiap hari selama
28 hari untuk menentukan volume sediaan ujiyang akan diberikan.Perubahan
berat badan dianalisis seminggu sekali. Pada akhir penelitian, hewan yang masih
hidup ditimbang dan diotopsi (OECD, 2008).
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang berupa
perilaku fisik seperti diare, salivasi, lemas, gerak-gerik aneh seperti berjalan
mundur dan menggunakan perut, hewan uji diletakkan diatas bidang yang datar
dilakukan pengamatan secara umum pada masing-masing kelompok selama 2
jam setelah 1 jam pemberian sediaan uji. Sedangkan jumlah makanan dan
(41)
24
3.5.1 Pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi hati dilakukan dengan menghitung kadar ALT(Alanin
Aminotransferase )menggunakan alat spektrofotometer UV yang dikerjakanoleh
laboratorium kesehatan daerah provinsi Sumatera Utara.
Darah diambil dari jantung sebanyak 0,5 ml darah dimasukkan kedalam
microtube, didiamkan 5 menit, disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan
3000 rpm hingga dihasilkan serum yang bening. Penetapan kadar ALT dengan
cara sejumlah 100 µl serum uji direaksikan dengan 1000 µl pereaksi uji untuk
pemeriksaan ALT dalam tabung reaksi 5 ml, dihomogenkan dengan bantuan
vortex. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV pada suhu 37°C tepat
setelah menit ke 1, 2, dan 3 pada panjang gelombang 340 nm.
3.5.2 Pengamatan makropatologi organ
Mencit yang telah dikorbankan harus segera diotopsi dan dilakukan
pengamatan secara makropatologi berupa perubahan warna, permukaan dan
konsistensi dari organ.
3.5.3 Penimbangan organ
Organ yang akan ditimbang (absolut) harus dikeringkan terlebih dahulu
dengan kertas penyerap, kemudian segera ditimbang, sedangkan yang dianalisis
adalah bobot relatif (indeks organ), yaitu bobot organ absolut dibagi bobot badan.
3.5.4 Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan di laboratorium anatomi kedokteran
Sumatera Utara.Organ yang diperiksa adalah hati. Organ yang sudah dipisahkan
(42)
25
larutan dapar formalin 10% dan dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan
hematoxylin & eosin kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
Prosedur pembuatan preparat histopatologi:
a. Organ yang akan dihistologi direndam didalam larutan dapar formalin 10%
pada suhu kamar.
b. Organ yang akan dihistologi dipotong, untuk hati dilakukan pemotongan pada
lobus terbesar hati.
c. Untuk menghilangkan sisa formalin dilakukan pencucian dengan air
mengalir.
d. Dilakukan proses dehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut.
Kemudian dilanjutkan dengan penjernihan menggunakan xylol sebanyak tiga
kali selama 1 jam.
e. Proses penanaman dilakukan dengan cara: sampel direndam dalam campuran
xyloldan parafin cair pada suhu 60–70oC, dengan perbandingan xylol:parafin
berturut-turut 3:1, 1:1, dan 1:3 masing-masing selama 2 jam.
f. Dilakukan pencetakan dan dibiarkan membeku, kemudian blok parafin
dipotong dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 5-7
µm. Setelah memperoleh potongan yang bagus, potongan tersebut
ditempelkan pada kaca obyek. Sayatan organ yang telah menempel pada kaca
obyek segera diletakkan pada permukaan pemanas dengan suhu 56 - 58°C
selama kurang lebih 10 detik, sehingga organ meregang dan menempel pada
kaca obyek sambil diatur jangan sampai organ berkerut atau melipat.
(43)
26
g. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan hematoxylin-eosin. Pertama
sediaan direndam dengan larutan xylol untuk proses deparafinasi
masing-masing selama 12 menit. Dilakukan proses dehidrasi dengan merendam
preparat dalam etanol 70%, 80%, 90%, etanol absolut selama 5 menit, dicuci
dengan air mengalir. Selanjutnya direndam dengan larutan hematoxylin
selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir, dilakukan pewarnaan dengan
eosin. Kemudian, dicelupkan ke dalam etanol 70%, 80%, 90%, dan etanol
absolut masing-masing selama 10 menit. Terakhir dimasukkan kedalam xylol
selama 12 menit. Preparat diamati dibawah mikroskop.
3.6 Analisis Data
Data jumlah hewan uji yang mati dianalisa secara statistik menggunakan
SPSS dengan metode One Way Analysis of Variance (ANOVA) dilanjutkan
dengan uji post hoc Tukey untuk mengetahui perbedaan signifikan berat badan,
berat organ relatif, konsumsi makan dan minum, serta kadar ALT (Alanin
(44)
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Hasil IdentifikasiSampel
Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Herbanium Medanense Universitas
Sumatera Utara terhadap bahan yang diteliti adalahtumbuhan kelapa sawit (Elaeis
guinensisJacq.) suku Arecaceae.Hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman
45 dan Gambar tumbuhan pada Lampiran 2, halaman 46.
