Hubungan Kadar High-Sensitivity C-Reactive Protein Dengan Gangguan Tidur Dan Depresi Pada Penderita Nyeri Punggung Bawah

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG
Nyeri punggung bawah merupakan penyakit yang sering dijumpai,
dan telah diobservasi sebanyak 70-85% dari populasi pernah mengalami
nyeri punggung ini setidaknya sekali selama seumur hidupnya (Ha JY
dkk, 2011).
Pada nyeri punggung bawah ini sering dijumpai peningkatan kadar
mediator inflamasi, seperti high-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP)
dan interleukin. Menurut penelitian

yang dilakukan pada 165 orang

penderita nyeri punggung bawah, ditemukan peningkatan kadar hs-CRP,
yang mendukung fenomena inflamasi yang terjadi pada nyeri punggung
bawah. C-Reactive Protein disintesis oleh hepatosit, dimana aktivitasnya
distimulasi oleh sitokin, khususnya oleh Interleukin-6 (IL-6) (Rannou dkk,
2007).
Penelitian kasus-kontrol yang dilakukan pada 62 pasien yang
didiagnosis dengan spondyloarthritis, yang terdiri dari 43 pria dan 19

wanita, yang membandingkan kadar sitokin darah pada populasi penderita
spondyloarthritis dengan kelompok kontrol yang sehat. Kadar Interleukin17 (IL-17), Interleukin-23 (IL-23), Tumor Necrosing Factor-α (TNF-α), IL-6,
Interleukin-1 (IL-1), dan hs-CRP meningkat pada pasien-pasien dengan
spondyloarthritis dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Pada

Universitas Sumatera Utara

penelitian ini diijumpai peningkatan kadar hs-CRP, dengan kadar rerata/
mean pada penderita spondyloarthritis sebanyak 8,31 ± 16,7 mg/l
dibandingkan dengan kadar rerata CRP pada kontrol yaitu 1,13 ± 0,88
mg/l (p = 0,02). Dimana, peningkatan kadar hs-CRP dikaitkan dengan
prognosa yang buruk (p = 0,04) (Londono dkk, 2012).
Studi kasus-kontrol yang dilakukan pada 48 penderita lumbar disc
herniation dan 53 kontrol menemukan kadar rerata hs-CRP adalah 0,056
± 0,076 mg/l pada kelompok kasus dan 0,017 ± 0,021 mg/l pada kelompok
kontrol. Peningkatan kadar hs-CRP pada penderita lumbar disc herniation
ini secara statistik ditemukan signifikan (p = 0,006). Pada penelitian
histologis, sel-sel inflamasi, khususnya makrofag, telah ditemukan pada
jaringan diskus yang terherniasi (herniated disc). Sel-sel ini secara
spontan memproduksi mediator inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1),

interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF-α). Sitokin-sitokin ini,
khususnya IL-6, dapat meningkatkan kadar CRP. C-Reactive Protein
merupakan salah satu dari protein fase akut yang dapat berfungsi sebagai
marker, dimana konsentrasi dalam serum meningkat beberapa ratus kali
lipat dalam waktu 24-48 jam sejak cedera jaringan (Sugimori dkk, 2003).
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara hs-CRP dengan
depresi dan gangguan tidur. Studi kasus-kontrol yang dilakukan pada 314
penderita ankylosing spondylitis, menemukan gangguan tidur spesifik
yang lebih sering pada penderita ankylosing spondylitis dibandingkan
kelompok kontrol. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan

Universitas Sumatera Utara

indeks standar yang digunakan untuk menilai kualitas tidur dan digunakan
secara luas. Prevalensi gangguan tidur pada penderita ankylosing
spondylitis ditemukan 35,4%, dengan rerata skor total PSQI adalah 6,62 ±
3,62; dibandingkan dengan gangguan tidur pada kelompok kontrol
sebanyak 22,9% dengan skor total Pittsburgh Sleep Quality Index adalah
5,50 ± 2,51. Pada studi ini dijumpai peningkatan kadar CRP pada
penderita ankylosing spondylitis, dengan rerata hs-CRP yaitu 1,62 ± 3,45

mg/l. Dimana, peningkatan kadar hs-CRP dihubungkan dengan Pittsburgh
Sleep Quality Index dan kejadian depresi pada penderita ankylosing
spondylitis (p < 0,001) (Li dkk, 2012).
Penelitian kasus-kontrol, yang dilakukan pada 25 penderita nyeri
punggung bawah kronik menemukan gangguan tidur lebih sering
ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah dibandingkan kelompok
kontrol.