4.2Hasil Ekstraksi Serbuk Daun Kelapa Sawit
Pembuatan ekstrak daun kelapa sawit dilakukan dengan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol 80%. Hasil maserasi dari 1200 g serbuk simplisia
diperoleh ekstrak kental 108,0 g dan defreeze dryer suhu -40 oC diperoleh ekstrak
kering 98,0 g.
4.3Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit
Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan
perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 52 – 56.Monografi dari
simplisia daun kelapa sawit tidak ditemukan di buku Materia Medika Indonesia
(MMI), sehingga tidak ada acuan untuk menentukan parameter simplisia tersebut.
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak
No Parameter
Hasil (%)
Simplisia Ekstrak
1 Kadar air 6,64 2,65
2 Kadar sari larut air 13,49 19,57 3 Kadar sari larut etanol 16,98 43,88
4 Kadar abu total 3,75 2,43
(45)
28
Penetapan kadar air pada simplisia dan ekstrak dilakukan untuk
mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam simplisia. Kadar air simplisia
ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisia karena kadar air berkaitan dengan
pertumbuhan jamur.Kadar air yang melebihi 10% dapat menjadi media yang baik
untuk pertumbuhan mikroba, sehingga mutu simplisia menurun (WHO, 1998).
Penetapan kadar sari simplisia daun kelapa sawit dilakukan menggunakan
dua pelarut, yaitu air dan etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk
mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam
simplisia, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui
kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun senyawa non polar.
Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa
anorganik dalam simplisia misalnya Mg, Ca, Na dan Pb sedangkan penetapan
kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa yang tidak
larut dalam asam misalnya silika.
4.4Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (EEDKS)
4.4.1 Hasil pengamatan terhadap perilaku fisik hewan
Pengujian efek EEDKS terhadap toksisitas subkronik digunakan hewan
percobaan mencit sesuai dengan pedoman uji toksistas nonklinik secara in vivo
(BPOM, 2011).Pengujian dilakukan terhadap kelompok kontrol dan EEDKS
dengan variasi dosis 500, 1000, dan 2000 mg/kg BB yang diuji selama 28 hari dan
kelompok satelit (kontrol dan EEDKS dosis 2000 mg/kg BB) selama 42 hari.Hasil
pengamatan terhadap perilaku fisik dapat dilihat pada Tabel 4.2 yang
(46)
29
pada perilaku fisik hewan seperti terjadinya diare, salivasi, lemas, jalan mundur,
dan jalan menggunakan perut.
Tabel 4.2 Hasil pengamatan gejala toksik terhadap perilaku fisik hewan
Kelompok Diare
Salivasi Lemas Jalan mundur
Jalan dengan perut
K1 - - - - -
K2 - - - - -
K3 - - - - -
K4 - - - - -
K5 - - - - -
K6 - - - - -
Keterangan: K1 = kontrol; K2 = dosis 500 mg/kg BB; K3 = dosis 1000 mg/kg BB; K4 = dosis 2000 mg/kg BB; K5 = satelit normal; K6 = satelit dosis 2000 mg/kg BB; (-) = tidak menunjukkan gejala;
(+) = menunjukkan adanya gejala
Hasil penelitian dariAnyanji, dkk.,2013, pada pengujian toksisitas akut
terhadap EEDKS tidak menyebabkan kematian pada hewan uji. Pada pengujian
kelompok satelit juga tidak menyebabkan kematian pada hewan uji, hal ini
menunjukkan bahwa daun kelapa sawit tidak toksik terhadap perilaku fisik hewan.
4.4.2. Hasil pengamatan terhadap konsumsi makanan dan minuman hewan uji setelah pemberian EEDKS
Hasil pengamatan terhadap konsumsi makanan dan minuman yang
diberikan pada hewan uji setelah pemberian EEDKS ditunjukkan pada Tabel 4.3
dan Tabel 4.4.Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dimana p >
0,05. Halini berarti bahwa pemberian ekstrak etanol daun kelapa sawit tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi makanan dan minuman
(47)
30
harinya dapat dilihat pada Lampiran 18halaman 73 – 82.Hasil uji statistik dapat
pada Lampiran 13 halaman 61 – 63 dan Lampiran 14 halaman 64 – 66.
Tabel 4.3 Hasil konsumsi makanan rata-rata hewan uji setelah diberi EEDKS
Kelompok konsumsi makanan rata-rata (g) ± SD pada minggu ke-
1 2 3 4 5 6
K1 20,15 ± 1,15 19,10 ± 2,79 18,58 ± 3,56 20,33 ± 1,56 K2 21,77 ±
2,80 18,40 ± 2,55 19,81 ± 4,25 19,21 ± 1,00 K3 19,98 ±
4,13 22,36 ± 2,07 21,08 ± 4,78 20,36 ± 3,03 K4 19,17 ±
1,32 18,73 ± 1,79 18,79 ± 1,74 18,94 ± 1,85 K5 19,10 ±
1,33 19,92 ± 2,24 18,92 ± 3,94 20,96 ± 2,26 18,80 ± 1,86 19,55 ± 1,67 K6 19,34 ±
2,74 19,46 ± 1,78 19,17 ± 2,16 19,75 ± 1,31 18,56 ± 3,81 19,65 ± 1,40
Keterangan: K1 = kontrol; K2 = dosis 500 mg/kg BB; K3 = dosis 1000 mg/kg BB; K4 = dosis 2000 mg/kg BB; K5 = satelit normal; K6 = satelit dosis 2000 mg/kg BB; SD = standar deviasi; g = gram
Tabel 4.4 Hasil konsumsi minuman rata-rata hewan uji setelah diberi EEDKS
Kelompok Konsumsi minuman rata-rata (ml) ± SD pada minggu ke-
1 2 3 4 5 6
K1 36,00± 7,11 30,29 ± 4,42 31,29 ± 6,44 30,14 ± 4,33 K2 31,29 ±
5,90 29,57 ± 10,42 28,86 ± 5,52 30,57 ± 5,96 K3 37,86 ±
10,99 34,14 ± 2,34 34,86 ± 7,64 29,86 ± 7,08 K4 33,71 ±
8,90 30,71 ± 5,49 27,71 ± 5,46 30,57 ± 4,27 K5 38,29 ±
9,26 36,29 ± 4,07 34,57 ± 8,61 33,29 ± 8,49 30,00 ± 2,58 32,00 ± 4,32 K6 34,86 ±
8,63 28,29 ± 5,21 25,29 ± 9,53 27,00 ± 5,06 32,29 ± 9,96 31,71 ± 3,90
Keterangan: K1 = kontrol; K2 = dosis 500 mg/kg BB; K3 = dosis 1000 mg/kg BB; K4 = dosis 2000 mg/kg BB; K5 = satelit normal; K6 = satelit dosis 2000 mg/kg BB; SD = standar deviasi; ml = mili liter
(48)
31
4.4.3 Hasil pengamatan berat badan mencit setelah pemberian EEDKS
Hasil pengamatan yang dilakukan pada hewan uji terhadap berat badan
setelah diberikan EEDKS ditunjukkan pada Tabel 4.5.Hasil uji statistik
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan dimana p > 0,05. Hal ini berarti bahwa pemberian
EEDKS selama 28 hari dan kelompok satelit selama 42 hari ternyata tidak
berpengaruh terhadap perkembangan berat badan mencit.Pada pengujian
kelompok satelit juga tidak berpengaruh terhadap perubahan berat badan mencit,
hal ini menunjukkan bahwa daun kelapa sawit tidak memiliki pengaruh terhadap
perkembangan berat badan mencit.
Tabel 4.5 Hasil berat badan mencit rata-rata setelah diberikan EEDKS
Kelompok Berat badan rata-rata (g) ± SD pada minggu ke-
1 2 3 4 5 6
K1 25,72 ± 0,59 26,96 ± 4,47 29,37 ± 4,99 28,76 ± 6,26 K2 27,02 ±
1,41 28,07 ± 2,79 29,75 ± 3,85 30,80 ± 3,99 K3 26,45 ±
1,29 28,08 ± 3,52 27,67 ± 4,76 29,49 ± 3,96 K4 25,34 ±
0,78 26,35 ± 1,50 26,81 ± 1,86 27,99 ± 1,09 K5 26,40 ±
0,89 29,77 ± 1,62 30,67 ± 1,20 30,92 ± 1,56 30,67 ± 0,85 29,90 ± 0,40 K6 26,35 ±
1,01 27,86 ± 4,70 27,98 ± 4,88 29,37 ± 4,81 30,44 ± 4,10 29,75 ± 4,66
Keterangan: K1 = kontrol; K2 = dosis 500 mg/kg BB; K3 = dosis 1000 mg/kg BB; K4 = dosis 2000 mg/kg BB; K5 = satelit normal; K6 = satelit dosis 2000 mg/kg BB; SD = standar deviasi; g = gram
Parameter yang mendukung untuk mengetahui efek toksik dari suatu zat
yaitu perilaku fisik, berat badan, konsumsi makanan dan minuman (Gupta dan
(49)
32
badan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p > 0,05), hasil
pengamatan perilaku fisik hewan uji selama perlakuan tidak adanya gejala toksik.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya gejala toksik yang timbul pada hewan
uji setelah diberikan EEDKS selama 28 hari dan penambahan waktu 2 minggu
untuk kelompok satelit.Hasil pengamatan perkembangan berat badan mencit
setiap harinya dapat dilihat pada Lampiran 19 halaman 83 – 88. Hasil uji statistik
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 15 halaman 67 – 69.