Dimana,

kualitas tidur yang buruk dihubungkan

dengan

peningkatan kadar IL-6 (r = 0,39; p = 0,05) (Heffner dkk, 2011).
Studi multivariat analisis pada 4011 orang, dijumpai kadar hs-CRP
sekitar 18% lebih tinggi pada pria dengan gangguan tidur dibandingkan
pada pria tanpa adanya gangguan tidur (Liukkonen dkk, 2007).
Penelitian kasus-kontrol pada 22 penderita obstructive sleep apnea
(OSA), menemukan bahwa kadar CRP secara signifikan meningkat pada

pasien OSA dibandingkan pada kelompok kontrol (median [range] 0,33
[0,09 - 2,73] mg/l berbanding dengan 0,09 [0,02 - 0,9] mg/l; p < 0,0003).

Universitas Sumatera Utara

Ditemukan hubungan antara kadar CRP dengan beratnya OSA (p=0,032)
(Shamsuzzaman dkk, 2002).
Studi cross-sectional yang dilakukan pada 43 wanita dengan rerata
usia 28±5 tahun, memperlihatkan bahwa kontinuitas tidur dan kualitas
tidur yang buruk berkaitan dengan peningkatan kadar CRP. Dimana
kontinuitas dan kualitas tidur ini dinilai dengan PSQI, dengan rerata skor
total PSQI adalah 4,02 ± 2,6. Pada penelitian ini dijumpai hubungan
antara kualitas tidur yang buruk dengan peningkatan kadar biomarker
inflamasi dan outcome dikemudian hari (Okun dkk, 2008).
Studi yang dilakukan pada 45 anak-anak dengan Obstructive Sleep
Apnea (OSA) menemukan adanya peningkatan kadar CRP pada
penderita OSA yaitu 1,3 (0,8 - 3,6) mg/l dibandingkan kelompok kontrol
yaitu 0,7 (0,2 - 2,0) mg/l; p = 0,01. Analisa Spearman menunjukkan bahwa
kadar CRP berhubungan dengan Obstructive Apnea Index (OAI) (r =
0,254; p = 0,002). Pada penderita dengan OSA, peningkatan kadar CRP

secara konsisten telah dilaporkan dan kadar CRP berkaitan secara
signifikan dengan beratnya OSA (Li dkk, 2008).
Penelitian cross-sectional yang dilakukan pada 340 orang wanita
yang berpartisipasi, menemukan bahwa penderita sleep disordered
breathing (SDB) mengalami peningkatan kadar biomarker inflamasi.
Ditemukan juga bahwa peningkatan kadar CRP berkaitan dengan efisiensi
dan durasi tidur yang memendek (Matthews dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Studi yang telah dilakukan pada 81 orang anak-anak (rerata usia:
9,3 ± 3,7 tahun) yang dilakukan pemeriksaan polysomnography,
menemukan anak-anak dengan SDB memilki kadar CRP yang meningkat
dan kadar CRP berkaitan secara signifikan dengan Apnea/ Hypopnea
Index (AHI) (r = 0,53; p < 0,0001) (Tauman dkk, 2004).
Punjabi dan Beamer (2007) melakukan penelitian cross-sectional
pada 69 orang laki-laki dengan rerata usia 40,2 tahun, menemukan
hubungan antara beratnya gejala sleep disordered breathing (SDB)
dengan peningkatan kadar CRP (r = 0,48; p < 0,001).
Shah dkk (2011) menemukan bahwa depresi sering ditemukan

pada penderita nyeri punggung bawah dan kejadiannya saling berkaitan.
Dimana, nyeri punggung bawah dikaitkan dengan disabilitas secara fisik
pada penderitanya, sementara depresi merupakan suatu penyakit yang
dapat menyebabkan disabilitas emosional dan mental. Penelitian ini
menemukan insidensi kejadian depresi pada penderita nyeri punggung
bawah sebanyak 55,14%.
Ma dkk (2011) melaporkan studi pada 508 orang dewasa (rerata
usia 48,5 tahun) menemukan adanya hubungan antara depresi dengan
peningkatan kadar hs-CRP. Dimana kadar rerata (mean) dari skor Beck
Depression Inventory (BDI) adalah 5,8 (Standard Deviation (SD) 5,4;
median 4,3), dan rerata hs-CRP adalah 1,8 mg/l (SD 1,7; median 1,2).
Studi kohort pada 5827 orang wanita yang dipilih secara acak,
memperlihatkan 44% peningkatan resiko kejadian depresi yang dikaitkan

Universitas Sumatera Utara

dengan peningkatan kadar hs-CRP. Penelitian ini menemukan hs-CRP
merupakan marker prognostik untuk resiko kejadian depresi pada wanita.
Hal ini mendukung peranan etiologi aktivitas inflamasi pada kejadian
depresi (Pasco dkk, 2010).