4.5 Hasil Pengamatan Kadar ALT(Alanin Aminotransferase) Mencit
Hasil pengamatan kadar ALT mencit dapat dilihat pada Tabel
4.6.danGambar 4.1. Hasil uji statistik selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
16 halaman 70.
Tabel 4.6 Hasil pengukuran kadarALT rata-rata mencit setelah diberikan EEDKS
Kelompok Kadar ALTrata-rata (U/L) ± SD
Kontrol 36,20 ± 9,20
Dosis 500 mg/kg BB 53,00 ± 13,11 Dosis 1000 mg/kg BB 77,20 ± 8,98* Dosis 2000 mg/kg BB 83,80 ± 8,25*
Satelit kontrol 36,80 ± 10,56
Satelit dosis 2000 mg/kg BB 80,40 ± 9,15*
Keterangan: * = adanya perbedaan yang signifikan (p < 0,05); SD = standar deviasi
Hasil analisa kimia darah mencit untuk pengujian kandungan ALT (Alanin
Aminotransferase) dilakukan pada akhir perlakuan, hari ke-29 untuk kelompok uji
dan hari ke-43 untuk kelompok satelit. Berdasarkan hasil pengukuran kadar ALT
mencit pada Tabel 4.6 dosis 500 mg/kgBB dengan kadar rata-rata (53,00 U/L)
(50)
33
sedangkan dengan kelompok dosis 1000 (77,20 UL), dosis 2000 mg/kg BB (83,80
U/L), dan kelompok satelit dosis 2000 mg/kg BB(80,40 U/L) terdapat perbedaan
yang signifikan dengan kelompok kontrol (36,20 U/L). Untuk kelompok satelit
juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara dosis 500 mg/kg BB (53,00
U/L) terhadap kadar ALT dengan kelompok satelit kontrol (36,80 U/L),
sedangkan untuk dosis 1000 (77,20 U/L), 2000 (83,80 U/L), dan satelit dosis 2000
mg/kg BB(80,40 U/L) terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelompok
satelit kontrol (36,80 U/L).
Gambar 4.1 Grafik kadarALTmencit uji toksisitas subkronik EEDKS
Berdasarkan tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa pada kelompok dosis
1000 mg/kg BB memiliki perbedaan yang signifikan dimana p < 0,05, namun
kadar ALT tersebut masih dalam rentang kondisi normal karena kadar ALT
mencit normal adalah 17-77 U/L (Research Animal Resource, 2009). Sedangkan
kadar ALT kelompok satelit dosis 2000 mg/kg BB mengalami penurunan
dibandingkan kelompok dosis 2000 mg/kg BB. Hal ini menunjukkan adanya
kerusakan pada organ hati mencit yang diberi EEDKS dosis 2000 mg/kg BB dan
terjadi pemulihan pada mencit kelompok satelit dosis 2000 mg/kg BB setelah
pemberian ekstrak etanol daun kelapa sawit dihentikan.Kerusakan pada sel hati
yang sedang berlangsung dapat diketahui dengan mengukur parameter fungsi
36,2 53 77,2 83,8 36,8 80,4 0 20 40 60 80 100 K A D A R SG P T KELOMPOK PERLAKUAN normal
dosis 500 mg/kg BB dosis 1000 mg/kg BB dosis 2000 mg/kg BB satelit normal
(51)
34
berupa zat dalam peredaran darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau
mengalami nekrosis.Gangguan hati ditandai dengan peningkatan aktivitas serum
transminase berupa SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) dan SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), laktat dihidrogenase, serta bilirubin
serum. Kadar SGPT dalam serum menjadi petunjuk yang lebih sensitif kearah
kerusakan hati karena sangat sedikit kondisi selain hati yang berpengaruh pada
kadar SGPT dalam serum (Widmann, 1995). Enzim SGPT merupakan enzim yang
dibuat dalam sel hati, sedangkan dalam jantung dan otot-otot skelet kurang jika
dibandingkan dengan kadar SGOT sehingga kadar SGPT menjadi indikator yang
lebih spesifik untuk penyakit hati, kadarnya meningkat terutama pada kerusakan
dalam hati dibandingkan SGOT (Hadi, 1995).
4.6 Hasil Bobot Relatif Organ Hati, Jantung, dan Ginjal Mencit
Hasil bobot relatif organ yang didata pada akhir perlakuan ditunjukkan
pada Tabel 4.7.Untuk hasil data penimbangan bobot relatif organ selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 20 halaman 89 – 90.Hasil uji statisitik selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 17 halaman 71 – 72.
Tabel 4.7 Hasil bobot relatif organ hati, jantung, dan ginjal mencit.
Kelompok bobot relatif organ rata-rata (g)± SD
Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri Kontrol 5,08 ± 0,57 0,42 ± 0,04 0,65 ± 0,13 0,65 ± 0,12 Dosis 500 mg/kg BB 4,32 ± 0,66 0,38 ± 0,03 0,84 ± 0,46 0,61 ± 0,06 Dosis 1000 mg/kg BB 4,64 ± 1,03 0,46 ± 0,03 0,62 ± 0,08 0,55 ± 0,05 Dosis 2000 mg/kg BB 4,76 ± 0,31 0,44 ± 0,07 0,63 ± 0,12 0,65 ± 0,09 Satelit kontrol 5,16 ± 0,94 0,46 ± 0,07 0,68 ± 0,07 0,65 ± 0,06 Satelit dosis 2000 mg/kg
BB 4,89 ± 1,76 0,50 ± 0,12 0,73 ± 0,26 0,70 ± 0,21
(52)
35
Berdasarkan hasil bobot relatif organ rata-rata mencit pada Tabel 4.7 tidak
menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada organ hati, jantung, ginjal kanan,
dan ginjal kiri pada setiap kelompok. Hal ini berarti tidak adanya pengaruh bobot
relatif organ mencit yang diberi EEDKS dengan mencit kelompok kontrol yang
hanya diberikan suspensi Na CMC baik kelompok perlakuan selama 28 hari
maupun kelompok satelit yang diperlakukan selama 42 hari.
4.7 Hasil Pengamatan Makropatologi Organ Hati
Pengamatan makropatologi organ hati meliputi warna, konsistensi, dan
permukaan ditunjukkan pada Tabel 4.8.Pengamatan secara makropatologi organ
merupakan salah satu indikator yang berguna bagi toksisitas untuk mengetahui
adanya gejala kerusakan pada organ sasaran (Lu, 1994).
Tabel 4.8 Hasil pengamatan makropatologi organ hati mencit.
Kelompok Pengamatan
Warna Konsistensi Permukaan Kontrol merah kecoklatan kenyal licin
Dosis 500 mg/kg BB merah kecoklatan kenyal licin Dosis 1000 mg/kg BB merah kecoklatan kenyal licin Dosis 2000 mg/kg BB merah kecoklatan kenyal licin Satelit kontrol merah kecoklatan kenyal licin Satelit dosis 2000 mg/kg BB merah kecoklatan kenyal licin
Hasil pengamatan makropatologi organ hati dapat dilihat pada Gambar
4.2.yang merupakan perwakilan dari setiap kelompok dimana semua kelompok
perlakuan organ hati masih menunjukkan dalam keadaan normal. Hati yang
normal berwarna merah kecoklatan, konsistensi yang kenyal, dan permukaannya
(53)
36
amat banyak (Junqueira dan Carneiro, 2003).Untuk gambar selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 21 halaman 91 – 93.
Kontrol EEDKS 500 mg/kg BB EEDKS 1000 mg/kg BB
EEDKS 2000 mg/kg BB Satelit kontrol Satelit 2000 mg/kg BB
Gambar 4.2Makropatologi hati mencit yang diberi Na-CMC 0,5% dan EEDKS
Salah satu parameter uji toksisitas subkronik untuk melihat adanya
kerusakan pada jaringan hati maka dilakukan pengamatan histopatologi hati.Hasil
pengamatan gambaran histopatologi sel hati mencit dapat dilihat pada Gambar
4.3, 4.4, dan 4.5.