Howren

dkk

(2009)

melakukan

studi

meta-analysis

dan

menemukan adanya hubungan antara depresi dengan marker inflamasi
dan mengkonfirmasi bahwa CRP, IL-6, dan IL-1 memiliki hubungan
dengan kejadian depresi. Hal ini dapat ditemukan pada sampel yang
berbasis klinik dan studi-studi yang menggunakan wawancara klinis pada
penderita depresi.
Studi Vogelzangs dkk (2012) pada 2415 orang yang berusia 18-65

tahun memperlihatkan bahwa individu yang memiliki gangguan depresi
juga mengalami peningkatan kadar CRP (p < 0,001), dan kadar IL-6 yang
meningkat (p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan bahwa disregulasi imun
memiliki peranan pada penderita depresi.
Dressler dkk (2006) melakukan studi pada 271 orang Brazil
menemukan adanya peningkatan simptom depresi yang berkaitan dengan
peningkatan kadar C-reactive protein (r = 0,298; p = 0,004). Dimana kadar
rerata CRP pada penelitian ini adalah 0,43 ± 0,44 mg/l.
Schell dkk (2008) melakukan penelitian pada 121 orang pekerja
media, yang terdiri dari 68 orang pria dan 53 orang wanita yang
mengalami nyeri di leher, bahu dan pinggang. Studi ini menemukan

Universitas Sumatera Utara

adanya hubungan antara intensitas nyeri (yang dinilai dengan Visual
Analog Scale/ VAS) dengan kadar CRP (p = 0,045).
Studi Wilander dkk (2014) pada 35 orang wanita yang bekerja
sebagai kasir supermarket yang mengalami keluhan nyeri di leher/ bahu
memperlihatkan adanya hubungan positif yang signifikan antara intensitas
nyeri dengan kadar CRP (r = 0,43; p = 0,001).

Stanojevic dkk (2013) melakukan penelitian pada 61 subjek yang
memperlihatkan peningkatan kadar CRP berkaitan dengan peningkatan
resiko untuk perkembangan sindrom metabolik pada pasien depresi.
Dimana, durasi penyakit tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan
dengan kadar CRP (p=0,597).
Studi Hassin-Baer dkk (2010) pada 73 orang pasien dengan
penyakit Parkinson, memperlihatkan adanya peningkatan kadar CRP pada
pasien Parkinson, tetapi tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara
kadar CRP dengan durasi penyakit (p=0,70).

I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti
yang telah diuraikan diatas, dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apakah ada hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein
(hs-CRP) dengan gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri
punggung bawah?

Universitas Sumatera Utara

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan kadar biomarker inflamasi (high
sensitivity C-Reactive Protein) dengan gangguan tidur dan depresi pada
penderita nyeri punggung bawah.

I.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive
Protein dengan gangguan tidur pada penderita nyeri punggung
bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
2. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive
Protein dengan depresi pada penderita nyeri punggung bawah di
RSUP H. Adam Malik Medan
3. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive
Protein dengan intensitas nyeri pada penderita nyeri punggung
bawah di RSUP H. Adam Malik Medan
4. Untuk mengetahui hubungan kadar high sensitivity C-Reactive
Protein dengan durasi nyeri pada penderita nyeri punggung bawah
di RSUP H. Adam Malik Medan
5. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi penderita

nyeri punggung bawah di RSUP H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara

I.4. HIPOTESIS
Ada hubungan kadar high sensitivity C-Reactive Protein dengan
gangguan tidur dan depresi pada penderita nyeri punggung bawah.

I.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Penelitian Untuk Ilmu Pengetahuan
Memberikan kontribusi keilmuan mengenai hubungan kadar high
sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur dan depresi pada
penderita nyeri punggung bawah sehingga dapat menjadi salah satu
masukan atau pertimbangan bagi para klinisi dalam pendekatan
pemberian terapi yang tepat pada penderita nyeri punggung bawah.

1.5.2. Manfaat Penelitian Untuk Peneliti
Memberikan kontribusi penelitian mengenai hubungan kadar high
sensitivity C-Reactive Protein dengan gangguan tidur dan depresi pada
penderita nyeri punggung bawah dan diharapkan dapat menjadi salah
satu acuan penelitian selanjutnya untuk mencari biomarker inflamasi
lainnya dalam hubungannya dengan kejadian gangguan tidur dan depresi
pada penderita nyeri punggung bawah.

Universitas Sumatera Utara

1.5.3. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat
Dengan adanya penelitian ini diharapkan penanganan pasien nyeri
punggung bawah dapat lebih baik sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup penderita nyeri punggung bawah.

Universitas Sumatera Utara