Kontrol Satelit kontrol
Gambar 4.3 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi Na CMC 0,5%
Keterangan: (1) = vena sentral, (2) = sinusoid, (3)= hepatosit 3
1
(54)
37
Dosis 500 mg/kg BB Dosis 1000 mg/kg BB
Gambar 4.4 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi EEDKS dosis 500 mg/kg BB dan 1000 mg/kg BB
Keterangan: (1) = vena sentral, (2) = sel nekrosis (kariopiknosis)
Dosis 2000 mg/kg BB Satelit dosis 2000 mg/kg BB
Gambar 4.5 Hasil gambaran histopatologi hati mencit yang diberi EEDKS dosis 2000 mg/kg BB
Keterangan: (1) = kongesti pada vena sentral, (2) = sel nekrosis (kariopiknosis)
Kerusakan hati dapat dilihat melalui kadar enzim, makropatologi organ,
dan hasil histopatologi. Sebagaimana dapat dilihat dari pengamatan histopatologi
pada mencit kelompok kontrol dan kelompok satelit kontrol yang diberi suspensi 2
1
2 1
(55)
38
Na-CMC tidak adanya kerusakan pada organ yang dilihat dari vena sentral masih
normal, hepatosit utuh, sinusoid tersusun secara radier kearah vena sentral
sebagaimana tampak pada Gambar 4.3. Hati mencit yang diberi ekstrak etanol
daun kelapa sawit dosis 500 mg/kg BB juga tidak mengalami kerusakan
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.4.Sedangkan pada dosis 1000 mg/kg
BB (Gambar 4.4) terjadi kerusakan berupa sel nekrosis yang ditandai dengan inti
sel mengecil dan berwarna kehitaman(kariopiknosis).Hal ini dapat dimaklumi
karena uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosisberulang yang
diberikan secara oral pada hewan ujiselama 28 atau 90 hari (OECD, 2008).
Pada Gambar 4.5 dapat dilihat pada dosis 2000 mg/kg BB terjadi
kerusakan pada hati ditandai dengan adanya nekrosis dan terjadinya kongesti pada
sinusoid dan vena sentral, sedangkan pada kelompok satelit dosis 2000 mg/kg BB
sel-sel pada hati masih mengalami nekrosis.Kongesti pada vena sentral
diakibatkan oleh lisisnya sel endotel sehingga lingkaran tidak utuh dan akhirnya
lingkaran menjadi tidak jelas. Kerusakan pada vena sentral berkaitan dengan
perannya pada sirkulasi, dimana vena sentralis menerima darah dari
sinusoid-sinusoid yaitu 25% dialirkan dari arteri hepatika dan 75% dari vena porta yang
mengalirkan darah dari saluran cerna hasil absorbsi usus. Vena sentral banyak
menampung nutrient-nutrient dan zat-zat hasil metabolisme yang dapat bersifat
toksik maupun nontoksik, banyaknya darah yang ditampung vena sentralis akan
menyebabkan konsentrasi zat yang bersifat toksik jauh lebih besar sehingga hal
(56)
39
1997). Nekrosis merupakan kematian sel atau jaringan pada organisme hidup.Inti
sel yang mati dapat dilihat lebih kecil dan lebih padat (kariopiknosis) (Kasno,
2008). Nekrosis merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak
selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar
biasa (Lu, 1994).
Hati memiliki kemampuan regenerasi yang luar biasa, hilangnya jaringan
hati akibat tindakan bedah atau oleh kerja substansi toksik memicu mekanisme
yang merangsang sel-sel hati membelah, sampai massa jaringan aslinya pulih
kembali. Jaringan hati yang diregenerasi umumnya serupa dengan jaringan yang
hilang.Tetapi bila kerusakan itu terjadi berulang-ulang atau terus menerus pada
organ ini, maka terbentuk banyak jaringan ikat bersama regenerasi sel hati
(Junqueira dan Carneiro, 2003). Waktu pemulihan selama 2 minggu dapat
memperbaiki kerusakan sel-sel hati mencit yang mengalami kerusakan berupa
nekrosis ringan, dimana kadar ALT pada kelompok satelit dosis 2000 mg/kg BB
mengalami penurunan dibandingkan dengan kelompok uji yang diberi ekstrak
etanol daun kelapa sawit dosis 2000 mg/kg BB. Hati merupakan organ yang
terlibat dalam metabolisme zat makanan dan sebagian besar obat dan toksikan.
Zat makanan yang masuk melalui saluran cerna setelah diserap oleh epitel usus
akan dibawa oleh vena porta ke hati. Oleh sebab itu, hati menjadi organ yang
sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain (Santoso
dan Nurliani, 2006).Pada penelitian ini setelah pemberian ekstrak etanol daun
kelapa sawit pada dosis tinggi dihentikan memiliki efek toksik berpulih
(reversibel), yaitu efek yang ditimbulkan dapat hilang dengan sendirinya setelah
(57)
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa:
a. ekstrak etanol daun kelapa sawit pada kelompok kontrol dan pemberian
sediaan uji tidak menyebabkan gejala toksik pada mencit jantan
b. ekstrak etanol daun kelapa sawit pada kelompok kontrol, dosis 500mg/kg BB
tidak meningkatkan kadar enzim ALT sedangkan dosis 1000 dan 2000 mg/kg
BBdapat meningkatkan kadar enzim ALT mencit jantan
c. ekstrak etanol daun kelapa sawit pada kelompok kontrol, dosis 500 tidak
menyebabkan efek toksik sedangkan dosis 1000 dan 2000 mg/kg BB
menyebabkan efek toksik pada organ hati mencit jantan
d. efek toksik ekstrak etanol daun kelapa sawit bersifat reversibel setelah
pemberian ekstrak dihentikan.
4.2 Saran
Disarankan pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian yang sama
dengan organ sasaran yang lain, seperti ginjal dan jantung. Serta dilakukan
pengujian lebih lanjut untuk meneliti potensi toksisitas kronis dari ekstrak etanol
(58)
41
DAFTAR PUSTAKA
Adlin, I. (2008). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia.Edisi 2. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Halaman 24 – 25.
Al-Sharafi, M.M.N., dan Al-Dawah, N.K.J. (2013). Comparative Study of Palm Leaves Extract and Glibenclamide in diabetic female rats induced by alloxan.Mirror of Research in Veterinary Sciences and Animals (MRVSA). 2(2): 35 – 41.
Anggraini, D.R. (2008). Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit Akibat Pemberian Plumbum Asetat.Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Halaman 53.
Anyanji, V.U., Mohamed, S., Bejo, B.H. (2013). Acute Toxicity and Safety Assessment of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Leaf Extract in Rats.
Journal of Medicinal Plant Research (Academic Journals).7(16): 1022 – 1029.
Balick, M. A. (1996). Plants, People and Culture: The Science of Ethnobotany. New York: Sciencific American Library, W.H.Freemanand Company. Halaman 12.
Bate’e, E. (2014). Karakterisasi dan Isolasi Senyawa Triterpenoid/Steroid Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.).Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
BPOM RI. (2011). Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta: Pusat Riset Obat dan Makanan BPOM RI. Halaman 25 – 29.
Casarett dan Doull’s. (2008). Toxicology The Basic Science Of Poisons Seventh Edition. Kansas: McGraw-Hill Medical Publishing Division. Halaman 28,31,32.
Chong, K..H., Zuraini, Z., Sasidharan, S., Kalnisha, D. P. V., Yoga, L., and Ramanathan, S. (2008). Antimicrobial Activity ofElaeis guineensis
Leaf.Journal of Pharmacologyonline.3(3): 379 – 386.
Delman, H.D dan Brown, E.M. (1992).Buku Teks Histologi veteriner II.Cetakan pertama Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 392 – 404.
Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia.Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 9, 33.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan. Halaman 321, 322, 325.
(59)
42
Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 10 – 11.
Gupta, D., dan Bhardwaj, S. (2012). Study of Acute, Subacute and Chronic Toxicity Test. International Journal of Advanced Research in Pharmaceutical and Bio Science (IJARPB). 1(2): 103 – 129.
Hadi, S. (1995).Gastroenterologi.Edisi 6. Bandung: Alumni,.Halaman 400 – 412, 644 – 650.
Hasibuan, C.S. ( 2014). Skrining Fitokimia dan Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Halaman 465.
Hodgson, E., dan Levi, P.E. (2004) A textbook of Modern Toxicology. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Hal. 292, 298, 301.
Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (2003). Histologi Dasar. Editor Frans Dany. Edisi X. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Halaman 318 – 320, 330 – 331.
Juliana, M. (2011).Antihypertensi and Cardiovascular Effect of Catechin- Rich Oilm Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Leaf Extract in Nitric Oxide-Deficient Rats. Journal of Medicinal Food.14(3): 775 – 783.
Kang, K.K., Kim, I.D., Kwon, R.H., Lee, J.Y., dan Ha, B.J. (2008). The Effects of Extracts on CCl4 Induced Liver Injury. Arch Pharm Res. 3(1): 22.
Kasno, P.A. (2008). Patologi Hati dan Saluran Empedu Ekstra Hepatik. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro. Halaman 45.
Loomis, T.A. (1978). Toksikologi Dasar. Diterjemahkan oleh Imono Argo Donatos. Edisi III. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman 67 – 113.
Lu, F.C. (1994). Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Edisi II. Jakarta: UIP. Halaman 47 – 48, 74, 93 – 97, 206 – 211.
OECD.(2001). Acute Oral Toxicity.OECD Guidelines for the Testing of Chemicals.432(1): 1 – 6.
OECD.(2008). Organization for Economic Cooperation and Development Guidelines for The Testing of Chemicals TG 407. 132(1): 4 – 13.
Pahan, iyung.(2006). Panduan Lengkap Kelapa Sawit.Cetakan pertama. Jakarta: Penerbit Swadaya. Halaman 69 – 70.
(1)
88 Lampiran 19. (Lanjutan)
Minggu IV
No Hari 22 Hari 23 Hari 24 Hari 25 Hari 27 Hari 28 Rata-rata 1 21,7 g 22,0 g 24,0 g 25,8 g 27,8 g 29,8 g 25,18 2 30,8 g 32,6 g 33,7 g 33,2 g 34,7 g 34,3 g 33,21 3 29,2 g 30,2 g 30,5 g 30,7 g 31,3 g 31,7 g 30,6 4 22,5 g 22,7 g 21,2 g 24,7 g 26,8 g 25,3 g 23,53 5 34,5 g 33,8 g 33,9 g 34,1 g 34,8 g 35,0 g 34,35 Minggu V
No Hari 29 Hari 30 Hari 31 Hari 32 Hari 34 Hari 35 Rata-rata 1 33,4 g 32,8 g 30,0 g 30,2 g 29,8 g 29,8 g 31,00 2 34,1 g 33,9 g 33,7 g 34,1 g 34,1 g 34,5 g 34,06 3 32,4 g 27,9 g 23,8 g 28,0 g 28,0 g 28,1 g 28,7 4 23,0 g 23,6 g 23,8 g 25,1 g 25,3 g 25,2 g 24,33 5 35,4 g 34,5 g 34,6 g 33,8 g 33,5 g 33,0 g 34,13
Minggu VI
No Hari 36 Hari 37 Hari 38 Hari 39 Hari 40 Hari 42 Rata-rata 1 31,8 g 31,5 g 32,3 g 30,9 g 30,8 g 30,0 g 31,21 2 34,9 g 35,0 g 34,9 g 34,8 g 34,8 g 34,7 g 34,85 3 26,2 g 24,8 g 25,2 g 24,5 g 23,6 g 23,6 g 24,65 4 25,0 g 24,9 g 25,1 g 25,1 g 25,0 g 35,1 g 25,03 5 33,1 g 33,1 g 33,0 g 32,9 g 33,0 g 33,0 g 33,01
(2)
89 1. Kelompok kontrol
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 5,02 0,46 0,78 0,80
2 4,78 0,47 0,71 0,71
3 4,75 0,35 0,43 0,45
4 4,80 0,40 0,70 0,66
5 6,09 0,42 0,66 0,65
Total 5,08 0,42 0,65 0,65
2. Kelompok uji (EEDKS dosis 500 mg/kg BB)
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 5,13 0,41 1,66 0,65
2 4,29 0,35 0,64 0,56
3 4,07 0,44 0,60 0,59
4 4,75 0,37 0,75 0,71
5 3,38 0,35 0,55 0,55
Total 4,32 0,38 0,84 0,61
3. Kelompok uji (EEDKS dosis 1000 mg/kg BB)
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 6,07 0,49 0,72 0,60
2 3,58 0,48 0,59 0,52
3 3,74 0,48 0,50 0,51
4 5,21 0,45 0,63 0,53
5 4,61 0,40 0,67 0,62
Total 4,64 0,46 0,62 0,55
4. Kelompok uji (EEDKS dosis 2000 mg/kg BB)
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 5,05 0,48 0,62 0,60
2 4,87 0,37 0,43 0,53
3 4,74 0,55 0,69 0,71
4 4,25 0,42 0,67 0,76
5 4,93 0,38 0,75 0,69
(3)
90 Lampiran 20. (Lanjutan)
5. Kelompok satelit kontrol
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 5,28 0,48 0,68 0,60
2 4,63 0,43 0,74 0,70
3 4,87 0,46 0,78 0,74
4 4,30 0,39 0,60 0,59
5 6,73 0,58 0,64 0,64
Total 5,16 0,46 0,68 0,65
6. Kelompok satelit (EEDKS dosis 2000 mg/kg BB)
No Hati Jantung Ginjal Kanan Ginjal Kiri
1 4,20 0,47 0,67 0,67
2 4,12 0,47 0,66 0,66
3 3,14 0,35 0,47 0,47
4 7,74 0,70 1,18 1,06
5 5,26 0,53 0,68 0,68
(4)
91
K1 (1) K1 (2) K1 (3)
K1 (4) K1 (5) K2 (1)
K2 (2) K2 (3) K2 (4)
(5)
92 Lampiran 21. (Lanjutan)
K3 (3) K3 (4) K3 (5)
K4 (1) K4 (2) K4 (3)
K4 (4) K4 (5) K5 (1)
K5 (3) K5 (4)
(6)
93 Keterangan Gambar :
K1 : Kelompok kontrol (Na CMC 0,5%)
K2 : Kelompok uji (EEDKS dosis 500 mg/kg BB) K3 : Kelompok uji (EEDKS dosis 1000 mg/kg BB) K4 : Kelompok uji (EEDKS dosis 2000 mg/kg BB) K5 : Kelompok satelit kontrol (Na CMC 0,5%)
K6 : Kelompok satelit (EEDKS dosis 2000 mg/kg BB )
K6 (1) K6 (2)
K5 (5)